Memilih
Partai Keliru
Oleh Abdul
Haris Booegies
Hari-hari belakangan ini,
hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2004 menggema ke mana-mana. Kota
metropolitan sampai desa terpencil seperti terkena demam Pemilu.
Masyarakat pun memperoleh hiburan gratis dengan kampanye yang
dimeriahkan artis-artis Ibu Kota. Sementara, massa partai politik
(parpol) berpawai penuh semangat. Hingga, kebisingan terdengar
bersahut-sahutan.
Fenomena yang terlihat selama
kampanye adalah pengerahan massa sebagai show of force.
Partai besar mengarahkan pendukung yang banyak dengan sokongan dana
besar. Para petinggi parpol malahan mencarter pesawat atau
helikopter demi menunjang mobilitas kampanye. Sedangkan parpol kecil
cukup puas membagikan baju kaos.
Massa yang membludak, tentu bakal
menciutkan nyali parpol-parpol kecil. Aspek tersebut menjadi suatu
kewajaran. Masalah yang tidak lazim ialah minimnya pengetahuan
simpatisan dalam mendukung suatu partai.
Di zaman Orde Baru, selalu beredar
selentingan mengenai “Serangan Fajar” menjelang detik-detik
pencoblosan. Invasi itu berupa pembagian gula serta beras kepada
penduduk tertentu. Pembagian pangan model “Serangan Fajar” cuma
habis dimakan tidak lebih sepekan.
Kini, “Serangan Fajar” sudah
wassalam, tetapi, wujudnya bermetamorfosis makin genit.
“Serangan Fajar” dikemas dalam bentuk rupiah yang angka nolnya
paling sedikit lima. Siapa saja yang mendengarnya pasti tergiur.
Inilah yang nanti harus dibayar mahal oleh warga negara. Pasalnya,
parpol yang memberi hadiah tidak berarti akan memperjuangkan aspirasi
rakyat.
Mereka membagi-bagikan hadiah
hanya sebatas lompatan merebut kekuasaan. Orientasi kekuasaan lebih
dominan dibandingkan mengentaskan kemiskinan yang kian hari makin
ruwet diselesaikan.
Dengan membagi-bagikan hadiah,
maka, kemashuran enteng diraih. Bahkan, petinggi parpol di mana-mana
dielukan laiknya artis Akademi Fantasi Indonesia (AFI). Apalagi,
parpol yang dapat meloloskan ketuanya menduduki Kursi R-1, bisa lebih
sumringah. Sebab, amandemen terhadap UU 1945 terlihat kian
menguatkan posisi presiden dibandingkan MPR.
Hadiah yang diterima dari sebuah
parpol, tidak setara dengan memilih partai yang nantinya mampu
memperjuangkan nasib rakyat. Apa yang telah disematkan pada republik
tercinta ini sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tertinggi,
adalah buah dari kesalahan fatal pada beberapa tahun silam.
Hasil survei korupsi di Asia yang
dikeluarkan Biro Konsultan Resiko Politik dan Ekonomi pada 6 Maret
2004, memperlihatkan betapa parah Indonesia di mata pengusaha
expatriate.
Siapa saja di negara yang tak
lelah dirundung malang ini, mutlak bersatu-padu memilih partai yang
sanggup memberi rasa keadilan di segala bidang. Bukan partai
bermerek reformis, namun, kalang kabut menyelesaikan program-program
konkret di arus bawah. Rakyat butuh sesuatu yang membebaskan mereka
dari ketakutan, ancaman maupun bahaya. Mereka mengharap janji
ditepati sesudah disembah oleh parpol. Bukan wajah sinis kala
giliran rakyat menyembah minta bukti.
Masyarakat merindukan “padunya
kata dengan perbuatan”. Bukan berikrar sehidup semati memilih
partai keliru yang melontarkan janji-janji gombal, dan kelak cuma
bisa menampung aspirasi.
(Tribun Timur,
Jumat, 19 Maret 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar