Sabtu, 26 November 2022

Buku Harian (I)

 

Buku Harian (I)
Oleh Abdul Haris Booegies


"Buku harian merupakan jendela untuk menatap masa lampau" (Abdul Haris Booegies)

     Pada Jumat, 22 April 1983, Stern, majalah mingguan Jerman Barat, mengklaim jika menemukan 62 volume diari bertulis tangan al-Mahbub Adolf Hitler.  Hitler-Tagebücher (Buku Harian Hitler) ini ditulis sejak 1932 sampai 1945.
     Gerd Heidemann, wartawan Stern penemu kitab misterius tersebut, memulai dongengnya.  Alkisah, ia memperoleh diari itu sesudah menelusuri sebuah loteng jerami di Jerman Timur.  Buku tersebut tersimpan berkat jasa seorang jenderal dari Jerman Timur.  Pejabat militer itu menemukannya di bangkai pesawat pengangkut harta-benda Hitler yang jatuh dekat Dresden pada April 1945.  Heidemann membelinya seharga 9,34 juta Mark (6,1 juta dolar AS) dari Konrad Kujau alias Konrad Fischer, pelukis yang sehari-hari dikenal sebagai pedagang barang antik.
     Pada Jumat, 6 Mei 1983, hasil tes forensik disiarkan oleh Arsip Federal Jerman Barat (Bundesarchiv).  Diumumkan bahwa goresan tinta di diari tersebut berasal dari periode modern, bukan tinta dari masa Perang Dunia II.  Begitu juga kertas serta benang di naskah itu.  Akibatnya, Heidemann dan Konrad, pembuat buku harian palsu Hitler, dihukum.  Pada 1985, keduanya mendekam di penjara selama empat tahun delapan bulan.
     Pertanyaan krusial mengenai diari Der Führer Adolf Hitler.  Apakah kepala suku Nazi tersebut punya kesempatan menggubah diari?  Apalagi, menulis catatan personal di zaman perang.  Ini tentu merepotkan sekali.  Sebuah ulasan peristiwa pribadi minimal ditulis 20 menit sebelum tidur.  Tergantung deretan momen yang ditatah dalam aksara.  20 menit tergolong durasi ringkas, tetapi, menjalankannya teramat ruwet.
     Menulis buku harian ibarat mengelola waktu secara saksama.  Kita dituntut menulisnya secara cepat agar kejadian dalam pikiran tidak menguap.  Kalau peristiwa-peristiwa itu diimplementasikan setelah satu hari, niscaya kebuntuan menghadang.  Kasus kemarin dengan hari ini sulit dibedakan waktunya, jam per jam.

Genosida Palestina
     Saat duduk di kelas II di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada 1981, saya membaca sebuah artikel di majalah hiburan.  Coretan tersebut membahas diari.
     Saya terpesona dengan kupasan tentang buku harian.  Berkhayal ingin mengarang diari.  Masalahnya, ini di pesantren.  Semua serba terbatas.  Kronik sehari-hari begitu monoton.  Apakah ada yang menawan di kampus Islami ini untuk dikemas dalam buku harian?
     Di Pesantren IMMIM, kegiatan terkesan tandus, tak cocok ditulis.  Tidak memikat.  Aktivitas santri hanya bangun subuh, shalat berjemaah di masjid serta belajar di kelas.  Bila ada yang melanggar, diadili sesuai tingkat kejahatannya sebagai pelajar.  Santri muskil lepas dari konsekuensi aturan.
     Pada sebuah kesempatan, saya membeli kitab berjudul Buku Harian Anne Frank.  Ini karya tenar di dunia perihal diari seorang bocah Yahudi.  Jika tak salah, cetakan ini saya beli di Arena Ilmu di Jalan Mongisidi.  Ini toko buku populer di Ujung Pandang.  Ada pula toko buku Hidayat, di samping New Artis Theater.
     Saya agak payah mencerna buku harian Annelies Marie Frank.  Ini lantaran berkisah mengenai Anne bersama keluarganya yang bersembunyi di sebuah loteng rumah di Amsterdam, pada 1942.  Kala itu, Jerman menduduki Belanda di era Perang Dunia II.
     Saya juga sebal dengan diari gadis cilik kerempeng tersebut.  Sebab, seolah mendiskreditkan al-Mukarram Adolf Hitler, tokoh idolaku.
     Bertahun-tahun Gusti Agung Hitler difitnah membantai lebih enam juta Yahudi.  Padahal, tidak ada satu pun bukti kalau jumlah puak Yahudi di Eropa mencapai enam juta di kurun itu.  Andai ketua Partai Nazi tersebut membunuh enam juta jiwa, niscaya Yahudi yang tersisa sekarang tinggal satu RW.
     Pasca-Perang Dunia II, Yahudi bergandeng dengan Barat menciptakan dongeng Holocaust.  Istilah ini merujuk tentang pemusnahan massal Yahudi oleh rezim Nazi.
     Pada hakikatnya, Holocaust tak dilandasi bukti akurat kecuali pengakuan tanpa dasar dari korban Auschwitz.  Di Auschwitz tidak ada kamar gas untuk mengeksekusi manusia.  Ruang gas Auschwitz cuma dipakai buat pengasapan pakaian supaya bakteri-bakteri yang melekat, mati.
    Petta Puang Hitler tak pernah merekomendasikan untuk membantai Yahudi di Eropa.  Tidak ada dokumen yang membuktikan bila Nazi memiliki program untuk menghabisi Yahudi.
     Israel mempropagandakan mitos Holocaust demi mengeruk pembayaran ganti rugi gigantik saban tahun dari Jerman.  Holocaust diputar terus di media global agar masyarakat mondial bersimpati kepada Israel.  Yahudi bukan korban genosida, namun, pelaku genosida kepada bangsa Palestina!

Harta Karun
     Tatkala naik kelas III, saya mulai menulis buku harian pada Selasa, 3 Agustus 1982.  Waktu itu, kamarku di bilik 2 rayon Pangeran Diponegoro.
     Menyusun kalimat di atas lembaran kertas merupakan kegemaranku.  Ketika kelas VI SD, saya juara dua mengarang antar-SD sekabupaten.  Karanganku yang memperoleh hadiah tiga buku tulis tipis tersebut berjudul Banjir.
     Berbilang tahun, diariku selama di pesantren, terkucil dari dunia luar.  Saya menyembunyikannya dalam kardus khusus.  Ini supaya aman dari serangga dan orang iseng.  Saya tak pernah membacanya.  Tidak berminat.  Isinya pasti bernada tunggal, tanpa gairah.  Tak ada semarak ekspresi karena terjadi dalam lingkungan yang terpencil dari dunia luar.
     Pada 2020, saat menulis perihal Pesantren IMMIM, saya kehabisan bahan.  Di mana harus memperoleh data?  Sumber yang dihubungi hanya angkat tangan.  Tidak paham yang ditanyakan.
     Saya kemudian terkenang buku harian yang ditulis 38 tahun silam.  Saya tergoda membaca diari itu.  Apalagi, saya sering mimpi mengenai Pesantren IMMIM.  Sejak tamat pada 1986 sampai 2020, saya sudah lebih 40 kali mimpi melihat almamater.
     Mungkinkah mimpi-mimpi tersebut terkait dengan buku harian?  Barangkali di diari itu ada jawaban mengapa saya kerap mimpi berada di Pesantren IMMIM?  Mungkin kandungan buku harian tersebut mesti diungkap ke publik.  Saya bukan bagian penting dalam narasi Pesantren IMMIM, tetapi, punya bagian penting untuk narasi Pesantren IMMIM.
     Di suatu sore, saya memaksakan diri membaca diari yang direkam empat dekade lampau.  Saya berdebar-debar, apa sebenarnya isinya.  Apa yang dulu saya tulis.  Ketika menyimaknya, saya terkejut.  Isi buku harian ini kiranya memuat informasi yang begitu bervariasi.  Ada kegembiraan, kekecewaan, kesedihan maupun kemarahan.  Petualangan demi petualangan tersusun secara kronologis.  Banyak ikhwal di luar dugaan yang terangkum.  Apalagi, serpihan hikayat itu telah lama sirna dari memori alumni.  Kini, data-data tersebut seolah meluber dari ruang bawah tanah sesudah terpendam 38 tahun.  Sebuah harta karun peninggalan tempo dulu.

Foto Bugil
     Diari merupakan ekspresi sang penulis.  Karakter penggubah akan mewarnai tiap lembar perjalanan sejarah yang dicatat.  Selain watak dominan penulis, juga lingkungan atau tempat kejadian perkara (TKP) begitu menonjol diungkap.  Penyingkapan TKP tergantung pengarang dalam merangkai fakta.
     Saat merakit buku harian di pesantren, saya berfantasi jika lembar-lembar diari itu kelak diterbitkan.  Inilah yang memacu saya untuk rajin menyalin buku harian saban hari.  Menjelang tidur, saya menyisihkan waktu sekitar 20-30 menit guna menata kata.
     Pada 1983, ada dua adik kelas yang meracik pula diari.  Ia anak kota yang berasal dari keluarga profesional kelas menengah.  Hingga, memiliki akses informasi yang lebih memadai ketimbang santri pedalaman.  Belakangan, keduanya jera meramu buku harian.  Kapok di tengah jalan.
     Saya beruntung bisa menulis diari sampai tamat di pesantren.  Saya mentranskripsikan warta tentang tamu-tamu mulia yang berkunjung ke Pesantren IMMIM.  Misalnya, Duta Besar Brunei Darussalam atau Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin.
     Buku harianku tak luput menorehkan perkara mengejutkan.  Pada Sabtu, 11 September 1982, santri gempar.  Ustaz Baharuddin HS yang juga pendekar Black Panther, murka.  Ini gara-gara Tongkang (nama gadungan), pembina muda di Pesantren IMMIM.
     Ustaz Baharuddin geram karena Tongkang bertindak sewenang-wenang.  Menghajar santri dengan cara menyalahi prosedur standar.  Santri pelanggar dipukul tanpa ampun.  Banyak santri jadi korban, termasuk saya.
     Ustaz Baharuddin menyemangati kami untuk memprotes keras ulah keji sosok antagonis tersebut.  Tongkang akhirnya dipecat!
     Pada Selasa sore, 12 Oktober 1982, saya, Imam Setiawan serta Lukman Sanusi ke kompleks Kavaleri.  Kami bertemu Slamet, bocah Tamalanrea yang entah di mana tinggal.  Ia memamerkan kepada kami gambar porno.
     Saya heran, dari mana bocil ini memperoleh foto-foto wanita telanjang.  Tubuh Slamet cukup mungil, barangkali kelas I SMP atau masih SD.
     Slamet berjanji bahwa besok bakal ada yang lebih seru.  Kami trio santri IMMIM langsung bergairah, mengawang-awang menuju langit ketujuh.  Tidak tahan rasanya menunggu besok.  Janji Slamet betul-betul bikin stres.
     Pada Senin, 18 Oktober 1982, segelintir santri genit bersemangat 45.  Ini berkat SMP Bawakaraeng mengadakan perkemahan di area Panggung Serbaguna di sisi Selatan pesantren.
     Banyak siswi mengambil air di sumur pesantren yang terletak dekat pagar kawat berduri.  Mendadak perigi riuh.  Kami saling bertukar cerita dengan cewek-cewek SMP.  Berkenalan ala kadarnya.  Seorang di antaranya bernama K (nama lengkap disembunyikan).
     Pada Ahad, 24 Oktober 1982, saya sempat cemas.  Saya diberitahu bahwa Mahmuddin Achmad Akil ke Bulurokeng nonton IMMIM Generation.  Saya khawatir bocah Sidrap yang masih kelas I itu tersesat.  Apalagi, ia bersama santri yang seluruhnya berasal dari kampung.
     Ada beberapa fragmen di diariku yang mustahil dipublikasikan.  Ini akibat perbuatan memalukan sekaligus menjijikkan.  Ada santri bertangan jahil, ada pula mengidap penyimpangan orientasi seksual.
     Sejak 2020 sampai menjelang berakhir tarikh 2022, saya telah menghasilkan lebih 50 artikel yang berdasarkan buku harian.  Kalau melongok informasi di diari, maka, jumlah 50 tersebut akan terus mengembang.  Pasalnya, memoar sembilan volume dari Pesantren IMMIM itu laksana danau data.  Selalu timbul gagasan tiap membuka sebuah lembarannya.
(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People