Kamis, 28 Juli 2022

Merumuskan Kembali Ulama Intelek


Merumuskan Kembali Ulama Intelek
Oleh Abdul Haris Booegies


     Saya pertama kali mendengar istilah "ulama intelek dan intelek ulama" pada pertengahan 1980.  Kala itu, saya berstatus santri baru Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Bakda Magrib, seluruh santri baru serta lama yang berjumlah sekitar 400, penuh takzim mendengar petuah Haji Fadeli Luran, pendiri pesantren.
     "Anakda akan menjadi ulama intelek atau intelek ulama yang bertebar di mana-mana?"  Ulama intelek lantas menjadi slogan ikonis santriwan-santriwati Pesantren IMMIM.
     Moto ini sesungguhnya sudah membahana di Pondok Modern Darussalam Gontor.  KH Imam Zarkasyi sering memotivasi santrinya dengan ungkapan: "Jadilah ulama intelek, bukan intelek yang tahu agama".  Pesantren Gontor didirikan pada 1926.  Sedangkan Pesantren IMMIM dibangun pada 1975.
     Dalam imajinasi saya pada 1980, ulama intelek adalah kiai saintis.  Tidak sekedar fasih tentang kitab-kitab klasik, tetapi, paham sains dan teknologi.
     Bertahun-tahun kemudian, ada kegelisahan membuncah mengenai istilah ulama intelek.  Jargon yang dipopulerkan Fadeli Luran tersebut terasa repot digapai.  Terlalu sempurna sebagai cita-cita.
     Di tarikh 2022 ini setelah Pesantren IMMIM menamatkan 41 angkatan, belum tampak ulama intelek.  Dewasa ini, alumni Pesantren IMMIM berjumlah sekitar 5.000.  Dari jumlah itu, hampir 10 berstatus profesor.  Sementara doktor mulai mendekati angka 50.  Sebagian alumni berkarier di militer, kepolisian serta bisnis.
     Apa sebenarnya kendala untuk mencapai predikat ulama intelek?  Proses apa yang belum berjalan maksimal?  Apakah alumni tak tertarik menjadi kiai atau semboyan ulama intelek terlalu bombastis.  Bahkan, terkesan hiperbolis.  Hatta, ide abnormal ini mengambang di awang-awang.  Entah dapat terwujud atau tidak.  Ini gara-gara metodenya tak tertebak.

Otak Super
     Dalam al-Qur'an, tersua istilah ulil albab di 16 ayat.  Uluu atau ulii berarti pemilik.  Sedangkan al-albab ialah daya pikir.  Morfem al-albab merupakan bentuk jamak dari lubb dengan makna "sebuah bagian esensial".  Hingga, ulil albab identik sebagai individu genius.  Sebab, otaknya bersusun-susun.  Dalam rutinitas keseharian, ulil albab sebagai pemilik otak super hidup dalam aktivitas pikir dan zikir.
     Dalam bahasa Perancis, ulil albab dinamakan doués d’intelligence yang berarti "diberkahi dengan kecerdasan".  Sementara dalam bahasa Denmark, konsep ini disebut for de forstandige yang bermakna "orang bijak".
     Dalam al-Qur'an, tertera ayat ulil albab yang begitu indah.
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
     "Pada penciptaan langit serta bumi.  Pertukaran malam dengan siang.  Terhampar aneka tanda kekuasaan Allah bagi insan cerdas nan bijak" (Al Imran: 190).

Komunikasi Transendental
     "Ulama intelek" yang menjadi frasa legendaris di Pesantren IMMIM, senyawa dengan ulil albab.  Ulama intelek dan ulil albab paralel dengan manusia yang berpikir serta berzikir.
     Pada penerapannya dalam karier, status ulama intelek ruwet diraih.  Musababnya, slogan ini menggunakan kata "ulama" dan "intelek".  Ulama merupakan figur alim pewaris para nabi.  Sedangkan intelek tiada lain cendekiawan penyebar temuan-temuan mutakhir.  Memadukan dua morfem ini dalam satu sosok manusia seolah sebuah keganjilan.  Sebagai umpama, bagaimana jadinya jika Cristiano Ronaldo diwartakan sebagai pesepak bola pelukis.  Di samping jago menggocek bola di lapangan hijau, ia juga mahir memainkan kuas di atas kanvas.  Ini muskil, namun, tidak mustahil.  Hal serupa terjadi pada ulama intelek.
     Idealnya moto diubah agar elok.  Bukan ulama intelek, tetapi, profesional religius.  Pemakaian kata "profesional" lebih bebas, tanpa beban sekaligus mencakup segala profesi lulusan Pesantren IMMIM.  Ini tendensi ungkapan yang bernuansa lembut, jitu pula.  Pasalnya, tak semua alumni mengabdi di dunia ilmiah.  Ada yang menjadi tentara, polisi, aparatur sipil negara, pegawai swasta, jurnalis, pedagang, peternak maupun pelakon seni.
     Segenap tamatan Pesantren IMMIM pasti menggeluti profesi secara profesional sebagai wujud tanggung jawab.  Dalam menjalankan amanah, alumni punya pilar ilmu serta iman.  Alhasil, dalam meniti profesi, mereka mampu menyeimbangkan antara karier dengan ibadah.  Alumni andal berkomitmen saat berkarya sembari berkomunikasi transendental ke Arasy Rahman berkat dilandasi identitas sebagai profesional religius.


Senin, 25 Juli 2022

Mosaik Tahusakamal


Mosaik Tahusakamal
Oleh Abdul Haris Booegies


     Siang pada Senin, 25 Juli 2022, saya bersua dengan Fuad Azuz di Monumen Emmy Saelan, Makassar.  Ini reuni pribadi setelah terpisah sejak 1994.  Fuad memberiku Berwisata ke Dalam Jiwa, kitab karya perdananya.
     Membaca buku ini, memperlihatkan sosok Fuad yang supel berinteraksi dengan tokoh-tokoh dan tetua Tahusakamal.  Karakter luwes Fuad sudah terlihat sejak di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Di pondok, ia lugas bergaul dengan santri sabar maupun nakal.  Fuad termaktub santri terkemuka sejak kelas satu berkat kecerdasan sekaligus ketaatan.
     Fuad tak putus untuk berproses selepas dari pesantren.  Dalam buku ini, ia memamerkan keandalannya memproses 26 huruf untuk menjadi tulisan bernas.  Sejumlah tulisan bersimpul erat dengan tradisionalisme.  Hingga, membaca kitab ini seolah kita discover the new in the old.  Frasa Inggris ini terbaca di halaman 162.
     Berwisata ke Dalam Jiwa merupakan mosaik Tahusakamal.  Bila seseorang berkehendak mengetahui taman bunga kota, tentu harus masuk ke area taman.  Bukan memandangnya di pinggir jalan atau puncak gedung.  Ihwal serupa terjadi pada Tahusakamal.  Jika ingin merasakan atmosfir Tahusakamal, maka, Berwisata ke Dalam Jiwa merupakan pemandu.  Buku setebal 173 halaman ini menjadi solusi untuk menyimak sepetak demi sepetak Tahusakamal.  33 tulisan ringan di kitab ini gurih dicerna bagai menikmati teh hangat dengan pisang goreng.


Rabu, 20 Juli 2022

Santri Bolos


Santri Bolos
Oleh Abdul Haris Booegies


     "Bolos terkadang perlu untuk mewarnai hidup agar bergairah" (Abdul Haris Booegies).
     Alkisah di suatu pagi di ruang kelas II Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Kalender akademik menunjukkan tahun ajaran 1981/1982.  Ustaz Laode Mangasa tengah menerangkan pelajaran administrasi.
     Seorang santri kemudian meminta izin untuk ke toilet.  Dalam hitungan detik, santri lain menyusul ke peturasan.  Tidak berselang lama, ada lagi yang meminta izin.  Begitu seterusnya sampai kelas nyaris kosong.
     Ustaz Mangasa cuma bingung bin bengong.  Ia berdiri dekat bangku depan dengan wajah kikuk.  Tak diduga, santri pergi kencing berjamaah.
     Sebagian santri kembali ke kelas.  Lainnya ke kantin, memilih bolos.  Di ruang kelas, santri yang dari WC terlihat lega berkat selesai buang air kecil.  Ustaz Mangasa lantas memulai pelajaran dengan kalimat;  "sudah semua kencing?"
     Sewaktu kuliah pada 1990, saya menonton Dead Poets Society.  Film drama berdurasi 128 menit ini, diproduksi pada 1989.
     Hikayat bergulir seputar sepak-terjang John Keating (Robin Williams).  Guru eksentrik tersebut mengajar Sastra Inggris di Wellton Academy pada era 50-an.  Sekolah elite khusus putra yang setingkat Aliyah Pesantren IMMIM ini, menganut semboyan "tradisi, kehormatan, disiplin serta prestasi".
     Konsep mengajar Keating tergolong unik.  Misalnya, meninggalkan ruang kelas menuju taman.  Di bawah naungan pohon, mereka belajar.  Siswa pun terinspirasi dengan gaya pembelajaran ala Keating.  Apalagi, sang guru mengarahkan mereka berpikir bebas perihal apa saja, freethinkers.  Keating memperkenalkan pula istilah carpe diem yang bermakna "rebutlah kesempatan".

Merokok
     "Kenangan yang tergiang tentang sekolah adalah saat bolos" (Abdul Haris Booegies).
     Dari luar tembok Pesantren IMMIM, khalayak menyangka santri ditempa belajar bagai robot.  Kurikulumnya pasti mengeja kata per kata dalam aksara Hijaiyah.  Menghafal nama-nama nabi dan rasul.  Menghafal surah-surah pendek persis anak TPA (Taman Pendidikan al-Qur'an).
     Santri Pesantren IMMIM, sesungguhnya tidak berbeda dengan pelajar di sekolah lain.  Ada nafsu serta cinta.  Sebab, "santri juga manusia".
     Dalam proses belajar-mengajar, terkadang santri merasa terdorong untuk jeda sejenak dengan cara bolos.  Tujuan mereka ke kamar untuk berbaring-baring, main gitar, mendengar radio atau merokok.
     Di Pesantren IMMIM, membawa radio dan merokok termaktub pelanggaran berat.  Walau ada aturan, namun, santri tak kapok membawa radio.  Sejak kelas II sampai VI, saya punya radio mini.  Bahkan, membawa radio tape recorder sebesar bantal balita.
     "Saya berkali-kali bolos dari kelas.  Bolos pertama pelajaran Matematika kala kelas I.  Saya bersama penghuni asrama Ayatollah Khomeini.  Di bilik rumah panggung yang terbuat dari papan itu, kami merokok merek Djarum", tutur Mutalib Besan dari Angkatan 8086.
     "Saya jarang bolos.  Mulai bolos ketika kelas V serta VI.  Saya bolos terkadang sendiri atau dengan beberapa sahabat.  Pelajaran yang membuat bolos yaitu Matematika dan Kimia.  Biasa pula tidak diizinkan masuk kelas gara-gara terlambat", ungkap Subhan Hasibu, Armada 8389.
     "Saya pernah bolos saat pelajaran Matematika serta Bahasa Indonesia.  Kalau ketahuan alpa, nama diumumkan di masjid bakda Zhuhur, bukan Isya seperti dulu.  Pelanggar lalu dihukum dengan membersihkan dapur atau ruang kelas selama sepekan", urai Ahmad Fauzi, Divisi 1622.
     Fauzi merupakan Generasi Zamrud Pesantren IMMIM yang tamat di Kampus II Moncongloe.  Klasifikasi angkatan di Pesantren IMMIM terbagi empat.  Generasi Berlian (alumni 1981-1986), Generasi Ruby (alumni 1987-1991), Generasi Safir (alumni 1992-2017) dan Generasi Zamrud (alumni 2018 sampai sekarang)
     Selama di Moncongloe bila bolos, Fauzi ke kamar.  Ia bersama rekan-rekannya memanjat jendela lantaran pintu terkunci.  Pembina kemudian mengendus aksi ini.  Hingga, jendela dipasangi terali besi.
     Santri Moncongloe tak kehabisan akal.  Mereka melewati kakus yang tembus ke beranda untuk masuk ke ruang tidur.  Kini, santri yang doyan bolos hanya bisa gigit jari.  Musababnya, di pintu serta beranda rayon terpasang CCTV.  Segenap gerak-gerik terpantau.

Terungku
     "Bolos menjelma gairah akibat proses belajar-mengajar mengekang peserta didik" (Abdul Haris Booegies).
     Usai santap siang di dapur pada Senin, 1 November 1982, Hesdy Wahyuddin menghampiriku.  Kami sama-sama kelas III.  Rupa mukanya tampak kalut, sedikit kusut.  Ia berusaha tegar dengan tersenyum.
     "Haris, nanti malam kita dimasukkan ke sel.  Alpa kita di kelas paling banyak".
     Suara Hesdy terdengar lirih dengan nada memelas.  Ia seolah tidak berkutik karena takdirnya bakal berakhir di bilik terungku.  Saya terpana dan terpaku mendengar untaian kata Hesdy.  Rasanya bak mendengar bom meledak di kediaman kekasih.  Dihukum dengan cara dimasukkan ke sel merupakan siksa yang memalukan sekali.  Bui tersebut terletak di dekat kantor pimpinan kampus.  Penjara santri bandel itu lumayan memilukan.  Pengap, berdebu serta gelap.  Mirip ruang bawah tanah untuk menyiksa penjahat.
     Dalam masalah absen, saya dengan Hesdy boleh dikata saling bersaing.  Apalagi, kami termasuk La Dosa (laki-laki dengan otak sempurna).  Ini mungkin karena nama kami sama-sama diawali huruf H.  Panggilan kami pun serupa, tetapi, beda.  Saya biasa disapa Ogi.  Sedangkan Hesdy akrab dipanggil Oge.
     Dalam perkara bolos dari kelas, saya kalah tipis dari Hesdy.  Sementara untuk kabur dari kampus ke bioskop, jelas saya menang mutlak.
     Selepas Isya, seluruh nama pelanggar diumumkan di masjid.  Di luar estimasi, saya dengan Hesdy tak terhitung sebagai pelanggar.  Kami selamat sentosa dari beban berat yang mengimpit.  Padahal, saya telah pasrah.  Entah wirid purba apa yang dirapal secara khusyuk oleh Hesdy sampai qismul amni (seksi keamanan) lupa menciduk kami.  Malam ini, saya bersama Hesdy bersorak-riang sembari menyusun strategi supaya besok leluasa lagi bolos.
     Lima bulan berselang pada Senin, 28 Maret 1983, saya dinasehati guru lantaran jarang masuk kelas.  Selama 12 kali tatap muka pelajaran Ekonomi dan Koperasi (Ekop), baru kali ini hadir.  Saya gaib 11 kali.  Ini baru Ekop, belum Matematika, Fisika, al-Muthalaah serta pelajaran lain.
     Bolos merupakan perilaku lazim dalam dunia pendidikan.  Di tiap sekolah, madrasah maupun pesantren, persoalan bolos pasti ruwet diatasi.  Jika urusan absen ini tidak ditanggulangi secara sistematis, maka, melahirkan generasi apatis sekaligus individualis.
     Tatkala masih berstatus santri Pesantren IMMIM, terpampang faktor penyebab bolos.  Elemen yang memaksa santri mangkir antara lain benci dengan sikap guru dalam membawakan materi pelajaran.  Kurang berminat dengan pelajaran yang sedang dibahas.  Terbujuk rayuan sohib untuk ke kamar guna berleha-leha.  Tak jarang ada juga yang mau mencuci pakaian.  Maklum, celana dalam sudah tujuh hari dipakai berturut-turut.  Ada-ada saja ulah santri Pesantren IMMIM.  Begitulah yang namanya Santri Lea (lelaki amburadul).
     Dalam meminimalkan bolos, tenaga pendidik mesti terbuka sebagaimana John Keating.  Di Dead Poets Society, Keating menawarkan metode pembelajaran yang kreatif.  Ia menjadi pencetus stimulus.  Alhasil, memacu inspirasi positif para peserta didik.  Siswa pun menderu dalam agresivitas dan antusiasme guna melahap pengetahuan.
     Keating menyajikan materi secara memukau.  Ia menciptakan kondisi komunikasi harmonis dengan peserta didik.
     Kalau spirit Keating menjadi model pembelajaran di Pesantren IMMIM, niscaya santri lugas mengaktualisasikan diri dalam menuntut ilmu.  Pesantren IMMIM akan panen raya dengan prestasi gemilang dari alumni cemerlang.  Carpe diem, raihlah kesempatan demi almamater yang tangguh dalam tradisi, kehormatan, disiplin serta prestasi.

Narasumber secara abjadiah
Ahmad Fauzi
Mutalib Besan
Subhan Hasibu

Di artikel ini, ada sejumlah frasa yang saya utarakan bila bolos itu perlu.  Ketika mengenyam pendidikan di Pesantren IMMIM, saya senantiasa berupaya mencari dalih untuk membenarkan perbuatan salah.  Alibi tempo dulu tersebut, kini masuk secara sengaja di tulisan ini.  Dari lubuk hati terdalam, saya bersaksi bahwa bolos merupakan perbuatan keliru.


Kamis, 14 Juli 2022

Santri Menjelang Subuh


Santri Menjelang Subuh
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada pertengahan 1980, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM Tamalanrea, menerima 155 santri baru.  Santri ditempatkan di asrama Datuk Ribandang (kini rayon Fadeli Luran), Sultan Hasanuddin serta bilik mini Anwar Sadat.  Bahkan, sekitar 20 santri baru diinapkan di aula selama dua pekan sebelum dipindahkan ke rumah panggung Ayatollah Khomeini.  Ini akibat daya tampung kamar permanen telah melampaui kapasitas.
     Di era tersebut, Pesantren IMMIM hanya memiliki lima asrama.  Datuk Ribandang, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Panglima Polem dan Imam Bonjol.  Tiap rayon terdiri atas dua ruang dengan ranjang besi bertingkat.  Satu bilik terkadang memuat 32-36 santri.  10 kamar plus ruang di Anwar Sadat serta Khomeini, dijejali segenap santri yang berjumlah sekitar 400.
     Pada 1980, Tamalanrea masih merupakan kawasan sepi.  Lampu jalan belum ada.  Trayek mikrolet (petepete) yang lewat di depan Pesantren IMMIM cuma Sentral-Daya.  Di kaca depan angkot, terpasang stiker trayek dengan aksara STR-DAYA.  Santri senang membacanya secara nyaring sebagai "Star Daya".  

Empat Perigi
     Kehidupan santri di Pesantren IMMIM pada 1980, dimulai pada pukul 04.00.  Piket malam yang terdiri dari tujuh santri berbadan raksasa, mulai bergerak.  Tugas akhir piket yaitu membangunkan ketua kamar, ketua rayon dan seksi keamanan (qismul amni).
     Ketua kamar serta ketua rayon lantas membangunkan anggota kamarnya, kecuali kelas VI.  Tidak ada ketua kamar, ketua rayon atau seksi keamanan berani membangunkan kelas VI.  Siapa nekat membangunkan, bakal digetok.  Kelas VI merupakan big boss yang tak tersentuh hukum.  Mereka merupakan figur adikuasa yang pengaruhnya melebihi ketua Ikatan Santri Pesantren IMMIM (ISPM) alias OSIS.  Pimpinan kampus saja acap bingung menghadapi kelas VI.
     Bermacam-ragam cara ketua kamar membangunkan santri.  Ada yang lembut laksana ibu kandung, ada juga galak bagai ibu tiri.  "Siapa masih tidur, saya lemparkan kau lewat jendela!"
     Santri kelas I tentu ketakutan diancam.  Akhirnya, sekalipun masih mengantuk, terpaksa bangun.  Derita bisa berlapis jika nekat tidur.  Di samping memicu rasa berang ketua kamar, santri pun akan diadili kalau malam oleh seksi keamanan.  Daripada benjol, lebih baik cepat ke sumur untuk berwudhu.
     Tidak semua ketua kamar berpredikat terpuji dalam menerapkan konsep disiplin positif.  Santri Aliyah yang diamanahkan di bilik kelas I sebagai ketua kamar, kerap tidur lagi.  Begitu seluruh santri ke masjid, ia dengan enteng melanjutkan tidur sambil mendengkur.  Ini mempertontonkan sandaran disiplin yang rapuh.
     Di perigi, santri antre untuk bersuci.  Ada yang langsung berwudhu.  Ada pula membasuh muka dan berkumur-kumur sebelum bersuci.
     Santri yang membilas wajah seraya berkumur-kumur sering kena tegur dari kelas II serta III.  Ia diomeli supaya tak usah membasuh muka, tetapi, langsung berwudhu.  Jangan membuang-buang waktu dengan membilas wajah sembari berkumur-kumur persis orang sakit gigi.  Ini waktu sempit sekaligus dingin.  Timba juga terkadang hanya satu.  Sementara yang bersuci di sumur itu mencapai 200 santri.
     Pada 1980, ada empat sumber mata air di Pesantren IMMIM.  Perigi paling masyhur yakni kibar yang dikhususkan untuk santri Aliyah.  Tidak ada kelas I yang berani ke sumur legendaris ini.
     "Kamu kelas berapa?"
     "Kelas satu, Kak".
     "Jangan di sini!  Pergi dari sini!"
     Bentakan santri Aliyah langsung meluruhkan gairah santri Tsanawiyah.  Mereka pun menyingkir tanpa upaya agresif untuk menentang senior.  Perigi kibar seolah batas toleransi antara santri kibar (senior) dengan sigor (junior).
     Sumur kibar terletak di segitiga asrama Datuk Ribandang, Panglima Polem dan Imam Bonjol.  Sedangkan perigi favorit santri Tsanawiyah terletak di belakang ruang makan ustaz-ustaz bujangan.  Di musim hujan, airnya berlimpah.  Tak perlu pakai timba bertali untuk mencedok air.  Santri cukup menyauk air menggunakan ember, serupa menimba air dengan gayung dari baskom.
     Di sudut depan arah Barat Laut ruang makan ustaz bujangan, ada pula sumur.  Perigi ini sepi peminat.  Padahal, airnya paling jernih.
     Sumur terakhir terletak di Selatan laboratorium.  Kedalaman air mencapai setengah meter.  Perigi ini yang paling sedikit airnya.  Terkadang pasir dari dasar sumur ikut ke dalam timba.  Perigi ini cuma dimanfaatkan untuk mandi sore oleh segelintir santri.  Tidak ada santri mau berwudhu di sini bila subuh serta malam.  Santri takut karena gelap, tiada secercah terang.  Jauh ke belakang arah Barat sampai area Universitas Hasanuddin, hanya ada tetumbuhan liar dan pohon lobi-lobi.  Kelak, di situ dibangun danau Unhas.
     Tak jauh dari sumur terakhir ini, tumbuh subur gulma semacam bayam duri, ilalang, putri malu, mikania, rumput mutiara serta tempuyung.  Tanaman liar ini menjadi sarang hama.
     Bakda shalat Shubuh, santri kelas I belajar bahasa Arab.  Sementara santri lain ke bilik masing-masing.  Rata-rata santri melanjutkan aktivitas pasif berupa tidur.

Upacara Bendera
     Di Pesantren IMMIM, upacara bendera dilaksanakan saban Sabtu, bukan Senin.  Soalnya, santri libur pada Jumat.  Hingga, hari pertama dalam sepekan dimulai pada Sabtu.
     Tatkala kelas III pada 1982/1983, saya tergolong paling malas mengikuti upacara.  Saya memilih bersembunyi ketimbang terlibat dalam upacara.  Di relung terdalam perspektif Gen X (kelahiran 1965-1980), hidup di pesantren tidak selamanya harus teguh pada elemen aturan hakiki.  Sekali-sekala mesti melanggar.  Sebelum lonceng berbunyi pada pukul 07.00, saya lompat pagar ke taman atau pasar Bharata di depan kampus.
     Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa upacara di sekolah atau instansi Pemerintah merupakan warisan Jepang.  Kendati Jepang cuma tiga setengah tahun menjajah Indonesia, namun, mereka mampu menanamkan tradisi berupa upacara tiap Senin.  Motor produk Jepang malahan menjadi alat transportasi dominan di Indonesia.  Ada Honda, Yamaha, Suzuki maupun Kawasaki.
     Di Pesantren IMMIM pada pertengahan 80-an, pernah populer sebuah slang ala Jepang.  Bagaimana orang Bugis melafalkan "menggaruk pantat" dalam bahasa Jepang?  Jawabannya "Orita Tagaru".

Patah Hati
     Problem yang dialami santri tak berbeda dengan siswa di luar pesantren.  Ada gesekan antarteman atau penghuni rayon lain.  Terkadang diselesaikan dengan duel.  Tiga bulan pertama sebagai santri, saya sudah berkelahi, dan kalah!
     Selain adu jotos, ada lagi perkara yang melanda santri.  Siapa sangka, ternyata sebagian santri direpotkan dengan jalinan asmara.  Dari obrolan kasual, terungkap jika sejumlah kawan punya kekasih di kampung.
     Saya terkenang seorang sahabat.  Sebutlah namanya Jeki.  Sewaktu pulang kampung saat libur, ia mendengar kabar yang menghunjam jiwa-raga.  Pacarnya dinikahi pria lain.
     Jeki seolah disambar petir di siang bolong.  Hidupnya mendadak merana gara-gara patah hati.  Gadis idamannya direbut.  Jeki pun mati rasa dengan keadaan sekeliling.
     Syahdan di suatu malam, serombongan rekan Jeki di kampung, menghiburnya.  Seorang di antaranya tidak bosan berbual demi membujuknya meneguk minuman keras.  "Untuk melupakan kenangan indahmu, bir ini cocok sebagai pelipur lara".
     Setelah didesak dengan cara paksa, Jeki pun rela tanpa syarat menenggak cairan haram.  Ketika mulai kehilangan kesadaran, ia dibopong ke mobil pikap.  Jeki meringkuk mirip binatang jalang di bak terbuka di belakang.  Vitalitasnya redup, perlahan sirna.
     Saat mobil melaju, konco-konconya bergantian membantu Jeki agar dapat berdiri, tak jongkok terkulai lemas.  Ia juga disuruh melambai-lambaikan tangan bak artis ibu kota.  Sedangkan sobat-sobatnya berseru ke warga di sepanjang jalan.  "Pemuda ini patah hati.  Kekasihnya kawin dengan laki-laki lain".  Tentu saja orang-orang yang mendengarnya cekikikan, sebagian terkekeh-kekeh.
     Jeki yang sengsara jiwanya diarak ke kota sebagai bahan tertawaan.  Ia dipermalukan kala teler lantaran putus asa serta patah semangat.  Hidupnya betul-betul di ujung tanduk, di ujung jurang, di ujung dunia.  Lebih tragis lagi karena korban cinta ini adalah santri Angkatan 8086 Pesantren IMMIM.
     "Ketika kehilangan apa saja, termasuk harapan.  Hidup berubah memalukan.  Mati menjadi sebuah pilihan" (William Claude Dukenfield).


Senin, 04 Juli 2022

Ayam Santri


Ayam Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sekitar pukul 16.00, saya mengaso sembari bersandar di dinding asrama Pangeran Diponegoro.  Hari ini Rabu, 22 Desember 1982, udara terasa menyengat.  Beranda rayon Diponegoro maupun Panglima Polem tampak sepi, senyap bagai kota mati.  Tiada seorang lalu-lalang di serambi.  Sebagian santri asyik minum teh tawar di kamar, lainnya bersiap berolahraga.
     Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari belakang aula.  Keriuhan tersebut menggodaku.  Saya bangkit untuk mengorek informasi dari muasal hiruk-pikuk.
     Terlihat lima santri kelas I (Divisi 8288) seperti mengelilingi makhluk aneh.  Saya mendekat.  Melongok ke tengah kerumunan.
     Santri kelas I itu rupanya mengelilingi seekor ayam yang tersabet lontaran cadas.  Ayam tersebut berusaha berdiri dengan kedua kakinya.  Sayap dikibas-kibaskan.  Upaya ayam itu gagal.  Lehernya tetap terkulai, tidak bisa tegak.  Akibatnya, kepala ayam tergeser ke kanan ke kiri.
     "Siapa yang melemparnya?"  Anak kelas satu serempak menggeleng tanda tak tahu.
     Saya menduga bila pelontarnya penghuni asrama Datuk Ribandang (kini rayon Fadeli Luran).  Mustahil penghuni asrama Sultan Hasanuddin karena jarak target cukup jauh.
     Ayam sekarat yang terus menggelepar tersebut, akhirnya saya tangkap.  Saya memegang kaki dan pangkal lehernya.
     Tatkala berada di koridor, muncul Kurnia Makkawaru (Angkatan 7783).  Ia tertegun memandangku membopong ayam.
     "Ayam milik siapa itu?"
     "Barangkali kepunyaan koki.  Semaput lantaran ada yang melemparnya dengan batu".
     Kurnia kemudian memeriksanya serupa dokter hewan.  Menurut diagnosisnya, tidak ada jalan lain kecuali secepatnya disembelih.
     Kurnia mengambil pisau di lemari.  Kami berdua lantas jongkok di sisi Selatan aula.  Saya menggenggam kaki ayam.  Sedangkan Kurnia memegang kepalanya.  Ia tampak persis tukang jagal profesional.
     Kurnia mengelus tiga kali kepala ayam sambil membaca doa.  Mirip adegan orang yang akan mempersembahkan sajian kepada dewa-dewi di Kahyangan.  Pisau di tangan Kurnia lalu menyayat leher unggas tersebut.
     Kami membagi dua ayam itu dengan membelahnya.  Kurnia kemudian ke dapur menggorengnya atas jasa koki Endang.  Sementara saya memanggangnya menggunakan rumput kering serta ranting lapuk di depan laboratorium.

Tanpa Bumbu
     Sekitar jam sembilan malam pada Kamis, 28 Februari 1985.  Saya ke bilik sahabat, sebutlah namanya Halilintar.  Ia tinggal di kamar mini di ujung Selatan rayon Pangeran Diponegoro.  Dulu bilik ini merupakan toilet dengan dua kamar mandi dan dua kakus.  Di tarikh 1983, toilet ini direnovasi menjadi bilik.
     Penghuni kamar ini berubah-ubah.  Awalnya ditempati pembina dari kelas V.  Pada 1984, ustaz Abdul Kadir Massoweang menetap di situ beberapa bulan.  Ruang bekas tempat berak ini lantas dikhususkan untuk santri bandel.  22 hari lalu, ustaz Nasir Ameth menempati bilik mungil tersebut.  Ia akhirnya pindah akibat pemberontakan yang disponsori kelas V serta VI pada Rabu, 6 Februari 1985.
     Saya mengetuk pintu saat berada di depan kamar mini itu.  Tak ada respons.  Saya bergeming karena yakin ada orang di dalam.  Saya kemudian memanggil nama Halilintar.  Mendadak pintu terbuka.
     Saya terhenyak seraya mundur selangkah.  Pasalnya, mata Halilintar berair.  Asap juga mengepul dari celah pintu.  Ia lantas menyuruhku cepat masuk sebelum sempat bertanya.
     Begitu masuk, tercium bau daging hangus.  Kiranya Halilintar yang seorang diri sedang memanggang ayam di atas kaleng.  Asap memenuhi ruang berukuran sekitar 7 x 3 meter tersebut.
     "Dari mana dapat ayam?", tanyaku.
     "Ssst...", bisik Halilintar sembari mengacungkan telunjuknya di bibir.
     "Ayam siapa ini?"
     "Ssst...!Ssst...!"
     Halilintar menyuruhku diam.  Tidak boleh cerewet.
     Saya pun mafhum.  Ini pasti ayam milik koki.  Ada dua kemungkinan.  Teori pertama, ayam ini diambil paksa kala santri makan malam di dapur.  Di momen itu, suasana agak lengang di seputar dua pohon nangka tempat ayam bertengger.  Teori kedua, ayam ini kesasar di selasar Diponegoro ketika cari makan atau cari pejantan.  Tentu saja Halilintar lihai memanfaatkan momen yang cuma satu kali datang dalam hidupnya di pedepokan Tamalanrea.  Ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjerat ayam malang tersebut.
     Halilintar tergolong sosok gesit.  Nyalinya sekokoh karang.  Sejak tertoreh sebagai santri Aliyah, Halilintar merupakan pasanganku jika kabur pergi ke bioskop.
     Kalau bolos meninggalkan kampus, Halilintar senantiasa mengenakan celana jin dengan lubang kaki sempit.  Begitu ketat celana ini, sampai lekak-lekuk paha dan betis terlihat kentara.  Setelah memakainya, ia terkadang dibantu dua orang untuk melepasnya.
     Asap di bilik membuat mataku perih.  Aroma ayam panggang menusuk pula hidung.  Pasti rasanya hambar karena hanya dioles dengan garam.
     Halilintar muskil ke dapur meminta bumbu.  Koki niscaya curiga.  Apalagi, bila besok pagi ayam itu tidak terdengar berkokok.  Halilintar sudah memperhitungkan secara saksama.  Jika meminta bumbu, berarti sama saja bunuh diri.  Soalnya, koki pasti mencurigainya maling ayam.

Menu Irit
     Santri identik dengan lapar.  Maklum, pesantren memang bukan warung makan atau kedai minum.  Sesungguhnya, hidangan yang terbatas di pondok bukan aib, juga bukan mala.  Santapan apa adanya menjadi pelatihan guna membangun karakter santri supaya tak gampang goyang, tidak mudah runtuh sekaligus tak enteng hancur.  Keterbatasan pangan merupakan landasan untuk hidup hemat serta sederhana seusai tamat di pesantren.
     Pondok-pondok Islami mendidik para pelajar untuk bersahaja, bukan menempanya menjadi santri konsumtif.  Sebagai umpama, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM cuma menyediakan menu sederhana.  Porsinya jelas tidak memadai untuk sebagian ukuran perut.  Kendati menu ala kadarnya, namun, tak merintangi santri untuk berkiprah.  Santri berprestasi justru sering berpuasa sunah.  Mereka punya naluri bertahan berkat terbiasa lapar, terbiasa serba kekurangan.
     Porsi pas-pasan justru memacu santri untuk tekun ke masjid.  Bahkan, mereka garang belajar di waktu malam.  Santri spesial ogah cengeng gara-gara minim pangan.  Sebab, rasa lapar membimbing mereka tangguh bermetamorfosis.  Di Pesantren IMMIM, santri laksana ulat yang bergerak mencari pengharapan.  Ulat tersebut lalu menjelma kupu-kupu cantik sebagaimana alumni yang mengharumkan almamater dan umat.


Amazing People