Selasa, 09 Maret 2021

Geger Tanpa Bunyi di Pesantren IMMIM


Geger Tanpa Bunyi di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Ahad, 1 Mei 1983, santri kasak-kusuk.  Ini akibat beredar isu kalau SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 28.000 per bulan.  Bisik-bisik sesama santri mencuat.  Pembayaran naik, tetapi, lauk-pauk tetap tete (tempe dan teri).
     Santri-santri makin redup tanpa semangat pada Rabu, 4 Mei 1983.  Bila ada santri bergerombol, di situ pasti dibahas SPP.  Semua gempar, namun, tak berani membantah.  Santri seolah senyap di tengah kebisingan.  Aturan ini bersifat mutlak karena disesuaikan dengan harga bahan pokok.  Sebagian santri menyerah, ingin keluar lantaran beban SPP cukup memberatkan.
     Tatkala teman sibuk menggosipkan "mairo wa japun" (teri serta ikan kering), saya adem saja.  Maklum, saya makan di aula dengan menu spesial seperti ayam goreng, sup bening, daging masak, gulai daging dan kue.  Inilah asyiknya bila kita santri taat aturan alias tidak pernah melanggar.
     Ketika ustaz Saifullah tahu saya betah tinggal di Wisma Guru dekat 20 toilet, ia membujuk saya agar pindah ke Asrama Panglima Polem.  "Saya akan jadikan Haris keamanan rayon".  Saya ogah.  Ustaz Kadir Massoweang akhirnya mendesak saya segera pindah ke Asrama Imam Bonjol.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People