Jumat, 08 Maret 2024

Merintis Pers Kampus


Merintis Pers Kampus
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ketika memposting Pengaruh Media Olahraga di Facebook pada awal Maret 2024, Saidin Mansyur menanggapinya dengan sebuah komentar.  Dari informasi Waspada Santing, ia menganggap bahwa saya memulai karier di pers kampus.
     Komentar Saidin membawaku berfantasi.  Saya agak bingung kalau disebut bermula dari pers kampus.  Sebab, di Pesantren IMMIM saya mengelola majalah dinding Superpower.  Boleh jadi saya tertarik dengan jurnalistik sejak di SMA alias pers putih abu.
     Saat tercatat sebagai mahasiswa, di Fakultas Adab UIN Alauddin, ada Shaut al-Adab.  Buletin ini diterbitkan senat Adab.  Nurzaman Razaq bersama Isra Mattugengkeng merupakan redaktur yang juga alumni IMMIM.  Saya lalu mencoba menulis di buletin ini.
     Saya tidak puas hanya menulis di Shaut al-Adab.  Apalagi, artistik buletin itu kurang dinamis.  Dalam benak saya yang dijejali model Vista, Variasi, Video, Ria Film, Team serta Hai, terlihat jika Shaut al-Adab kurang elegan.
     Ketika Nurzaman terpilih ketua senat Adab, saya menyampaikan ingin membuat buletin tersendiri.  Nurzaman setuju.  Hingga, terbit Voice of Adab.
     Pada 1988, UIN Alauddin menerbitkan surat kabar kampus Washilah.  Saya bergabung sebagai reporter.
     Di Washilah, saya bersahabat dengan Ahmad Ibrahim.  Kami berdua termasuk anak buah Laode Arumahi, wartawan Pedoman Rakyat.  Pasalnya, acap memberinya berita-berita yang luput dari jangkauan jurnalis.
     Ahmad Ibrahim merupakan mahasiswa penulis.  Kami seangkatan pula di pers dengan Muhammad Syahrial Ashaf, mahasiswa UVRI.
     Artikel-artikel Ahmad Ibrahim cenderung religius-sufistik.  Pemaparannya dalam dengan analisis akurat.  Dibanding mahasiswa penulis lain, saya termasuk gentar dengan sepak-terjang Ahmad Ibrahim.  Musababnya, ia luwes menulis agama.  Bukan cuma mahir mengolah kata perihal kemahasiswaan atau problem dunia.  Hingga, saya memandangnya sebagai saingan terberat.
     Di Washilah, saya dengan Ahmad Ibrahim acap bersua.  Kalau bercanda, ia melontarkan sumpah serapah "anak songkolo".  Ini eufemisme "anak s...d...l...".
     Awak Washilah pernah terpingkal-pingkal.  Semua gara-gara cerita Arsyad.  Di suatu pagi sekitar jam delapan, Arsyad bersama Arumahi mendatangi rumah seorang redaktur Washilah yang baru tiga hari menikah.
     Keduanya tercenung.  Rumah yang dikunjungi sepi bak kuburan.  Penghuni yang dipanggil tidak menyahut.  Arumahi kemudian bertanya ke abang becak yang berpangkalan tidak jauh dari situ.  Menurut abang becak, ada orang di dalam rumah karena sejak tadi belum ada yang keluar.
     Arumahi bergegas ke rumah bersangkutan lantas berteriak: "Cabut dulu!  Sudah siang!  Cabut dulu!"
     Abang becak yang mendengar teriakan Arumahi kontan terbahak-bahak.  Tetangga lain seolah usil menengok.
     Tidak berselang lama, yang dipanggil muncul dari dalam rumah.  Ia mengucek-ucek matanya seolah baru bangun tidur.  Dugaan Arumahi benar.  Ia baru saja mencabutnya!

Lektura
     Di Fakultas Sastra Unhas pada pertengahan 1990, terpilih Andi Ilham Paulangi sebagai ketua senat.  Ia menempatkanku sebagai pengurus di seksi humas.
     Ilham rupanya ingin menggebrak kevakuman pers mahasiswa.  Unhas tidak punya penerbitan yang dikelola mahasiswa di fakultas.  Surat kabar kampus Identitas dianggap terlalu elite.
     Di suatu hari, Ilham memanggilku.  Mengeluarkan unek-unek tentang hasrat menerbitkan tabloid.  Di masa itu, Fakultas Sastra punya stok mahasiswa penulis,  Mereka antara lain Mustam Arif, Syahrul Hadi, Nasru Alam Aziz, Taufik AASP dan Muchlis Amans Hadi.
     Kami pun sepakat menerbitkan LekturaLektura bukan barang baru.  Maklum, dulu ditangani Prof Dr Mattulada.  Setelah era Mattulada, Lektura diasuh oleh Dahlan Abu Bakar.
     Ilham kembali memanggilku.  Soalnya, saya berkeras bahwa Lektura harus berbentuk majalah.  Saya tidak mau bila berformat tabloid.  Alasannya, majalah lebih awet.  Berbeda dengan tabloid yang lembarannya terlepas, mudah tercecer.  Hingga, gampang jadi alas duduk atau pembungkus kacang goreng.
     Gagasan lain saya di Lektura ialah menginginkan kepala kanwil Departemen Penerangan untuk menulis di edisi perdana Lektura.  Saya tidak pernah memberi tahu rekan-rekan alasan sesungguhnya mengapa kepala Deppen wajib menulis di Lektura.
     Saya bersama Nasru Alam Aziz dan Rahmawaty Syukur lantas ke kantor Deppen.  Kami pun dijanjikan tulisan.
     Ketika Lektura terbit pada Juni 1990, semua terpana.  Tampilan Lektura sangat profesional.  Lektura pun mendadak menjadi perbincangan di antara aktivis pers mahasiswa.
     Tidak sampai satu bulan setelah kemunculan Lektura, terbit sejumlah tabloid di beberapa fakultas di Unhas.  Kami pengasuh Lektura terus menerjang dengan tulisan-tulisan menyengat.  Akibatnya, Lektura tamat secara mengenaskan.  Ini lantaran Lektura punya banyak kesalahan fatal.  Sebagai umpama, menyerang Orde Baru, melabrak kampus lain dan Lektura diperjualbelikan secara umum di kios-kios.
     Pemberedelan Lektura diungkap dalam sebuah konferensi pers.  Seorang wartawan Pedoman Rakyat bertanya tentang pemberangusan Lektura.  Ia heran karena Lektura selama ini tidak terdeteksi oleh Deppen.  Selain itu, Lektura dinilai resmi.  Buktinya, di edisi pertama Lektura, ada tulisan kepala Deppen.  Artinya, selama ini Lektura disetujui keberadaannya oleh Deppen.
     Lektura boleh tamat.  Kami para pengasuhnya tetap eksis di dunia jurnalistik.  Kami terus bergairah menulis agar sejarah mengenang kami, mengenang pers kampus Indonesia.


Sabtu, 24 Februari 2024

Pengaruh Media Olahraga


Pengaruh Media Olahraga
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1988, artikelku dimuat pertama kali di harian Pedoman Rakyat.  Ketika Fajar muncul, saya pun acap menulis di harian tersebut.
     Saya membatin, namaku hanya populer pada tingkat lokal jika menulis di harian daerah.  Saya pun eksodus dengan mengirim komentar di Tempo dan Panji Masyarakat.  Dua majalah nasional inilah yang akhirnya membuatku makin beringas menulis.
     Saya punya modal menyulam kata berkat berlangganan banyak majalah, tabloid serta harian.  Saat mahasiswa, saya berlangganan 14 harian, 20 tabloid serta 20 majalah.
     Informasi yang berderet, membuatku enteng menulis apa saja.  Saya pernah menulis tentang masalah bidan yang dimuat di harian lokal.  Bahkan, berkali-kali menulis masalah ekonomi.  Padahal, saya bukan bidan, bukan ekonom.  Saya cuma pernah kuliah di Fakultas Sastra Unhas.
     Selama 10 tahun setelah tamat SMA, saya juga berlangganan aneka media olahraga.  Mulai dari majalah Sportif, tabloid Bola, Tribun, Kompetisi, GO serta Soccer.  Tiap hari menyimak berita-berita olahraga, ternyata mempengaruhiku menulis sepak bola.  Saya pun berulang kali menulis sepak bola di harian lokal.  Padahal, saya tidak tahu main bola.  Saya cuma menggeluti karate dan berenang.
     Pemaparan mengenai linimasa kepenulisan saya di media cetak, menunjukkan bahwa bacaan mempengaruhi pikiran.  Apa yang dibaca, niscaya menetas dalam bentuk gagasan.  Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa bacaan mempengaruhi pola pikir.
     Ketika membaca, saya tidak melahap semua segmen berita di media cetak.  Saya pilih tulisan terpercaya.
     Bagaimana mengetahui artikel itu bagus atau tidak kalau nama penulis atau wartawan cuma inisial?  Saya baca kalimat awal sampai satu alinea.  Bila kekuatan bahasanya baik dan benar, saya lanjut menyimaknya.  Jika kalimatnya lemah, saya pindah ke rubrik lain.
     Saya menghindari artikel yang tidak berbobot.  Tidak bernafsu membacanya karena hanya membuang waktu.  Saya mengandalkan naluri pers yang dimiliki untuk mengendus artikel-artikel cantik.  Musababnya, tulisan yang enak dibaca dan perlu, bakal memacu menghasilkan artikel indah.


Kamis, 15 Februari 2024

Quick Count vs Real Count


Quick Count vs Real Count
Oleh Abdul Haris Booegies


     Quick count alias hitung cepat tidak menggambarkan angka sesungguhnya.  Di situ ada kepentingan, termasuk merusak konsentrasi.  Walau quick count bukan hasil final, tetapi, patut diwaspadai.
     Sebenarnya bukan quick count yang harus dipelototi dari menit ke menit, namun, orang yang berkepentingan memenangkan jagoannya secara kotor.  Sebab, pemain curang yang berada di balik quick count, pasti mampu menjegal angka hakiki di real count.  Jangan terbuai bahwa real count itu valid dengan asas clear and clean.  Data hasil C1 di TPS dari Sabang sampai Merauke terverifikasi.
     Perlu diingat bahwa, dengan mata telanjang saja, ada sogok-menyogok demi merampas suara.  Apalagi, kalau tersembunyi.  Sebagai umpama, penyelenggara Pemilu.  Siapa bisa menjamin bahwa instrumen yang melaksanakan maupun mengawas berlaku "adil dan beradab".  Soalnya, di belakang penyelenggara serta pengawas ada kekuatan dari kekuasaan.  Hingga, mampu mendesak secara paksa untuk menggelembungkan suara satu kandidat.
     Jangan lupa bahwa ada paslon yang maju di Pemilu 2024 ini dengan cara menabrak konstitusi.  Kalau undang-undang yang disaksikan banyak orang saja leluasa diterabas, bagaimana mungkin pelaksana atau pengawas Pemilu bisa dipercaya.
     Kita sekarang cuma bisa melongo bahwa hasil quick count menampilkan presiden dan wakil presiden yang kurang layak memimpin Indonesia sampai 2029.  Ini sama kurang layaknya dengan rakyat yang bodoh sekaligus rela diinjak-injak penguasa, tanpa sanggup melawan!


Mengapa Anies Baswedan?


Mengapa Anies Baswedan?
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1987, saya pertama kali mencoblos.  Saya pilih PPP ketimbang Golkar atau PDI.  Ketika mengasuh majalah LEKTURA Unhas, semua redaktur sepakat dengan nyali menyala-nyala untuk menyerang Orde Baru dengan menurunkan laporan utama tentang golput.  Ini berkaitan Pemilu 1992.  Golput merupakan isu sensitif di era Soeharto.  Siapa nekat, bisa semaput.
     Kami beruntung tidak ditangkap sekalipun LEKTURA membuat banyak pihak marah.  Kami cuma apes gara-gara LEKTURA diberedel oleh Deppen.  Pemberedelan ini membuat LEKTURA masuk sejarah sebagai satu-satunya pers mahasiswa di Indonesia Timur yang diberangus oleh Orde Baru.  Selepas menangani LEKTURA, saya bersumpah untuk golput sampai mati.
    Mengapa sekarang saya mendukung Anies Baswedan?  Ini bermula saat ia dihajar habis-habisan oleh buzzer jahanam.  Apa pun kebijakan Anies sebagai Gubernur DKI, pasti diserang oleh buzzer laknat.  Saya pikir, Anies orang baik.  Harus didukung walau saya tetap golput.  Jangan biarkan Anies seorang diri.  Jangan biarkan ia diperlakukan semena-mena kala kita mampu mengulurkan tangan.  Anies wajib disuarakan untuk memperlihatkan keberpihakan pada kebaikan.
     Suara keluarga, tetangga, sahabat maupun relasi, memang cuma satu di TPS, tetapi, itu bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.  Kalau pun nanti Anies kalah, kita sudah menunjukkan pilihan bahwa suara kami berpihak pada perubahan.  Tak perlu kecewa jika Anies kalah.  Ingat ucapan Anies; "kalau saya kalah, berarti Allah menyelamatkanku".
     Hasbunallah wa ni'mal wakil.  Ni'mal mawlaa wa ni'man-nashir.  Cukuplah bagi kami, Allah.  Sebaik-baik pelindung.  Sebaik-baik penolong (Ali Imran: 173 dan al-Anfal: 80).


Senin, 08 Januari 2024

Surga Menantimu

 

Surga Menantimu
Oleh Abdul Haris Booegies


     "Semua yang bernyawa pasti mati" (Ali Imran: 185).
     Kematian tidak pandang bulu.  Raja-budak, tajir-fakir, pintar-bodoh, tua-muda, pria-wanita, akan dikejar maut.  "Di mana pun kau berada.  Kematian akan mencapaimu, sekalipun bersembunyi di benteng tinggi serta kokoh (an-Nisa: 78).
     Kala terdengar kematian, niscaya keluarga, sahabat maupun tetangga saling berdoa.  "Sungguh, kita milik Allah,  Kepada Allah kita kembali.  Ya Allah, catatlah ia di sisiMu sebagai golongan insan yang baik".
     "Semoga Allah menempatkan di tempat terbaik".
     "Semoga ia ditempatkan di Surga.  Amin".
     "Semoga Allah meluaskan kuburnya seraya menerangi dengan berkah".
     "Ya Allah, hindarkanlah ia dari azab kubur. Perkenankanlah ia kelak menghuni SurgaMu".
     "Semoga husnul khatimah (akhir yang baik)".
     "Saya bersaksi, ia merupakan orang baik.  Semoga diberi tempat terbaik".
     Dalam Hadis diinformasikan bahwa Anas bin Malik berkabar.  Sekelompok orang mengusung jenazah.  Mereka menyanjung dengan kemuliaan.  Rasulullah bersabda; "wajabat".
     Tiada berselang lama, lewat orang menandu jenazah.  Mereka mencela dengan kejelekan.  Maharasul Muhammad bersabda; "wajabat".
     Umar bin Khathab bertanya.  "Apa yang wajib, ya Rasulullah?"
     Maharasul Muhammad menjawab.  "Jenazah yang kalian puji dengan kebaikan, wajib baginya Surga.  Orang yang kalian kecam dengan keburukan, wajib baginya Neraka.  Kalian adalah saksi Allah di muka Bumi".
     Dari banyak senandung wirid untuk mayat, ada yang paling bombastis.  "Tetaplah kuat atas kepergiannya.  Jangan bersedih karena ia sudah mendapat tempat terbaik".  Tempat terbaik di penggalan doa ini pasti Surga.  Bahkan, ada yang bermunajat; "Surga menantimu".
     Doa berbunyi "Surga menantimu", rasanya terlalu berlebihan.  Seolah yang mengucapkan sudah tahu 100 persen kalau mayat bersangkutan masuk Surga.
     Di suatu hari, kota Medinah berduka.  Seorang sahabat wafat.  Usai pemakaman, tampil seorang kerabat.  Ia tergolong paling alim di Medinah dalam menjalankan ibadah leluhurnya.  Orang ini bukan Muslim.
     Ia bertutur bahwa keluarganya yang kini dikuburkan telah berada di Surga.  Maharasul Muhammad yang hadir di pemakaman, spontan kaget.
     Rasulullah bertanya, dari mana tahu ia sekarang ada di Surga?  Siapa yang memberi tahumu?
     Dalam perkara gaib, tidak seorang pun dapat memperoleh data kecuali Rasulullah.  Sekarang ada non-Muslim berceloteh jika orang mati ini ada di Surga.  Dari mana sumber beritanya?  Mustahil Jibril datang tanpa sepengetahuan Rasulullah.  Maharasul Muhammad satu-satunya akses untuk memperoleh kabar dari langit.
     Bila ada manusia di era ultramutakhir ini berceloteh bahwa "Surga menantimu", maka, patut dipertanyakan sumbernya.  Bagaimana bisa ia tahu Surga sudah menantikan rekan atau familinya yang meninggal.


Amazing People