Selasa, 29 November 2022

Bertutur Jujur


Lebih baik habis-habisan bertutur jujur daripada menimbun kebenaran sampai basi
(Abdul Haris Booegies)


Jujur Berbuah Luhur


Jujur berbuah luhur
(Abdul Haris Booegies)


Sabtu, 26 November 2022

Buku Harian (I)

 

Buku Harian (I)
Oleh Abdul Haris Booegies


"Buku harian merupakan jendela untuk menatap masa lampau" (Abdul Haris Booegies)

     Pada Jumat, 22 April 1983, Stern, majalah mingguan Jerman Barat, mengklaim jika menemukan 62 volume diari bertulis tangan al-Mahbub Adolf Hitler.  Hitler-Tagebücher (Buku Harian Hitler) ini ditulis sejak 1932 sampai 1945.
     Gerd Heidemann, wartawan Stern penemu kitab misterius tersebut, memulai dongengnya.  Alkisah, ia memperoleh diari itu sesudah menelusuri sebuah loteng jerami di Jerman Timur.  Buku tersebut tersimpan berkat jasa seorang jenderal dari Jerman Timur.  Pejabat militer itu menemukannya di bangkai pesawat pengangkut harta-benda Hitler yang jatuh dekat Dresden pada April 1945.  Heidemann membelinya seharga 9,34 juta Mark (6,1 juta dolar AS) dari Konrad Kujau alias Konrad Fischer, pelukis yang sehari-hari dikenal sebagai pedagang barang antik.
     Pada Jumat, 6 Mei 1983, hasil tes forensik disiarkan oleh Arsip Federal Jerman Barat (Bundesarchiv).  Diumumkan bahwa goresan tinta di diari tersebut berasal dari periode modern, bukan tinta dari masa Perang Dunia II.  Begitu juga kertas serta benang di naskah itu.  Akibatnya, Heidemann dan Konrad, pembuat buku harian palsu Hitler, dihukum.  Pada 1985, keduanya mendekam di penjara selama empat tahun delapan bulan.
     Pertanyaan krusial mengenai diari Der Führer Adolf Hitler.  Apakah kepala suku Nazi tersebut punya kesempatan menggubah diari?  Apalagi, menulis catatan personal di zaman perang.  Ini tentu merepotkan sekali.  Sebuah ulasan peristiwa pribadi minimal ditulis 20 menit sebelum tidur.  Tergantung deretan momen yang ditatah dalam aksara.  20 menit tergolong durasi ringkas, tetapi, menjalankannya teramat ruwet.
     Menulis buku harian ibarat mengelola waktu secara saksama.  Kita dituntut menulisnya secara cepat agar kejadian dalam pikiran tidak menguap.  Kalau peristiwa-peristiwa itu diimplementasikan setelah satu hari, niscaya kebuntuan menghadang.  Kasus kemarin dengan hari ini sulit dibedakan waktunya, jam per jam.

Genosida Palestina
     Saat duduk di kelas II di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada 1981, saya membaca sebuah artikel di majalah hiburan.  Coretan tersebut membahas diari.
     Saya terpesona dengan kupasan tentang buku harian.  Berkhayal ingin mengarang diari.  Masalahnya, ini di pesantren.  Semua serba terbatas.  Kronik sehari-hari begitu monoton.  Apakah ada yang menawan di kampus Islami ini untuk dikemas dalam buku harian?
     Di Pesantren IMMIM, kegiatan terkesan tandus, tak cocok ditulis.  Tidak memikat.  Aktivitas santri hanya bangun subuh, shalat berjemaah di masjid serta belajar di kelas.  Bila ada yang melanggar, diadili sesuai tingkat kejahatannya sebagai pelajar.  Santri muskil lepas dari konsekuensi aturan.
     Pada sebuah kesempatan, saya membeli kitab berjudul Buku Harian Anne Frank.  Ini karya tenar di dunia perihal diari seorang bocah Yahudi.  Jika tak salah, cetakan ini saya beli di Arena Ilmu di Jalan Mongisidi.  Ini toko buku populer di Ujung Pandang.  Ada pula toko buku Hidayat, di samping New Artis Theater.
     Saya agak payah mencerna buku harian Annelies Marie Frank.  Ini lantaran berkisah mengenai Anne bersama keluarganya yang bersembunyi di sebuah loteng rumah di Amsterdam, pada 1942.  Kala itu, Jerman menduduki Belanda di era Perang Dunia II.
     Saya juga sebal dengan diari gadis cilik kerempeng tersebut.  Sebab, seolah mendiskreditkan al-Mukarram Adolf Hitler, tokoh idolaku.
     Bertahun-tahun Gusti Agung Hitler difitnah membantai lebih enam juta Yahudi.  Padahal, tidak ada satu pun bukti kalau jumlah puak Yahudi di Eropa mencapai enam juta di kurun itu.  Andai ketua Partai Nazi tersebut membunuh enam juta jiwa, niscaya Yahudi yang tersisa sekarang tinggal satu RW.
     Pasca-Perang Dunia II, Yahudi bergandeng dengan Barat menciptakan dongeng Holocaust.  Istilah ini merujuk tentang pemusnahan massal Yahudi oleh rezim Nazi.
     Pada hakikatnya, Holocaust tak dilandasi bukti akurat kecuali pengakuan tanpa dasar dari korban Auschwitz.  Di Auschwitz tidak ada kamar gas untuk mengeksekusi manusia.  Ruang gas Auschwitz cuma dipakai buat pengasapan pakaian supaya bakteri-bakteri yang melekat, mati.
    Petta Puang Hitler tak pernah merekomendasikan untuk membantai Yahudi di Eropa.  Tidak ada dokumen yang membuktikan bila Nazi memiliki program untuk menghabisi Yahudi.
     Israel mempropagandakan mitos Holocaust demi mengeruk pembayaran ganti rugi gigantik saban tahun dari Jerman.  Holocaust diputar terus di media global agar masyarakat mondial bersimpati kepada Israel.  Yahudi bukan korban genosida, namun, pelaku genosida kepada bangsa Palestina!

Harta Karun
     Tatkala naik kelas III, saya mulai menulis buku harian pada Selasa, 3 Agustus 1982.  Waktu itu, kamarku di bilik 2 rayon Pangeran Diponegoro.
     Menyusun kalimat di atas lembaran kertas merupakan kegemaranku.  Ketika kelas VI SD, saya juara dua mengarang antar-SD sekabupaten.  Karanganku yang memperoleh hadiah tiga buku tulis tipis tersebut berjudul Banjir.
     Berbilang tahun, diariku selama di pesantren, terkucil dari dunia luar.  Saya menyembunyikannya dalam kardus khusus.  Ini supaya aman dari serangga dan orang iseng.  Saya tak pernah membacanya.  Tidak berminat.  Isinya pasti bernada tunggal, tanpa gairah.  Tak ada semarak ekspresi karena terjadi dalam lingkungan yang terpencil dari dunia luar.
     Pada 2020, saat menulis perihal Pesantren IMMIM, saya kehabisan bahan.  Di mana harus memperoleh data?  Sumber yang dihubungi hanya angkat tangan.  Tidak paham yang ditanyakan.
     Saya kemudian terkenang buku harian yang ditulis 38 tahun silam.  Saya tergoda membaca diari itu.  Apalagi, saya sering mimpi mengenai Pesantren IMMIM.  Sejak tamat pada 1986 sampai 2020, saya sudah lebih 40 kali mimpi melihat almamater.
     Mungkinkah mimpi-mimpi tersebut terkait dengan buku harian?  Barangkali di diari itu ada jawaban mengapa saya kerap mimpi berada di Pesantren IMMIM?  Mungkin kandungan buku harian tersebut mesti diungkap ke publik.  Saya bukan bagian penting dalam narasi Pesantren IMMIM, tetapi, punya bagian penting untuk narasi Pesantren IMMIM.
     Di suatu sore, saya memaksakan diri membaca diari yang direkam empat dekade lampau.  Saya berdebar-debar, apa sebenarnya isinya.  Apa yang dulu saya tulis.  Ketika menyimaknya, saya terkejut.  Isi buku harian ini kiranya memuat informasi yang begitu bervariasi.  Ada kegembiraan, kekecewaan, kesedihan maupun kemarahan.  Petualangan demi petualangan tersusun secara kronologis.  Banyak ikhwal di luar dugaan yang terangkum.  Apalagi, serpihan hikayat itu telah lama sirna dari memori alumni.  Kini, data-data tersebut seolah meluber dari ruang bawah tanah sesudah terpendam 38 tahun.  Sebuah harta karun peninggalan tempo dulu.

Foto Bugil
     Diari merupakan ekspresi sang penulis.  Karakter penggubah akan mewarnai tiap lembar perjalanan sejarah yang dicatat.  Selain watak dominan penulis, juga lingkungan atau tempat kejadian perkara (TKP) begitu menonjol diungkap.  Penyingkapan TKP tergantung pengarang dalam merangkai fakta.
     Saat merakit buku harian di pesantren, saya berfantasi jika lembar-lembar diari itu kelak diterbitkan.  Inilah yang memacu saya untuk rajin menyalin buku harian saban hari.  Menjelang tidur, saya menyisihkan waktu sekitar 20-30 menit guna menata kata.
     Pada 1983, ada dua adik kelas yang meracik pula diari.  Ia anak kota yang berasal dari keluarga profesional kelas menengah.  Hingga, memiliki akses informasi yang lebih memadai ketimbang santri pedalaman.  Belakangan, keduanya jera meramu buku harian.  Kapok di tengah jalan.
     Saya beruntung bisa menulis diari sampai tamat di pesantren.  Saya mentranskripsikan warta tentang tamu-tamu mulia yang berkunjung ke Pesantren IMMIM.  Misalnya, Duta Besar Brunei Darussalam atau Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin.
     Buku harianku tak luput menorehkan perkara mengejutkan.  Pada Sabtu, 11 September 1982, santri gempar.  Ustaz Baharuddin HS yang juga pendekar Black Panther, murka.  Ini gara-gara Tongkang (nama gadungan), pembina muda di Pesantren IMMIM.
     Ustaz Baharuddin geram karena Tongkang bertindak sewenang-wenang.  Menghajar santri dengan cara menyalahi prosedur standar.  Santri pelanggar dipukul tanpa ampun.  Banyak santri jadi korban, termasuk saya.
     Ustaz Baharuddin menyemangati kami untuk memprotes keras ulah keji sosok antagonis tersebut.  Tongkang akhirnya dipecat!
     Pada Selasa sore, 12 Oktober 1982, saya, Imam Setiawan serta Lukman Sanusi ke kompleks Kavaleri.  Kami bertemu Slamet, bocah Tamalanrea yang entah di mana tinggal.  Ia memamerkan kepada kami gambar porno.
     Saya heran, dari mana bocil ini memperoleh foto-foto wanita telanjang.  Tubuh Slamet cukup mungil, barangkali kelas I SMP atau masih SD.
     Slamet berjanji bahwa besok bakal ada yang lebih seru.  Kami trio santri IMMIM langsung bergairah, mengawang-awang menuju langit ketujuh.  Tidak tahan rasanya menunggu besok.  Janji Slamet betul-betul bikin stres.
     Pada Senin, 18 Oktober 1982, segelintir santri genit bersemangat 45.  Ini berkat SMP Bawakaraeng mengadakan perkemahan di area Panggung Serbaguna di sisi Selatan pesantren.
     Banyak siswi mengambil air di sumur pesantren yang terletak dekat pagar kawat berduri.  Mendadak perigi riuh.  Kami saling bertukar cerita dengan cewek-cewek SMP.  Berkenalan ala kadarnya.  Seorang di antaranya bernama K (nama lengkap disembunyikan).
     Pada Ahad, 24 Oktober 1982, saya sempat cemas.  Saya diberitahu bahwa Mahmuddin Achmad Akil ke Bulurokeng nonton IMMIM Generation.  Saya khawatir bocah Sidrap yang masih kelas I itu tersesat.  Apalagi, ia bersama santri yang seluruhnya berasal dari kampung.
     Ada beberapa fragmen di diariku yang mustahil dipublikasikan.  Ini akibat perbuatan memalukan sekaligus menjijikkan.  Ada santri bertangan jahil, ada pula mengidap penyimpangan orientasi seksual.
     Sejak 2020 sampai menjelang berakhir tarikh 2022, saya telah menghasilkan lebih 50 artikel yang berdasarkan buku harian.  Kalau melongok informasi di diari, maka, jumlah 50 tersebut akan terus mengembang.  Pasalnya, memoar sembilan volume dari Pesantren IMMIM itu laksana danau data.  Selalu timbul gagasan tiap membuka sebuah lembarannya.
(Bersambung)


Jumat, 18 November 2022

Radio Santri


Radio Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, disiplin adalah panglima.  Aturan sangat ketat.  Siapa tertangkap melanggar, bakal diadili pada malamnya.  Makin berat pelanggaran, kian keras hukuman.
     Pelanggaran tergantung dinamika santri.  Kalau ada santri banyak ulah atau ceroboh, ia barangkali akan tercatat sebagai pelaku pelanggaran serius atau ringan.  Dalam rutinitas kesantrian, ada empat aksi paling berbahaya.  Pelanggaran berat pertama yakni kabur dari kampus.  Ini dosa besar tanpa ampun.  Hukumannya digebuki sebelum dimasukkan ke sel atau digundul.  Pelanggaran berat kedua yaitu bolos dari kelas.  Ketiga, merokok.  Keempat, tak shalat berjemaah di masjid.  Terakhir membawa radio.
     Ada lagi sederet praktik buruk perilaku santri, namun, dianggap dosa kecil.  Umpamanya, melempar pohon mangga yang terletak di depan aula.  Jika ketahuan, dapat tempeleng kanan-kiri.  Lumayan pedisnya.  Sementara malunya tidak hilang sampai tamat di pesantren.  Menjadi cerita riuh bila sudah alumnus.  Sebab, diolok-olok "pencuri mangga".
     Dari lima pelanggaran berat, hanya merokok yang tak pernah saya lakukan di pesantren.  Empat dosa besar lainnya, sukses gemilang saya lakoni.
     Saya pertama kali membawa radio tape recorder ketika kelas II.  Kala itu, saya ditempatkan di bilik I rayon Datuk Ribandang (Asrama Fadeli Luran).  Di kamar ini, penghuninya ada dua macam.  Kalau tidak tinggi-besar, ia pasti nakal.  Barak ini mirip sarang mafioso, bebas terkendali.
     Di suatu siang, saya mendengar kaset lawak DKI Prambors.  Saya menggunakan earphone sambil menutup kepala dengan sarung.  Berharap tak ketahuan jika sedang mendengar radio.  Apalagi, ranjangku bagian atas.
     Tanpa sadar, saya tertidur.  Yusuf Halim yang merupakan adik mantan pimpinan kampus, datang membangunkan santri untuk shalat Ashar.  Ia heran karena saya sulit dibangunkan.  Yusuf pun melongok dengan memanjat rangka ranjang.  Ia menarik sarung di kepalaku.
     "Pantas tidak bisa bangun!  Kamu ternyata dengar radio!"  Yusuf kemudian merampas radio.  Ia langsung menentengnya ke kantor pimpinan kampus.
     Alamat buruk ini.  Saya pasti dikepruk nanti malam di qismul amni (seksi keamanan).  Beginilah nasib, saya masih pemain baru untuk melakukan pelanggaran berat.  Akibatnya, terciduk membawa barang elektronik.

Radio Mini
     Tatkala kelas III, saya kembali membawa radio tape recorder.  Saya juga membeli radio seukuran novel tebal.  Ini mudah ditenteng ke beranda, portabel.  Harganya Rp 10 ribu di Sentral Jaya, sebelah Barat Pasar Sentral.  Ini cuma radio, tak dapat memutar kaset.
     Radio ini terkadang rewel.  Soalnya, tangkapan siaran tergantung pada antena.  Untung antenanya 30 cm sekaligus bisa vertikal serta horizontal.
     Di Pesantren IMMIM pada 1982-1986, ada sejumlah santri membawa radio mini.  Ukurannya mirip dompet.  Antenanya hanya 15 cm.  Corak radio ada hitam, ada pula merah dan biru.  Harganya Rp 2.500 di Sentral Jaya.
     Radio mini tergolong barang mewah di pesantren.  Apalagi harganya Rp 2.500, lumayan menguras pundi-pundi.  Sebagai ilustrasi.  Pada 1982, martabak biasa berharga Rp 150.  Sedangkan istimewa dibanderol Rp 750.  Di kurun tersebut, cuma ada dua jenis martabak, biasa serta istimewa.  Dewasa ini, terpampang martabak biasa, orisinal, spesial, istimewa, super, megasuper (lima telur), jumbo, pizza dan VIP.  Martabak termurah berharga Rp 20 ribu.  Termahal mencapai Rp 100 ribu.
     Pukul 02.30 pada Senin, 1 November 1982 (15 Muharram 1403), ustaz Saifullah Mangun Suwito mengontrol bangsal.  Pimpinan kampus legendaris ini menyita banyak radio.
     Sebagian sohib asyik mendengar radio seraya berbaring selepas pukul 22.00.  Tanpa sadar, mereka tertidur.  Menjelang dini hari, tiba-tiba muncul ustaz Saifullah dari kepekatan gelap malam.  Ia mujur berkat tangkapannya satu kantong penuh radio.
     Saya beruntung berkat mematikan radio sebelum tidur.  Saya bukan lagi pemain baru setelah detik berdetak, hari berganti, musim bergilir serta tarikh bersilih.  Semua mencari jalannya sendiri demi perubahan.  Saya terus mengalami perubahan, kendati dalam skala mikro pada jalur negatif.

Biduan Lawas
     Selama bergaul dengan rekan yang punya radio, saya nyaris tidak pernah melihat mereka menelaah program berita.  Di Pesantren IMMIM, radio bukan sarana informasi demi menambah wawasan, melainkan media hiburan.  Santri butuh rekreasi berupa siaran santai semacam pemutaran lagu.
     Biduan kondang selama di pesantren pada 1980-1986, cukup banyak.  Mereka antara lain Rhoma Irama, A Rafiq, Gito Rollies, Jamal Mirdad, Chrisye, Doel Sumbang, Mansyur S, Tommy J Pisa, Fariz RM, Gombloh dan Ebiet G Ade.  Sementara biduanita ialah Elvi Sukaesih, Titiek Puspa, Astrie Ivo, Uci Bing Slamet, Euis Darliah, Happy Pretty, Endang S Taurina, Dian Piesesha, Vina Panduwinata, Nia Daniati, Itje Trisnawati serta Camelia Malik.
     Dalam buku harianku pada Ahad, 14 Agustus 1983 (6 Zulqaidah 1403), tersua Top Hits Pop Indonesia versi radio Bayoreksa.  Hapuslah Air Matamu (Grace Simon), Tirai (Rafika Duri) dan Malu Dong Ah (Dina Mariana).  Sedangkan Suara Terlaris radio Gandaria yakni Dansa Reggae (Nola Tilaar), Malu Dong Ah (Dina mariana) serta Lihat Air Mata (Grace Simon).

Indo Sidenreng
     Di pertengahan era 80-an, ada beberapa stasiun radio swasta di Ujung Pandang.  Berikut nama stasiun radio yang disusun secara alfabetis.  Al-Ikhwan, al-Kawaqib, Bayoreksa, Bharata, Gamasi, Gandaria, Madama, Merkurius dan Telstar.  Saya agak lupa, tetapi, sepertinya radio Christy maupun Venus sudah mengudara.
     Santri puber serta genit, suka mengikuti acara Bisikan Kalbu di Gamasi.  Persembahan ini membahana menjelang tengah malam.  Di rentang waktu 80-an, radio memang menjadi media curhat dan wadah berkirim salam.
     Bisikan Kalbu berisi curahan hati yang tergores amuk asmara.  Pendengar mengirim "naskah putus cinta" ke Gamasi untuk dibacakan penyiar.  Susunan kalimatnya begitu norak serta sendu.  Maklum, ditulis oleh individu sunyi yang sekarat semangatnya.  Ia pasti mengalami krisis defisit spirit kronis.  Hatta, olah kosakatanya sekedar mendeskripsikan perasaan yang terpendam tentang kekecewaan, penyesalan, rindu atau harapan.  Patut diduga tanpa bimbang bila penulisnya insan patah hati level semaput.  Mereka seolah minta dikasihani gara-gara cintanya kandas, karam di lembah tandus.
     Di suatu malam pada 1983, saya tanpa sengaja memergoki seorang teman.  Ia tak menyadari kalau saya belum tidur.  Matanya sembap.  Rupanya ia tengah mendengar Bisikan Kalbu.
     Mungkin sahabat ini hanyut oleh untaian kata Bisikan Kalbu.  Barangkali juga peristiwa yang diulas Bisikan Kalbu serupa kisah cintanya.  Mungkin pacarnya dikawini perjaka lain.  Begitulah resiko sebagai santri.  Kekasih yang ditinggal di kampung, enteng digaet cowok keren.
     Selama di Pesantren IMMIM, saya tidak pernah menyimak Bisikan Kalbu.  Malu sekaligus risih mendengarnya.  Saya hanya doyan ocehan konyol Indos (Indo Sidenreng) di Gandaria.  Suaranya khas dengan logat Sidrap.  Sementara tawanya menggelegar bak guntur.  Canda kocaknya membuat terpingkal-pingkal.  Heboh sekali.
     Menjelang tamat di pesantren pada awal 1986, rekan-rekan di pondok kecanduan sandiwara radio Saur Sepuh.  Bertutur perihal Brama Kumbara, pendekar dari Kerajaan Madangkara.
     Saur Sepuh disiarkan pada pukul 19.00.  Hingga, mengusik jadwal shalat Isya.  Banyak santri senior lebih mementingkan menyimak petualangan seru Brama Kumbara ketimbang ke masjid ath-Thalabah.  Sisi kanan-kiri masjid saat shalat Isya, sepi jemaah.  Ini karena kelas V dengan VI getol mendengar kesaktian kesatria Madangkara.  Santri dengan Saur Sepuh bagai komponen senyawa di Pesantren IMMIM.  Mereka terpukau wejangan Brama Kumbara; "di atas langit, masih ada langit".
     Sandiwara radio ini, tak pernah saya dengar.  Mana ada orang mengendarai rajawali raksasa atau golok berjuluk pedang setan yang mengeluarkan asap beracun.  Setelah tamat, tidak satu pun serial film Saur Sepuh saya tonton di bioskop.  Pada 1988, bioskop Mitra dijejali penonton untuk menyaksikan problematik Dewi Mantili, Raden Samba, Lasmini, Raden Bentar, Jaka Lumayung, Merit, Kelabang Hitam, Raden Paksi Jaladara, Bongkeng, Kandara, Dewi Harnum dan Paramitha.
     Kekuatan radio sebagai theater of mind, begitu ampuh mempengaruhi aktivitas santri.  Mendengar hiburan dari radio sesungguhnya merecok konsentrasi.  Fokus buyar.  Ini bakal merusak harmoni proses belajar-mengajar.  Akibatnya, santri lebih memilih menikmati lagu-lagu atau sandiwara daripada membaca al-Qur'an, kitab gundul atau buku pelajaran lain.  Inilah yang mendorong Pesantren IMMIM untuk melarang santri membawa radio.


Selasa, 15 November 2022

Fir'aun


Fir'aun
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam al-Qur'an, nama Fir'aun (فِرْعَوْنَ) tertera 74 kali di 27 surah.  Di zaman Maharasul Muhammad, tidak ada kontroversi tentang Fir'aun.  Ia tokoh tunggal yang dinarasikan al-Qur'an.
     Tatkala historikus muncul dengan serba-serbi teori, terutama Egiptolog (pakar Mesir kuno), sekonyong-konyong figur Fir'aun berubah.  Sejarawan yakin kalau Fir'aun merupakan gelar, bukan nama seorang diktator tempo dulu.
     Pada esensinya, penggunaan "Fir'aun" tak secorak dengan titel di bentala lain.  Sebagai umpama, Sultan merupakan predikat bagi raja di sebagian mandala Islam.  Kaisar untuk penguasa Romawi, Kisra di Persia, Negus di Abyssinia, Najasyi di Habasyah, Tubba di Yaman, Batlimus di India, Hamengku Buwana di Mataram atau Arung di negeri-negeri Bugis.
     Egiptolog Zahi Hawass menegaskan bahwa vokabuler "Fir'aun" berpangkal dari kata "Baraa" yang berarti "rumah" atau "balairung".  Morfem baraa dalam bahasa Ibrani dilafalkan "Faro".  Orang Arab menambahkan fonem nun.  Hingga, pengucapannya menjadi "Faron".  Zahi Hawaas menengarai bila istilah ini sudah ada sejak Kerajaan Lama Mesir (2686-2181 sebelum Masehi).
     Di sejumlah kuil, tersua kata "Baraa" atau "Fir'aun" dalam hieroglif kerajaan.  Ini karena nama tersebut secara spesifik mengarah pada seorang raja.
     Mustafa Waziri berargumentasi bahwa Fir'aun bukan julukan, melainkan nama seorang sang prabu.  Sedangkan arkeolog Ahmed Nuruddin menginterpretasikan jika tertoreh isyarat di al-Qur'an mengenai kosakata "Fir'aun".  Menurutnya, dalam peradaban Mesir antik yang terkandung dalam al-Qur'an, kata "Fir'aun" merupakan sebutan untuk individu khusus, bukan gelar.
     Saya mengimani bahwa Fir'aun merujuk ke satu sosok.  Fir'aun bukan sapaan untuk sebilangan raja Mesir.  Meski teguh bahwa Fir'aun merupakan individu tunggal, namun, saya tidak menampik kalau Fir'aun tiada lain predikat seorang baginda.  Misalnya saja, Arung Palakka bertajuk Petta Malampe'e Gemme'na yang bermakna Raja Gondrong.  Tak semua adipati Bone berjuluk Petta Malampe'e Gemme'na.  Ini eksklusif untuk Arung Palakka.
     Adolf Hitler bergelar Führer und Reichskanzler (pemandu rakyat serta kanselir).  Tidak ada pemimpin Jerman berlabel Führer und Reichskanzler, selain Hitler.
     Idi Amin Dada Oumee dijuluki Kijambiya (si Parang).  Presiden Uganda itu juga berstatus Lord of All the Beasts of the Earth and Fish of the Sea.  Idi Amin yang berasal dari suku Kakna, beken pula dengan titel Conqueror of the Bristish Empire in Africa.  Tak ada presiden Uganda atau insan Afrika punya emblem demikian kecuali Idi Amin.

Nama Autentik
     Demi membingungkan pembaca karena artikel ini sedikit gila, saya membeberkan ulasan yang gegabah bin teledor.  Ini terkait nama gadungan sekaligus urutan keliru sri paduka yang sekurun Nabi Musa.
     Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Anshari al-Qurthubi mengutarakan dalam tafsirnya bahwa Fir'aun merupakan nama raja.  Ia menegaskan bila nama orisinal Fir'aun yakni Qabus.  Ini mirip dogma Yahudi dan Nasrani bahwa Fir'aun berpanggilan Qabus.  Al-Qurthubi pun menerangkan bahwa Fir'aun sebetulnya nama sifat, bukan nama orang.  Siapa doyan mendebat kebenaran, maka, diserupakan Fir'aun.
     Al-Allamah al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuthi menguraikan bahwa Fir'aun merupakan gelar.  Nama sesungguhnya yaitu al-Walid bin Mush’ab.  Panggilannya ialah Abu al-Walid, Abu Murrah atau Abu Abbas.
     Dalam persepsi Abu Nashar Ismail bin Hammad al-Jauhari, Fir'aun merupakan julukan untuk al-Walid bin Mush'ab.  Ini selaras dengan Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani.  Dalam Tafsir al-Munir, ia berteori jika nama asli Fir'aun adalah al-Walid bin Mush’ab bin Rayyan.  Sementara Abu Khalid Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij al-Qurasyi al-Umawi tampil lebih komplet.  Sebab, mempresentasikan kalau al-Walid bin Mush’ab bin Rayyan berpunca dari bani Amliq bin Wilad bin Iram bin Sam bin Nabi Nuh.
     Historikus mondial sepakat bahwa nama legal kaisar Mesir di masa Nabi Musa yakni Ramesses (Ramses) II.  Nama ini terdengar sakti.  Musababnya, Ra dalam bahasa Mesir lawas berarti tuhan.
     Rombongan ahli galau, terdengar sedikit gaduh.  Apakah Ramses atau putranya yang bernama Merneptah atau Mineptah yang tenggelam di Laut Merah?  Saga ini makin bising lantaran muncul Thutmose II.  Ia dianggap raja yang menentang risalah tauhid Nabi Musa.
     Silsilah yang tidak konsisten ini, tentu bagian dari kesintingan perihal Fir'aun.  Ulama serta cendekiawan saling berbeda wawasan, baik nama maupun kronologi.
     Saya berpegang bahwa sejak Nabi Musa dilahirkan sampai eksodus menyeberangi Laut Merah, hanya ada satu raja Mesir di era tersebut.  Fir'aun yang memperkenankan Nabi Musa tinggal di keraton setelah dihanyutkan oleh ibunya di sungai Nil, merupakan Fir'aun yang membangkang terhadap nubuat Nabi Musa.
     "Nabi Musa dipungut oleh keluarga Fir‘aun.  Kelak, ia menjadi musuh sekaligus dukacita bagi mereka" (al-Qashash: 8).

Dongeng Agamawan
     Nama Nabi Musa dijumpai berserak dalam al-Qur'an dan Bibel.  Di al-Qur'an, tercatat 136 kali namanya disebutkan.  Terbanyak di antara para nabi serta rasul.  Sedangkan dalam Alkitab, namanya bergema 873 kali di 803 ayat.  Anehnya, tak ada dokumen resmi dari sumber otoritatif atau bukti arkeologis yang mendukung bila betul ada orang bernama Nabi Musa.  Prasasti dengan hieroglif yang banyak ditemukan, tidak satu pun memuat nama Nabi Musa.  Segala klaim argumentasi cuma bersandar pada teks religius, bukan analisis berbasis data ilmiah.  Arkian, arkeolog curiga, benarkah Nabi Musa tokoh riil atau sekedar fiksi para agamawan.
     Di Laut Merah tidak terselip benda baheula peninggalan Nabi Musa bersama pengikutnya.  Padahal, 600 ribu bani Israil sempat melewati dasar Laut Merah selama kira-kira empat jam sampai fajar menyingsing.  Bahkan, sampai kini tak ditemukan lembah tempat bermukim Nabi Musa bersama umatnya sesudah selamat dari cengkeraman Fir'aun.  Dataran di perbatasan Mesir itu pasti luas demi menampung 600 ribu Yahudi.  Di sebuah bukit terjal dekat lembah tersebut, Nabi Musa menerima Taurat.
     Benda arkeologis tidak ada.  Enkripsi di Piramida, kuil serta monumen tak ada.  Situs tidak ketahuan rimbanya.  Ini mengakibatkan arkeolog meragukan riwayat Nabi Musa.
     Substansi makalah ini yaitu Fir'aun, lawan tangguh Nabi Musa.  Arkeolog percaya Fir'aun mati tenggelam.  Ini 100 persen tak terbantahkan, termasuk diyakini oleh sineas Hollywood.  Kala Fir'aun berkuasa, tidak ada satu pun negara sanggup menandingi Mesir.  Apalagi, mengusik kedaulatan Mesir.  Satu-satunya musuh besar Fir'aun ialah Nabi Musa.  Andai Nabi Musa tak pernah ada, niscaya Fir'aun tidak pernah mati tenggelam!

Rumpun Hyksos
     Mesir menjelma superpower di bawah superioritas Fir'aun.  Arsitektur sangat maju dengan memadukan matematika, astronomi, geografi dan kimia.  Pertanian berkembang dengan sistem irigasi serta agrikultur.  Alhasil, mewujudkan Mesir sebagai negara tersubur di Mediterania.  Ini mendorong Mesir menjalin perdagangan dengan kawasan Afrika Timur, Afrika Tengah dan Mediterania Timur.  Fir'aun juga memiliki militer yang teramat kuat dengan jumlah personel 600 ribu.  Korps legiun ini tak sekedar andal menjaga otonomi Mesir, tetapi, bersifat ekspansionis.  Fir'aun mengomandani ekspedisi militer ke Levant, wilayah yang mencakup Palestina, Suriah serta Lebanon.  Ia merangsek pula ke Kana'an dan Nubia.  Ini tercetak dalam epigraf di Gerf Hussein serta Beit el-Wali.  Bala tentara inilah yang menjadi sokoguru supremasi Fir'aun.
     Ayat 25-27 surah ad-Dukhan mendeskripsikan secara indah Mesir zaman Fir'aun.  Ada beragam taman permai, kebun-kebun subur dan mata-mata air yang menyejukkan.  Puri nan megah berderet dengan tiang tinggi serta besar.  Kesenangan-kesenangan terpampang.
     Dalam perspektif saya, ketika Fir'aun mati, terjadi kudeta.  Hyksos (penguasa asing) mengambil alih tampuk kepemimpinan di Mesir.  Di momen itu, Ibu Kota Pi-Ramesses yang berada di Delta Nil, lengang.  Segelintir pengawal hanya bertugas menjaga istana dan keluarga Fir'aun.  Pasalnya, segenap armada perang dikerahkan mengejar Nabi Musa.  Pengamanan yang longgar, memicu kelompok internal enteng merampas kendali kekuasaan.  Takhta, harta serta dayang-dayang Fir'aun pun direbut tanpa perlawanan oleh Hyksos.  Rezim baru ini duduk empuk di singgasana setelah mencoleng Pschent, mahkota resmi Fir'aun.
     "Kami wariskan seluruh pusaka Fir'aun kepada kaum yang lain" (ad-Dukhan: 28).
     Kudeta di Mesir alpa dikisahkan sejarah karena ordo ulama klasik sampai kontemporer mengalami euforia.  Mereka girang berkat Nabi Musa bersama partisannya terbebas dari serangan Fir'aun.
     "Hyksos di Mesir barangkali golongan elite yang memperoleh kekuasaan dari dalam", simpul Chris Stantis, arkeolog di Universitas Bournemouth di Poole, Inggris, dalam sebuah acara di Science News.
     Hyksos merupakan imigran kelahiran Mesir yang menetap di daerah Timur Delta Nil.  Mereka berpangkal dari Levant.  Puak ini mulai hijrah di periode Kerajaan Pertengahan (2040-1633 sebelum Masehi) pada trah ke-12 Mesir.
     Hylsos menjadi dinasti asing pertama yang menguasai Mesir.  Pascakudeta, mereka memindahkan Ibu Kota ke Avaris (Tell el-Dab'a) di Timur Laut Delta Nil, 120 kilometer di Utara Kairo.  Hyksos berkuasa selama tahun 1638-1530 sebelum Masehi dengan membentuk empat wangsa penguasa Mesir.

Tengkorak Luka
     Di tarikh 1881, sebuah mumi ditemukan secara utuh pada reruntuhan di Thebes, Ibu Kota Mesir bahari.  Mumi berambut bergelombang dengan warna merah (cymnotricche leucoderma) ini sampai sekarang belum dapat diidentifikasi secara jitu.  Kini, mumi tersebut dipamerkan di Museum Nasional Peradaban Mesir.
     Benarkah mumi ini Fir'aun?  Benarkah ia Kepala Negara Mesir pada fase purbakala?  Kita tidak punya tongkat sakti sebagaimana milik Nabi Musa yang ampuh membelah Laut Merah.  Kita tak punya tongkat bertuah untuk membedah jati diri mumi bersangkutan.
     Mungkinkah mumi itu adalah Ramses II, putra Seti I yang lahir pada 1303 sebelum Masehi?  Ramses merupakan kaisar ketiga dari dinasti ke-19 emir Mesir.  Ia dilantik sebagai raja pada 31 Mei 1279 sebelum Masehi.  Ramses memimpin Mesir selama 66 tahun.  Ia bergelar Ramses Agung.  Di media purba Yunani, ia masyhur sebagai Ozymandias.  Ramses mangkat di usia 90 tahun pada Juli 1213 sebelum Masehi.
     Sebagian periset berkepastian jika mumi di Museum Nasional Peradaban Mesir adalah Merneptah, anak ke-13 dari 162 anak Ramses II.  Merneptah memerintah Mesir selama hampir satu dasawarsa.  Ia naik takhta pada Agustus 1213 sebelum Masehi.  Merneptah meninggal pada 2 Mei 1203 sebelum Masehi.
     Pada Ahad, 3 Syawal 1396 (26 September 1976), di Museum Etnologi Paris, profesor Maurice Bucaille bersama profesor Pierre-Fernand Ceccaldi memverifikasi tengkorak mumi yang diterbangkan dari Museum Nasional Peradaban Mesir.  Di mumi tersebut ada jejak guncangan keras di bagian belakang perut, dada dan tengkorak.  Luka ini diperkirakan gara-gara hempasan gulungan gelombang.  Ini setakar firman Allah.  "Kami mencampakkan mereka ke laut" (al-Qashash: 40).
     Di raga mumi, melekat sisa-sisa garam.  Ini bukti kalau Fir'aun tenggelam.  "Kami tenggelamkan semua di laut" (az-Zukhruf: 55).
     "Pada hari ini, Kami selamatkan jasadmu supaya menjadi pelajaran bagi manusia yang datang sesudahmu." (Yunus: 92).


Selasa, 08 November 2022

Santri Sultan


Santri Sultan
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, santri berbaur satu warna satu identitas.  Kami dididik berdisiplin tinggi.  Empati ditumbuhkan.  Solider dikembangkan.
     Dalam kehidupan sosial di pondok, santri mutlak sependirian di atas asas setia kawan.  Dalam suka, cuka serasa madu.  Dalam duka, madu terasa cuka.
     Menjelang akhir 1980, tiga bulan sesudah menjadi santri.  Kami sedang belajar bahasa Arab di masjid bakda Ashar.  Hujan deras kemudian mengucur dari langit.  Pembina sekaligus guru bahasa Arab lantas menyuruh seorang santri mengambil mug jumbo di kamar.  Mug vintage bermotif kembang tersebut lalu ditaruh di depan masjid demi menampung air hujan.
     Sampai hujan reda, mug besi cuma terisi setengah.  Sang ustaz kemudian menyuruh santri di barisan depan untuk mereguk air hujan.  Sebilang santri di saf pertama meminumnya seteguk secara bergilir.
     Saya bergidik akibat penjijik.  Geli campur deg-degan.  Rupanya tujuan menenggak air ini ialah untuk menghapus rasa jijik.  Satu mug bergantian diseruput oleh puluhan santri.  Tidak aneh kalau kelas II ke atas, memakai satu gelas beramai-ramai.  Berpindah dari mulut ke mulut tanpa dicuci.  Apalagi, tak semua santri memiliki gelas atau mug.
     Prinsip sama merek sama mutu di pondok menjadi jati diri.  Walau santri seia sekata tanpa perbedaan kasta, namun, tetap terbentang perbedaan.
     Di Pesantren IMMIM pada era 80-an, kentara terlihat santri pedalaman, santri kota serta santri sultan.
     Santri pedalaman tampak sabar dan kaku dalam bergaul.  Bila bertemu santri sekampung, mereka sontak bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah.  Ibarat suami-istri yang baru bersua setelah terpisah berbulan-bulan.
     Santri kota bergaya dinamis.  Terkadang sok tahu.  Dalam obrolan di kamar atau di kelas, santri kota paling bawel.
     Santri sultan alias pelajar Islam bertipe crazy rich selalu tampil santai.  Bahkan, acap cuek.  Enteng diidentifikasi berkat berbusana rapi dengan arloji melilit di tangan.  Jika ke dapur, ia membawa sendok serta gelas atau mug.  Santri sultan pasti punya termos di kamar.
     Sandal jepit santri sultan senantiasa terlihat baru.  Soalnya, begitu hilang, ia langsung membeli.  Mustahil santri sultan mengenakan sandal jepit dua warna kalau alas kakinya hilang.
     Santri lain dengan gagah berani rela memakai sandal dua warna.  Sandal bagian kanan ia temukan di dekat masjid.  Sandal sebelah kiri dipungut di beranda.  Sudah dua warna, berbeda pula ukurannya.  Untung tidak ada menggunakan sandal yang sama-sama kanan atau kiri.
     Rata-rata santri sultan merupakan moviegoer (pecandu film)  Hingga, doyan membeli koran dan majalah.  Hai merupakan media populer di jagat santri sultan.
     Pada Senin, 7 November 1983, tatkala kelas IV, saya dipindahkan ke Wisma Guru.  Di sana bermukim Mukbil, santri kelas III.  Mukbil bersahabat dengan Andi Rezky Rohadian yang kelas II.  Anak ini termasuk santri sultan dari kalangan ningrat.  Sebab, menyandang nama "andi" yang bermakna dari klan darah biru.
     Dari hari ke hari, saya pun akrab dengan Rezky.  Ia memanggilku "Ris".  Rezky rupanya moviegoer level dewa.  Arkian, doyan mencerna tumpukan media hiburanku semacam Varianada, Variasi, Video, Team atau Ria Film.  Tentu juga Vista, kitab suciku di pesantren.
     Rezky sesungguhnya bukan tandem idealku bila kabur dari pesantren menuju bioskop.  Bocah ini polos.  Tubuhnya tak kekar pula.  Saya khawatir ia dicabik-cabik sekerat demi sekerat oleh algojo qismul amni (seksi keamanan pesantren) jika ketahuan bolos.

Senin, 28 November 1983
     Usai Magrib, saya bersama Rezky menerobos derasnya hujan.  Kami kabur dari pesantren menuju bioskop Paramount.  Tiba di Sentral, mampir di Indah Jaya untuk membeli beberapa majalah film.
     Di Paramount, kami nonton Angels with the Golden Guns.  Judul orisinalnya yakni Virgin Apocalypse.  Di sejumlah negara bertitel Terror in a Woman's Prison atau Anger.  Drama aksi yang dirilis pada 21 Mei 1981 ini dibintangi Eva Bissett, Gigi Bovee, Emma Yeung, Loretta Leone, Lau Hok Nin, Danny Law serta Ang Saan.  Berkisah tentang tiga gadis cantik yang disekap.

Selasa, 27 Desember 1983
     Rezky hampir saban hari ke bilikku di Wisma Guru di Jalan Bugis, dekat 20 toilet.  Di mes guru yang dulu bernama Asrama Ayatollah Khomeini ini, populasinya hanya dua santri.  Saya dengan Mukbil ditempatkan di Wisma Guru gara-gara ditengarai badung.  Kami seatap ustaz Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus.  Belakangan, KH Abdul Kadir Kasyim ikut menetap.
     Rezky senang ke ruang pribadiku karena leluasa membaca majalah.  Puluhan media saya koleksi.  Saya juga membawa radio tape recorder dan sekitar 100 kaset.  Kendati serumah dengan wakil pimpinan kampus, tetapi, saya justru bebas.  Qismul amni tidak berani datang mencatat pelanggaranku.  Tiap bolos ke kota, saya dikira sudah dapat izin dari duo Abdul Kadir.
     Suasana bebas tanpa aturan ini, rupanya disuka Rezky.  Hatta, ia merasa tenteram berkunjung ke Wisma Guru.  Selain membaca ulasan artis serta film, Rezky membolak-balik pula Hai.  Di majalah remaja itu, ia sempat membaca cerpen kocak karya novelis Eddy D Iskandar.  Cerpen berjudul Turmini Karta Legawa Telah Tiada tersebut dimuat di Hai edisi 22 November 1983.
     Sore ini, Rezky mengajakku ke kota.  Ia hendak memanjakan mata memandang keramaian.  Rezky berniat menyegarkan pikiran.  Pasalnya, besok kami semester.  Pertama kali diuji-coba di Pesantren IMMIM.  Kami libur dulu lantas ulangan.  Kemarin lusa Rezky tiba dari Bone.  Sedangkan saya tinggal di kampus selama libur.
     Setelah berwisata lokal tanpa tujuan, saya bersama Rezky, pulang ke pondok.  Sebenarnya mau nonton di bioskop, namun, burit kian buram.  Apalagi, bioskop papan atas tak ada yang memutar film kalau petang.  Kami juga gengsi ke Jaya.  Mana ada santri sultan ke bioskop kelas bawah.  Dari 17 bioskop di kota ini, cuma Jaya secara reguler memutar film pada pukul 17.00.  Ini pertunjukan kedua selewat pemutaran pertama pada pukul 15.00.

Rabu, 28 Desember 1983
     Bakda Magrib, Rezky mengajakku kabur.  Kami ke New Artis nonton Big Guns yang di Perancis bertajuk Les Grands Fusils.  Judul asli film noir (drama kriminal) Italia ini yaitu Tony Arzenta.  Film berdurasi 100 menit ini dibintangi Alain Delon, Carla Gravina, Richard Conte, Marc Porel, Roger Hanin dan Nicoletta Machiavelli.  Film yang disutradarai oleh Duccio Tessari ini meraup sukses secara komersial.

Jumat, 30 Desember 1983
     Selepas senja, Rezky memprovokasiku ke bioskop.  Kami pun kabur lagi.  Di kota, saya mencari iklan bioskop di harian Pedoman Rakyat.
     "Nah, di New Artis yang main The Cannonball Run.  Di sana saja, oke?", usul Rezky.
     Saya langsung setuju.  Ini film box office.  Tidak boleh dilewatkan, wajib tonton.  Dibintangi Burt Reynolds, Roger Moore, Dom DeLuise, Dean Martin, Sammy Davis Jr, Jackie Chan serta Farrah Fawcett.
     Dalam gedung bioskop saat duduk di kursi, Rezky menatapku dengan mengacungkan telunjuk ke wajahku.
     "Berikutnya kamu lagi yang traktir saya".
     Saya pura-pura tak mendengar ocehannya.
     "Ingat, kamu lagi yang traktir".
     Saya pun mengangguk agar ia girang.
     Malam ini, penonton berjubel menyaksikan The Cannonbal Run.  Seluruh kursi terisi.  Full house, tiket habis terjual.  Hikayat sinema komedi ini begitu seru.  Balapan liar menembus negara-negara bagian di negeri Paman Sam.  Ini betul-betul America's illegal Grand Prix.
     Selesai menonton, para pemirsa bergegas meninggalkan tempat duduk masing-masing.  Tiba-tiba Rezky berbisik panik.
     "Ada pembina pesantren".
     "Mana dia?"
     Rezky mencolekku sebagai kode.  Ekor mataku melirik ke arah sesosok figur pembina yang berjalan di lorong landai di tengah deretan kursi penonton.  Gawat ini.  Bisa rawan nasib kami di pesantren bila tepergok.
     Saya bersama Rezky akhirnya menunduk di kursi.  Seolah mencari koin yang tercecer di antara barisan bangku.
     Secara naluri, saya merasa diamati oleh pembina bersangkutan.  Wajah kami teramat jelas lantaran lampu di dalam gedung sudah dinyalakan.
     Rezky yang duduk di sebelah kiriku, mengintip ke arah kanan lewat pundakku.  Ia mengamati kepergian sang pembina.  Rezky lalu bersuara senyap jika keadaan telah aman sentosa.  Kami pun selamat!

Sabtu, 31 Desember 1983
     Sehabis Magrib, saya bersama Rezky meluncur ke kota.  Mobil dan motor tampak sangat padat, sesak sekali.  Maklum, malam tahun baru.  Lima jam lagi kami berada di tarikh 1984.
     Pukul 20.00, saya dengan Rezky sampai di Makassar Theater untuk nonton Tandes, Sorga Dunia di Pintu Neraka.  Sinema ini disutradarai oleh Henky Solaiman.  Bintangnya antara lain Meriam Bellina, Torro Margens, Rico Tampatty, Cathy Lengkong serta Yolanda.
     Sehabis menyaksikan Tandes, berjalan kaki sekitar dua kilometer ke Dewi.  Kami bakal nonton Double Cross.  Apes, kami kehabisan karcis.
     Dari Dewi, berjalan lagi kira-kira satu kilometer ke New Artis yang terletak di Jalan Gunung Lompobattang.  Kami menyusuri Jalan Gunung Bulusaraung, sekarang Jalan Jenderal M Jusuf.  Kami singgah di kios dekat bioskop untuk menyantap mi.  Ini supaya tidak kelaparan kalau bergadang sampai subuh.
     Lautan manusia terus membanjiri jalan-jalan di pusat kota.  Mobil dan motor saling menyalip.  Saling mendahului laksana mengejar detik-detik kedatangan tahun baru.
     Pukul 00.01, kala berada di tahun 1984, saya bersama Rezky melangkah ke Paramount.  Kami kembali melewati Jalan Gunung Bulusaraung.  Di Paramount, menyaksikan Angel Face Killer.
     Film yang diputar midnight show ini cukup menggairahkan.  Banyak adegan topless, telanjang dada.  Perempuan yang berlakon sebagai Lady White hampir sepanjang film tak mengenakan kutang.  Boleh jadi ia tidak memiliki pula celana dalam di rumahnya.
     Menjelang pukul 02.00, film pun tamat.  Ketika menuruni tangga depan Paramount, Rezky membisikku.
     "Wanita yang berperan Lady White itu besar teteknya".
     Saya malas menanggapi unek-unek Rezky.  Lady White memang berpostur indah dengan dada besar.  Dalam pandangan Rezky, ini tak proporsional.  Kelebihan berat.
     Saya sebetulnya juga heran, tetapi, malu membahasnya.  Mengapa payudaranya sebesar itu?  Ini mengingatkan Amy Yip, simbol seks film Hongkong.  Artis Taiwan ini bertubuh mungil, namun, buah dadanya segede buah kelapa.  Behanya ukuran jumbo.  Akibatnya, media Hongkong menjuluki Amy Yip dengan Boba (big bubble).

Selasa, 3 Januari 1984
     Pukul 17.00, badanku hangat.  Makin lama, kian panas.  Entah hantu model bagaimana yang bersemayam di Wisma Guru ini sampai satu per satu sakit.  Sederet sohib yang terhubung erat dengan saya menderita demam.
     Kemarin Mukbil didera demam.  Disusul Rezky serta Mahmuddin Achmad Akil.
     Kesehatan yang sempat terganggu dalam skala mikro, kiranya awal kehancuran masa emasku di Wisma Guru.  Pada Ahad, 22 Januari 1984, saya disuruh angkat kaki dari mes guru.  Inilah hukum besi kehidupan di pesantren, berpindah dari satu kamar ke kamar lain.  Ketidakpastian adalah bagian dari keseharian santri.
     Saya mencoba bernegosiasi, memohon kebijakan ustaz Kadir Massoweang.  Ia justru mendesakku secepatnya pergi karena ini keputusan bersama pembina.  Imbauan tegas ini terdengar mirip umpatan sheriff sangar di film koboi.  "Singkirkan bandit ini di depan mataku, dead or alive!"  Sadis banget.
     Saya akhirnya digiring ke bangsal Imam Bonjol pada Senin, 23 Januari 1984.  Ini pedepokan para raksasa.  Segenap penghuninya bertinggi di atas 160 cm.  Boleh dikata, alumni barak Imam Bonjol akan menjadi kepala geng di kamar lain.  Di Imam Bonjol inilah nasibku berlabuh.
     Sejak tinggal di Imam Bonjol, petualangan mendebarkan ke bioskop bareng Rezky, perlahan redup.  Kami seolah terpisah berkilo-kilometer jauhnya.  Dulu di Wisma Guru, saya tak pernah diadili di qismul amni.  Kini, saya kembali menjadi pelanggan setia qismul amni.


Amazing People