Senin, 04 Juli 2022

Ayam Santri


Ayam Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sekitar pukul 16.00, saya mengaso sembari bersandar di dinding asrama Pangeran Diponegoro.  Hari ini Rabu, 22 Desember 1982, udara terasa menyengat.  Beranda rayon Diponegoro maupun Panglima Polem tampak sepi, senyap bagai kota mati.  Tiada seorang lalu-lalang di serambi.  Sebagian santri asyik minum teh tawar di kamar, lainnya bersiap berolahraga.
     Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari belakang aula.  Keriuhan tersebut menggodaku.  Saya bangkit untuk mengorek informasi dari muasal hiruk-pikuk.
     Terlihat lima santri kelas I (Divisi 8288) seperti mengelilingi makhluk aneh.  Saya mendekat.  Melongok ke tengah kerumunan.
     Santri kelas I itu rupanya mengelilingi seekor ayam yang tersabet lontaran cadas.  Ayam tersebut berusaha berdiri dengan kedua kakinya.  Sayap dikibas-kibaskan.  Upaya ayam itu gagal.  Lehernya tetap terkulai, tidak bisa tegak.  Akibatnya, kepala ayam tergeser ke kanan ke kiri.
     "Siapa yang melemparnya?"  Anak kelas satu serempak menggeleng tanda tak tahu.
     Saya menduga bila pelontarnya penghuni asrama Datuk Ribandang (kini rayon Fadeli Luran).  Mustahil penghuni asrama Sultan Hasanuddin karena jarak target cukup jauh.
     Ayam sekarat yang terus menggelepar tersebut, akhirnya saya tangkap.  Saya memegang kaki dan pangkal lehernya.
     Tatkala berada di koridor, muncul Kurnia Makkawaru (Angkatan 7783).  Ia tertegun memandangku membopong ayam.
     "Ayam milik siapa itu?"
     "Barangkali kepunyaan koki.  Semaput lantaran ada yang melemparnya dengan batu".
     Kurnia kemudian memeriksanya serupa dokter hewan.  Menurut diagnosisnya, tidak ada jalan lain kecuali secepatnya disembelih.
     Kurnia mengambil pisau di lemari.  Kami berdua lantas jongkok di sisi Selatan aula.  Saya menggenggam kaki ayam.  Sedangkan Kurnia memegang kepalanya.  Ia tampak persis tukang jagal profesional.
     Kurnia mengelus tiga kali kepala ayam sambil membaca doa.  Mirip adegan orang yang akan mempersembahkan sajian kepada dewa-dewi di Kahyangan.  Pisau di tangan Kurnia lalu menyayat leher unggas tersebut.
     Kami membagi dua ayam itu dengan membelahnya.  Kurnia kemudian ke dapur menggorengnya atas jasa koki Endang.  Sementara saya memanggangnya menggunakan rumput kering serta ranting lapuk di depan laboratorium.

Tanpa Bumbu
     Sekitar jam sembilan malam pada Kamis, 28 Februari 1985.  Saya ke bilik sahabat, sebutlah namanya Halilintar.  Ia tinggal di kamar mini di ujung Selatan rayon Pangeran Diponegoro.  Dulu bilik ini merupakan toilet dengan dua kamar mandi dan dua kakus.  Di tarikh 1983, toilet ini direnovasi menjadi bilik.
     Penghuni kamar ini berubah-ubah.  Awalnya ditempati pembina dari kelas V.  Pada 1984, ustaz Abdul Kadir Massoweang menetap di situ beberapa bulan.  Ruang bekas tempat berak ini lantas dikhususkan untuk santri bandel.  22 hari lalu, ustaz Nasir Ameth menempati bilik mungil tersebut.  Ia akhirnya pindah akibat pemberontakan yang disponsori kelas V serta VI pada Rabu, 6 Februari 1985.
     Saya mengetuk pintu saat berada di depan kamar mini itu.  Tak ada respons.  Saya bergeming karena yakin ada orang di dalam.  Saya kemudian memanggil nama Halilintar.  Mendadak pintu terbuka.
     Saya terhenyak seraya mundur selangkah.  Pasalnya, mata Halilintar berair.  Asap juga mengepul dari celah pintu.  Ia lantas menyuruhku cepat masuk sebelum sempat bertanya.
     Begitu masuk, tercium bau daging hangus.  Kiranya Halilintar yang seorang diri sedang memanggang ayam di atas kaleng.  Asap memenuhi ruang berukuran sekitar 7 x 3 meter tersebut.
     "Dari mana dapat ayam?", tanyaku.
     "Ssst...", bisik Halilintar sembari mengacungkan telunjuknya di bibir.
     "Ayam siapa ini?"
     "Ssst...!Ssst...!"
     Halilintar menyuruhku diam.  Tidak boleh cerewet.
     Saya pun mafhum.  Ini pasti ayam milik koki.  Ada dua kemungkinan.  Teori pertama, ayam ini diambil paksa kala santri makan malam di dapur.  Di momen itu, suasana agak lengang di seputar dua pohon nangka tempat ayam bertengger.  Teori kedua, ayam ini kesasar di selasar Diponegoro ketika cari makan atau cari pejantan.  Tentu saja Halilintar lihai memanfaatkan momen yang cuma satu kali datang dalam hidupnya di pedepokan Tamalanrea.  Ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjerat ayam malang tersebut.
     Halilintar tergolong sosok gesit.  Nyalinya sekokoh karang.  Sejak tertoreh sebagai santri Aliyah, Halilintar merupakan pasanganku jika kabur pergi ke bioskop.
     Kalau bolos meninggalkan kampus, Halilintar senantiasa mengenakan celana jin dengan lubang kaki sempit.  Begitu ketat celana ini, sampai lekak-lekuk paha dan betis terlihat kentara.  Setelah memakainya, ia terkadang dibantu dua orang untuk melepasnya.
     Asap di bilik membuat mataku perih.  Aroma ayam panggang menusuk pula hidung.  Pasti rasanya hambar karena hanya dioles dengan garam.
     Halilintar muskil ke dapur meminta bumbu.  Koki niscaya curiga.  Apalagi, bila besok pagi ayam itu tidak terdengar berkokok.  Halilintar sudah memperhitungkan secara saksama.  Jika meminta bumbu, berarti sama saja bunuh diri.  Soalnya, koki pasti mencurigainya maling ayam.

Menu Irit
     Santri identik dengan lapar.  Maklum, pesantren memang bukan warung makan atau kedai minum.  Sesungguhnya, hidangan yang terbatas di pondok bukan aib, juga bukan mala.  Santapan apa adanya menjadi pelatihan guna membangun karakter santri supaya tak gampang goyang, tidak mudah runtuh sekaligus tak enteng hancur.  Keterbatasan pangan merupakan landasan untuk hidup hemat serta sederhana seusai tamat di pesantren.
     Pondok-pondok Islami mendidik para pelajar untuk bersahaja, bukan menempanya menjadi santri konsumtif.  Sebagai umpama, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM cuma menyediakan menu sederhana.  Porsinya jelas tidak memadai untuk sebagian ukuran perut.  Kendati menu ala kadarnya, namun, tak merintangi santri untuk berkiprah.  Santri berprestasi justru sering berpuasa sunah.  Mereka punya naluri bertahan berkat terbiasa lapar, terbiasa serba kekurangan.
     Porsi pas-pasan justru memacu santri untuk tekun ke masjid.  Bahkan, mereka garang belajar di waktu malam.  Santri spesial ogah cengeng gara-gara minim pangan.  Sebab, rasa lapar membimbing mereka tangguh bermetamorfosis.  Di Pesantren IMMIM, santri laksana ulat yang bergerak mencari pengharapan.  Ulat tersebut lalu menjelma kupu-kupu cantik sebagaimana alumni yang mengharumkan almamater dan umat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People