Selasa, 30 Maret 2021

Pergi dalam Lelap



In Memory of Muhammad Faisal (Angkatan 84)
Pergi dalam Lelap
Oleh Abdul Haris Booegies


     Seorang sahabat menelpon sebelum Ashar pada Sabtu, 27 Maret 2021.  Ia menginformasikan jika Ir H Muhammad Faisal MT telah lama meninggal, sekitar lima tahun silam.
     Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.  Saya tercenung.  Ia wafat pada Jumat, hari yang tepermanai berkahnya.  Tanggal kematiannya pun cantik, 15 5 15.
     Saya menghentikan sejenak mengedit profil Lukman Mubar, Andi Nurzaman Razaq, Amir Zaman dan Andi Syamsir Patunru.  Faisal juga saya pilih sebagai jemaah 100 SANTRI POPULER.  Profilnya sebenarnya hendak saya ikutkan dengan empat alumni di atas.  Saya urung karena data Faisal masih minim.  Selain itu, empat profil alumni di edisi Ahad, 27 Maret 2021, terkesan panjang.  Deret kalimatnya mirip arak-arakan semut yang menemukan gula.
     Faisal berkantor di Dinas PU Makassar.  Pada Kamis, 14 Mei 2015, ia bakal ke Jakarta bersama rombongan Dinas PU.  Faisal berkemas.  Ia mencari oblong putih kesayangannya.  Sri Rezeki, sang istri mengatakan bila baju kaus tersebut akan dicuci.  Faisal tetap mengambilnya, memasukkan ke tas.
     Usai shalat Maghrib, Faisal meninggalkan kediamannya.  Ia bergabung dengan rombongan Dinas PU ke Jakarta.  Dalam perjalanan ke bandara, Wahida Rahman menelpon.  Sang adik ingin membicarakan sesuatu.  Faisal menjawab kalau masalah itu nanti dibicarakan sesudah tiba dari Jakarta.
     Sebelum tengah malam, Faisal di hotel menelpon istrinya.  Ia berpesan untuk menjaga anak-anak.  Faisal mengingatkan pula supaya menyemprot kamar anak-anak sebelum tidur.
     Sebelum menghubungi istrinya, seorang rekan menganjurkan agar memberitahu jika ia muntah-muntah.  Faisal tak menggubris.  Usai menelpon, ia dipapah temannya ke toilet untuk buang air kecil.
     Jumat pagi pada 15 Mei 2015, para mitranya heran.  Faisal belum bangun.  Padahal, selama ini ia dikenal sebagai pribadi alim.  Subuh berlalu, fajar pun telah sirna oleh cuaca pagi, namun, Faisal masih di tempat tidur.
     Seorang rekan kemudian menghampiri.  Hendak membangunkan untuk bersiap melakukan pertemuan.  Agenda hari ini ketat.  Faisal dikenal punya etos kerja yang unggul di kantor.  Konsistensinya juga tidak diragukan.  Ia ulet mengambil keputusan strategis.
     Saat mendekat ke tempat tidur, hati sahabatnya berdegup.  Bergejolak bak kobar api melalap daun-daun kering.  Ada yang tak beres.  Ia terperanjat memandang Faisal terbujur kaku mengenakan oblong putih.
     Suasana di kamar hotel lantas dipenuhi langkah-langkah yang tergesa-gesa.  Suara tersedak, lidah kelu bagai mengunyah buah mengkal.  Cemas menyergap karena momen selanjutnya terasa kabur.  Mereka tidak percaya dengan musibah mendadak.  Duka merayap, menyelimuti kamar.  Menebar ke rongga-rongga dada rombongan Dinas PU.
     Sri Rezeki tak kuasa bersuara tatkala ia mendengar kabar dari Jakarta.  Kemarin ia masih di sini.  Tadi malam ia masih menyapa.  Ketika mentari menanjak ke siang pada pukul 10.00, ia dikejutkan berita.  Faisal wafat.  Dunia kita tidak lagi sama.

Hamba Tawakal
     Faisal aktif di Darul Muflihin, masjid di dekat rumahnya.  Ia lugas mendatangkan dai serta khatib.  Sebab, dikelilingi banyak relasi sekaligus andal berkomunikasi.
     Dua pekan sebelum meninggal, Faisal sering tafakur di masjid.  Ia memaksimalkan kualitas ibadah secara gigantik.  Faisal membahas pula problematik kematian dengan imam masjid.
     Sepekan sebelum meninggal, Faisal menghubungi ibunya via telpon.  Ia bertanya kabar.  Faisal sempat mengutarakan bila nanti ia pergi selamanya, jangan bersedih.  Kematian merupakan ihwal terbaik bagi hamba tawakal.
     Faisal lahir pada 14 Februari 1966.  Sebelum masuk Pesantren IMMIM, ia tercatat sebagai murid SDN No 8 Timporongan Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).  Setamat di pesantren, Faisal kuliah di Teknik Sipil Universitas Hasanuddin (Unhas).  Ia juga melanjutkan program S2 di Unhas.
     Sesudah menikah pada 5 Juni 1993, Faisal mengabdi di Tenggarong, perusahaan Jepang di Kalimantan Timur.  Ia lalu menghajikan ibunya yang sebelumnya telah menunaikan rukun Islam kelima.  Pada 2004, Faisal naik haji bersama istri serta Wahida.
     Dari pernikahannya dengan Sri Rezeki, ia dikaruniai Ahmad Zulfikar, Muhammad Fathur Rahman, Siti Nurhalizah dan Muhammad Farhan.

Memori Simfoni
     Faisal merupakan santri yang murah senyum.  Suka menyapa dengan suara lembut.  Ia figur yang begitu ramah.  Hatinya senantiasa cenderung pada kebaikan.  Faisal tak pernah bermain janji yang menimbulkan harapan hampa.  Jejaknya sebagai santri tidak terdengar pernah menebar riak dalam dinamika kehidupan pesantren.  Ia seolah bersahabat dengan malaikat serta bidadari.
     Faisal identik dengan Segeri, kecamatan di Pangkep.  Di Segeri, orangtuanya memiliki Rumah Makan Aman.  Banyak santri sering bercerita perihal Aman.  Soalnya, orangtua Faisal menjamu sampai puas santri yang berkunjung ke Aman.
     Saat saya kelas III, hanya Faisal yang punya gitar di pesantren.  Ia piawai memetik gitar.  Suaranya enak pula didengar.  Ketika saya berulang tahun di pesantren, ia sempat memamerkan kelihaian bermain gitar.  Sebuah lagu ia senandungkan.
     Tiga hari sebelum libur pesantren, saya nonton aksi John Rambo dalam First Blood di Paramount pada Kamis, 2 Juni 1983.  Dua hari berikutnya, di asrama saya memutar kaset berisi lagu It's a Long Road.  Kala asyik mendengar dendang yang dibawakan oleh Dan Hill, tiba-tiba Faisal menghampiriku.  Ia tersenyum sambil menatap saya.
     "Lagunya Rambo?", tanya Faisal agak ragu.
     "Iya", jawabku.
     Saya heran, bagaimana Faisal bisa ingat nyanyian ini.  Apalagi cuma terdengar di ujung akhir film.  Apakah lagu ini memang indah atau memori simfoni di kepalanya begitu kuat mengingat.
     Faisal telah tiada, tetapi, keramahannya tetap tergiang.  "The song is ended but the melody lingers on", ujar Irving Berlin.

Narasumber
Hj Sri Rezeki
Hj Wahida Rahman ST




Senin, 22 Maret 2021

Menghitung Detik Kepergian



 Ustaz H Saifullah MS
Menghitung Detik Kepergian
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Rabu, 20 Januari 2010, ustaz Saifullah dibawa ke Rumah Sakit Islam Faisal oleh ketiga putrinya.  Ia mengalami gejala penyempitan pembuluh darah.  Penyakit ini beresiko menyumbat pembuluh darah di area jantung.  Ia dilanda pula kondisi darurat akibat kadar gula naik-turun, menjauh dari batas normal.
     Di bilik rumah sakit, hidung ustaz Saifullah dipasangi nasal kanul.  Alat bantu pernafasan sebagai terapi oksigen.  Di lengannya pun terpasang selang infus.
     Pagi pada Kamis, 21 Januari 2010, ustaz Saifullah berangsur membaik.  Ia tampak bahagia di antara istri bersama tiga putrinya.  Ustaz Saifullah juga berbinar cerah mendengar Munib Bina akan membezuknya.  Munib merupakan adik.
     Siang hari, ustaz Saifullah terlonjak memandang Munib.  Keduanya tersenyum penuh kegembiraan.  Mereka pun bercengkerama.
     Selepas pukul 24.00, perlahan merayap Jumat, 22 Januari 2010.  Detik berdetak seiring sepoi angin.  Semua terlelap pulas kala sang waktu berdenting dari hitungan ke hitungan.
     Keheningan pecah.  Sayup-sayup terdengar nafas berat ustaz Saifullah.  Ia sesak nafas.  Kondisi fisiknya terus menurun.  Senyum yang tadi siang mekar-merekah, mulai surut.  Kakinya yang pernah tangkas mengembara dalam pengabdian, tampak luruh.  Wajahnya yang dulu bak pelangi elok, kini pudar ditinggal pesona.
     Kamar sontak riuh, semua terbangun dalam kepanikan.  Wati, putri sulungnya bergegas mencari suster.  Menjelang pukul 03.00, ustaz Saifullah menampakkan tanda sakratulmaut.  Rasa sakit menyerang jiwa, menjalar ke segenap tubuh dari jari kaki ke ubun-ubun.
     Munib bersama Ibu Nuhaerah bergegas menuntun ustaz Saifullah membaca kalimat tauhid.  "La ilaha illallah muhammadar rasulullah" merupakan bekal utama di akhir hayat.
     Naza' ustaz Saifullah hanya hinggap sekejap.  Berbeda dengan hamba lain yang prosesnya cukup lama atau lama sekali.
     Ustaz Saifullah menghembuskan nafas terakhir sebelum kokok ayam membangunkan jemaah subuh Jumat.  Legenda Pesantren IMMIM tersebut berpulang.  Kedisiplinan, ketegasan serta keikhlasannya tinggal kenangan dalam trayek sejarah.  Raganya sekarang terkulai, tanpa nyawa.  Ia layu, tak sanggup lagi berkembang.  Ustaz Saifullah menuju ke Tuhannya di tengah keluarga tercinta yang dirintisnya sejak 1981.  Kini, episode petualangannya tamat dalam pertarungan terakhir.  Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
     Ustaz Saifullah termasuk golongan annasyithati nasytha, insan yang sakratulmautnya lembut sebagaimana teks Ilahi an-Naziat ayat 2.  Naza' yang dialami singkat.  Bahkan, kepergiannya dikitari oleh orang-orang yang dikasihinya.  Sebuah kematian yang begitu indah.  Perpisahan yang manis dikenang.

Ortodoks Monoton
     Di Pesantren IMMIM, pengabdian ustaz Saifullah melampaui imajinasi.  Pesantren bergelora dalam adab terpuji berkat rantai aturan yang terus-menerus diputar oleh ustaz Saifullah.  Ritme inilah yang memproduksi santri dengan energi baru.  Elemen ini selaras teori Yuval Noah Harari: "pengetahuan baru mesti mengarah ke perilaku baru".
     Ustaz Saifullah membimbing santri untuk bersatu, namun, beragam dalam berpikir.  Ia kunci sukses bagi santri untuk melangkah ke arah positif dengan cara taat aturan.  Ustaz Saifullah menyusun formula agar santri siap pakai di mana saja, kapan saja atau saat ini juga.
     Dari seluruh santri, saya termasuk paling sering bersinggungan dengan ustaz Saifullah gara-gara kenakalan.  Pelanggaran terbesar saya yakni bolos ke bioskop.
     Pada Rabu, 13 Oktober 1983, terdengar kabar kalau ustaz Saifullah sakit.  Dadanya bermasalah.  Walau sakit, tetapi, ketertiban pesantren tetap terkontrol.  Ini tidak berlaku bagi saya.
     Malam sehabis belajar bahasa Inggris di kelas, saya, Ahmad Natser (Angkatan 86) bersama Zulkifli (Angkatan 86) ke kota.  Kami bonceng tiga menunggang vespa milik Baharuddin, mantri pesantren.  Kami sekedar jalan-jalan ke bioskop, tidak nonton.  Dari New Artis kemudian ke Mitra terus ke Rusa.
     Dalam soal bolos, saya termaktub santri ortodoks, tidak kreatif.  Sekalipun monoton, namun, tak pernah mengalami kesulitan level dewa.  Tidak pernah tertangkap basah atau digundul.  Saya tak sudi menunggu situasi yang menguntungkan untuk bolos.  Soalnya, sihir Hollywood nan berkilau cemerlang tanpa jeda menyilaukan hasrat hati.  Selalu timbul kehendak nekat untuk bolos demi menghibur diri di bioskop.
     Jika ingin pulang, saya langsung loncat pagar.  Sementara teman lain punya gaya, tidak bergerak vulgar.
     "Ustaz Saifullah takut lihat darah.  Trik saya ketika mau pulang ialah mengiris ujung jari dengan silet.  Tanpa pertanyaan, ia langsung memberiku izin.  Trik ini tak ampuh lagi saya gunakan untuk kedua kali. Ustaz Saifullah mafhum ini tiada lain aksi tipu-tipu", ungkap Farid Azhari (Angkatan 90) yang sekarang guru di SMA Papua.
     "Tatkala kelas II, saya rindu pulang.  Sayang, jatah izin belum genap.  Saya lantas memberanikan diri menghadap ustaz Saifullah.  Saya berasalan sakit gigi.  Ia pun memberi izin karena melihat pipiku bengkak.  Padahal, di balik pipi itu saya taruh kertas", ujar Tahir Mana (Angkatan 86) yang kini mengabdi di Kementerian Agama Kabupaten Sidrap.
     Para santri yang tekun mengikuti pelajaran ustaz Saifullah, senantiasa puas.  Mereka laksana buku yang baru dicetak tadi malam.  Maklum, ustaz Saifullah membagikan ilmu ke segenap santri, sama rata tanpa pengecualian.
     "Ustaz Saifullah merupakan sosok guru bahasa Arab yang begitu membekas di kalbu sampai sekarang.  Saya tidak bisa lupa az-zi'bu war-raa'iy (Serigala dan Penggembala) dalam pelajaran al-Mutala'ah", papar Abrijal Dwiputra (Angkatan 90) yang berkarier di perusahaan swasta.

Kontrol Bilik
     Tengah malam pada Rabu, 3 Agustus 1983, tiba-tiba ustaz Saifullah muncul di Rayon Pangeran Diponegoro.  Saya kelabakan menyaksikan inspeksi mendadak ini.  Apalagi, tadi bolos ke kota.   Ustaz Saifullah mengomandani pembina mengontrol kamar di tiap asrama.  Ia ulet mengintip 24 jam dalam sepekan saban bulan selama setahun.
     "All time only for santri.  Ustaz Saifullah bekerja 24 jam untuk pesantren.  Ia selalu hadir di mana saja dalam zona pesantren.  Saat kelas III, saya bersama teman-teman belajar sejak pukul 03.00.  Sebab, ada ulangan di pagi nanti.  Tak disangka, ustaz Saifullah mengintip kami sedang belajar dari jendela samping mihrab", tutur Fuad Mahfuz Azuz (Angkatan 86) yang kini ketua Yayasan SMK al-Wathan Ambon.
     "Ustaz Saifullah sering bergerak bagai intelijen dalam mengawas serta melacak santri pelanggar aturan", ujar Lukman Sanusi (Angkatan 86) yang sekarang menakhodai Gedung IMMIM.
     "Ustaz Saifullah merupakan pembina yang saya segani.  Saya menghormati setulus hati.  Sebab, ia baik hati", ujar Muaz Yahya (Angkatan 86), arsitek ternama di Makassar.
     Ustaz Saifullah merupakan ikon Pesantren IMMIM selama dua dekade.  Ia simbol yang tidak dapat tersaingi atau dipalsukan.  Nama besarnya tak pudar kendati zaman berubah generasi berganti.
     "Menghadapi musuh saya siapkan siasat.
Menghadapi lawan saya berlatih tanpa kenal lelah.
Menghadapi ujian saya belajar lembar demi lembar kitab pengetahuan.
Segala energi spirit sirna bila tergiang nama ustaz Saifullah", tegas Mahmuddin Akil (Angkatan 88) yang berprofesi pengusaha.

Narasumber
Indah Fatmawati
Foto
Dokumentasi Indah Fatnawati

 

Jumat, 19 Maret 2021

Mengabdi dalam Keikhlasan



 Ustaz H Saifullah MS
Mengabdi dalam Keikhlasan
Oleh Abdul Haris Booegies


     Selama dua dekade sejak 1980 sampai di ambang milenium ketiga tahun 2000, nama ustaz Haji Saifullah Mangun Sumito identik dengan Pesantren IMMIM.  Ia ikon berkat ketegasan dan kedisiplinan dalam membina santri.  Ustaz Saifullah tiada bandingnya dalam skala ketenaran di Pesantren IMMIM.
     Jasa terbesar ustaz Saifullah yaitu menularkan bahasa Arab.  Semua alumni sejak 1981 sampai 2000, sanggup berbahasa Arab karena kegigihan ustaz Saifullah.  Sebab, ia menanamkan benih awal bahasa Arab.  Saban hari, ustaz Saifullah bekerja memperbaiki stagnasi agar kapasitas santri tidak berada di bawah standar.
     Ustaz Saifullah mengabdikan loyalitas setulus hati untuk pesantren.  Ia terus bergerak demi keunggulan santri dalam percaturan pendidikan.  Ustaz Saifullah bekerja untuk masa depan.  Ia memobilisasi segenap akal serta nurani demi memacu energi dahsyat santri.  Ilmu yang dicurahkan merembes deras, menganak sungai di gerbang masa depan.
     Tiap subuh selama setahun, santri kelas I diajar al-Lughatul Arabiyah lil Muhadatsatil Yawmiyah.  Mereka dituntut memahami teks-teks berbahasa Arab.  Pelajaran ini mencakup fiil madhi, fiil mudhari, fiil amar dan isimAl-Muhadatsatil Yaum ini dilandasi kisah inspiratif yang memuat petuah positif.
     Ustaz Saifullah merupakan pribadi yang menyenangkan.  Ia tegas, namun, selalu menghindari konfrontasi.  Ustaz Saifullah membina, bukan membinasakan identitas impresif santri.
     Saya berkali-kali dipanggil ustaz Saifullah gara-gara pelanggaran di kampus.  Saat bernasehat supaya jangan nakal, ia begitu lembut.  Durasi wejangannya acap bermenit-menit.  Inilah yang membuat saya biasa terkantuk-kantuk.
     Sehabis Maghrib pada Rabu, 3 Agustus 1983, saya dipanggil ustaz Saifullah.  Pelanggaran yang disorot, tak mengepel di kamar.  Kala diberi nasehat alim beberapa keranjang, saya gelisah bin geregetan.  Berjinjit, seolah ujung jari kaki saja yang berjejak.  Soalnya, saya berniat bolos ke Mitra untuk nonton Companeros.  Film ini dibintangi Franco Nero, Tomas Milian serta Jack Palance.
     Saya telat tiba di bioskop.  Film telah diputar 30 menit yang lalu.  Saya menyesali nasib.  Tadi terlalu lama dinasehati agar jangan lagi melanggar aturan pesantren.
     Selama lima setengah tahun bersama ustaz Saifullah, meruyak ragam suka-duka.  Rindu-benci berkelindan.  Sampai hari ini, sering terkenang ciri ustaz Saifullah kalau memarahi saya.  Ia mengulang dua kali sebuah kalimat dalam satu tarikan nafas.  "Haris ini nakal!  Haris ini nakal!" atau "Haris ini sudah rawan!  Haris ini sudah rawan!"
     Tatkala masih di pesantren, saya mafhum jika ustaz Saifullah menyayangi kami.  Buktinya, ia menghibur santri dengan memutar film di aula pada Ahad, 14 Agustus 1983.  Film mengenai lima orang yang mengerut laksana liliput.  Mungkin mirip Land of the Giants.  Saya tidak ke aula nonton lantaran film ini pernah diputar ketika kelas II.
     Ustaz Saifullah tergolong pembina yang mau mendengar keluhan santri.  Pada Kamis, 4 Agustus 1983, saya menemuinya.  Saya sampaikan bila enggan di ranjang nomor 14 Rayon Pangeran Diponegoro.  Saya menghendaki ranjang 25.  Dalam bincang yang enteng tersebut, ustaz Saifullah setuju.  Sesampai di kamar, saya memilih ranjang 28 yang memang saya incar, bukan 25.  Aneh, lain saya minta, lain saya mau.  Saya terkadang sedikit gila usai bersua pimpinan kampus.
     Ustaz Saifullah lahir di Kediri pada 24 September 1949.  Ia alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor.  Ustaz Saifullah kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab UIN Alauddin.
     Menjelang akhir 1981, kami sesama santri saling berbisik tentang pernikahan ustaz Saifullah.  Nama istrinya Nuhaerah Lambong, gadis Pinrang.
     Nama Nuhaerah biasa saya dengar.  Ia misan dari sepupu saya.  Nuhaerah merupakan adik Muhammad Badawi Lambong, menantu Haji Fadeli Luran.
     Selesai Isya, terdengar deru mobil memasuki pesantren.  Kami tersentak, pasti pengantin datang.  Saya bersama sekitar 50 santri berlari ke arah rumah ustaz Saifullah di sisi ruang pimpinan kampus.  Ini acara mapparola (mempelai wanita diantar ke rumah pengantin pria).
     Ustaz Saifullah tampak bahagia.  Kami juga gembira.  Saat ustaz Saifullah dibimbing masuk ke rumah, santri sontak bersorak.  Rumah mungil itu sesak, bergetar oleh tetamu Bugis.  Pengantin lantas dikawal ke aula.
     Ketika rombongan menuju aula, Askar Azhari (Angkatan 85) mendendangkan melodi Si Unyil.  Sebagian santri mengikuti irama Si Unyil.  Mendadak suasana riuh.  Saya tersenyum melihat lagak canda teman.
     Saya bercelana pendek turut masuk ke aula.  Bertemu dengan beberapa keluarga.  Hafsah sempat menanyakan keadaan saya.  Ia sepupu.  Saat tamu meninggalkan aula, Hafsah memberiku seiris bolu.
     Dari pernikahan ini, ustaz Saifullah dikaruniai tiga putri; Indah Fatmawati, Nurlaila Maisarah dan Azizah Kumalasari.
     Berikut kompilasi frasa kontemplatif sejumlah alumni Pesantren IMMIM yang pernah berinteraksi dengan ustaz Saifullah.  Nama alumni disusun secara alfabetik.
     "Saya suka metode mengajar ustaz Saifullah.  Pernah ketika selesai menerangkan al-Mutala'ah, ia menyuruhku menjelaskan ulang.  Lumayan, saya berhasil".
Ahmad Hidayat (Angkatan 86)
     "Saya acap terkenang ustaz Saifullah saat melontarkan ucapan "masbuq nasbuq nasbuq".  Ini karena segelintir santri masih melakukan aktivitas yang mengakibatkan terlambat ikut rakaat pertama atau seluruhya".
Ahmad Natser (Angkatan 86)
     "Tipe ustaz Saifullah yakni tegas.  Sangat disiplin membimbing santri untuk menelaah pelajaran".
Andi Rijal (Angkatan 89)
     "Ustaz Saifullah merupakan insan ikhlas.  Ia pribadi nan unik".
Awaluddin Mustafa (Angkatan 86)
     "Ustaz Saifullah merupakan guru, pembina sekaligus orangtua di pondok.  Ia berdisiplin serta berkualitas prima".
Haeruddin Masyhur (Angkatan 89)
     "Ustaz Saifullah merupakan orang yang teramat ikhlas mengabdi.  Ia pun sangat disiplin dalam bekerja".
Lukman Sanusi (Angkatan 86).
     "Ustaz Saifullah merupakan anugerah bagi saya.  Ia membimbing kami penuh perhatian.  Ustaz Saifullah tegas.  Berdedikasi tinggi".
Mahmuddin Akil (Angkatan 88).
     "Ustaz Saifullah membuat kami mahir dalam darsul al-Mutala'ah (bacaan bahasa Arab) dalam program Kulliyatul Muallimin wal Muallimat al-Islamiyah".
Sabri Suddin (Angkatan 90)

Narasumber
Lukman Sanusi
Indah Fatmawati
Foto dokumentasi Indah Fatmawati


Senin, 15 Maret 2021

Korupsi ala Santri


Korupsi ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Suasana Pesantren IMMIM terlihat gilang-gemilang bagai bintang-gemintang pada Ahad, 24 Juli 1983.  Hari ini berlangsung acara penerimaan santri baru.  Tunas baru yang diharap bergerak ke arah aura seterang kristal.  Sementara santri lama juga terlihat segar bak makhluk minus dosa dengan energi membumbung.  Sebab, dua hari lalu balik lagi ke kampus usai libur Ramadan.
     Saat saya mondar-mandir mencari perhatian demi secercah sanjungan, mendadak ustaz Saifullah memanggil.  Ia menyuruh membeli rol film.  Ustaz Saifullah hendak merangkum rangkaian momen dengan merekam selaksa citra.  Hatta, tidak terselubung dalam endapan misteri.
     "Ini uang", ujar ustaz Saifullah sembari menyodorkan Rp 4.000 dan kunci motornya.
     Saya keluarkan motor.  Suara motor ini selalu memekakkan telinga.  Kalau motor dibunyikan di depan ruang pimpinan kampus, dijamin penghuni Rayon Datuk Ribandang serta Rayon Sultan Hasanuddin leluasa mengupingnya.
     Kami senantiasa gembira bila mendengar raung motor ustaz Saifullah.  Pasalnya, ia pasti berangkat ke suatu tempat.  Ini berarti pengawasan di pesantren berkurang.  Santri badung sontak beringas.
     Sejak dulu saya menamakan motor ini helikopter.  Saking bisingnya, jika dibunyikan di depan ruang majelis guru, maka, terdengar di dapur.  Jadi, desing "helikopter pesantren" ini enteng terdeteksi dari jarak 100 meter.
     Motor ini selain menggelegar, alot pula bukan kepalang.  Repot sekali distarter.  Inilah yang saya alami sekarang.  Berkali-kali distarter, tetap malas bunyi.  Kalau distarter, hanya terdengar letupan halus persis kentut kambing perawan.
     Teman ogah membantu menstarter motor.  Maklum, ini motor pimpinan kampus.  Menyentuh pun mereka segan.  Tak kunjung bunyi membuat saya mendorongnya kembali masuk ke aula.
     Saya mengajak Andi Syamsir Patunru ke kota beli rol.  Kami naik mikrolet (petepete) karena gagal menjinakkan helikopter.
     Kami membeli rol yang berhadiah sisir seharga Rp 2.750.  Sisir diambil Syamsir.  Ongkos mikrolet pergi-pulang untuk dua orang Rp 650.  Sisa uang dari Rp 4.000 berjumlah Rp 600.
     Tiba di pesantren, saya bergegas memberi rol kepada ustaz Saifullah.  Kelebihan duit Rp 600, tetap saya kantongi.  "Sekali-sekala santri mengakali pimpinan kampus tidak dilarang", gumam kalbu saya yang merestui mufakat curang ini.
     Uang Rp 600 sangat besar nilainya di masa itu.  Sebagai perumpamaan, martabak biasa berharga Rp 150.  Di tarikh 2021, harganya Rp 15.000.  Martabak istimewa dibandrol Rp 750 pada 1983.  Di dekade ketiga milenium ketiga ini berharga Rp 100.000.  Uang Rp 600 bisa dipakai nonton dua kali di bioskop Jaya.  Sebab, HTM (harga tanda masuk) alias karcis cuma Rp 300.
     Pada Senin, 15 Maret 2021, saya menyimak lembar demi lembar buku harian.  Saya tersentak perihal duit Rp 600.  Saya menerawang, bagaimana mungkin saya mengibuli ustaz Saifullah.  Ini perbuatan tercela yang dilakukan santri.
     Saya membatin, barangkali di kalimat tersebut saya lupa tulis "telah mengembalikan uang ustaz Saifullah".  Bisa jadi juga tinta pulpen habis.  Akibatnya, batal menulis "sudah mengembalikan duit ustaz Saifullah".  Kemungkinan lain, typo.


Jumat, 12 Maret 2021

Gerbang Ilmu Pesantren IMMIM



Gerbang Ilmu Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies

     Santri merupakan siswa yang mempelajari ilmu-ilmu keislaman.  Di Pesantren IMMIM, santri juga mempelajari pengetahuan umum seperti sosial serta eksakta.  Hingga, punya timbunan ilmu yang berlapis-lapis.  Pengetahuan dari pesantren diharap menjadi gerbong perubahan dan kemajuan di gerbang masa depan.
     Selama enam tahun menuntut ilmu di pesantren, saya diwajibkan mengikuti sejumlah pelajaran.  Tentu pelajaran merupakan bagian esensial sekolah.  Pelajaran ibarat cahaya rembulan yang menembus mega berarak di malam gelap.  Inilah beberapa pelajaran yang sempat ditelisik.
1. Al-Muthala'ah
2. Al-Muhadatsah
3. Qawa'id
4. Aqa'id
5. Insya'
6. Tajwid
7. Khat Imlah
8. Tarikh Islam
9. Aqidah
10. Tafsir
11. Hadist
12. Syariat/Fiqh
13. Ushul Fiqh
14. Aqidah
15. Nahwu & Sharaf
16. Pendidikan Agama
17. Civics Pancasila
18. Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
19. Bahasa Indonesia
20. Bahasa Inggris
21. Keterampilan Jasa
22. Menggambar
23. Fisika
24. Kimia
25. Biologi
26. Olahraga
27. Pendidikan Kesenian
28. Matematika
29. Geografi
30. Administrasi
31. Sejarah
32. IPA
33. IPS
34. Ekop
35. PSPB
36. IPBA
37. Pendidikan Keterampilan Penunjang Teori













Selasa, 09 Maret 2021

Santri Setan Berbulu


Santri Setan Berbulu
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pembayaran SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 28.000 per bulan, ternyata berbuntut panjang.  Ada segelintir santri marah.  Mereka tidak setuju dengan kenaikan pembayaran.  Kelompok ini melakukan aktivitas kreatif secara negatif.  Sasarannya yakni ustaz Saifullah selaku pimpinan kampus.
     Usai shalat Shubuh pada Senin, 9 Mei 1983, ustaz Saifullah tampil di masjid.  Ia geram gara-gara rumahnya dilempari bila malam.  Pelemparan sudah berlangsung beberapa malam.  Rumah ustaz Saifullah terletak di sisi 20 toilet.
     Rumah ini dulu disebut mes untuk menampung santri.  Setelah ustaz Saifullah pindah ke samping ruang pimpinan kampus, griya itu menjadi Wisma Guru.  Di Wisma Guru inilah saya sempat dititip karena dianggap nakal.  Selama tinggal di Wisma Guru, justru saya bertambah badung.  Bahkan, kenakalan makin beringas.  Pasalnya, qismul aman (seksi keamanan) tidak berani ke Wisma Guru.  Ustaz Kadir Massoweang serta ustaz Kadir Kasim yang juga tinggal di situ, malahan sering saya akali agar bebas merdeka.
     Usai Dhuhur, AR Muhammad yang merupakan wakil direktur pesantren memberi pengarahan perihal SPP.  Puncaknya sesudah Maghrib.  Ayahanda tercinta Haji Fadeli Luran, marah.
     Kami para santri gedebak-gedebuk.  Jantung zig-zag seolah mau copot.  Baru kali ini Abuna terlihat sangat emosional.  Kami dituding tidak sopan karena melakukan manuver tidak terpuji.  Saking murkanya, santri dicemooh dengan istilah "setan berbulu".  Di kampung saya di Sidrap, istilah "setan berbulu" (setang mabbulu-bulu) ditujukan untuk orang yang keterlaluan kurang ajarnya.
     Tidak bisa dipungkiri, santri telah melakukan tindakan tidak senonoh.  Kami picik dengan pikiran sendiri.  Melempar rumah ustaz Saifullah jelas tidak mengubah SPP.  Siapa pelaku pelemparan?  Sampai hari ini tetap misterius.  Mungkinkah pelakunya memang setan berbulu?


Geger Tanpa Bunyi di Pesantren IMMIM


Geger Tanpa Bunyi di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Ahad, 1 Mei 1983, santri kasak-kusuk.  Ini akibat beredar isu kalau SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 28.000 per bulan.  Bisik-bisik sesama santri mencuat.  Pembayaran naik, tetapi, lauk-pauk tetap tete (tempe dan teri).
     Santri-santri makin redup tanpa semangat pada Rabu, 4 Mei 1983.  Bila ada santri bergerombol, di situ pasti dibahas SPP.  Semua gempar, namun, tak berani membantah.  Santri seolah senyap di tengah kebisingan.  Aturan ini bersifat mutlak karena disesuaikan dengan harga bahan pokok.  Sebagian santri menyerah, ingin keluar lantaran beban SPP cukup memberatkan.
     Tatkala teman sibuk menggosipkan "mairo wa japun" (teri serta ikan kering), saya adem saja.  Maklum, saya makan di aula dengan menu spesial seperti ayam goreng, sup bening, daging masak, gulai daging dan kue.  Inilah asyiknya bila kita santri taat aturan alias tidak pernah melanggar.
     Ketika ustaz Saifullah tahu saya betah tinggal di Wisma Guru dekat 20 toilet, ia membujuk saya agar pindah ke Asrama Panglima Polem.  "Saya akan jadikan Haris keamanan rayon".  Saya ogah.  Ustaz Kadir Massoweang akhirnya mendesak saya segera pindah ke Asrama Imam Bonjol.


Senin, 08 Maret 2021

Guru Pesantren IMMIM


 Guru Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


      Guru acap dianggap sebagai orangtua kedua setelah ayah-ibu.  Guru merupakan pilar pendidikan. Distribusi ilmu mustahil tanpa guru.
     Guru menjadi akses untuk mengenal abjad dan angka.   Ini menegaskan bahwa guru menjadi awal perkenalan kita dengan himpunan pengetahuan lewat membaca serta berhitung.
     Tatkala kuliah di UIN Alauddin, ada sahabat yang berminat memiliki pengetahuan secara rohani.  Ini ilmu laduni sebagaimana tertera di Surah al-Kahfi.  Ciri ilmu spektakuler ini yaitu sumber data tanpa batas.
     Saya terpesona dengan transfer ilmu secara batin.  Ini menarik, pasti menggairahkan.  Kembara imajinasi berseliweran.  Terbayang di pikiran tentang insan suci Nuh Alaihissalam.  Ia berguru merakit bahtera lewat Jibril, kepala suku malaikat.  Saya terkenang Nabi Musa al-Qawiyyu yang berguru kepada figur misterius Nabi Khidir.
     Di luar dugaan, rupanya saya kesulitan menyalin informasi secara transendental.  Naluri belum setajam belati yang habis diasah.  Mental pun belum siap jadi macan kumbang, black panther.  Ini akibat kecerdasan iman maupun ilmu kurang memadai.  Maklum, dulu malas.  Tingkat kehadiran saya di kelas teramat minim sewaktu di pesantren.  Santri rajin ke kelas, saya tekun ke bioskop.  Santri menghafal riwayat nabi-nabi, saya menghafal artis kontemporer Hollywood.  Terjadi cacat logika gara-gara syaraf otak error.  Saya akhirnya merugi.  Mau apa lagi, nasi sudah jadi bubur, malah gosong semua.  Inilah yang dinamakan al-waqtu kassaif, waktu laksana pedang.  Menyia-nyiakan waktu membuat kita terpotong-potong dalam kerugian.
     Kendati dulu nakal sekaligus malas, tetapi, saya tetap mengenang para guru di pondok.  Saya berterima kasih setinggi cakrawala seluas samudera atas ilmu yang ditularkan.  Dengan ilmu itu, setidaknya saya tahu diri untuk mengenang jasa-jasa mereka.
     Berikut lampiran nama guru.  Nama diurut secara alfabetik.  Bila ada salah eja, mohon dikoreksi.  Jabatan tidak dicantumkan demi keserasian posisi.
Abdul Kadir Massoweang (Hadist)
Abdul Kadir Qasyim
Abdullah (Menggambar)
Ahmad Thib Raya (Bahasa Inggris)
AR Muhammad
Azhar Arsyad (Bahasa Inggris)
Baharuddin (Tafsir)
Bur Burhanuddin (Biologi)
Burhanuddin DM (Bahasa Indonesia)
Danial Jalaluddin
Hamir Hamid Aly (Tarikh Islam)
Haritsah (Khat Imla)
Hasnawi Marjuni
Ibrahim Halim Tanro (al-Muthala'ah)
Indra Jaya Mansyur (Matematika)
Ismail Halim Tanro
Kudaedah Ali (Tajwid)
Laode Mangasa (Administrasi)
Mattanette (Olahraga)
Mente
Mustafa M Nuri
Nursahabat (Geografi)
Saifullah MS
Selo (Matematika)
Syamsinah (Orkes)
Syamsuddin Latief (Fisika)
Syukri Basondeng
Yunus Onsong (Matematika)
Pegawai
Johra (Administrasi)
Nurbaya (Administrasi)
Abdul Rasyid (Sarana dan Prasarana)
Baharuddin? (Klinik)
Ambo Tuwo (Koperasi)
Rasyid (driver)
Mattulada (driver)


Amazing People