Jumat, 24 Agustus 2012

Bahasa Robin Hood





Bahasa Robin Hood
Oleh Abdul Haris Booegies

Dari deretan epos dunia, hikayat Robin Hood tertoreh sebagai sebuah warisan budaya bagi kemanusiaan. Robin Hood adalah legenda mapan yang setara dengan masterpiece semacam Superman, Mahabharata, Cinderella, The Odyssey, Samson, Don Quixote de la Mancha atau Ivanhoe.
Dongeng populer Robin Hood diperkirakan muncul pada tahun 1300. Eksistensi Robin Hood mulai merekah ketika tahun menunjukkan angka 1500. Di kala itu, ia mashur sebagai pahlawan.
Pada 1883, Howard Pyle menerbitkan komik berjudul Adventure of Robin Hood. Karya Pyle tersebut kemudian menjadi acuan. Sementara layar perak memfilmkannya pada 1909.
Robin Hood hidup pada saat peradaban Inggris masih dikuasai tuan tanah. Jago panah itu diduga lahir pada 1160 di Locksley, Nothinghanshipe, Inggris. Robin Hood sezaman dengan Richard I. Raja Inggris yang bergelar Lion Heart tersebut, tertoreh sebagai panglima angkatan bersenjata Perang Salib Kedua.
Delapan abad setelah kematiannya, nama Robin Hood makin mengkilap. Sebab, sepak-terjangnya sarat perjuangan. Apalagi, ia seorang yang peduli terhadap golongan tertindas. Kesewenangan dibidiknya dengan panah maut yang selalu mengincar jantung lawan. Derita rakyat diobati dengan menjarah harta orang kaya atau tuan tanah. Hasil curiannya lantas dibagikan kepada kaum papa.
Di mata penguasa yang merasa dirugikan, sosok Robin Hood dinobatkan sebagai perampok. Di sisi lain, masyarakat menilainya figur suci. Pasalnya, ia berjuang atas nama rakyat yang disunat hak hidupnya dalam menikmati hasil-hasil bumi. Robin Hood dijuluki maling, tetapi, predikat buruk itu diikuti pula penghargaan mulia dari penduduk setempat yang mencintainya.
Wujud Robin Hood dengan dua sisi itu, kini bisa ditemukan pada alat komunikasi, khususnya dalam bahasa pers. Kembara kompetisi yang mengalir rancak memperlihatkan bahwa kalau seorang publik figur, tokoh masyarakat atau “dan lain-lain yang terhormat” berbuat jahat, maka, pers beramai-ramai membabatnya. Sekalipun gemuruh cercaan datang bergelobang, tetapi, kadang-kadang terdapat juga media massa yang melawan arus.
Dengan bahan-bahan yang dikumpulkan dari sana-sini, media tersebut lalu merakit suatu ulasan lain. Metode penyampaiannya berbeda. Soalnya, ia menggunakan bahasa yang membela secara samar-samar sosok bejat yang dilaknat publik. Hakikat bahasanya mengecoh lantaran menyimpang dari kelaziman. Akibatnya, orang awam bersama golongan yang tak paham persoalan sesungguhnya, bakal terlena oleh siasat si peracik berita. Alhasil, figur merana yang digempur ejekan sinis, pada akhirnya memperoleh simpati.
Media yang memakai bahasa Robin Hood, biasanya memiliki hubungan kekerabatan atau simpul emosional dengan tokoh kotor yang disanjungnya. Mereka tidak murni ingin menegakkan keadilan, tetapi, berambisi melepaskan si jahat dari belenggu kemelut sebagai balas jasa.
Dalam menunjang pembahasannya, maka, media itu selalu mencari sisi baik figur sesat untuk ditampilkan. Sedangkan hal-hal jeleknya diedit ketat. Kata-kata yang bersifat menekan diubah dengan kalimat yang sedap dimengerti. Sebagai contoh, “lengah” diganti menjadi “sudah diantisipasi, namun, mereka tetap lolos”. Sementara orang-orang yang mengomentari figur kelam tersebut, dipojokkan secara halus. Umpamanya, “ditanggapi oleh Fulan sebagai suatu pandangan yang salah” diubah dengan “disambar saja oleh Fulan sebagai suatu pandangan yang kurang benar”. Kemudian “sahabat” diganti “konco”.
Perubahan yang tampak sepele itu, pada esensinya punya efek yang sangat serius. Maklum, deskripsi suatu kategori yang baik atau buruk kehilangan sukma. Wujud yang bagus diusahakan tampil dalam bentuk yang tidak menguntungkan. Hingga, yang baik berganti buruk serta yang jelek berubah bagus.
Dalam kasus pelecehan brutal Tuan Permadi, ada media yang menuduh Din Syamsuddin terlibat dalam pembajakan kaset. Padahal, istilah “pembajakan kaset” jamak dikenakan pada oknum yang mau meraup laba komersial secara ilegal. Aspek tersebut membuktikan bahwa media bersangkutan itu berhasrat menembak bola salju. Mereka hendak mengalihkan perhatian, minimal menciptakan dampak bola bilyard yang mengakibatkan orang-orang di pihak benar dengan yang bersepuh kemungkaran saling beradu.
Bahasa Robin Hood yang bisa melahirkan kekacauan perspektif tersebut, menujukkan bila pertimbangan hukum dan moral masih jauh di bawah paket kriminalitas. Media-media yang tidak merasa riskan bermesraan dengan visi kejahatan itu acap didasari oleh hubungan famili atau ikatan emosional. Arkian, mereka bertekad melakukan perlawanan di sisi simbol kesesatan.
Media yang memuji sosok keparat tersebut tak risih membangun opini bodoh dengan menggunakan bahasa Robin Hood. Maklum, dengan menampilkan bahasa yang mirip alur legenda jago panah dari hutan Sherwood itu, berarti mereka berpeluang menampik secara samar-samar perilaku busuk sahabatnya. Media tersebut ingin berperan seperti rakyat yang menilai Robin Hood sebagai pahlawan. Hingga, mereka bergairah penuh nafsu guna menolong mitranya yang telah terbukti terperosok dalam dunia hitam. Padahal, bahasa Robin Hood itu justru mempertontonkan sikap permusuhan sekaligus lambang kelam yang menyesatkan asumsi masyarakat.
Kawan-kawan mereka (begundal kafir maupun komunitas fasik), rnernbantu setan-setan untuk rnenyesatkan. Tiada henti ia menyesatkan” (al- A’raf: 202).

(PANJI MASYARAKAT NO. 834, 22 SYAFAR, 3 RABIUL AWAL 1416 H 21-30 JULI 1995)

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People