Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Politik
Pada pertengahan September 2004, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon geram: “Iran dengan ambisi nuklirnya merupakan bahaya sangat besar bagi Israel”.
Pada 22 September 2004, Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharazi membalas: “Israel selalu menjadi ancaman Iran sekaligus terhadap seluruh negara di Timur Tengah”.
Menyimak perang kata-kata tersebut, maka, siapa pun pasti merinding. Sebab, hawa amarah, dendam dan nafsu untuk saling mengalahkan, tergambar jelas.
Selama ini, opini publik dunia dipenuhi konsep perang antara Islam dengan Barat. Apalagi, setelah Samuel P Huntington, profesor terkemuka di Universitas Harvard memperuncing perkara dengan tesis clash of the civilization (benturan peradaban). Bahkan, ada yang mengkambinghitamkan Osama bin Laden sebagai bukti benturan antara Islam dengan Barat.
Titik pandang manusia sudah berurat akar oleh formula Islam lawan Barat. Hal itu terjadi lantaran media massa buana dikuasai Yahudi. Mereka mampu mempermainkan fakta guna menyembunyikan kelicikan, kerakusan serta kejahatan Israel. Ketika pejuang Palestina menewaskan tentara Israel, niscaya beritanya menjadi head line di seluruh benua. Sementara pasukan Israel yang membunuh anak-anak dan wanita, tidak dicuarkan sebagai kabar. Berita pembantaian tersebut berlalu bagai dihembus angin. Tak ada giang sebagai peristiwa. Media seperti mati rasa dalam memberitakannya sebagai kawat duka bagi kemanusiaan.
Yahudi teramat lihai menyembunyikan fakta. Reaktor nuklirnya di Dimona, selatan Negev, malahan nyaris tak diketahui. Andai Mordechai Vanunu tak berkhianat, pasti cuma Amerika Serikat (AS) yang tahu kalau Israel punya reaktor nuklir.
Di Timur Tengah, hanya Israel yang memiliki senjata nuklir. Irak hampir punya senjata pamungkas itu, tetapi, proyek nuklir Saddam Hussein di Tammuz dihancurkan oleh Israel lewat Operasi Babylon pada 7 Juni 1981.
Saat Iran berniat memiliki senjata nuklir, tiba-tiba negara tersebut diancam Badan Energi Atom Internasional (IAEA), AS serta Israel. Di waktu yang bersamaan, justru Israel leluasa membeli dari AS, 5.000 bom pintar (smart bombs) yang dipandu sistem satelit. Israel diberi kesempatan punya 500 bom yang bisa menembus fasilitas-fasilitas nuklir bawah tanah Iran. Mereka dibolehkan memiliki 2.500 bom reguler dengan berat satu ton, 1000 bom setengah ton sekaligus 500 bom seperempat ton. Bahkan, diberi 500 unit bunker buster.
Memotivasi Radikalisme
Kini, Israel kembali sulit menenangkan diri. Karena, Iran ternyata punya kehandalan dalam program rekayasa nuklir.
Di Parchin, kompleks militer di tenggara Teheran, berdiri suatu lokasi yang ditengarai sebagai tempat penelitian, uji coba dan produksi senjata nuklir. Negeri Mullah itu memiliki uranium sekitar 37 ton. Dengan cadangan begitu besar, Iran diduga melakukan kegiatan penelitian serta pengembangan komponen-komponen berdaya ledak tinggi.
Dengan teknologi yang memadai, Iran sanggup menggunakan material hasil pemecahan nuklir buat menghasilkan senjata. Iran mampu memroses uranium mentah menjadi bahan yang siap bagi kegiatan pengayaan (uranium enrichment). Pengayaan uranium yang menjadi bagian dari proses pembuatan bahan bakar nuklir itu, memungkinkan untuk memproduksi tenaga listrik maupun keperluan militer.
Kendati berdalih bahwa pengayaan uranium cuma untuk membangun instalasi listrik bertenaga nuklir, namun, AS dan Israel tidak percaya. Apalagi, Iran kaya dengan minyak serta gas alam. Pada dasarnya, membangun instalasi listrik dengan tenaga minyak, lebih irit biaya sekitar 80 persen.
Ambisi Iran yang lebih condong ke program nuklir tersebut, memaksa AS dan Israel curiga setengah mati. AS serta Israel lantas mengkampanyekan bahwa stabilitas kawasan Timur Tengah bakal terganggu akibat ulah Iran.
Sharon sangat cemas lantaran negeri Ayatollah Rohullah Khomeini itu merupakan negara yang menghendaki kehancuran Israel. Apalagi, rudal Iran bisa menjangkau London, Paris, Rusia selatan sampai seluruh pangkalan AS di kawasan Teluk Persia. Selain itu, nuklir Iran dapat memotivasi kebangkitan radikalisme. AS telah merasakan aksi balas dendam di Irak akibat meruyaknya radikalisme.
Memotivasi Teror
Menyimak gelagat yang terpampang, maka, skenario perang dunia ketiga bermula ketika AS menyerang infrastruktur nuklir Iran di Parchin, Arak, Asfahan, Bushehr, Lavizan Shiyan dan Natanz. AS menyerbu Iran dari tiga kawasan strategis (Afganistan, Turki serta Irak). Dalih serangan yang diusung AS yakni Iran tidak kooperatif dan akomodatif terhadap IAEA, badan pengawas nuklir PBB.
Ihwal serupa sudah diaplikasikan AS saat menyerbu Irak. Walau Saddam terbukti tidak punya senjata pemusnah massal, terapi, George Walker Bush tetap yakin Irak memiliki persenjataan yang membahayakan eksistensi Israel.
Ketika kota-kota berjejak nuklir Iran diserang, kontan Teheran menembakkan rudal Shahab 3 ke Israel. Negeri Yahudi tersebut pernah merasakan derita bertubi-tubi saat Saddam menyerang Israel pada Perang Teluk II (1991). Kala itu, Irak melabrak mereka dengan 39 rudal Scud B.
Ketika Israel tersentak oleh serangan Iran, tiba-tiba Hizbullah melontarkan pula roket guna mengganyang Israel. Kekacauan bertambah saat sayap militer Hamas, Izzuddin al-Qassam ikut mengacaukan suasana di Jalur Gaza serta Tepi Barat.
Tidak ada pilihan bagi Israel kecuali membalas. Mereka kemudian mengirim rudal jelajah Jericho 2 yang membawa kepala nuklir berkekuatan 340 kilogram dari kapal selam di Laut Persia. Iran akhirnya luluh-lantak.
Di tengah puing-puing kehancuran, beberapa pejabat tinggi Iran membakar semangat rakyat yang selamat. Dari hembusan berapi-api tersebut. Semangat Iran membahana. Sedangkan di berbagai negara, orang berpawai mengutuk Israel.
Sementara kelompok militan eksklusif menyerang semua kepentingan AS dan Israel. Tanzim al-Qaeda, satuan Abdullah Azzam, milisi al-Mahdi (Moqtada al-Sadr), Tauhid wal Jihad (kubu Abu Musab az-Zarkawi), Tauhid wal Iman, Tauhid Islamiyah, Ansar as-Sunnah, Jamaah Islamiyah al-Alamiyah, kafilah Abu Hafs al-Misti, Tentara Islam Irak maupun Front Islam Perancis Bersenjata (FAIF), tak tinggal diam.
Sepekan setelah serangan Israel, maka, Iran rata dengan tanah. Tak satu pun tanaman yang tumbuh. Dan tidak seorang bernyawa tersisa lantaran radiasi nuklir. Maut sudah merenggut Iran. Kendati terbilang hilang dari peta dunia, namun, semangat mereka terus berkobar di tiap nurani manusia. Dunia bergolak. Moncong-moncong senjata akhirnya semua tertuju ke Israel.
Uni Eropa juga sangat murka akibat dikadali terus oleh ulah Sharon yang mempermainkan penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Perang, pada hakikatnya, tak membuahkan hasil positif kecuali kehancuran, kegetiran serta kesia-siaan. Dukungan AS yang membabi buta terhadap Israel, sesungguhnya memotivasi bangkitnya teror di mana-mana.
Selama ratusan tahun, petinggi militer dan politisi global dininabobokan jargon Cicero bahwa si vis pacem para bellum (kita berperang agar tercipta perdamaian).
Nafsu manusia telah disesaki konsep intoleransi yang mendehumanisasi peradaban mondial. Dengan kekuatan penuh, AS mengejar Saddam. Padahal, tanpa membumihanguskan serta membombardir rakyat Iran, Bush bisa menangkap saddam.
Mekanisme Cicero kembali didengungkan atas nama keselamatan Israel. Segala cara dilakukan AS demi mengamankan Israel yang menjadi mitra strategis di Timur Tengah. AS sebagai negara neo-imperealis yang menerapkan diplomasi nihil take-it or leave-it diplomacy dengan mengedepankan jimat pre-emptive attack serta unilateralisme, tidak peduli dengan neraca win-win solution. Dan ketimpangan, kepincangan sekaligus ketidakadilan tersebut, menjadi the black side of the world. Hingga, merangsang dahsyatnya perang antara Iran melawan Israel.
(Tribun Timur, 2007)
(Tribun Timur, 2007)
Perusahaan Milik Yahudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar