Jumat, 18 November 2022

Radio Santri


Radio Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, disiplin adalah panglima.  Aturan sangat ketat.  Siapa tertangkap melanggar, bakal diadili pada malamnya.  Makin berat pelanggaran, kian keras hukuman.
     Pelanggaran tergantung dinamika santri.  Kalau ada santri banyak ulah atau ceroboh, ia barangkali akan tercatat sebagai pelaku pelanggaran serius atau ringan.  Dalam rutinitas kesantrian, ada empat aksi paling berbahaya.  Pelanggaran berat pertama yakni kabur dari kampus.  Ini dosa besar tanpa ampun.  Hukumannya digebuki sebelum dimasukkan ke sel atau digundul.  Pelanggaran berat kedua yaitu bolos dari kelas.  Ketiga, merokok.  Keempat, tak shalat berjemaah di masjid.  Terakhir membawa radio.
     Ada lagi sederet praktik buruk perilaku santri, namun, dianggap dosa kecil.  Umpamanya, melempar pohon mangga yang terletak di depan aula.  Jika ketahuan, dapat tempeleng kanan-kiri.  Lumayan pedisnya.  Sementara malunya tidak hilang sampai tamat di pesantren.  Menjadi cerita riuh bila sudah alumnus.  Sebab, diolok-olok "pencuri mangga".
     Dari lima pelanggaran berat, hanya merokok yang tak pernah saya lakukan di pesantren.  Empat dosa besar lainnya, sukses gemilang saya lakoni.
     Saya pertama kali membawa radio tape recorder ketika kelas II.  Kala itu, saya ditempatkan di bilik I rayon Datuk Ribandang (Asrama Fadeli Luran).  Di kamar ini, penghuninya ada dua macam.  Kalau tidak tinggi-besar, ia pasti nakal.  Barak ini mirip sarang mafioso, bebas terkendali.
     Di suatu siang, saya mendengar kaset lawak DKI Prambors.  Saya menggunakan earphone sambil menutup kepala dengan sarung.  Berharap tak ketahuan jika sedang mendengar radio.  Apalagi, ranjangku bagian atas.
     Tanpa sadar, saya tertidur.  Yusuf Halim yang merupakan adik mantan pimpinan kampus, datang membangunkan santri untuk shalat Ashar.  Ia heran karena saya sulit dibangunkan.  Yusuf pun melongok dengan memanjat rangka ranjang.  Ia menarik sarung di kepalaku.
     "Pantas tidak bisa bangun!  Kamu ternyata dengar radio!"  Yusuf kemudian merampas radio.  Ia langsung menentengnya ke kantor pimpinan kampus.
     Alamat buruk ini.  Saya pasti dikepruk nanti malam di qismul amni (seksi keamanan).  Beginilah nasib, saya masih pemain baru untuk melakukan pelanggaran berat.  Akibatnya, terciduk membawa barang elektronik.

Radio Mini
     Tatkala kelas III, saya kembali membawa radio tape recorder.  Saya juga membeli radio seukuran novel tebal.  Ini mudah ditenteng ke beranda, portabel.  Harganya Rp 10 ribu di Sentral Jaya, sebelah Barat Pasar Sentral.  Ini cuma radio, tak dapat memutar kaset.
     Radio ini terkadang rewel.  Soalnya, tangkapan siaran tergantung pada antena.  Untung antenanya 30 cm sekaligus bisa vertikal serta horizontal.
     Di Pesantren IMMIM pada 1982-1986, ada sejumlah santri membawa radio mini.  Ukurannya mirip dompet.  Antenanya hanya 15 cm.  Corak radio ada hitam, ada pula merah dan biru.  Harganya Rp 2.500 di Sentral Jaya.
     Radio mini tergolong barang mewah di pesantren.  Apalagi harganya Rp 2.500, lumayan menguras pundi-pundi.  Sebagai ilustrasi.  Pada 1982, martabak biasa berharga Rp 150.  Sedangkan istimewa dibanderol Rp 750.  Di kurun tersebut, cuma ada dua jenis martabak, biasa serta istimewa.  Dewasa ini, terpampang martabak biasa, orisinal, spesial, istimewa, super, megasuper (lima telur), jumbo, pizza dan VIP.  Martabak termurah berharga Rp 20 ribu.  Termahal mencapai Rp 100 ribu.
     Pukul 02.30 pada Senin, 1 November 1982 (15 Muharram 1403), ustaz Saifullah Mangun Suwito mengontrol bangsal.  Pimpinan kampus legendaris ini menyita banyak radio.
     Sebagian sohib asyik mendengar radio seraya berbaring selepas pukul 22.00.  Tanpa sadar, mereka tertidur.  Menjelang dini hari, tiba-tiba muncul ustaz Saifullah dari kepekatan gelap malam.  Ia mujur berkat tangkapannya satu kantong penuh radio.
     Saya beruntung berkat mematikan radio sebelum tidur.  Saya bukan lagi pemain baru setelah detik berdetak, hari berganti, musim bergilir serta tarikh bersilih.  Semua mencari jalannya sendiri demi perubahan.  Saya terus mengalami perubahan, kendati dalam skala mikro pada jalur negatif.

Biduan Lawas
     Selama bergaul dengan rekan yang punya radio, saya nyaris tidak pernah melihat mereka menelaah program berita.  Di Pesantren IMMIM, radio bukan sarana informasi demi menambah wawasan, melainkan media hiburan.  Santri butuh rekreasi berupa siaran santai semacam pemutaran lagu.
     Biduan kondang selama di pesantren pada 1980-1986, cukup banyak.  Mereka antara lain Rhoma Irama, A Rafiq, Gito Rollies, Jamal Mirdad, Chrisye, Doel Sumbang, Mansyur S, Tommy J Pisa, Fariz RM, Gombloh dan Ebiet G Ade.  Sementara biduanita ialah Elvi Sukaesih, Titiek Puspa, Astrie Ivo, Uci Bing Slamet, Euis Darliah, Happy Pretty, Endang S Taurina, Dian Piesesha, Vina Panduwinata, Nia Daniati, Itje Trisnawati serta Camelia Malik.
     Dalam buku harianku pada Ahad, 14 Agustus 1983 (6 Zulqaidah 1403), tersua Top Hits Pop Indonesia versi radio Bayoreksa.  Hapuslah Air Matamu (Grace Simon), Tirai (Rafika Duri) dan Malu Dong Ah (Dina Mariana).  Sedangkan Suara Terlaris radio Gandaria yakni Dansa Reggae (Nola Tilaar), Malu Dong Ah (Dina mariana) serta Lihat Air Mata (Grace Simon).

Indo Sidenreng
     Di pertengahan era 80-an, ada beberapa stasiun radio swasta di Ujung Pandang.  Berikut nama stasiun radio yang disusun secara alfabetis.  Al-Ikhwan, al-Kawaqib, Bayoreksa, Bharata, Gamasi, Gandaria, Madama, Merkurius dan Telstar.  Saya agak lupa, tetapi, sepertinya radio Christy maupun Venus sudah mengudara.
     Santri puber serta genit, suka mengikuti acara Bisikan Kalbu di Gamasi.  Persembahan ini membahana menjelang tengah malam.  Di rentang waktu 80-an, radio memang menjadi media curhat dan wadah berkirim salam.
     Bisikan Kalbu berisi curahan hati yang tergores amuk asmara.  Pendengar mengirim "naskah putus cinta" ke Gamasi untuk dibacakan penyiar.  Susunan kalimatnya begitu norak serta sendu.  Maklum, ditulis oleh individu sunyi yang sekarat semangatnya.  Ia pasti mengalami krisis defisit spirit kronis.  Hatta, olah kosakatanya sekedar mendeskripsikan perasaan yang terpendam tentang kekecewaan, penyesalan, rindu atau harapan.  Patut diduga tanpa bimbang bila penulisnya insan patah hati level semaput.  Mereka seolah minta dikasihani gara-gara cintanya kandas, karam di lembah tandus.
     Di suatu malam pada 1983, saya tanpa sengaja memergoki seorang teman.  Ia tak menyadari kalau saya belum tidur.  Matanya sembap.  Rupanya ia tengah mendengar Bisikan Kalbu.
     Mungkin sahabat ini hanyut oleh untaian kata Bisikan Kalbu.  Barangkali juga peristiwa yang diulas Bisikan Kalbu serupa kisah cintanya.  Mungkin pacarnya dikawini perjaka lain.  Begitulah resiko sebagai santri.  Kekasih yang ditinggal di kampung, enteng digaet cowok keren.
     Selama di Pesantren IMMIM, saya tidak pernah menyimak Bisikan Kalbu.  Malu sekaligus risih mendengarnya.  Saya hanya doyan ocehan konyol Indos (Indo Sidenreng) di Gandaria.  Suaranya khas dengan logat Sidrap.  Sementara tawanya menggelegar bak guntur.  Canda kocaknya membuat terpingkal-pingkal.  Heboh sekali.
     Menjelang tamat di pesantren pada awal 1986, rekan-rekan di pondok kecanduan sandiwara radio Saur Sepuh.  Bertutur perihal Brama Kumbara, pendekar dari Kerajaan Madangkara.
     Saur Sepuh disiarkan pada pukul 19.00.  Hingga, mengusik jadwal shalat Isya.  Banyak santri senior lebih mementingkan menyimak petualangan seru Brama Kumbara ketimbang ke masjid ath-Thalabah.  Sisi kanan-kiri masjid saat shalat Isya, sepi jemaah.  Ini karena kelas V dengan VI getol mendengar kesaktian kesatria Madangkara.  Santri dengan Saur Sepuh bagai komponen senyawa di Pesantren IMMIM.  Mereka terpukau wejangan Brama Kumbara; "di atas langit, masih ada langit".
     Sandiwara radio ini, tak pernah saya dengar.  Mana ada orang mengendarai rajawali raksasa atau golok berjuluk pedang setan yang mengeluarkan asap beracun.  Setelah tamat, tidak satu pun serial film Saur Sepuh saya tonton di bioskop.  Pada 1988, bioskop Mitra dijejali penonton untuk menyaksikan problematik Dewi Mantili, Raden Samba, Lasmini, Raden Bentar, Jaka Lumayung, Merit, Kelabang Hitam, Raden Paksi Jaladara, Bongkeng, Kandara, Dewi Harnum dan Paramitha.
     Kekuatan radio sebagai theater of mind, begitu ampuh mempengaruhi aktivitas santri.  Mendengar hiburan dari radio sesungguhnya merecok konsentrasi.  Fokus buyar.  Ini bakal merusak harmoni proses belajar-mengajar.  Akibatnya, santri lebih memilih menikmati lagu-lagu atau sandiwara daripada membaca al-Qur'an, kitab gundul atau buku pelajaran lain.  Inilah yang mendorong Pesantren IMMIM untuk melarang santri membawa radio.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People