Jumat, 22 Mei 2020

Menggugat Filosofi IMMIM



Menggugat Filosofi IMMIM
(Bersatu dalam aqidah toleransi dalam furu'iyah dan khilafiah)
 

Oleh Abdul Haris Booegies & Daswar M Rewo
 

     Ketika Merangkai Iman Umat terpublikasi di Rakyat Sulsel, saya bersama Daswar M Rewo mendeteksi ada sinyal gugatan.  Fokusnya ialah mempertanyakan motto: "bersatu dalam aqidah, toleransi dalam furu'iyah dan khilafiah".
     Ada dua gugatan yang mengemuka.  Pertama, siapa pemilik ide filosofi IMMIM, individual atau kolektif.  Kedua, masih selaraskah motto tersebut di era ultra-mutakhir ini.
     Sebulan setelah Haji Fadeli Luran wafat, Ahmad Fathanah mengeluarkan dekrit.  Ia menugaskan saya membuat profil, semacam biografi almarhum ayahanda.  Di samping biografi, Ahmad Fathanah berhasrat pula menerbitkan buku perihal pikiran-pikiran Fadeli Luran.  Sumbernya dari buku yang ditulis tangan oleh Fadeli Luran.
     Di suatu kesempatan. saya bersama empat rekan IAPIM dipanggil Ahmad Fathanah.  Entah bagaimana, hanya saya yang hadir malam itu di lantai dua Apotek Rahmah.  Jadi cuma saya yang pernah sekilas melihat buku kuno tersebut.
     Saya mengusulkan tiap satu ide di buku itu, nanti diulas lewat artikel oleh cendekiawan Muslim.  Ahmad Fathanah setuju sembari mempertontonkan buku tersebut.  Kitab antik itu sudah kusam serta kertasnya menguning.  Ada lembarannya yang robek dan terlepas.
     Buku tulis tebal bersampul keras tersebut saya tidak sentuh.  Sebab, di momen itu saya menilai bukan tugasku terlibat dalam penerbitan buku ini kelak.  Ini jatah panitia khusus yang sekarang tak hadir.  Saya rampungkan biografi, panitia khusus tuntaskan buku berisi pikiran-pikiran sang legenda Fadeli Luran.
     Saya bersama Daswar lalu melakukan wawancara.  Dimulai dari M Bahar Mattalioe, Haji Lapangka, HM Dg Patompo, M Akbar Syamsuddin serta A Hamid Aly.
    Fokus wawancara tidak ada.  Sekedar main seruduk seperti saat saya ditugaskan Majalah LEKTURA ketika masih college boy (anak kuliahan).  Selain itu, juga bermodal nekat.  Saya menanggung transportasi.  Sedangkan Daswar menyiapkan akomodasi.
     Ketiadaan konsep saat wawancara membuat saya luput menanyakan filosofi IMMIM ke narasumber, khususnya Patompo.  Apalagi, Daswar terlena dengan hikayat heroik yang diceritakan narasumber secara berapi-api.

Konsep Berbeda
     Ketika Merangkai Iman Umat terpublikasi di Facebook, ada selentingan isu kalau motto IMMIM dihembuskan oleh Buya Hamka ke Fadeli Luran.  Boleh jadi.  Pasalnya, Hamka menganggap Fadeli Luran sebagai anak.
     Hamka tentu paham psikologis umat.  Apalagi, Sulawesi Selatan baru satu dekade lepas dari pergolakan yang penuh percik darah.  Dua peristiwa besar kala itu dimotori oleh Abdul Kahar Muzakkar dan Andi Abdul Azis.
     Dua Abdul ini senantiasa tergiang di telinga sampai kini.  Keduanya bak George Washington di Amerika Serikat, Napoleon Bonaparte di Perancis maupun Yasser Arafat di Palestina.
     Kelahiran IMMIM dipicu oleh kegelisahan Fadeli Luran yang melihat umat tak seragam mengaplikasikan fikih (hukum Islam).  Fadeli Luran khawatir ini bisa menimbukan kerugian yang memantik bahaya.
     IMMIM dibentuk agar umat terhindar dari perpecahan.  Indikasi negatif menganga bila Islam terbelah dalam beberapa kelompok.  IMMIM diniatkan sebagai penengah.  Organisasi non-politik ini dirancang guna menjembatani perbedaan supaya terjalin silaturrahmi demi menjaga ukhuwah.  Ini memaparkan bahwa filosofi IMMIM berambisi menengahi pertentangan konsep antar-golongan.
     Motto IMMIM yang elok didiskusikan yakni "toleransi dalam furu'iyah serta khilafiah".  Sebab, tidak ada kerumitan mengenai "bersatu dalam akidah".  Akidah tak patut ditawar karena telah final sebagai prinsip Islam.
     Dari segi etimologi, furu'iyah berarti perbedaan.  Aksentuasinya, perbedaan pemahaman yang dapat mengobarkan perpecahan.
     Perbedaan terkandung pula dalam khilafiah dengan skala renik.  Ini terjadi lantaran tidak ada dalil khusus.  Perdebatan membahana karena sebagian ulama mempertanyakan status hukum suatu masalah.  Contoh khilafiah yaitu Maulid Nabi, jumlah rakaat tarawih, kunut (doa khusus), tahlilan dan ziarah kubur sembari baca Yasin.

Jahr-Sirr
     Pada tahun 2000, saya pindah masjid.  Pasalnya, terjadi kegaduhan tentang tata cara pembacaan basmalah saat shalat.  Satu kelompok menginginkan basmalah dikeraskan (jahr).  Golongan kedua berteguh agar bersuara pelan (sirr).
     Saya berada di kafilah kedua.  Tatkala naik haji, saya tak mendengar lafal basmalah Syekh Abdul Rahman as-Sudais.  Di buku-buku juga diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak mengeraskan lafaz basmalah.
     20 tahun kemudian, saya pindah rumah seraya pindah masjid.  Marbot sempat mempertanyakan lafal basmalah yang tak dikeraskan.  Saya langsung merasa bahwa ia tidak memperkenankan lagi saya imam.  Saya akhirnya cari lagi masjid.  Di samping sirr, usai memimpin shalat, saya tak mau berjabat tangan dengan makmum.  Saya tidak pernah menemukan teks yang menerangkan Maharasul Muhammad berjabat tangan dengan jemaah usai shalat.
     Pro-kontra basmalah begitu tajam serta berlarut-larut.  Tak ada otokritik jemaah demi meningkatkan nilai epistemik secara faktual dan empiris.  Tidak diketahui pasti apakah ini mirip dengan pendukung Donald Trump.  Seperti dilansir banyak media, mayoritas pendukung Trump ketika Pemilu 2016, berasal dari tingkat pendidikan rendah.  Grup anti-rasional kerap takabur dengan ilmu yang minus.  Ini sejalan dengan ungkapan David Dunning bahwa mereka gagal memahami kejanggalan sebagai kesalahan.
     Kemajuan sains serta teknologi sesungguhnya memudahkan sengketa jahr-sirr diselesaikan.  Membuncah informasi yang mengarah ke Ali bin Abi Thalib.  Narasi menukilkan bahwa Ali bin Abi Thalib memilih sirr dalam perkara basmalah.  Ali bin Thalib pasti meniru cara baca Rasulullah.  Sebab, ia diasuh sejak kecil dan menantu sang Nabi.  Ali bin Abi Thalib malahan tertoreh sebagai orang terbaik keempat di dunia Islam.
     Kemelut jahr-sirr menegaskan bahwa ada misinformed (salah informasi).  Ini akibat wadah menimba ilmu bukan figur yang berkompeten.  Ustaz poorly informed (kurang informasi) pasti melahirkan santri idiotlogi.
     Ini belum seberapa.  Ada yang belajar di Internet lantas merasa diri memahami seluruh persoalan.  Ia berkeras tuturannya berhak didengar publik.  Mendesakkan petisi supaya dikeluarkan fatwa.  Ia seolah lebih hebat dibandingkan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i atau Imam Hambali.  Inilah yang disebut oleh Tom Nichols sebagai "the death of expertise", matinya kepakaran gara-gara segelintir idiot yang merasa pintar.

Zaman Nabi
     Saya menilai filosofi IMMIM merupakan proses santrinisasi masyarakat ultra-mutakhir yang berkarakter saintifik-industrial.  Fadeli Luran melakukan vaksinasi berupa intensifikasi kultur religius terhadap kaum Muslim.  Proses ini bakal terus berlangsung selama interpretasi fikih tak kembali ke khittah, karakteristik khas ajaran langit ketujuh.
     Di era nabi, segala perbedaan cepat teratasi berkat Rasulullah.  Perbedaan tidak destruktif di kalangan umat.  Pihak yang bertikai bisa didamaikan atas dasar kepuasan bersama.  Hingga, aneka perbedaan tak mengakibatkan perkembangan terhambat (blocked).
     Kini, perbedaan justru gampang meruncing.  Bahkan, berujung untuk saling memusnahkan.
     Jika motto IMMIM sudah tidak dibutuhkan, berarti tak ada lagi sengketa furu'iyah serta khilafiah.  Semua seragam demi menggapai kualitas ibadah secara gigantik.  Dan itulah cita-cita luhur Fadeli Luran, "dunia tanpa furu'iyah serta khilafiah".


Sumber
Rakyat Sulsel Jumat, 22 Mei 2020
Rakyat Sulsel Sabtu, 23 Mei 2020




Amazing People