Naik Haji Seribu Kali
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Agama
NAIK haji merupakan penyempurna iman seorang Muslim. Nabi Muhammad menganjurkan umatnya agar menunaikan ibadah haji bagi yang sanggup secara fisik serta materi. Selain itu, jemaah dianjurkan pula memahami tata cara pelaksanaan haji dengan baik dan benar.
Musim haji 1429 H/2008 M ini, kuota calon haji Sulawesi Selatan mencapai 8.628. Sedangkan kuota haji Makassar berjumlah 1.086 orang. Jemaah akan masuk Asrama Haji Sudiang pada 4 November 2008. Mereka bakal diterbangkan ke Tanah Suci pada 5 November 2008.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk embarkasi Hasanuddin mencapai 3.517 dolar AS (32 juta) plus Rp 501 ribu sebagai biaya dalam negeri. BPIH tersebut belum mencakup biaya perjalanan darat dari daerah asal jemaah ke bandara Hasanuddin. Baju seragam juga tetap menjadi tanggungan jemaah.
Dewasa ini, animo masyarakat buat berhaji teramat tinggi. Kuota yang ditetapkan senantiasa tidak memadai. Waiting list (daftar tunggu) lantas diberlakukan. Pendaftar awal didahulukan. Sementara yang akhir diharap menunggu untuk tahun berikut.
Waiting list yang memaksa orang menanti selama setahun atau lima tahun, akhirnya mendorong segelintir kalangan mengeluarkan dekrit. Mereka mengimbau supaya naik haji hanya sekali seumur hidup. Alasannya, Rasulullah saja cuma satu kali naik haji.
Suasana terasa gaduh lantaran muncul gugatan. Apakah haji kedua maupun seterusnya yang dilakukan memang karena Allah atau sekedar pamer diri. Bagaimana dengan orang yang memiliki harta berlimpah. Maklum, mereka itulah yang enteng naik haji saban tahun.
Dokter Buta
Mereka yang naik haji berulang-ulang alias ahlul hajj akhirnya menjadi bulan-bulanan. Mereka dianggap tak punya jiwa sosial. Kala tetangga makan tidak teratur, ia naik haji yang kedua kalinya. Saat masjid di sebelah rumahnya roboh, ia naik haji yang ketiga kalinya. Ketika anak yatim piatu butuh uluran tangan, ia naik haji yang keempat kalinya. Saat gelandangan bersama pengemis makin merajalela, ia naik haji yang kelima kalinya. Enak betul mereka berhaji ketika orang di sekelilingnya diterpa musibah serta kemiskinan.
Ahlul hajj yang dituduh tak berorientasi altruisme (cinta kemanusiaan) merupakan wacana aneh. Di sisi lain, kala muncul orang kaya menolong kaum dhuafa, mereka justru disalahkan. Insiden Pasuruan yang menelan korban 21 jiwa pada pertengahan Ramadan, sebagai contoh.
Jadi, bagaimana mungkin individu yang berulang-ulang naik haji harus bertanggung-jawab terhadap nasib buruk masyarakat di sekitarnya. Padahal, pemerintah sebenarnya berkewajiban membantu rakyat yang ditimpa petaka atau kekurangan sandang-pangan.
Orang melarat, yatim piatu, gelandangan, pengemis atau saudara sebangsa yang terkena bencana tiada lain tanggung jawab pemerintah. Para pemimpin negara yang mesti bertindak menyelamatkan rakyat. Pemerintah mutlak melindungi dan menghidupi rakyat.
Pemimpin yang tak becus mengurus negara tidak disangsikan lagi sebagai sumber kekacauan. Jangan jadi pejabat kalau hanya mau dilayani rakyat. Jangan jadi petinggi jika nihil empati terhadap derita masyarakat. Penguasa dengan level ”retardasi mental” tersebut tak ubahnya dengan hikayat dokter buta alumni Universitas Ma King Bo Dok.
Alkisah, Raja Liuk Khan Na Ga bersama pasukannya mampir di kota Bo Hong. Di wilayah itu, semua penduduknya tunanetra. Raja lalu memanggil empat dokter guna mengobati gajahnya yang sakit dalam perjalanan. Kuartet dokter buta yang belum mengenal gajah kemudian mendiagnosis.
Dokter pertama yang bernama Phu Xing meraba telinga gajah. ”Gajah ternyata pipih serta lebar. Permukaannya kasar. Ia mungkin kena bisul. Cape, dech”.
”Ya, iyalah. Gajah pasti lebar sekaligus besar”. Begitu pandangan dokter kedua yang bernama Xin Thing. Ia kebetulan mengelus perutnya. Sedangkan Sun Dong Yang, dokter ketiga yang memegang belalainya berkomentar lain.
”Kecian deh loe! Gajah sesungguhnya panjang seperti pilar. Ada kebocoran di ujungnya yang harus segera ditambal”.
Lin Lung, dokter keempat yang memilin-milin ekor gajah kontan berseru: ”Hare gene kalian bilang gajah bagai tiang? Salah! Gajah justru mirip ular. Geeto aja koq refot!”
Sikap pemerintah dalam menangani krisis di Indonesia tidak berbeda dengan empat serangkai dokter buta dari rumah sakit Chom Phan Chan Phing. Pemegang tampuk kuasa seolah tak tahu hendak berbuat apa di tengah krisis yang berkepanjangan. Pemerintah cuma tebar pesona dengan janji-janji muluk. Padahal, retorika politik tak bakal mengenyangkan perut. Kini, harapan rakyat sekedar kebutuhan pokok yang tersedia tanpa mesti antri berjam-jam.
Sejak 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamasikan, namun, negeri ini masih terjajah oleh dominasi dan eksploitasi luar. Selama 63 tahun, bangsa ini tetap miskin sekaligus tertatih-tatih di bidang sains serta teknologi. Korea Selatan sudah menciptakan komputer, tetapi, kita hanya tahu bikin kompor. Astaga, tolong...!
Internasionalisasi Mekah
Menghalangi orang naik haji berkali-kali dengan dalih tidak memiliki watak filantropi alias cinta kasih pada kemanusiaan sebetulnya alasan sembrono. Pengeritik cuma berani menuding kalangan yang mau naik haji secara sambung-menyambung. Sementara pemerintah yang harus bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, tidak berani diusik
Nabi Muhammad saja tak melarang umatnya naik haji berkali-kali. Imam Ahmad meriwayatkan titah Sang Maha Rasul bahwa haji yang pertama adalah wajib. Sedangkan yang kedua dan seterusnya tergolong sunat.
Sabda Nabi Muhammad tersebut secara terang-benderang tak melarang kaum Muslim ke Baitullah. Pemeritah Arab Saudi pun tidak menghalangi orang naik haji berkali-kali. Bila Saudi Arabia lancang melarang, maka, sebaiknya Mekah-Medinah diinternasionalisasi. Bukan hanya warga Arab yang dapat mengatur kedua Kota Mulia itu. Hamba Allah keturunan Nabi Adam dari golongan Moro, Slav, Kurdi, Xinjiang, Franka, Patani Siam atau Afro-America, layak pula mengurus Mekah-Medinah.
Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail sebagai founding fathers lembah Bakkah tak pernah mewasiatkan Mekah mutlak dikelola secara tunggal oleh bangsa Arab. Orang Bugis juga bisa! Bukan cuma Raja Fahd bin Abdul Aziz yang mesti menjadi Khadimul Haramain (pelayan dua Tanah Suci). Siapa saja yang bergolongan darah BB (Bulan Bintang), pasti rela tanpa syarat merawat Mekah-Medinah.
Pemerintah tidak pantas mencampuri urusan umat Islam kalau ada yang ingin menjadi ahlul hajj. Haji sekali seumur hidup tak laik diaplikasikan di tengah antusiasme. Segelintir ulama berprinsip bahwa the first and the last of pilgrim to hajj (pertama sekaligus terakhir dalam menunaikan haji). Sebab, berhaji lebih satu kali hukumnya bisa makruh. Ulama semacam ini wajib dipertanyakan kapasitasnsya. Dalil apa yang dipakai untuk menguatkan alibinya. Selama manusia berkesempatan, maka, naik haji selalu diperkenankan biarpun sampai seribu kali!
”Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah. Perintah tersebut ditujukan bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (Ali Imran: 97).
(Tribun Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar