Sabtu, 04 Juni 2011

Ramadatainment di Era Neo-Kapitalisme


Ramadatainment di Era Neo-Kapitalisme
(Program Televisi di Bulan Ramadan)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     Dewasa ini, neo-kapitalisme mondial sangat cerdik menerawang apa saja.  Michael Jordan yang negro, umpamanya, pernah menjadi ikon penting bisnis secara universal.  Sebab, korporasi kapitalisme lihai mengaitkan Jordan dengan merek dagang.
     Ekonomi yang bertutur perihal penataan bumi, sekarang diprogram sebagai ilmu guna mengeruk laba.  Standar keuntungan menjadi prioritas utama.  Sedangkan buruh terus diperas tenaganya demi kesuksesan pemilik modal. 
      Kapitalisme masuk ke area mana saja yang menguntungkan.  Dunia akhirnya menjadi pasar global.  Bukan cuma produk yang dijajakan, tetapi, juga modal, jasa dan teknologi.  Televisi sebagai media yang paling akrab dengan kehidupan, tak luput pula dari sepak terjangnya.
     Kini, jagat pertelevisian terus menghipnotis.  Di sisi lain, sistem kapitalisme menggelegak dalam mempengaruhi cita rasa program televisi.  Alhasil, mekanisme pasar leluasa mendikte rutinitas keseharian lewat layar kaca.
     Televisi yang menjadi negara mini para taipan, selalu mentereng dengan rupa-rupa tayangan.  Di bulan suci, misalnya, muncul program istimewa.  Kumpulan acara itu elok kiranya dinamakan “Ramadatainment”.  Istilah tersebut merupakan gabungan antara Ramadan dengan entertainment.
     Siaran unggulan biasanya menempati jam tayang utama (prime time) pada pukul 19.00-21.00.  Di bulan suci, Ramadatainment menggeser prime time ke waktu menjelang berbuka serta sahur.  Ramadatainment yang dikemas menarik oleh para pengelola stasiun televisi, dapat berupa ceramah agama yang diselingi dialog interaktif, sinetron maupun musik.  Bahkan, ada kuis yang dimeriahkan artis dengan pelawak.
     Para pengkhotbah yang tampil di Ramadatainment mutlak sosok kondang.  Deretan mubalig-mubalighah itu merupakan pilihan favorit.  Audiens pun menaruh kepercayaan tinggi terhadap para penyampai pesan-pesan agama tersebut.                                                                             
     Suasana makin meriah dengan tayangan sinetron Ramadatainment yang diperankan artis-artis idola.  Ciri khas sinetron Ramadatainment adalah mulut yang selalu mengucapkan assalamu alaikum, alhamdulillah atau astagfirullah.  Kemudian kopiah, baju koko dan kerudung yang didominasi putih, mewarnai penampilan fisik para pelakon. Kaligrafi Ayat Kursi serta Asmaul Husna tergantung gagah pula di dinding rumah. Skema yang wajib ada jelas berdoa usai salat. 
     Kesan sinetron Ramadatainment memang agamis, namun, dramatisasi konflik yang dibangun terasa bertele-tele.  Hingga, tidak realistis dan irasional.  Nuansa keagamaannya cenderung direduksi demi menvisualkan gemerlap harta serta keindahan ragawi pemain.  Hatta, penampakan lahiriah berupa simbol-simbol maupun tuturan religius, laksana kamuflase.

Tahta Tertinggi
     Alkisah, Ramadatainment merupakan puncak warisan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga.  Kala sang wali mendakwahkan Islam di Jawa, maka, media yang dipakai ialah kesenian wayang kulit (shadow play).  Sunan Kalijaga menyiarkan Islam lewat tontonan.  Karena, wayang merupakan medium yang efektif menabur informasi dan dakwah.
     Sekian generasi berganti, tetapi, panggung hiburan tak pernah mati.  Sekarang, wayang sudah langka.  Tontonan akhirnya beralih ke televisi.  Ritme hikayat tak lagi di seputar rimba, gunung, lautan serta empat penjuru angin.  Semua telah berpaling ke metropolitan, mall maupun metroseksual berkat produk zaman yang terus-menerus bermetamorfosis.  Sebab, tempora matantur et nos matamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di tengah sang kala). 
     Ramadatainment yang dipelototi jutaan umat Islam selama sebulan, merupakan pasar besar bagi kapitalis.  Paket itu menduduki singgasana tertinggi dari sepak terjang rumus neo-liberalisme.  Para pemilik modal raksasa pun menyodorkan barangnya buat dipromosikan dalam Ramadatainment.  Bulan suci menjadi era keemasan para kapitalis untuk menjual produknya.
     Syahdan, iklan lantas membuat orang kepincut.  Konsumen akhirnya membeli kendati bukan kebutuhan.  Transaksi terjadi akibat tergiur oleh reklame yang gemerlap.  Konsumen mengeluarkan uang di luar kebutuhan pokok.  Mereka tak mampu mengendalikan keinginan.  Arkian, membelanjakan duit yang bukan untuk memenuhi kebutuhan dengan nilai guna (use value).  Segalanya terjadi lantaran kaum kapitalis menginvasi Ramadatainment.  Mereka sukses mengeksploitasi penonton dengan aneka pesan-pesan komersial.  Pemirsa tak menyadari bila nilai simbolik (sign value) tersebut justru menjadikan tabungannya ludes.  Pirsawan tidak tahu kalau mereka dihisap oleh hegemoni promosi yang dikontrol korporasi raksasa. 

Ancaman Budaya
      Jean Baudrillard dalam The System of Objects bertutur jika landasan keteraturan sosial masyarakat Barat modern yakni konsumsi.  Filsuf Perancis itu melihat bila kemerdekaan sudah dipasung oleh gugusan komoditas.  Alhasil, manusia bebas menyalurkan hasrat dengan cara menikmati beragam produk konsumsi.
     Pernyataan Baudrillard ternyata seirama dengan fenomena di Indonesia.  Karena, Ramadatainment secara hakiki merupakan citra komunitas Barat.
     Ramadatainment yang dijadikan alat oleh kaum kapitalis, pada esensinya mendorong manusia menjadi makhluk hedonis.  Tayangan bernuansa teologis tersebut menjadi pasar maya seronok nan binal.  Ramadatainment ibarat institusi sukarela tempat golongan pemboros memuaskan preferensinya.  Sebab, memaksa orang tak berhenti mengkonsumsi barang dalam jumlah banyak serta terus-menerus. 
     Secara elementer, kapitalisme memang gendut dengan materi.  Formula itu selaras dengan sistem pasar bebas (neo-liberalisme) yang merasuk dalam irama kehidupan.  Dalam teori ekonomi pasar bebas, tidak ada bonum commune (kepentingan bersama).  Satu-satunya kredo yaitu keuntungan.  Akibatnya, yang diperoleh bukan kebebasan dan kemakmuran. 
     Masa depan lantas pekat lantaran yang muncul tiada lain ketimpangan aspek keseimbangan.  Apalagi, Ramadatainment menghipnotis masyarakat sampai bertekuk-lutut dengan jargon credo quia absurdumest (saya percaya karena itu absurd).  Dalam istilah religius, terjadi kemubaziran.  Sebab, orang tak sanggup membedakan yang real dengan hyperreal. 
     Ramadatainment sekilas-lintas terkesan hiburan semata.  Padahal, sisi lain suatu tontonan juga mengandung racun.  Tidak sedikit awan kegundahan serta kekeliruan yang menyemburat dari sajian Ramadatainment.  Karena, membius pemirsa dengan gaya hidup royal yang sebetulnya tidak Islami.
     Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kontemporer ikut cemas terhadap suatu tayangan.  Ia menilai kalau televisi merupakan ancaman serius bagi kebudayaan, politik dan demokrasi. 
Banyak pirsawan yang tidak menyadari statistik di balik gemerlap Ramadatainment.  Mereka hanya tahu jika bulan suci sarat fragmen religius.  Dengan demikian, perpaduan antara kapitalis dengan pemirsa senantiasa membuat program Ramadatainment gegap-gempita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People