Santri Menjelang Subuh
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada pertengahan 1980, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM Tamalanrea, menerima 155 santri baru. Santri ditempatkan di asrama Datuk Ribandang (kini rayon Fadeli Luran), Sultan Hasanuddin serta bilik mini Anwar Sadat. Bahkan, sekitar 20 santri baru diinapkan di aula selama dua pekan sebelum dipindahkan ke rumah panggung Ayatollah Khomeini. Ini akibat daya tampung kamar permanen telah melampaui kapasitas.
Di era tersebut, Pesantren IMMIM hanya memiliki lima asrama. Datuk Ribandang, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Panglima Polem dan Imam Bonjol. Tiap rayon terdiri atas dua ruang dengan ranjang besi bertingkat. Satu bilik terkadang memuat 32-36 santri. 10 kamar plus ruang di Anwar Sadat serta Khomeini, dijejali segenap santri yang berjumlah sekitar 400.
Pada 1980, Tamalanrea masih merupakan kawasan sepi. Lampu jalan belum ada. Trayek mikrolet (petepete) yang lewat di depan Pesantren IMMIM cuma Sentral-Daya. Di kaca depan angkot, terpasang stiker trayek dengan aksara STR-DAYA. Santri senang membacanya secara nyaring sebagai "Star Daya".
Empat Perigi
Kehidupan santri di Pesantren IMMIM pada 1980, dimulai pada pukul 04.00. Piket malam yang terdiri dari tujuh santri berbadan raksasa, mulai bergerak. Tugas akhir piket yaitu membangunkan ketua kamar, ketua rayon dan seksi keamanan (qismul amni).
Ketua kamar serta ketua rayon lantas membangunkan anggota kamarnya, kecuali kelas VI. Tidak ada ketua kamar, ketua rayon atau seksi keamanan berani membangunkan kelas VI. Siapa nekat membangunkan, bakal digetok. Kelas VI merupakan big boss yang tak tersentuh hukum. Mereka merupakan figur adikuasa yang pengaruhnya melebihi ketua Ikatan Santri Pesantren IMMIM (ISPM) alias OSIS. Pimpinan kampus saja acap bingung menghadapi kelas VI.
Bermacam-ragam cara ketua kamar membangunkan santri. Ada yang lembut laksana ibu kandung, ada juga galak bagai ibu tiri. "Siapa masih tidur, saya lemparkan kau lewat jendela!"
Santri kelas I tentu ketakutan diancam. Akhirnya, sekalipun masih mengantuk, terpaksa bangun. Derita bisa berlapis jika nekat tidur. Di samping memicu rasa berang ketua kamar, santri pun akan diadili kalau malam oleh seksi keamanan. Daripada benjol, lebih baik cepat ke sumur untuk berwudhu.
Tidak semua ketua kamar berpredikat terpuji dalam menerapkan konsep disiplin positif. Santri Aliyah yang diamanahkan di bilik kelas I sebagai ketua kamar, kerap tidur lagi. Begitu seluruh santri ke masjid, ia dengan enteng melanjutkan tidur sambil mendengkur. Ini mempertontonkan sandaran disiplin yang rapuh.
Di perigi, santri antre untuk bersuci. Ada yang langsung berwudhu. Ada pula membasuh muka dan berkumur-kumur sebelum bersuci.
Santri yang membilas wajah seraya berkumur-kumur sering kena tegur dari kelas II serta III. Ia diomeli supaya tak usah membasuh muka, tetapi, langsung berwudhu. Jangan membuang-buang waktu dengan membilas wajah sembari berkumur-kumur persis orang sakit gigi. Ini waktu sempit sekaligus dingin. Timba juga terkadang hanya satu. Sementara yang bersuci di sumur itu mencapai 200 santri.
Pada 1980, ada empat sumber mata air di Pesantren IMMIM. Perigi paling masyhur yakni kibar yang dikhususkan untuk santri Aliyah. Tidak ada kelas I yang berani ke sumur legendaris ini.
"Kamu kelas berapa?"
"Kelas satu, Kak".
"Jangan di sini! Pergi dari sini!"
Bentakan santri Aliyah langsung meluruhkan gairah santri Tsanawiyah. Mereka pun menyingkir tanpa upaya agresif untuk menentang senior. Perigi kibar seolah batas toleransi antara santri kibar (senior) dengan sigor (junior).
Sumur kibar terletak di segitiga asrama Datuk Ribandang, Panglima Polem dan Imam Bonjol. Sedangkan perigi favorit santri Tsanawiyah terletak di belakang ruang makan ustaz-ustaz bujangan. Di musim hujan, airnya berlimpah. Tak perlu pakai timba bertali untuk mencedok air. Santri cukup menyauk air menggunakan ember, serupa menimba air dengan gayung dari baskom.
Di sudut depan arah Barat Laut ruang makan ustaz bujangan, ada pula sumur. Perigi ini sepi peminat. Padahal, airnya paling jernih.
Sumur terakhir terletak di Selatan laboratorium. Kedalaman air mencapai setengah meter. Perigi ini yang paling sedikit airnya. Terkadang pasir dari dasar sumur ikut ke dalam timba. Perigi ini cuma dimanfaatkan untuk mandi sore oleh segelintir santri. Tidak ada santri mau berwudhu di sini bila subuh serta malam. Santri takut karena gelap, tiada secercah terang. Jauh ke belakang arah Barat sampai area Universitas Hasanuddin, hanya ada tetumbuhan liar dan pohon lobi-lobi. Kelak, di situ dibangun danau Unhas.
Tak jauh dari sumur terakhir ini, tumbuh subur gulma semacam bayam duri, ilalang, putri malu, mikania, rumput mutiara serta tempuyung. Tanaman liar ini menjadi sarang hama.
Bakda shalat Shubuh, santri kelas I belajar bahasa Arab. Sementara santri lain ke bilik masing-masing. Rata-rata santri melanjutkan aktivitas pasif berupa tidur.
Upacara Bendera
Di Pesantren IMMIM, upacara bendera dilaksanakan saban Sabtu, bukan Senin. Soalnya, santri libur pada Jumat. Hingga, hari pertama dalam sepekan dimulai pada Sabtu.
Tatkala kelas III pada 1982/1983, saya tergolong paling malas mengikuti upacara. Saya memilih bersembunyi ketimbang terlibat dalam upacara. Di relung terdalam perspektif Gen X (kelahiran 1965-1980), hidup di pesantren tidak selamanya harus teguh pada elemen aturan hakiki. Sekali-sekala mesti melanggar. Sebelum lonceng berbunyi pada pukul 07.00, saya lompat pagar ke taman atau pasar Bharata di depan kampus.
Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa upacara di sekolah atau instansi Pemerintah merupakan warisan Jepang. Kendati Jepang cuma tiga setengah tahun menjajah Indonesia, namun, mereka mampu menanamkan tradisi berupa upacara tiap Senin. Motor produk Jepang malahan menjadi alat transportasi dominan di Indonesia. Ada Honda, Yamaha, Suzuki maupun Kawasaki.
Di Pesantren IMMIM pada pertengahan 80-an, pernah populer sebuah slang ala Jepang. Bagaimana orang Bugis melafalkan "menggaruk pantat" dalam bahasa Jepang? Jawabannya "Orita Tagaru".
Patah Hati
Problem yang dialami santri tak berbeda dengan siswa di luar pesantren. Ada gesekan antarteman atau penghuni rayon lain. Terkadang diselesaikan dengan duel. Tiga bulan pertama sebagai santri, saya sudah berkelahi, dan kalah!
Selain adu jotos, ada lagi perkara yang melanda santri. Siapa sangka, ternyata sebagian santri direpotkan dengan jalinan asmara. Dari obrolan kasual, terungkap jika sejumlah kawan punya kekasih di kampung.
Saya terkenang seorang sahabat. Sebutlah namanya Jeki. Sewaktu pulang kampung saat libur, ia mendengar kabar yang menghunjam jiwa-raga. Pacarnya dinikahi pria lain.
Jeki seolah disambar petir di siang bolong. Hidupnya mendadak merana gara-gara patah hati. Gadis idamannya direbut. Jeki pun mati rasa dengan keadaan sekeliling.
Syahdan di suatu malam, serombongan rekan Jeki di kampung, menghiburnya. Seorang di antaranya tidak bosan berbual demi membujuknya meneguk minuman keras. "Untuk melupakan kenangan indahmu, bir ini cocok sebagai pelipur lara".
Setelah didesak dengan cara paksa, Jeki pun rela tanpa syarat menenggak cairan haram. Ketika mulai kehilangan kesadaran, ia dibopong ke mobil pikap. Jeki meringkuk mirip binatang jalang di bak terbuka di belakang. Vitalitasnya redup, perlahan sirna.
Saat mobil melaju, konco-konconya bergantian membantu Jeki agar dapat berdiri, tak jongkok terkulai lemas. Ia juga disuruh melambai-lambaikan tangan bak artis ibu kota. Sedangkan sobat-sobatnya berseru ke warga di sepanjang jalan. "Pemuda ini patah hati. Kekasihnya kawin dengan laki-laki lain". Tentu saja orang-orang yang mendengarnya cekikikan, sebagian terkekeh-kekeh.
Jeki yang sengsara jiwanya diarak ke kota sebagai bahan tertawaan. Ia dipermalukan kala teler lantaran putus asa serta patah semangat. Hidupnya betul-betul di ujung tanduk, di ujung jurang, di ujung dunia. Lebih tragis lagi karena korban cinta ini adalah santri Angkatan 8086 Pesantren IMMIM.
"Ketika kehilangan apa saja, termasuk harapan. Hidup berubah memalukan. Mati menjadi sebuah pilihan" (William Claude Dukenfield).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar