Biarkan
Ujung Pandang Merekah
Oleh Abdul
Haris Booegies
Mahasiswa
Universitas Hasanuddin
(Catatan
untuk Prof Dr H.A. Mattulada dan Dr S. Simansari Ecip)
Nama Ujung
Pandang tiba-tiba ramai diperbincangkan, sah atau tidak sebutan itu
untuk menggantikan nama Makassar. Fakta-fakta kemudian diungkap untuk
mengembalikan Ujung Pandang menjadi Makassar. Prof Dr HA Mattulada,
misalnya, menyingkap pesona sejarah Makassar (Surya,
16-17 September 1991). Jejak sejarah kejayaan masa lalu itu
dikumandangkan karena nama Makassar bukan cuma dikenal di wilayah
Nusantara. Nama tersebut sudah melanglang buana sampai ke
mancanegara.
Konon, nama
Makassar, seperti kata sejarawan itu, mengandung kepadatan makna
budaya serta seolah menjadi suatu mantera. Cuma orang yang “sadar
sejarah” saja, yang masih mempertanyakan ke mana nama Makassar itu.
Sedangkan Dr S Sinansari Ecip, berharap bagaimana menyakinkan
organisasi sosial politik agar persoalan pengembalian nama Makassar
menjadi sederhana (Surya,
12 November 1991).
Gagasan
kedua pakar ini, punya kesan cengeng. Soalnya, mereka hanya
terpesona dengan masa silam ketika Makassar begitu perkasa. Nama
Makassar seolah dipercayainya betul-betul sakti mandraguna. Bahwa,
bila nama Makassar tidak pernah diubah, maka, tak akan banyak
kerugian-kerugian yang dialami Ujung Pandang secara ekonomis, politik
dan sosio-kultural. Bahkan, ada pandangan bahwa nama Ujung Pandang
punya konotasi jelek. Sebab, ketika Belanda menjajah, mereka
menyebut pribumi sebagai jan-pandan,
yang maknanya berandalan dari daerah yang ditumbuhi banyak pohon
pandan (nenas).
Anehnya, ada
perasaan bangga jika masyarakat Sulawesi Selatan disebut “Ayam
Jantan dari Timur”. Padahal, Belanda menyebut de
hantjes van het Oosten (ayam-ayam
jantan dari Timur) gara-gara melihat pribumi berkelahi sama halnya
dengan ayam. Ini jelas lebih hina. Sebab, ayam yang bertarung
sekadar dituntun naluri membunuhnya, bukan akal sehat.
Memperluas
Wilayah
Ujung
Pandang adalah nama sebuah benteng yang direbut Admiral Cornelis
Speelman bersama Nooroder Diatricten serta Zuider Diatricten pada
November 1667 sesuai Perjanjian Bungaya. (Het
Bongaisch Verdrag atau Cappaya
ri Bungaya).
Dinamakan
Ujung Pandang karena terlihat banyak “pohon pandan” yang lebat di
sekitarnya. Benteng tersebut lalu dinamakan Fort Rotterdam (tempat
kelahiran Gubernur Cornelis Speelman). Karena Benteng Ujung Pandang
dianggap strategis, maka, tak dihancurkan seperti Benteng Somba Opu
dan Benteng Panakkukang.
Perubahan
Makassar menjadi Ujung Pandang, sebenarnya suatu terobosan berani
oleh pemerintah saat itu. Karena pada 1970-an, terjadi kesepakatan
untuk memperluas wilayah Kotamadya Makassar yang cuma 21 km2 (3 x 7
km). Inisiatif ini diantisipasi Jenderal Kemal Idris, Panglima
Komando Indonesia Timur serta Gubernur Sulawesi Selatan Achmad Lamo.
Untuk perluasan itu, diperlukan kesepakatan kepala daerah Gowa, Maros
dan Pangkajene Kepulauan. Ketiga bupati itu berpangkat Kolonel AD,
sebagaimana Walikota Kota Besar Makassar, Kolonel (Pur) HM Dg
Patompo.
Acuan yang
digunakan untuk mengubah nama Makassar adalah “instruksi” Wakil
Perdana Menteri III (Waperdan), Chairul Saleh. Ia menekankan agar
semua kota di Indonesia, yang tidak sesuai dengan elan revolusi untuk
segera diganti. Nama-nama kota yang berbau kolonial (Belanda)
seperti Fort de Cock diubah menjadi Bukit Tinggi, Buitenzburg menjadi
Bogor atau Batavia diganti Jakarta.
Khusus untuk
Makassar diusulkan nama “Kotamadya Makassar Raya” atau “Kotamadya
Ujung Pandang”. Hasan Usman, anggota DPRGR Kota Besar Makassar
kemudian memunculkan nama “Kota Ujung Pandang” untuk dibawa ke
Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Maka, nama Makassar yang
ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan sesuai
Undang-undang No 13 tahun 1964, diganti menjadi Ujung Pandang sejak 1
September 1971. Perubahan ini didasari PP No 51 tahun 1971.
Terbuai Mimpi
Makassar
resmi hadir di Nusantara pada 1 April 1906, namun, keberadaannya
sudah sejak sekitar pertengahan abad ke 16. Makassar yang terkenal
di dunia internasional adalah wujud dari Somba Opu, yang merupakan
Ibu Kota kerajaan kembar Gowa-Tallo.
Pada
mulanya, Makassar hanya sebuah perkampungan kecil yang tumbuh menjadi
bandar niaga yang strategis. Ini ditunjang perkembangan Kerajaaan
Gowa-Tallo sebagai wilayah maritim. Pelabuhan utama Makassar pun
akhirnya menjadi pusat pedagang-pedagang dari pelosok Nusantara,
Eropa maupun Tiongkok.
Ketika
pemerintah Hindia Belanda tiba di Sulawesi, maka, Makassar ditetapkan
sebagai pusat pemerintahan Timur Besar (Groote
Oost). Apalagi, posisi penting
Makassar dari segi geopolitik sangat menguntungkan. Posisi itu
menjadikan pula Makassar berfungsi sebagai pusat pemerintahan
kolonial. Hingga, pemerintah Hindia Belanda mengangkat status
Makassar sebagai daerah otonom yang memiliki pemerintahan dengan
sebutan Stands Gemeente Makassar
pada 1 April 1906.
Gemeente
Makassar merupakan Ibu Kota De Groote
Oost, kawasan Timur Indonesia.
Gemeente Makassar kemudian menjadi pusat pendidikan, perekonomian dan
pemerintah di kawasan Indonesia Timur.
Kemegahan
masa lampau sebagai pusat niaga internasional serta sejumlah predikat
spektakuler, membuat orang tetap rindu kepada nama Makassar. Maka,
lahirlah “Petisi Tiga Budayawan” pada 1976 yang ditandatangani
oleh Prof Dr HA Mattulada, Prof Mr Dr Andi Zainal Abidin Farid dan
Drs HD Mangemba. Petisi tersebut menginginkan dikembalikannya nama
Makassar.
Sesudah
petisi itu, juga diadakan seminar serta berbagai diskusi untuk
kembali memakai nama Makassar. Alasan yang diungkap pun beragam.
Misalnya, nama Makassar punya sisi nasionalisme dan berbobot
internasional. Sedangkan Ujung Pandang cuma memiliki bobot lokal.
Disebutkan pula bahwa penulisan peristiwa sejarah sebelum 1970 dengan
mengganti Makassar menjadi Ujung Pandang, adalah penggelapan sejarah.
Alasan yang
dikemukakan menunjukkan, betapa mereka masih tetap terpesona dengan
kejayaan Makassar. Hingga, lupa jika angan tersebut cuma mimpi
tentang sesuatu yang tak ada. Akibatnya, zaman tempat mereka
berpijak, terkoyak oleh kungkungan kebodohan serta lilitan
kemiskinan. Sebab, hanya terbuai masa silam tanpa pernah melihat ke
masa depan.
Kini,
setelah 20 tahun menjadi Ujung Pandang, kesadaran mulai merekah.
Pembangunan wilayah Indonesia Timur (Intim), ternyata lebih sakral
dibangkitkan daripada duduk mengkhayalkan diri sebagai “Ayam Jantan
dari Timur”.
Membangun
sebuah daerah, maka, masa lampau bukan patokan untuk memulai.
Makassar, mungkin pernah strategis bagi perniagaan. Dewasa ini,
perputaran zaman telah mengubah segalanya. Pada kurun waktu ini,
daerah apa pun serta di mana pun, semua pasti sama kalau kilatan ilmu
dan teknologi mendapat tempat terhormat. Bukan hanya Makassar saja
yang strategis. Manado, Ambon, Malaka, Banjarmasin atau Surabaya,
semua sama dan memiliki posisi yang menguntungkan. Tanpa perlu
memilah satu demi satu untuk mendengungkan superioritas suatu daerah.
Warga negara yang baik, yang berwawasan luas, tak perlu menjual nama
Makassar untuk popularitas.
Di periode
ini, bagaimana pernik-pernik keindahan Toraja, Malino, Bali,
Jayapura, Maluku, Bogor, Balikpapan, Lombok serta seribu nama daerah
di Indonesia, membentuk untaian kesatuan negara adil makmur.
Bila egoisme
kedaerahan dan kesukuan tetap dipegang, maka, “Sumpah Pemuda”
(1928) gagal merangsang sikap persatuan dan kesatuan. Ujung Pandang
bukan dosa tahun 70-an, melainkan saluran untuk lebih memekarkan
sebuah kota masa lampau.
Sekarang,
mari menyanyikan koor bersama: “Kuingin namamu tetap Ujung
Pandang!”
(Surya,
Kamis 21 November 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar