Kamis, 20 September 2012

Islamfobia Putu Setia dan Ayu Utami



Islamfobia Putu Ayu
Oleh Abdul Haris Booegies

      Sebelum Innocence of Muslims mencecar brutal, ada dua tulisan menyerang Islam. Pertama, tulisan Ayu Utami berjudul Simbol di Seputar Indonesia pada Ahad, 16 September 2012. Kedua, opini Putu Setia bertajuk Identitas di Koran Tempo pada Ahad, 16 September 2012.
      Dalam tulisannya, Ayu Utama (AU) merasa heran pada taraf yang sulit ia pahami. Ihwal tersebut terkait usaha untuk mengganti lambang Palang Merah Indonesia. Selama ini, ia anggap idiom itu netral di dunia.
      AU lantas mencontohkan India yang mayoritas Hindu maupun Thailand dengan Budha sebagai mayoritas. Kedua negara tidak berpikir mengganti simbol Palang Merah, kendati lambang tersebut identik salib yang berasal dari tradisi Kristen.
      Di sini, AU ingin berkhotbah bahwa tak usah usik simbol Palang Merah. Saya tidak tahu, agama apa yang dianut AU. Saya menduga ia Kristen. Orang Kristen pasti tak rela jika lambang Palang Merah diganti. Sebab, berkorelasi dengan ajaran Alkitab. Salib dipandang simbol kehidupan.
      Tatkala kaum Muslim gerah dengan identitas itu, tentu ada upaya buat mengubahnya. AU mendadak menghalanginya dengan mengambil contoh India serta Thailand.
      Ada kealpaan di benak dan dada AU karena berkehendak menyamakan Hindu serta Budha dengan Islam. Benar bahwa orang Hindu bersama Budha tidak memperkarakan lambang Palang Merah. Pertanyaannya, adakah jaminan bahwa esok kedua negara tak mengubahnya?
      Saya ingin tanya AU. “Mengapa ia gerah kalau simbol tersebut mau diganti?” Saya curiga bila AU tidak rela lantaran lambang Palang Merah itu bagian dari agamanya.
      Seluruh komunitas sekular-liberal menyanjung setinggi langit demokrasi dan pluralisme. Secara sederahana dimafhumi bahwa demokrasi ialah suara terbanyak sebagai pemenang. Ini mengindikasikan kekuasaan berada di tangan mayoritas.
      Ketika golongan mayoritas bergerak untuk mengganti suatu identitas sesat, sontak segelintir gerombolan sekuler-liberal mencak-mencak. Dalam kasus simbol Palang Merah, AU melakukan perlawanan lewat pena sembari memberi tamsil perihal Hindu serta Budha.
      AU lupa bahwa Islam berbeda dengan Hindu dan Budha. Sebagai misal, umat Islam makan sapi. Sementara di India sapi didewakan.
      Di India, penganut agama mayoritas minum kencing sapi. Mengusap-usapkan ekor sapi di wajah. Membiarkan sapi berkeliaran di jalan raya atau lorong sempit. Pasalnya, pemali mengusir atau mengusiknya.
      Cecunguk pluralis jelas mendambakan segenap agama setara, termasuk toleransi minum kencing sapi. Kalau AU mau, saya siap mengirimkannya segalon per hari. Gratis seumur hidup.
      “Di antara manusia ada yang sesumbar: “Kami Kristen”. Kami juga sudah mengambil perjanjian dengannya. Mereka secara sengaja melupakan pula sebagian dari apa yang telah diperingatkan. Akibatnya, Kami tanamkan di antara mereka permusuhan serta kebencian sampai Hari Kiamat” (al-Maidah: 14).

Vulgarisme si Pendeta Hindu
      Putu Setia (PS) segendang-sepenarian dengan AU. Ia secara sinis mempersoalkan ide penggantian lambang Palang Merah. Menurutnya, gagasan identitas keagamaan tersebut tak ada kaitannya dengan urusan keyakinan.
      Sinisme PS merupakan bagian otentik pluralisme. Semua agama sama. Dewasa ini, PS seolah merana karena di Bali bermunculan rumah makan dengan aksara mencolok “warung Muslim”. Diakuinya kalau tidak terlihat “warung Hindu”.
      Di planet ini, hampir mustahil ada “warung Yahudi” atau “warung Majusi”. Sesungguhnya, identitas sebagai “warung Muslim” dipancangkan karena ketakutan soal keharaman suatu makanan. Kaum Muslim gentar terhadap makanan berkat panduan tata tertip. Berbeda dengan agama lain. Mereka melahap apa saja. Otak kera, sup kelelawar, babi, anjing, ular, tikus, kalajengking, darah beku atau binatang yang dibantai, semua disikatnya.
“Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi. Diharamkan juga hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah” (al-Baqarah: 173).
      Koran Tempo menjadi medium bagi PS untuk menggasak Islam. Tulisan-tulisannya yang menvisualkan Front Pembela Islam (FPI) selalu insinuatif sekaligus tendensius. Ia, umpamanya menulis Ini Harus Dilawan di Koran Tempo pada Ahad, 20 Mei 2012.
      “Ini harus dilawan” adalah kalimat PS yang ditujukan kepada FPI. PS memang tak jantan menunjuk tegas FPI. Sebagai pendeta Hindu agar tidak dituduh mencampuri urusan Islam atau bertendensi SARA (suku, agama, ras serta antargolongan), PS secara licik memakai istilah sinis seperti “ormas itu” atau “penjaga moral bangsa” untuk FPI.
      Pada artikel sebelumnya, PS menulis Polisi Lain di Koran Tempo pada Ahad, 13 Mei 2012. Dalam tulisan itu, terlihat betapa pendeta Hindu ini begitu geram bercampur dengki terhadap FPI.
      FPI acap mengganggu tidur PS sebagaimana diakuinya dalam artikel Saatnya Dipikirkan Undang-Undang Ormas Keagamaan di Koran Tempo pada Jumat, 17 Februari 2012.
      “FPI sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat”, tulisnya. Pertanyaannya, masyarakat apa yang risau. FPI menghancurkan tempat maksiat. PS resah. Bila ada yang risau, berarti ia bagian dari kemaksiatan yang memang wajib dihancur-leburkan.
      Jika punya bukti, paparkan. Tunjuk masyarakat mana yang resah. Kalau Islam Liberal yang dituding, pasti tiada yang membantahnya. Bila gerombolan sekuler-liberal yang risau, maka, seratus persen benar. Harap dimengerti bahwa dua musuh Islam tersebut tak mewakili masyarakat.
      PS mengeluh tentang repotnya membubarkan FPI.  “Betapa panjangnya jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu”.
      Dalam opini SARA di Koran Tempo pada Ahad, 26 Agustus 2012, batin PS menjerit lantaran kampanye “pilih pemimpin seiman” di Pilkada Jakarta 2012. Ia pun yakin jika Indonesia sejak dulu belum final. “Negeri ini ternyata makin runyam. Astaga!”, tulis PS.
      Saya ingin tanya kepada pendeta ini. Negara apa di muka bumi ini yang sudah final? Pada esensinya, tidak ada negara yang final. Maklum, mengikuti dinamika masyarakat. Gaya baru, teknologi baru berikut ekonomi baru terus-menerus memutar roda kehidupan. Negara bertambah kacau-balau kalau ada pendukung kemaksiatan. Contohnya, serdadu Thaghut yang menghendaki “Indonesia tanpa FPI”.
      Nakoula Basseley Nakoula (Sam Bacile), antek Yahudi yang menyutradarai Innocence of Muslims menegaskan bahwa ini zaman perang ideologi terhadap Islam. Tak heran bila orang semacam AU atau PS menyerang Islam lewat tulisan. Non-Islam ngeri berjihad secara berhadapan satu lawan satu gara-gara tidak memiliki rekomendasi langit dari Tuhan yang tak beranak. Mereka cuma menduga-duga hakikat agamanya. Saat kepalsuan menyelimutinya, ia pun bertekad menggelincirkan umat Islam supaya turut tersesat. Mereka berhasrat agar Islam terhina meniti kehidupan.
      “Pada hari ini begundal kafir putus asa untuk mengalahkan agamamu. Jangan takut kepada mereka! Takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu. Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku. Aku meridai Islam sebagai agamamu” (al-Maidah: 3).


Jumat, 14 September 2012

Innocence of Muslims







Innocence of Muslims
Oleh Abdul Haris Booegies

      Nabi Muhammad kembali dilecehkan oleh gerakan Zionis serta Kristen. Berkali-kali umat Islam dipojokkan dan dihina. Saat melakukan perlawanan, maka, kaum Muslim dituding teroris. Detasemen Iblis (FBI dan CIA) kemudian memorak-porandakan para pejuang Islam. Mereka ditembaki bak binatang jalang.
      Di sisi lain, didengungkan toleransi. Tatkala umat Islam bersusah-payah membangun toleransi, pasti pihak di luar Islam mengkhianatinya. Zionis dan para penyembah berhala merusak toleransi. Sebagai contoh, Kompas. Harian Katolik ini sangat doyan menistai Islam. Tulisan bernada memojokkan Islam dimuat. Ketika tulisan tersebut hendak ditanggapi, Kompas mustahil memuatnya.
      Pastor Terry D Jones menggagas Hari Membakar al-Qur’an Sedunia (International burn a Koran Day) pada 11 September 2010. Aksi ini disponsori Gereja Florida. Pihak Kristen juga membuat film yang menghina Islam. Theo van Gogh, contohnya. Produser film asal
     Belanda itu membuat film Submission yang menghina Islam. Ia lantas dibunuh pejuang Islam Mohammed Bouyeri pada 2 November 2004. Pada Februari 2006, surat kabar Denmark Jyllands-Posten menerbitkan 12 karikatur tentang Nabi Muhammad. Pelecehan koran tersebut memicu kerusuhan di negara-negara Islam.
      Begitu banyak orang Yahudi serta Kristen yang sangat benci kepada Nabi Muhammad. Mereka menuduhnya pedofilia (orientasi seks pada anak prapuber). Hal itu terkait pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah yang berumur 11 tahun.
      Dewasa ini, Presiden Perancis Francois Hollande hidup tanpa ikatan perkawinan dengan Valerie Trierweiler. Hollande tidak didemo berbuat zinah. Sebab, hidup serumah adalah tradisi luhur Barat.
      Di masa Nabi Muhammad, kawin dengan anak usia di atas 10 tahun adalah budaya. Andai perbuatan tersebut salah, tentu Nabi Muhammad didemo oleh Abu Jahal dan Abu Lahab bersama para preman Mekkah. Komunitas Yahudi di Medinah di zaman itu saja, tak pernah mempersoalkan perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah. Di dekade ini, berandalan non-Islam yang kehabisan amunisi, akhirnya melecehkan Nabi Muhammad sebagai pedofilia.
      Benci, dengki serta dendam terhadap Nabi Muhammad telah menjalar ke sumsum umat non-Islam. Akhirnya, umat Islam yang minoritas di suatu negara atau daerah, mengalami tekanan.
      Di Burma, umat Islam minoritas. Hasilnya, mereka diusir dan dibakar. Kala Lady Gaga ditolak oleh Front Pembela Islam di Jakarta, Bali justru bersedia menjadi tempat konser penyanyi Amerika tersebut.
Kaum Muslim berusaha meminimaslisasi aksi seronok Lady Gaga di wilayah Indonesia. Sedangkan di pojok lain, ada daerah yang menawarkan diri sebagai tuan rumah.
      Toleransi macam apa sebenarnya yang berkecamuk di benak mereka. Soalnya, selalu digembar-gemborkan kalau toleransi adalah saling menghargai. Sementara dari Amerika senantiasa dihembuskan pluralisme. Ketika Islam dihina serta membela diri, sontak Amerika memberangusnya sebagai teroris. Pluralisme bagi masyarakat Barat tiada lain pluralisme sesama penyembah berhala. Islam bukan bagian dari pluralisme. Sebab, Islam satu-satunya agama di dunia yang tidak menyembah patung.
      Kini, muncul Innocence of Muslims. Film ini dipromosikan oleh Kristen Koptik di Amerika. Nakoula Basseley Nakoula (Sam Bacile) sebagai sutradara merupakan warga Mesir beragama Kristen Koptik. Selain mengaku bernama Sam Bacile, ia dikenal pula sebagai Nicola Bacily, Robert Bacily, Erwin Salameh dan sejumlah identitas palsu lain.
      “Ini merupakan film politik. Amerika kehilangan banyak uang berikut tentara dalam perang Irak serta Afganistan. Kami sekarang bertempur melawan ideologi”, katanya congkak saat pejuang Islam Libya melampiaskan kemarahan pada Konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Duta Besar Amerika untuk Libya, Christopher Stevens bersama tiga anggota kedutaan mati gara-gara serangan roket pada Selasa malam, 11 September 2012. Sebelumnya, di Mesir, pejuang Islam mendatangi Kedutaan Amerika di Kairo.
      “Islam adalah sebuah kanker”, umpat Nakoula yang berusia 55 tahun. Dalam Innocence of Muslims, Nakoula menvisualkan Nabi Muhammad sebagai penipu serta hidung belang. Konsultan film ini ialah Steve Klein, aktivis Kristen militan.
      Innocence of Muslims dibuat selama tiga bulan pada musim panas 2011. 59 aktor dan sekitar 45 kru berada di balik pembuatan film ini. Sekitar 5 juta dollar AS (Rp 47,9 miliar) dana dihabiskan untuk pembuatan film amatir ini. Nakoula mengaku dibiayai 100 donator Yahudi.
      Ketika diputar di bioskop-bioskop Hollywood di awal 2012, penonton tidak ada. Situs video YouTube milik Google lalu mengeksposnya.
      Serangan kepada Islam dari Yahudi serta Kristen tidak boleh didiamkan atas nama toleransi dan pluralisme. Umat Islam wajib bangkit melakukan perlawanan setimpal.
      “Kalau kamu berjuang melawan gerombolan kafir (dalam perang jihad). Pancung lehernya! Kalau kamu bisa menaklukkannya, maka, tawan mereka! Ikat dengan erat! Usai perang, kamu boleh membebaskan atau menerima tebusan. (Bertindaklah demikian terhadap golongan kafir yang ceroboh) agar di akhir perang jihad tiada lagi bibit perkara yang timbul. Andai Allah menghendaki, niscaya Ia sendiri membalas kejahatan mereka. Allah hendak menguji kesabaran di antara kalian dalam menentang cecunguk kafir (yang menistaimu). Orang yang mati syahid di perang jihad. Allah tidak menyia-nyiakan perbuatan mereka!” (Surah Muhammad: 4).














 



























Jumat, 24 Agustus 2012

Bahasa Robin Hood





Bahasa Robin Hood
Oleh Abdul Haris Booegies

Dari deretan epos dunia, hikayat Robin Hood tertoreh sebagai sebuah warisan budaya bagi kemanusiaan. Robin Hood adalah legenda mapan yang setara dengan masterpiece semacam Superman, Mahabharata, Cinderella, The Odyssey, Samson, Don Quixote de la Mancha atau Ivanhoe.
Dongeng populer Robin Hood diperkirakan muncul pada tahun 1300. Eksistensi Robin Hood mulai merekah ketika tahun menunjukkan angka 1500. Di kala itu, ia mashur sebagai pahlawan.
Pada 1883, Howard Pyle menerbitkan komik berjudul Adventure of Robin Hood. Karya Pyle tersebut kemudian menjadi acuan. Sementara layar perak memfilmkannya pada 1909.
Robin Hood hidup pada saat peradaban Inggris masih dikuasai tuan tanah. Jago panah itu diduga lahir pada 1160 di Locksley, Nothinghanshipe, Inggris. Robin Hood sezaman dengan Richard I. Raja Inggris yang bergelar Lion Heart tersebut, tertoreh sebagai panglima angkatan bersenjata Perang Salib Kedua.
Delapan abad setelah kematiannya, nama Robin Hood makin mengkilap. Sebab, sepak-terjangnya sarat perjuangan. Apalagi, ia seorang yang peduli terhadap golongan tertindas. Kesewenangan dibidiknya dengan panah maut yang selalu mengincar jantung lawan. Derita rakyat diobati dengan menjarah harta orang kaya atau tuan tanah. Hasil curiannya lantas dibagikan kepada kaum papa.
Di mata penguasa yang merasa dirugikan, sosok Robin Hood dinobatkan sebagai perampok. Di sisi lain, masyarakat menilainya figur suci. Pasalnya, ia berjuang atas nama rakyat yang disunat hak hidupnya dalam menikmati hasil-hasil bumi. Robin Hood dijuluki maling, tetapi, predikat buruk itu diikuti pula penghargaan mulia dari penduduk setempat yang mencintainya.
Wujud Robin Hood dengan dua sisi itu, kini bisa ditemukan pada alat komunikasi, khususnya dalam bahasa pers. Kembara kompetisi yang mengalir rancak memperlihatkan bahwa kalau seorang publik figur, tokoh masyarakat atau “dan lain-lain yang terhormat” berbuat jahat, maka, pers beramai-ramai membabatnya. Sekalipun gemuruh cercaan datang bergelobang, tetapi, kadang-kadang terdapat juga media massa yang melawan arus.
Dengan bahan-bahan yang dikumpulkan dari sana-sini, media tersebut lalu merakit suatu ulasan lain. Metode penyampaiannya berbeda. Soalnya, ia menggunakan bahasa yang membela secara samar-samar sosok bejat yang dilaknat publik. Hakikat bahasanya mengecoh lantaran menyimpang dari kelaziman. Akibatnya, orang awam bersama golongan yang tak paham persoalan sesungguhnya, bakal terlena oleh siasat si peracik berita. Alhasil, figur merana yang digempur ejekan sinis, pada akhirnya memperoleh simpati.
Media yang memakai bahasa Robin Hood, biasanya memiliki hubungan kekerabatan atau simpul emosional dengan tokoh kotor yang disanjungnya. Mereka tidak murni ingin menegakkan keadilan, tetapi, berambisi melepaskan si jahat dari belenggu kemelut sebagai balas jasa.
Dalam menunjang pembahasannya, maka, media itu selalu mencari sisi baik figur sesat untuk ditampilkan. Sedangkan hal-hal jeleknya diedit ketat. Kata-kata yang bersifat menekan diubah dengan kalimat yang sedap dimengerti. Sebagai contoh, “lengah” diganti menjadi “sudah diantisipasi, namun, mereka tetap lolos”. Sementara orang-orang yang mengomentari figur kelam tersebut, dipojokkan secara halus. Umpamanya, “ditanggapi oleh Fulan sebagai suatu pandangan yang salah” diubah dengan “disambar saja oleh Fulan sebagai suatu pandangan yang kurang benar”. Kemudian “sahabat” diganti “konco”.
Perubahan yang tampak sepele itu, pada esensinya punya efek yang sangat serius. Maklum, deskripsi suatu kategori yang baik atau buruk kehilangan sukma. Wujud yang bagus diusahakan tampil dalam bentuk yang tidak menguntungkan. Hingga, yang baik berganti buruk serta yang jelek berubah bagus.
Dalam kasus pelecehan brutal Tuan Permadi, ada media yang menuduh Din Syamsuddin terlibat dalam pembajakan kaset. Padahal, istilah “pembajakan kaset” jamak dikenakan pada oknum yang mau meraup laba komersial secara ilegal. Aspek tersebut membuktikan bahwa media bersangkutan itu berhasrat menembak bola salju. Mereka hendak mengalihkan perhatian, minimal menciptakan dampak bola bilyard yang mengakibatkan orang-orang di pihak benar dengan yang bersepuh kemungkaran saling beradu.
Bahasa Robin Hood yang bisa melahirkan kekacauan perspektif tersebut, menujukkan bila pertimbangan hukum dan moral masih jauh di bawah paket kriminalitas. Media-media yang tidak merasa riskan bermesraan dengan visi kejahatan itu acap didasari oleh hubungan famili atau ikatan emosional. Arkian, mereka bertekad melakukan perlawanan di sisi simbol kesesatan.
Media yang memuji sosok keparat tersebut tak risih membangun opini bodoh dengan menggunakan bahasa Robin Hood. Maklum, dengan menampilkan bahasa yang mirip alur legenda jago panah dari hutan Sherwood itu, berarti mereka berpeluang menampik secara samar-samar perilaku busuk sahabatnya. Media tersebut ingin berperan seperti rakyat yang menilai Robin Hood sebagai pahlawan. Hingga, mereka bergairah penuh nafsu guna menolong mitranya yang telah terbukti terperosok dalam dunia hitam. Padahal, bahasa Robin Hood itu justru mempertontonkan sikap permusuhan sekaligus lambang kelam yang menyesatkan asumsi masyarakat.
Kawan-kawan mereka (begundal kafir maupun komunitas fasik), rnernbantu setan-setan untuk rnenyesatkan. Tiada henti ia menyesatkan” (al- A’raf: 202).

(PANJI MASYARAKAT NO. 834, 22 SYAFAR, 3 RABIUL AWAL 1416 H 21-30 JULI 1995)

















































Kuki Bayi UFO





Kuki Bayi UFO
Oleh Abdul Haris Booegies

Menakjubkan! Panjimas 637 memuat kisah sensasi yang menantang kreativitas berpikir sekaligus menyentuh dan memelas nurani. Seorang wanita Amerika, Valencia, melahirkan bayi yang sangat beda dengan anatomi manusia. Hati siapa pun jelas terketuk melihat keajaiban yang menyentak ini.
Proses penciptaan anak (tanpa rnenghubungkan dengan kekuasaan Allah), adalah tanggung jawab biologi. Bila ditilik dari wawasan ilmu hayat, manusia seordo dengan kera. Manusia bersama kera yang tergolong pada primates, cenderung untuk berbiak terus. Di samping punya gerakan bipedal, kedua organisme verteobrata ini hanya beda dalam tata cara hidup.
Peristiwa yang dialami Valencia, yang menganggap dirinya dicumbu makhluk Unidentified Flying Object (UFO), tentu menarik. Sebab, di belakang cerita ini, banyak aspek mencengangkan. Benarkah bayi Kuki merupakan hasil silang antara Valencia dengan makhluk UFO? Boleh jadi kera raksasa telah bersebadan dengan Valencia. Hatta, benihnya rnekar dalam rahim.
Bagaimana dengan pembawa sifat (gen) dalam serat tubuh Kuki? Tak bertentangankah rnolekul deoxyribonucleit acid (DNA) dalam wujud pribadi Kuki kelak? Mengingat orangtua yang beda ras dan keandalan.
Valencia sebagai tokoh kunci dalam kejadian ini, tentu perlu disimak latar kehidupannya. Sensasi ini bisa saja diawali oleh kekecewaan Valencia terhadap laki-laki. Ia frustasi. Akibatnya, terbuai adegan percabulan dengan binatang. Apalagi, pada usia 36 tahun, masih tetap single. Di tengah kecamuk sepi-sendiri, ia mencari penyaluran. Tatkala mengandung, ia lalu menggunakan “ilmu kambing hitam” untuk rnenjebak opini masyarakat.
Valencia jelas tak salah 100 persen jika hanya mengada-ada. Carl Jung, psikolog pembaru dari Swiss bersabda: “UFO yang muncul dalam bentuk piring terbang, bukan obyek sesungguhnya. Hal itu sekedar visualisasi spontan terhadap keadaan jagat angkasa. Timbul karena seseorang berada dalam puncak kerinduan akan harmoni dan keseimbangan”.
Dari sisi kehidupan, Valencia secara psikologis terlihat kurang imbang menata keharmonisan. Apalagi, dalam usia 36 tahun, ia masih “gadis”. Rasa sepi telah menyeretnya ke hal-hal yang sarat imajinasi. Tak ayal, ia pun berimajinasi “digerayangi” makhuk UFO. Harap dimafhumi bahwa keberadaan UFO diyakini 51 persen oleh masyarakat Amerika.
Dari fondasi keyakinan ini, penduduk negeri Uncle Sam akhirnya teramat doyan dengan dongeng modern dunia angkasa luar. Alhasil, lahir film semacam ET (The Extra Terrestrial), Close Encounters of the Third Kind, Flash Gordon, Barbarella, Superman, Buck Rogers in the 25th Century, Star Trek, Star Wars, Men into Space atau Planet of the Apes. Deretan sinema ini mengisahkan makhluk dari dunia di luar bumi.
Kepada Allah bersujud yang ada di langit dan di bumi. Mereka makhluk melata dan malaikat. Mereka tak angkuh” (an-Nahl: 49).
Anatomi Kuki yang mirip hewan menjabarkan bila “kesimpulan kira-kira” (teori mungkin) menegaskan bahwa ia berayah kera. Mustahil binti muskil ayah Kuki seekor anjing. Walau wajah Kuki yang ramah dan cantik itu bermoncong serta bisa menyalak. Anjing, secara teoritis, teramat berbeda gen dengan manusia. Sementara kera cukup dekat dengan organ tubuh dan tingkah laku manusia. Hingga, mereka bisa sangat akrab.
Jane Carter, mahasiswi Amerika, pernah hidup di sebuah pulau di Gambia bersama simpanse. Ini dilakukan agar binatang-binatang itu bisa melanjutkan hidup di hutan. Rasa sayang terhadap simpanse, juga terekam dalam kehidupan penyanyi Michael Jackson. Bahkan, binatang ini pun doyan menenggak soft-drink.
Keakraban ini bisa saja disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Mereka mengumbar nafsu kebinatangannya ke dalam dekapan hewan. Arkian, memungkinkan sel mani mendobrak kulit telur dengan kekuatan mekanis yang dibantu zat kimia (enzirn pencernaan yang terkandung dalam sperma). Zat kimia inilah yang membuat sperma menembus zona pellucida. Fasi selanjutnya yakni pembuahan. Peristiwa ini yang menentukan dimulainya perkembangan bayi.
Untuk menutup aib, seorang bisa mengelak dengan alasan yang rumit diterima rasio. Valencia, jika memang telah disetubuhi mahluk UFO, termasuk suatu keajaiban. Barangkali namanya bakal tertera dalam Guinness Book of Records. Kalau Valencia sekedar cari popularitas di balik nama UFO setelah bersetubuh dengan kera, jelas termasuk gebrakan sukses dalam kebohongan.
Sekali peristiwa, seorang wartawan foto Wiesbadener Tagblatts bernama Hans Scheffler memotret anaknya yang berumur lima tahun bersama dua prajurit Amerika. Seorang di antara serdadu membawa kopor yang memakai selang udara. FBI yang melihat foto itu langsung tergoda. Pesawat tempur dikerahkan. Mereka akhirnya sadar kalau dikecoh. Foto sandiwara UFO versi Scheffler sukses dustanya.
Istilah “piring terbang” (Flying Saucer) dan “benda terbang tak dikenal” (UFO), berasal dari Amerika. Negara superpower ini merupakan pusat kegiatan UFO. Kedatangan UFO ke Amerika terjadi dalam dua zaman, abad 24 sebelum Masehi dan abad 20 Masehi.
Kedatangan pertama, sebelum banjir besar zaman Nabi Nuh di tahun 2370 sebelum Masehi. Ketika itu, peradaban manusia berada pada puncak kegemilangan. Bukti kedatangan mereka tertera pada lukisan suku Aborigin di Australia.
Di Jepang, juga ditemukan patung bentuk astronot dengan pesawat mirip Columbia. Nabi Ezekiel yang ternukil dalam Bibel menjadi saksi kehadiran makhluk angkasa luar. Bahkan, pada 1953, Pangeran Boris de Racnewiltz menemukan pula berita mengenai UFO dari zaman Fir’aun. Peristiwa itu tercatat dalam berita tahunan Kerajaan Thuthmosis III (1504-1450 sebelum Masehi).
Kedatangan kedua makhluk angkasa luar ke bumi, terjadi pada masyarakat Gelombang Ketiga (The Third Wave), era informasi, abad ruang angkasa dan zaman konglomerat ini.
Apakah kalian tak tahu bahwa kepada Allan bersujud yang ada di langit dan bumi” (al-Hajj: 18).
Keusilan makhluk UFO, yang meyakinkan eksistensinya, juga rnerepotkan dan kerap menakutkan. Pada 2 Oktober 1956, Harry Sturdevant sempat diserang piring terbang. Untung, penduduk New Jersey ini hanya pingsan.
Pada September 1961, Barney dan Betty Hill, saat sedang melaju di pinggiran kota New Hampshire, diculik makhluk UFO. Aneh, awak piring terbang itu lalu mengambil kulit jari, kulit kuping dan kuku jari sepasang suami-isteri itu.
Pada 1968, Erich von Daniken menulis buku Chariots of the Gods. Kitab itu mengupas perihal eksistensi makhluk angkasa luar. Sebelumnya, Frank Scully juga menulis buku, Behind the Flying Saucer. Pustaka tersebut mengungkap sebuah piring terbang yang jatuh di Meksiko dan Colorado. Awak kapal ditemukan tewas. Demi menghindari kegemparan, mayat setinggi 92-122 centimeter itu dimusnahkan.
Dalam dokumen CIA, terdapat sebuah rahasia mengenai piring terbang yang juga jatuh di daratan Amerika. Makhluk dalam piring terbang tersebut berukuran 4 kaki 6 inci (sekitar 1.3716 meter), botak dan tak berjempol.
Pada 1969, Gubernur Georgia Jimmy Carter, pernah pula melihat kemunculan UFO. Dr Herbert Hopkins pada 1976, malahan sempat bercakap-cakap dengan Man in Black (pria berjas hitam). MIB merupakan bagian dari UFO yang sangat dipercaya oleh ufolog (pakar UFO). Komunitas misterius Man in Black hanya mendatangi orang-orang yang pernah menyaksikan UFO. Mereka mengancam agar tak meneruskan penyelidikan mengenai UFO.
Pada 1977, di suatu malam yang dingin, beberapa piring terbang tampak berada di atas markas besar PBB. Tak lama kemudian, kota New York gelap gulita. Maklum, tiba-tiba aliran listrik putus.
Prof. Harley D Rutledge dari Universitas Missouri, punya angan-angan untuk menjebak UFO. Rancangannya yang bernama Proyek Identifikasi dirakit pada 1973. Sasaran pengintaian dipusatkan di kota Piedmont. Penelitian selama tujuh tahun tersebut melibatkan 40 ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Mereka dilengkapi peralatan senilai US$ 40.000. Riset ini senasib dengan proyek Hessadelan (Norwegia), kurang berhasil. Walau demikian, rasa optimistis kembali bersemi setelah Pemerintah Federal Amerika pada 6 Februari 1990, setuju menggelontorkan dana Rp 180 miliar untuk proyek mencari makhluk angkasa luar.
Proyek yang melibatkan 20 ilmuwan terkemuka Amerika tersebut dinamakan Search for Extra Terrestrial Intelligence (SETI). Di sisi lain, Wakil Presiden Amerika Dan Quayle diangkat sebagai ketua proyek peluncuran manusia ke Planet Mars. Syahdan, rumus mencari makhluk angkasa luar pun telah ditemukan oleh Frank D Drake. Kodenya ialah N = R x Fp x Fi x Fi x Fc x Li.

(Panji Masyarakat, No. 639)



















































Sabtu, 28 Juli 2012

Mimpi Bertemu Nabi Muhammad



Mimpi Bertemu Nabi Muhammad
Oleh Abdul Haris Booegies

      “Siapa melihatku dalam mimpi. Ia benar-benar melihatku. Setan tak dapat menyerupai diriku” (al-Bukhari).
      Seseorang berseru: “Nabi Muhammad akan datang”. Saya yang sedang berjalan kaki di suatu tempat pesimistis bisa melihat Rasulullah. Artis atau tokoh nasional saja repot dipandang dari dekat. Apalagi ini Maha Rasul, tuan segala Nabi.
      Suara dentuman tiba-tiba terdengar. Langit biru pun berhias kembang api. Dentuman dan kembang api menandakan Nabi Muhammad telah tiba. Saya ikut arus kerumunan yang mengarah ke tempat penyambutan.
      Sebuah mobil mirip Cadillac Presidential Limousine yang biasa ditumpangi Presiden Amerika Serikat kemudian singgah. Khalayak bergerombol di sebuah rumah. Saya mendekat. Ada rasa takut menjalar di tubuh. Takut karena sosok ini adalah Rasulullah.
      Saya berdiri di sisi pintu. Di dalam rumah hanya segelintir orang. Seorang pria duduk bersila. Di pangkuannya duduk seorang anak usia sekitar lima tahun. Ia berpakaian serta bercelana putih. Ia terus tertawa lantaran bercanda dengan pria yang memangkunya.
      Anak tersebut rupanya Nabi Muhammad kala masih kanak-kanak. Fisik paling membekas di hati saya yakni giginya. Dua gigi serinya terlihat lebih panjang. Gigi seri itu juga tidak rapat, namun, renggang.








































 

Amazing People