Kamis, 26 Januari 2023

Sentuhan Nabi Khidir


Sentuhan Nabi Khidir
Cerpen Abdul Haris Booegies


     "Nabi Khidir merupakan sosok yang masih berjalan-jalan di muka Bumi", tutur cendekiawan muda AJ Muslim saat tampil sebagai penceramah.
     Malam ini, saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta, Andi Rian bersama sekitar 30 santri ke Gedung IMMIM.  Bahkan, ada 20 santriwati IMMIM dari Minasa Te'ne, turut hadir.  Kami merayakan Maulid Nabi Muhammad.  Gedung IMMIM terasa sempit sekaligus pengap di antara undangan yang berkisar 400.
     Ketika acara bubar, saya mendekati AJ Muslim.  Intelektual ini memiliki sertifikat interdisipliner dalam studi Islam dari Universitas Yale di New Haven, Amerika Serikat.
     "Mengapa Nabi Khidir masih hidup?"  Saya meminta konfirmasi.
     AJ Muslim tersenyum mendengar pertanyaanku.  Tiba-tiba ustaz Sabir menepuk-nepuk bahuku dari belakang.
     "Ini Ogi, santri IMMIM.  Ia pengasuh majalah dinding Superpower", terang ustaz Sabir sambil berlalu usai melempar senyum ke AJ Muslim.
     "Kita tentu masih butuh Nabi Khidir.  Eksistensi Nabi Khidir merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hambanya.  Tidak mustahil Nabi Khidir mendatangi saya atau siapa saja untuk menghindarkan seseorang dari musibah besar.  Misalnya, kecelakaan yang berskala mematikan", papar AJ Muslim.
     "Hukum alam senantiasa terpaut dengan sebab-akibat.  Dalam kehidupan, kita dihadapkan pada perkara riil.  Solusi yang kita lakukan selalu visibel, bisa diurai kendati bergumpal-gumpal seperti benang.  Sedangkan Nabi Khidir menampilkan hal gaib, sesuatu yang di luar nalar.  Tak terbaca akal, tidak tersimak pikiran.  Nabi Khidir menawarkan solusi nonfisik, metafisika".
     "Contohnya?"  Terdengar suara Hapip yang tahu-tahu berdiri di samping kiriku.  Saya menoleh ke kanan, melihat Tirta serta Rian yang tengah menyimak deskripsi AJ Muslim.
     "Dalam surah al-Kahfi, terceritakan saga Nabi Khidir.  Ia melubangi perahu yang ditumpanginya bersama Nabi Musa.  Nabi Khidir malahan membunuh seorang pemuda", ungkap AJ Muslim.
     "Nabi Khidir membolongi bahtera karena sebentar lagi tiba seorang raja serakah, yang tak menghiraukan nasib rakyat miskin.  Diktator picik nan licik ini merampas semua perahu yang tidak rusak.  Di lain momen, Nabi Khidir membunuh remaja gara-gara anak itu kelak melukai orangtuanya secara fisik maupun psikis.  Ia bakal memaksa ayah-ibunya yang mukmin menjadi kafir sebagaimana dirinya.  Jadi, Nabi Khidir memotong mata rantai yang dapat menimbulkan kerugian lebih besar.  Ini solusi metafisika yang kini sekali-sekala kita perlukan di tengah dominasi teknologi dan sains".

*****


     Rian bersungut-sungut saat saya, Hapip serta Tirta meninggalkan Gedung IMMIM.  Santri lain sedari awal pulang ke pondok.  Rian menggerutu karena kami harus berjalan kaki lebih 500 meter ke pojok Timur Laut Karebosi.  Kami berniat menunggu mikrolet (petepete) di ujung Jalan HOS Cokroaminoto dengan Jalan Jenderal M Yusuf.
     "Sekarang pukul 22.35", ujar Tirta tatkala kami menjejakkan kaki di sudut Karebosi.
     Tak berselang lama, muncul mikrolet yang menuju ke Daya.  Kami pun senang.  Akhirnya terangkut ke Pesantren IMMIM di Tamalanrea.
     Ketika kami hendak naik ke mobil, seseorang merebut majalah Lektura yang saya kepit.  Ia kemudian berlari menjauh.  Saya segera mengejarnya dibuntuti Hapip, Tirta dan Rian.  Kami memburu lelaki iseng tersebut serupa dikomando oleh panglima dalam pertempuran berdarah-darah melawan kebatilan.
     Pencuri itu tampak tua, berjanggut putih panjang, mengenakan serban serta gamis.  Ia lantas membuang Lektura ke trotoar.  Sementara orang tua tersebut meloncat ke mobil pick up yang kebetulan lewat.  Ia sempat melambai dengan wajah tanpa ekspresi.
     "Siapa itu?" Desis Hapip saat saya memungut Lektura.
     "Entahlah, ia mendadak muncul merebut majalahku laksana datang dari keterasingan malam".
     "Sudah uzur, berjanggut nyaris sampai di pusar, memakai serban dan berkemeja Arab, tetapi, kelakuan persis preman pasar.  Kau boleh tidak percaya, mungkin hatinya terbuat dari kerikil Neraka", dengus Tirta sembari mendongak menyaksikan malam yang tanpa Bulan.
     "Barangkali ODGJ", bisik Rian.
     "Kalau ODGJ, kenapa ia rapi.  Janggutnya juga terawat, tak acak-acakan mirip janggut kambing", jawabku setelah sibuk serta riuh menjelang tengah malam.  Benak terasa keruh, hela napas agak kacau.

*****


     Kami kembali ke penjuru Timur Laut Karebosi.  Menapak malam dingin yang makin lengang.  Kami melanjutkan menanti kendaraan.  Mikrolet yang ingin kami tumpangi tadi, sudah pergi.
     Rian terlihat mengomel.  Ia dongkol lantaran lelah dan mengantuk.  Saya, Hapip serta Tirta tidak hirau dengan sikap uring-iringan Rian.  
     Mikrolet lain akhirnya singgah di depan kami dari arah Jalan Jenderal Sudirman.  Kami bergegas naik berbareng.
     Tak ada penumpang lain selain kami berempat.  Tirta bersandar seraya berselonjor.  Sedangkan Rian merebahkan diri.  Boleh jadi ia mau kentut demi menenteramkan diri setelah puas menggerundel.  Kami berempat memilih diam.  Mulut seolah malas berbicara.
     Selepas melewati jembatan Sungai Tello, mikrolet melambat.
     "Ada kecelakaan", terdengar suara sopir di keheningan.
     Kami empat santri IMMIM sontak terpaku, bagai terkenang mimpi yang belum tuntas.  Kami berusaha mengintip dari balik kaca depan mobil.  Mata kami menyiratkan resah.  Tidak ada suara di antara kami, kecuali napas berat.  Sekitar 20 meter di depan, tampak puluhan orang sedang menolong korban.
     "Ini kecelakaan maut.  Pasti ada yang mati", cetus sopir kala jarak kian mendekat ke TKP.
     "Mikrolet bertumbukan dengan truk dari arah berlawanan", seseorang berseru di pinggir jalan.
     Mikrolet yang kami tumpangi bergerak pelan melewati bangkai mobil yang bertabrakan.  Mikrolet remuk, sementara truk peok di bagian depan.  Ada genangan darah di aspal.  Percik-percik darah terciprat pula di kendaraan nahas itu.  Sayup-sayup, berdengung lolongan halus.  Korban pasti kesakitan.  Rasa sakit tersebut jelas tak kunjung sembuh sampai fajar merona di ufuk Timur.
     "Mikrolet itu yang tadi hampir kita tumpangi", celetuk Rian memecah kesunyian di dalam mikrolet.
     "Betul, itu mikrolet yang tadi", tegas Hapip ibarat tersentak dari tidur pulas.
     "Untung kita tidak menumpang di mikrolet tersebut.  Kita nyaris diblender truk", timpal Tirta yang merasa lega terhindar dari maut.
     "Andai tak diusik orang tua berjanggut putih, niscaya kita sudah wassalam dari dunia", tandasku.
     Begitu ucapanku menggema tentang "orang tua berjanggut putih", kami terkesiap.  Sekonyong-konyong, kami saling berpandangan.  Melongo oleh sebuah peristiwa yang tadi dialami di pojok Timur Laut Karebosi.  Pikiran kami saling terkait pada figur abadi dengan solusi metafisika.  Serempak kami bergumam; "Nabi Khidir".


Beda Sudut Pandang


Sudut pandang tiap orang berbeda karena cara mereka mengolah pengetahuan juga berbeda
Abdul Haris Booegies


Minggu, 22 Januari 2023

Cinta Rembulan


Cinta Rembulan
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Sabtu malam pada 19 Januari 1985 ini, saya, Hapip Berru bersama lima rekan bertugas sebagai piket malam.  Kami meronda di dalam kampus agar Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM nihil dari kejahatan.
     Tugas piket yaitu berpatroli tiap jam di seputar pondok.  Kami berputar mengamati seluruh asrama seraya menyorotkan cahaya senter.  Maling tentu takut dengan sorot lampu, tetapi, kami lebih gentar dengan mereka.
     Selepas pukul 00.00, saya bersama Hapip duduk di serambi rayon Panglima Polem.
     "Ke mana Amri, Budi, Ali, Mustari dan Mustafa?"  Saya bergumam sembari menoleh ke kanan-kiri.
     "Barangkali mereka ke bilik masing-masing.  Tidak kuat bergadang", desis Hapip yang katup matanya mulai berat oleh kantuk.  Ia pun bersandar di dinding.
     "Kita dua orang saja yang terjaga sekaligus berjaga di pondok", timpalku sambil berdiri.  Saya melangkahkan kaki ke dekat Superpower.  Majalah dinding ini tertempel di dinding Barat asrama Panglima Polem.
     "Kapan edisi majalah dinding ini diganti", tanya Hapip seraya berdiri.
     Saat mau menjawab, langit sekonyong-konyong benderang.  Saya bersama Hapip langsung mendongak.  Pemandangan aneh terlihat.  Bulan bergerak turun.  Saya melangkah maju ke tengah lapangan di depan masjid.  Ingin memastikan, benarkah Bulan jatuh?
     Bulan terus turun seolah hendak menimpa pesantren.  Pohon-pohon akasia di sekeliling lapangan merona elok ditimpa cahaya Bulan yang terus merapat ke Bumi.  Saya memilih mundur ke tempat semula.  Sementara Hapip tampak bingung serta cemas.
     Tatkala Bulan menyentuh rumput lapangan, mendadak berkamuflase.  Menjelma seorang wanita.
     Saya mengawasi perempuan itu sembari sekilas menengadah ke angkasa yang buram dan suram.  Ribuan bintang tak sanggup menerangi malam yang gelap pekat.  Ini lantaran Bulan sekarang terdampar di Pesantren IMMIM.
     "Ayo kita ke kamar saja untuk tidur", pinta Hapip yang mulai tidak nyaman dengan situasi.
     "Kita bertahan di sini!  Kita ini piket!  Ini tugas kita menghalau penyusup yang masuk ke pesantren!"
     Wanita yang raganya dililit kain putih tersebut kemudian menatap kami.  Tenggorokanku terasa kering ketika ia berjalan ke arah kami.
     Terbersit kegundahan di pikiranku.  Bagaimana kalau dewi ayu ini sesungguhnya monster.  Jotosannya mampu membuat kami tergeletak menjadi bangkai.  Ini mengerikan.  Akibatnya, meregangkan segala macam bulu di badan.  Untung tak pipis di celana.
     "Mestinya tadi saya mendengar usulmu supaya ke bilik saja untuk tidur", bisikku pada Hapip.
     "Terlambat", sesal Hapip.
     Perempuan itu makin dekat.  Wajahnya memancarkan pesona.  Ia tersenyum.  Tanpa disadari, wanita tersebut telah berdiri di depan kami.  Aroma wangi menyembur dari tubuhnya.
     "Mana Ahmad Tirta serta Andi Rian?"  Terdengar suaranya begitu lembut, sedikit manja.
     Saya dengan Hapip saling berpandangan.  Mengapa perempuan jadi-jadian ini mengenal Tirta dan Rian.
     "Biasanya mereka bersamamu", sambungnya bagai mendesah.
     "Keduanya masih tidur di bangsal", Hapip memberi jawaban.
     "Kalian mau membantuku untuk memanggilkannya?"
     "Tugas kami sebagai piket ialah membantu tamu.  Kami akan memanggilnya bila kamu memberi tahu identitasmu?"  Suara Hapip terdengar menelisik serupa menginterogasi pelaku kejahatan.
     "Saya Rembulan, lampu Bumi di malam hari.  Rotasiku juga menjadi sumber penanggalan Qamariah".
     "Ada keperluan apa mencari Tirta serta Rian", tanyaku.
     "Saban malam keduanya membuat pikiranku berkecamuk, kalbuku berdenyut, jantungku berdegup dan jiwaku bergetar.  Detak nadiku senantiasa mengikuti alur hidupnya yang terentang luas", tutur wanita itu dengan paras yang gemerlap oleh aura cinta nan murni.
     Saya cekikikan mendengar omongan perempuan ini.  Saya menoleh ke Hapip yang tersipu sambil menunduk sejenak.
     "Kenapa merindukan dua anak ingusan yang belum disunat.  Mengapa bukan saya atau Ogi", Hapip berimprovisasi seraya menunjukku.
     "Kalian bukan tipeku!"
     Saya menggelegak menyimak celoteh wanita ini.  "Kalian bukan tipeku", terdengar melecehkan harga diri.  Mirip tusukan lembing ke ulu hati.  Apakah makhluk titisan ini tidak mengenal siapa saya di Pesantren IMMIM.  Merasa tersinggung, saya mundur selangkah.
     "Kau datang saja nanti siang.  Ada piket harian yang dapat membantumu bertemu Tirta serta Rian", ujar Hapip.
     "Saya tak bisa jika siang".
     "Matamu rabun kalau siang", timpalku sembari menyeringai.  Perempuan tersebut spontan memandangku.
     "Kau tidak becus melihat bila siang.  Sinar Surya mengurangi ketajaman pandanganmu.  Kau tak dapat pula turun ke Bumi jika siang.  Kesempurnaanmu hanya ada pada malam, itu pun sekali sebulan, pada purnama", sergahku.
     "Kata-katamu melukai hatiku", cerocos wanita jelmaan Bulan tersebut.  Mukanya sontak layu, bak dedaunan kering yang dipermainkan sang bayu.
     "Terima kasih atas keramahanmu.  Saya pamit undur diri.  Meninggalkan Bumi menuju ke Matahari", kata perempuan itu sambil berlalu.
     Kala berjalan ke tengah lapangan, wujud wanita tersebut perlahan beralih rupa menjadi Bulan.  Ia lantas melesat, membubung ke langit.  Cakrawala yang kelam pekat berangsur terang oleh sinar Bulan.
     "Apa yang baru saja terjadi?"  Hapip bertanya seolah tersadar dari hipnotis pesulap jalanan.
     "Bulan mendarat di Pesantren IMMIM", jawabku enteng.
     "Perempuan itu mengancam kita.  Mengintimidasi untuk memperburuk keadaan.  Ia meneror kelangsungan hidup di jagat raya", tutur Hapip.
     "Maksudmu?"
     "Wanita tersebut mengatakan; saya pamit undur diri.  Meninggalkan Bumi menuju ke Matahari".
     "Tentu saja Bulan terus bergerak ke arah Matahari.  Tiap tahun Bulan menjauh 3,7 cm dari Bumi.  Saat Bumi diciptakan, Bulan cuma berjarak 22.500 km dari Bumi.  Dewasa ini jaraknya mencapai 402.336 kilometer.  Ini berarti Bulan terus mendekat ke Matahari", ungkapku.
     "Apakah kamu pernah membaca ayat kesembilan surah al-Qiyamah?"  Hapip bersoal.
     "Tentu saja.  وَجُمِعَ الشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُۙ (Matahari dan Bulan dikumpulkan)", tandasku.
     "Makna dikumpulkan di ayat itu yakni Bulan tersedot oleh gravitasi Matahari.  Bulan laksana cadas yang dilontarkan ke Matahari.  Bulan terus menjauh dari Bumi sampai cahayanya tidak terlihat.  Kian dekat ke Matahari, makin cepat laju Bulan.  Bulan kemudian hancur ketika menabrak permukaan Matahari.  Inilah maksud al-Qiyamah ayat kesembilan; Matahari serta Bulan dikumpulkan.  Kalau ini terjadi, niscaya Kiamat sudah di ambang pintu", Hapip berkhotbah di tengah malam.  Saya tiba-tiba merinding.  Ini adegan beku di sepotong malam yang resah.

*****


     Pukul 10.00, saya dibangunkan piket rayon.  Piket malam harus masuk kelas untuk pelajaran ketiga dan keempat.
     "Ogi, tadi pagi seluruh 550 santri dikumpulkan oleh pimpinan kampus di lapangan.  Ada warta yang teramat mendebarkan", kata Syahrul yang datang menemuiku.
     "Kabar apa", tanyaku.
     "VOA, BBC, Deutsche Welle maupun Radio Australia terus menyiarkan informasi dari NASA serta astronom amatir terkait fenomena ganjil ini", lanjut Syahrul yang merupakan reporter majalah dinding Superpower.
     "Apa beritanya?"
     "Bulan kian dekat ke Matahar
i".


Rabu, 18 Januari 2023

Breakdance


Breakdance
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di benak sebagian orang luar yang melihat pesantren, tertancap ketakjuban dan sinisme.  Takjub lantaran bocah serta remaja bisa bertahan menyimak kitab kuning selama enam tahun.  Mereka juga sinis.  Tahu apa santri tentang dunia luar?  Tembok pesantren yang tinggi, niscaya menghalangi santri untuk berinteraksi dengan aktivitas di luar pondok.  Apalagi, gerbang dijaga satpam dengan mata yang waspada selama 24 jam.  
     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada periode 80-an, santri tampil tidak kalah dengan siswa-siswi SMP atau SMA.  Sebagai contoh, pelajar IMMIM banyak berlabel santri moviegoer (pecandu film).
     Di bioskop, santri IMMIM selalu jalan beriringan bersama kelompoknya.  Seolah tak mau berpisah bak pengantin yang baru tadi malam mengadakan resepsi.  Kalau dalam rombongan tersebut ada yang menoleh, yang lain pasti menoleh.  Mereka bukan mengejek satu sama lain, tetapi, itu identitas santri pedalaman yang masuk kota.  Mereka cuma hafal bahwa untuk pulang ke pondok, harus naik mikrolet (petepete) yang di kaca depannya tertera aksara STR-DAYA (Sentral ke Daya).  Trayek Ratulangi, Veteran, Cenderawasih maupun Sungguminasa merupakan mikrolet yang asing di mata mereka.
     Santri IMMIM andal pula ke kolam renang Mattoanging.  Mereka ke kolam bukan untuk berenang.  Soalnya, rata-rata santri IMMIM tidak mahir berenang.  Mereka ke kolam hanya untuk cuci mata.  Di pesantren mereka belajar meraih pahala, di kolam leluasa memelototi paha.
     Di kolam, santri IMMIM juga bergerombol.  Tak sudi berpisah satu dengan yang lain.  Mereka biasa berkumpul di kolam junior yang kedalamannya 150 cm.  Siapa pula tergiur ke kolam senior yang dasarnya mencapai 450 cm.

French Kiss
     Di Pesantren IMMIM pada kurun 80-an, banyak santri menempel poster selebritas di kamar.  Ada yang memajangnya di dinding, ada juga di samping lemari.  Poster ini dibeli di Sentral atau dicomot dari kalender.  Poster itu menampilkan paras ayu Lidya Kandou, Nia Daniaty, Ita Mustafa, Jenny Rachman, Lenny Marlina, Brigitte Lin (Lin Chin-hsia), Joan Jett, Farrah Fawcett, Brooke Shields atau pesohor ternama lain.
     Pernah seorang rekan dari Angkatan 8086 menempel poster aktris nasional di dinding dekat ranjangnya.  Saban ke masjid atau ke kelas, ia mencium bibir sang idola yang ada di poster.
     Lambat-laun, bagian bibir di poster tersebut melepuh.  Pada akhirnya koyak.  Santri ini rupanya mempraktikkan French kiss.  Ini ciuman klasik ala Perancis yang melibatkan lidah.  Pantas poster itu robek.  Liur santri IMMIM ternyata berbisa.

MTV
     Di akhir 1984, breakdance masuk ke Indonesia.  Ini tarian jalanan yang gerakannya mirip akrobat.  Dansa ini berasal dari Angola.  Ketika penduduk Afrika dibawa ke Amerika Selatan sebagai budak, maka, tarian rakyat ini ikut hijrah.  Di Brasil, dansa ini menjelma menjadi fenomena budaya baru.
     Breakdance berkembang di Bronx, New York, pada periode 70-an.  Remaja dari kalangan Afro-Amerika dan Puerto Rico terus memperkenalkannya sampai menembus Los Angeles.
     Breakdance merupakan bagian dari musik beraliran hip hop yang dimotori Afro-Amerika serta komunitas Latin di negeri Paman Sam.  Selain hip hop, breakdance terkadang diiringi pula rap dan remix.  Ciri generik breaker alias b-boy atau b-girl (break boy serta break girl) yakni topi, t-shirt dan sepatu.
     Pesona breakdance mulai membahana kala DJ Koll Herc (Clive Campbell) menemukan hip hop dengan dengung break beat.  Nada break beat merupakan menu wajib.  Irama ini merupakan campuran hip hop, funk, electro, electro funk, disko, soul, RnB serta jaz.
     Break beat yang terdengar patah-patah akhirnya menginspirasi para breaker.  Mereka menciptakan model tarian sebagaimana orang yang terkena setrum.
     Michael Jackson turut mempopulerkan breakdance.  Jacko masyhur dengan dansa robot.  Apalagi, sejak memamerkan moonwalk (backslide).
     Jawara breakdancer kemudian adu ketangkasan.  Battle of the Year ditahbiskan sebagai kompetisi yang senantiasa riuh dengan atraksi para break boy dan break girl.
     MTV bersama media cetak lantas mengekspos breakdance.  Alhasil, masuk ke Nusantara.  Di Indonesia, breakdance dinamakan tari patah-patah atau tari kejang.

Kuri Kilat
     MTV menjadi penopang utama dalam menyiarkan breakdance ke penjuru dunia.  Di Pesantren IMMIM, breakdance masuk lewat majalah dinding SuperpowerSuperpower mengerahkan kekuatan masif dalam mempengaruhi santri demi membentuk tren perihal breakdance.
     Di pondok, saya bersama Ahmad Kuri Kilat menjadi pionir breakdance.  Tubuh Kuri Kilat lentur.  Ia mahir berjoget.  Dalam sebuah kesempatan, Kuri Kilat membisikku jika ingin jadi roker setamat di pesantren.  Kuri Kilat merupakan tandem saya bila kabur ke bioskop.  Kami pasangan "Sippo", Sidrap-Palopo.
     Sore pada Ahad, 20 Januari 1985, saya bersama Kuri Kilat latihan breakdance.  Kami berlatih dengan menggunakan buklet panduan breakdance.  Saat latihan, kami ditonton banyak teman.
     Tatkala malam, saya bersama Kuri Kilat kembali latihan breakdance di kelas yang kosong.
     Pada Kamis, 31 Januari 1985, saya belajar breakdance lewat majalah di selasar asrama.  "Sebelum ada breakdance, di kampungku ada orang menari begitu", sembur seorang sohib yang bingung menyaksikanku.
     Pada Kamis, 14 Februari 1985, saya ke Roberta membeli baju kaus putih bergambar Michael Jackson.  Satunya lagi berwarna merah dengan tulisan breakdance.
     Pada Jumat, 15 Februari 1985, saya di rumah menunggu Kuri Kilat.  Rencananya, kami akan ke Benteng Rotterdam untuk mendaftar sebagai anggota breakdance.
     Aksi-aksi breakdance yang saya pelajari bersama Kuri Kilat, terus bergema di kampus.  Kabar pun menyebar sampai ke pembina pesantren.  Malam pada Ahad, 3 Maret 1985, ustaz Syukri Basondeng tampil di masjid.  Ia mengumumkan bahwa breakdance dilarang dipertontonkan di Pesantren IMMIM.  Ini kebijakan pertama ustaz Syukri setelah 20 hari menjabat sebagai pimpinan kampus.
     Bagi saya, ultimatum ini bukan masalah.  Biarlah dilarang, namun, tiada segenggam hasrat awak hendak mengapresiasi pelarangan tersebut secara positif.  Sebagai santri, saya sudah merasakan kegembiraan sekali dalam hidup bersama breakdance.
     Breakdance memaklumatkan bahwa santri IMMIM di era 80-an tidak kalah dengan remaja lain.  Pelajar Islami di Pesantren IMMIM mengerti budaya pop yang menjadi tradisi dominan dalam masyarakat.
     Entakan magis atau atraksi futuristis bukan barang aneh di Pesantren IMMIM pada 1980-1986.  Tembok boleh tinggi sembari gerbang gigih dijaga satpam, tetapi, santri tetap ulet mengintip perkembangan di luar pondok.
     Santri IMMIM mampu berkreasi di tengah keterbatasan.  Mereka punya keberanian, ketangkasan, segudang ide sekaligus secuil kelicikan untuk mengakali aturan pesantren yang ketat.


Sabtu, 14 Januari 2023

Majalah Dinding


Majalah Dinding
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, tiap santri memiliki talenta.  Ada yang berbakat di bidang seni.  Tidak sedikit pula yang andal di sepak bola, voli, takraw, basket, bulutangkis dan karate.
     Pesantren mengakomodasi santri seniman maupun santri atlet.  Mereka diarahkan untuk menyalurkan kegemaran di Sanggar at-Thalabah.  Pemain bola pun punya kesebelasan bernama IMMIM Generation.  Sementara Black Panther dilengkapi dojo serta sekretariat.
     Di Pesantren IMMIM, majalah dinding (mading) pernah hadir saat saya Tsawaniyah (1980-1983).  Mading berbahasa Arab ini dikelola oleh Lukman Mubar (Angkatan 7985).
     Pada 1984, Irwan Tahir Manggala (Angkatan 8086) menerbitkan Top Star.  Mading ini ditempel di sudut Timur Laut bangsal Datuk Ribandang (kini rayon Fadeli Luran).  Anak IPS 8086 lantas menggagas Suara Kami.  Mading ini kemudian bermetamorfosis menjadi Mercusuar.
     Pada Senin, 5 November 1984, saya bersama sejumlah sahabat mempublikasikan mading Superpower.  Lokasinya di dinding kelas V IPA, depan laboratorium.  Mading ini tentu atas kesepakatan segelintir rekan kelas V IPA.  Pasalnya, kami memakai tripleks milik kelas V IPA.
     Tripleks ini sebetulnya papan tulis cadangan.  Shalahuddin Ahmad (Angkatan 8086) mensponsori pembelian karena merasa kurang kalau cuma satu papan tulis di kelas.  Menurutnya, pembahasan kimia dan matematika butuh ruang lebar.  Hatta, disepakati untuk menambah papan tulis.  Perkara timbul, papan tulis baru ini tak punya tempat di dinding.  Tripleks ini akhirnya teronggok di pojok kelas.  Saya lalu menggondolnya untuk dijadikan mading.
     Mading ini dinamakan Superpower selepas melewati kontemplasi ala kadarnya dalam hitungan detik.  Di periode 80-an, Amerika sering disebut superpower, negara adidaya atau adikuasa.
     Nama Superpower tentu berkelindan dengan visi saya yang condong ke Amerika.  Selama empat tahun sejak 1983 sampai 1986, saya mengadopsi budaya Amrik.  Mempelajari pola pikir serta kultur Paman Sam.  Kelak, inilah yang mempengaruhi artikel-artikelku ketika mahasiswa.  Saya beberapa kali menulis tentang Amerika di majalah Panji Masyarakat yang dirintis Buya Hamka.

Breakdance
     Penampilan mading Superpower terkesan out of the box.  Mading lain in the box, sedangkan Superpower di luar pakem.  Jauh dari identitas sebagai majalah dinding sekolah.  Sebagai umpama, dekorasi warna Superpower begitu dominan, mencolok pandangan.
     Konsep Superpower yaitu bermanfaat disimak, menghibur dipandang sekaligus asyik dikenang.  Ini kombinasi brilian.  Hingga, tidak heran di tiap edisi, Superpower sarat warna.  Serba-serbi warna memonopoli sampai menenggelamkan himpunan aksara yang membentuk informasi.
     Mading biasanya berisi ikhwal perihal pelajaran atau pengumuman terkait tugas-tugas sekolah.  Superpower menampik paket ini.  Superpower tak mempublikasikan pemberitahuan mengenai kegiatan akademik dan nonakademik sekolah.  Superpower hanya menampilkan berita film, selebritas Hollywood, roker mancanegara serta humor (kartun lucu).
     Warta yang senantiasa hadir di Superpower yakni sepak-terjang Michael Jackson.  Selain Jacko yang selalu viral, juga breakdance menjadi laporan utama di tiap penerbitan Superpower.
     Siang pada Kamis, 3 Januari 1985, saya ditegur seorang pembina junior.  Ia merupakan alumnus yang ditarik sebagai pembina.
     "Ini apa?"
     "Majalah dinding", jawabku.
     "Jangan sembarang berkarya tanpa izin.  Ini bukan perusahaan yang perlu promosi".
     Saya jengkel mendengar larangannya.  Apalagi menyebut bahwa mading cuma dipublikasikan oleh perusahaan.
     Alumnus pesantren yang menjadi pembina ini memang tergolong kolot.  Tatkala masih berstatus santri, kerjanya hanya main bola.  Tidak paham dinamika siswa-siswi SMA di luar.  Tak aneh jika pembina yang dulu termasuk santri kampungan ini sempat tinggal kelas.

Anti-Amerika
     Di awal Februari 1985, mading di Pesantren IMMIM tumbuh bak cendawan di musim hujan.  Ini musim semi kreativitas dan aktivitas olah pikir santri.  Ada mading dari seksi Mahkamah Lugah (bahasa Arab), seksi bahasa Inggris serta seksi dakwah.
     Pada Ahad, 3 Februari 1985, Superpower terbit di dinding Barat asrama Panglima Polem.  Ini lokasi strategis.  Terletak di ceruk Tenggara lapangan.
     Pada Selasa, 5 Februari 1985, santri bermental vandal menebar grafiti di Superpower.  Coretan berbunyi "benci Amerika" itu ditujukan ke saya.  Tidak sulit menebak siapa yang menulisnya.  Soalnya, rata-rata kelas V (Angkatan 8086) membenci Amerika.
     Malam pada Selasa, 19 Februari 1985, kami santri kelas V dan VI nonton sandiwara berjudul Marina usai Dunia Dalam Berita yang ditayangkan TVRI.  Saya memilih berdiri di luar pagar beranda masjid ketimbang duduk berdesakan di lantai.
     Sandiwara yang dibintangi Connie Sutedja bersama Erna Santoso ini berkisah tentang seorang pemuda.  Ia doyan membanggakan tradisi Eropa.  Akibatnya, sang bujang dianggap tak nasionalis.
     Saat pemuda tersebut dituding tidak nasionalis, hampir seluruh santri yang menyaksikan sandiwara melirikku sambil tertawa.  Dalam hati, satu di antara santri yang terkekeh-kekeh itulah yang menulis grafiti anti-Amerika di Superpower.

Edisi Khusus
     Superpower yang mengampanyekan breakdance, rupanya menimbulkan riak gelisah.  Pembina pesantren terusik, merasa gundah, gusar serta galau.  Arkian, pada Ahad, 3 Maret 1985, breakdance resmi dilarang di Pesantren IMMIM.  Kampus Islami ini dilandasi aturan.  Sementara santri mutlak taat.  Siapa saja yang hidup di rimba rimbun atau di belantara beton niscaya terikat aturan yang wajib dipatuhi.
     Bagi saya, tak masalah breakdance diharamkan di pondok.  Sebab, Superpower telah menginvasi Pesantren IMMIM dengan breakdance, budaya Amerika.
     Pada Selasa, 12 Maret 1985, kala fajar sirna di ufuk Timur, edisi kelima Superpower dipamerkan.  Pukul 10.00, Mercusuar nongol pula dengan edisi perdana.
     Pada Senin, 8 April 1985, berlangsung acara penutupan tahun pertama Superpower.  Perayaan dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur'an oleh Muiz Muin.  Kata sambutan oleh Ketua ISPM/OSIS Ansarullah Abubakar Latonra.
     Pada Sabtu, 13 April 1985, terbit edisi khusus alias edisi terakhir Superpower di tahun pertama.
     Pukul 16.00 pada Jumat, 16 Agustus 1985, diresmikan Pameran Pesantren IMMIM (PPI).  Perhelatan ini diadakan di aula.  Ada stan album foto Pesantren IMMIM, stan perpustakaan, stan olahraga, stan kaligrafi, stan Black Panther dan stan majalah dinding.  Superpower ikut berpartisipasi dengan memajang dua wallpaper dari tripleks di penjuru Barat Laut aula.

Vitalitas Kata
     Superpower mengajarkan saya bagaimana mengelola sensasi lewat rangkaian kalimat.  Sebuah tulisan, tidak cuma harus memiliki ide.  Tulisan pun mesti menggunakan bahasa yang tegas, indah serta terkadang jenaka.  Bahkan, tulisan harus kencang.  Tempo pergantian dari satu kalimat ke kalimat berikut mesti cepat.  Perangkai kata harus merancang kalimat yang menggeliat lepas laksana tarian erotis.  Kalimat dengan tempo gesit dan genit senantiasa merangsang pembaca membayangkannya.
     Kalimat yang lembek sembari melebar ke mana-mana, hanya milik pecundang.  Diksi picisan tak menimbulkan kesan kecuali rasa kesal serta keluh-kesah.
     Di tarikh 2023 ini, Superpower sudah gaib selama 38 tahun sejak terbit terakhir pada 1985.  Walau Superpower terkubur lapisan waktu yang bertumpuk-tumpuk, namun, memori yang ditorehkan tidak punah.  Sepanjang sang bayu berembus, sejauh itu pula Superpower menyajikan rekaman cinta almamater.
     Tiada dentuman magis yang mampu menghilangkan kilau kenangan Superpower.  Nama Superpower tetap wangi di era media sosial, terutama di Facebook.  Maklum, Superpower menjelma sebagai museum nostalgia Pesantren IMMIM.


Rabu, 04 Januari 2023

Menanti


Menanti
Puisi Abdul Haris Booegies


Tiap hari kau menanti
Menanti seseorang membunyikan bel
Menanti seseorang mengetuk pintu
Menanti seseorang melambaikan tangan kalau ia hendak menemuimu
Ia tak pernah muncul
Ia tak pernah datang
Hari demi hari berlalu
Kau tak pernah lelah
Tak pernah lapar untuk menanti
Ribuan hari terbilang
Seolah hanya ribuan detik
Kau menjadi pusat segala diam
Titik seluruh penantian
Jiwamu terpaku menanti, namun, kakimu tercerabut dari realitas
Kau terus menengok ke pintu
Seolah ada yang mau datang
Pandanganmu kosong tanda putus asa menghardik
Kau terus menanti
Tak menyerah
Tubuhmu sudah tergerus waktu
Pandanganmu buram menatap pintu yang catnya sudah kusam
Orang yang dinanti tak muncul
Tak pernah datang
Ke mana ia?
Mengapa yang ditunggu belum tiba?
Kini kau kedinginan
Kau lapar
Kau gemetar akibat penantian tiada ujung
Dari detik ke detik
Dari hari ke hari
Dari bulan ke bulan
Dari tahun ke tahun
Kau menunggu, tetapi, ia tak datang
Ia tak pernah berkabar kendati sebaris kata
Kau didera penantian tak berampun
Menyisakan kehampaan
Penantianmu hanya menunggu sesuatu untuk dinanti
Kau menunggu karena kau ingin menanti
Menanti sesuatu yang mustahil datang
Siapa yang kau tunggu?
Sesuatu yang kau nantikan adalah harapan agar dirimu tetap bisa menunggu


Selasa, 03 Januari 2023

Nelangsa di Awal Subuh


Nelangsa di Awal Subuh
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Saat azan Zhuhur berkumandang, seorang piket datang ke rayon Panglima Polem.  Anak kelas I Tsanawiyah yang menjadi piket itu terlihat canggung berada di bilik santri Aliyah.  Di kamar II Panglima Polem, saya dengan Hapip Berru menjadi pembina.  Kami sama-sama kelas VI di Pesantren IMMIM.
     "Cari siapa", tanya ketua kamar.
     "Kak Hapip.  Ada tamunya".
     Saya dengan Hapip yang berkemas ke masjid, sempat mendengar obrolan piket dengan ketua kamar.
     "Ini Hapip", jelasku pada piket yang tampak segan.
     "Siapa yang datang membesuk.  Orang tua atau cewek?"  Tanyaku seolah menginterogasi piket.
     "Cewek", jawab piket malu-malu.
     "Juwariya yang datang.  Pacarmu", tandasku pada Hapip.
     Di beranda, langkahku mengarah ke masjid ath-Thalabah.  Sedangkan Hapip beriringan dengan santri kelas I tersebut ke pos piket.

*****


     Bakda Zhuhur, saya tidak langsung ke dapur umum untuk santap siang.  Saya menunggu Hapip di selasar asrama Sultan Hasanuddin.
     Ahmad Tirta dan Andi Rian yang melihatku, datang mendekat.  Keduanya merupakan santri sultan yang duduk di kelas IV.  Tak heran jika mereka necis.  Membawa sajadah ke masjid.  Menenteng sendok maupun mug ke dapur layaknya santri baru.  Terkadang menggenggam abon serta telur yang dibungkus kertas koran atau sobekan buku tulis ke ruang makan.
     "Mana Hapip", tanya Rian.
     "Saya sedang menantinya.  Ia di kamar.  Tadi tamunya datang", jawabku.
     Saya menyuruh Tirta dan Rian untuk lebih dulu ke dapur.  Biar saya saja yang menunggu Hapip.
     Selepas berlalu 10 menit, Hapip belum nongol.  Apa gerangan yang dilakukan di bilik.
     Saya ke kamar sambil bersungut-sungut.  Saya menjambak gorden di sisi ranjang karena dongkol.
     "Mengapa kau cuma duduk di sini!  Dapur sudah hampir tutup!"  Sergahku dengan gusar.
     Hapip melihatku dengan muka kusut.  Ada lara bergelayut di wajahnya.  Saya tertegun.
     "Ada masalah?"  Suaraku terdengar lembut.
     Hapip terdiam.  Sejenak, ia memperhatikanku.  Hapip lantas duduk di sudut ranjangku.
     "Kabar apa yang dibawa Juwariya.  Apakah kau langsung menikahinya setelah kita tamat di pesantren atau kuliah dulu".
     "Juwariya tinggal kenangan.  Ia masa lalu", terdengar suara datar Hapip.
     Saya terkejut.  Ini berita buruk.
     "Juwariya besok menikah dengan Lukman", sambung Hapip.
     Saya terkenang setahun silam.  Saya, Hapip, Tirta serta Rian ke Lawawoi, kampung Hapip di Sidrap.  Rumahnya terletak di sisi gunung Tarenre.  Di seberang jalan, terhampar sawah sejauh mata memandang.
     "Ayo ke sungai.  Di sana, di antara sawah-sawah yang melintang", ajak Hapip.  Kami kuartet santri IMMIM ke sungai, tentu Juwariya ikut.  Lukman, sepupu Hapip pun turut.
     Di pinggir sungai Makkanenneng, Hapip berdiri sembari menunjuk ke pematang.
     "Dulu sewaktu murid SD, saya bersama Lukman dan kawan-kawan bersembunyi di balik tanggul itu.  Kami menanti perawan-perawan dusun mandi di sungai.  Kami sempat memergoki Lina.  Sarungnya hanyut terbawa arus.  Akibatnya, buah dadanya tersingkap.  Mungil laksana delima ranum yang tergantung di ranting.  Putingnya mirip kismis yang kenyal.  Kami tidak dapat tidur malamnya.  Terbayang terus payudara seronok Lina", ungkap Hapip seraya tertawa.  Sementara Juwariya tersipu, menunduk seolah memperhatikan sandalnya yang pas dengan kakinya.  Ia kemudian mencubit lengan Hapip.
     "Lina sekarang janda.  Anaknya tujuh.  Saban tahun melahirkan.  Rahimnya subur", tutur Lukman.

*****


     Setelah santap siang di dapur, Tirta serta Rian ke bilikku.  Keduanya heran dengan keheningan.  Tirta dan Rian bergantian menatap ke arahku serta Hapip.
     Sebelum keduanya mengucap soal, saya mengajaknya ke sisi masjid di bawah pohon akasia.
     "Kenapa mendung merundung paras Hapip?"  Rian bertanya.
     Tirta memandangku.  Menunggu jawaban.
     "Kekasihnya kawin", ketusku.
     Tirta dan Rian langsung tergelak-gelak bagai mendengar banyolan konyol komedian.
     "Cerita biasa yang sudah basi kalau begitu.  Kisah asmara memang demikian.  Bersatu atau berpisah merupakan perkara lumrah dalam percintaan", khotbah Tirta.
     "Siapa yang merebut Juwariya dari Hapip?"  Rian bertanya dengan nada antusias.
     "Lukman", jawabku.
     "Lukman sepupu Hapip?"  Sahut Tirta dengan mata terbelalak.
     "Ya", sambutku singkat sambil mengangguk.
     "Tega sekali", tukas Tirta dengan rupa muka yang berubah sendu.  Ia pun menghela napas.  Melirik ke samping, ke serambi barak yang sepi.
     "Kemarin saya intip buku harian Hapip.  Ia menulis sebuah pepatah hasil kreasinya berbunyi do bad to others.  Kini ia kualat kena tulah dari peribahasanya sendiri", timpal Rian dengan suara parau.
     "Mengapa Hapip tak pulang saja", cerocos Tirta.
     "Itu ide gila", jawabku.
     "Pulang malu, tidak pulang rindu", ujar Rian dengan mesam-mesem.
     "Bisa ajah kamuh", seloroh Tirta sembari menyentak lengan Rian dengan sikut.
 

*****


     Lonceng terdengar berbunyi empat kali dari depan kantor pimpinan kampus.  Santri yang meronda pun berkeliling dari bangsal ke bangsal untuk membangunkan rekan-rekan.
     Perlahan saya membuka mata.  Dari balik kelambu, saya mengintip ke ranjang Hapip.  Ia masih duduk di pojok ranjang.
     Saya langsung bangkit serupa raja rimba yang menerkam mangsa.  Berjalan dua langkah untuk mendekati Hapip.
     "Kamu belum tidur?  Sekarang pukul 04.00", tegasku seraya mengelus pundaknya.
     Hapip bergeming.  Ia tepekur.
     "Kak Ogi.  Kak Hapip.  Sudah subuh", kata Imran, ketua qismul amni (seksi keamanan).
     Imran melongok dari tabir yang terpasang dekat ranjang.  Ia sempat melihat sekilas ke Hapip.  Saya mengernyitkan alis sambil tersenyum.  Imran pun mengangguk lalu pergi.
     Saya mengambil posisi duduk berhadapan dengan Hapip.  Saya tetap membisu di dekatnya dengan dada berkecamuk.  Kami berada di jalan yang terasing.  Pilu hatiku menyaksikan kondisi Hapip.  Karakternya yang periang, sontak hilang.  Ia dilanda nestapa.  Pikirannya tercabik-cabik.  Hapip mutlak move on, melupakan sekaligus menerima kenyataan.  Memang sulit merelakan mereka, apa lagi demi kebahagiaan orang yang mengkhianati cinta.
     Hapip perlu mafhum.  Ikrar cinta kerap menjelma janji semu.  Cinta tak selamanya syahdu sebagaimana kembang tidak melulu indah di tiap hari.  Cinta niscaya meleleh, mencair serta mengalir untuk mencari insan kasmaran lain.
     Terdengar tarhim dari masjid ath-Thalabah.  Saya berdiri.  Hendak ke sumur untuk berwudhu.  Dini hari berakhir, subuh menjelang.  Ini pangkal subuh.
     Tiba-tiba Hapip mematut-matut ke arahku.  Saya mencoba tersenyum.  Mengira akalnya telah waras.  Menduga duka di kalbunya sudah sembuh.  Menyangka beban hidupnya telah pupus.
     Hapip terus menatapku.  Lambat-laun, saya merasa takut.  Sorot matanya sayu bak purnama terhalang mega berarak.  Ia seolah ingin memekik, namun, lidahnya menekuk.  Tangannya gemetar, kakinya bergetar, perutnya kembang-kempis dan lehernya terkulai seolah kena gada.  Sekonyong-konyong, sosok Hapip menggeliang-geliut.  Perlahan-lahan ia kabur, memudar sebagaimana asap rokok.  Sejurus berikutnya, ia menghilang di hadapanku.  Sirna dari pandangan.  Hapip lenyap ditelan oleh nelangsa yang menggerogoti tubuhnya di awal subu
h.


Minggu, 01 Januari 2023

Ad-Dukhan 28


Ad-Dukhan 28
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tafsir merupakan pemandu untuk memahami al-Qur'an.  Tafsir berperan mengakomodasi antusiasme umat Islam terhadap al-Qur'an.
     Al-Qur'an merupakan manuskrip sakral yang termanifestasikan dalam wujud ayat demi ayat.  Rangkaian ayat al-Qur'an memuat pesan universal untuk dihayati serta diamalkan di tengah fenomena dan problematika.
     Al-Qur'an sebetulnya bukan cuma kepunyaan komunitas tauhid, tetapi, berlaku bagi segenap manusia.  Insan beriman atau gerombolan kafir, hamba Allah atau kawanan ateis, niscaya membutuhkan al-Qur'an sebagai panduan di alam semesta.
     Dalam khazanah Islam, ada sejumlah tafsir populer yang diklaim karya terbaik ulama.  Cendekiawan Muslim dengan pengetahuan tangguh ini, siang-malam mengkaji serta meracik firman-firman Allah.  Coretan interpretasinya perihal al-Qur'an kemudian mengarahkan kaum Muslim untuk mengerti maksud Allah.
     Saya ingin menilik tafsir ulama besar tentang ayat ke-28 surah ad-Dukhan.  Ayat ini saya definisikan secara bebas.  "Kami mewariskan seluruh pusaka Fir'aun kepada marga yang lain".
     Ibnu Katsir atau Imad ad-Din Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhaui bin Dar'i bin al-Qurasyi asy-Syafi'i al-Bushrawi ad-Dimasyqi menafsirkan قَوْمًا آخَرِينَ (kaum yang lain) sebagai bani Israil.  Ini menegaskan bahwa pengikut Nabi Musa menjadi pewaris takhta Fir'aun.
     Abu Said al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Bashri dalam tafsirnya memaparkan bahwa قَوْمًا آخَرِينَ (trah yang lain) menyiratkan bani Israil.
     Tafsir al-Jalalain menukilkan bahwa lafal kazaalika di ad-Dukhan 28 menjadi khabar dari mubtada.  Ini menunjukkan kalau perkaranya memang begitu.  "Kami mewasiatkan semua itu" merujuk bahwa harta benda Fir'aun diserahkan (kepada golongan lain) alias bani Israel.
     Muhammad Muhsin Khan penulis The Noble Qur'an menjabarkan ad-Dukhan 28.  "Thus (it was)! And We made other people inherit them (i.e. We made the Children of Israel to inherit the kingdom of Egypt)".
     Ad-Dukhan 28 versi Terjemahan Al-Quran Bahasa Melayu (Malaysia) berbunyi:  "Demikianlah keadaannya (hukum Kami ke atas orang-orang yang derhaka); dan Kami jadikan semua peninggalan Firaun dan orang-orangnya: milik kaum yang lain (kaum Bani Israil)".

Tersesat 40 Tahun
     Di era Fir'aun, bani Israil merupakan kelompok masyarakat eksklusif.  Mereka tercatat sebagai penganut monoteisme.  Mayoritas keturunan Nabi Yaqub mendiami habitat di Gosyen, di delta sungai Nil.  Kawasan ini subur sekaligus cocok untuk menggembala domba.
     Di Mesir yang terletak di bagian Timur Laut Afrika, bani Israil menjadi pekerja bangunan.  Sebagian berprofesi sebagai arsitek.  Yahudi punya hubungan baik dengan Hyksos, yang juga imigran di Mesir.  Hyksos menetap di distrik Timur delta Nil.  Hyksos berasal dari Levant, wilayah yang mencakup Palestina, Suriah serta Lebanon.
     Fir'aun sebagai dewa tunggal di Mesir, merasa kurang nyaman dengan perilaku spiritual bani Israil yang monoteis.  Ini tidak etis gara-gara menodai ketuhanan Fir'aun.  Akibatnya, putra-putra Yahudi dibunuh.  "Mereka menyembelih anak-anak lelaki kalian.  Sementara anak-anak perempuan dibiarkan hidup" (al-Baqarah: 49).
     Di bulan Asyura, Nabi Musa memimpin 12 puak Yahudi keluar dari Mesir.  "Pergilah tatkala malam dengan membawa bani Israil.  Sungguh, kamu bakal diburu Fir'aun!" (asy-Syu'ara: 52).
     Jemaah Nabi Musa mengarah ke Kana'an atau Syam.  Negara Kana'an meliputi Palestina, Lebanon, separuh Suriah dan Yordania.  Kana'an meliputi pula sebagian kecil Mesir di Timur Laut.
     Hijrah bani Israil teramat melelahkan.  Apalagi, tak tersedia cadangan logistik.  Hingga, Allah menghamparkan rezeki berupa manna serta salwa.  Hidangan ini sejenis madu dan unggas.
     Dalam eksodus ini, Nabi Musa sempat pergi selama 40 hari untuk menerima Taurat.  Peristiwa ini lantas memicu bani Israil untuk menyembah patung anak sapi.
     Dalam perjalanan ke Baitul Maqdis, berkali-kali bani Israil berbuat zalim serta maksiat.  Akhirnya, mereka terkatung-katung di gurun Sinai selama 40 tahun.  Selepas berlalu empat dekade, mereka pun tiba di Baitul Maqdis.  "Masuklah ke kota ini.  Nikmatilah sepuasmu aneka makanan di mana saja kalian suka" (al-Baqarah: 58).

Tragedi Laut Merah
     Mengapa Tafsir al-Qur'an al-Azhim تفسير القرآن العظيم (Ibnu Katsir), Tafsir Hasan-al-Bashri تفسير الحسن البصري (Hasan Bashri) dan Tafsir al-Jalalain تفسير الجلالين
 (Jalaluddin al-Mahalli serta Jalaluddin as-Suyuthi) begitu yakin jika قَوْمًا آخَرِينَ (dinasti yang lain) merujuk ke bani Israil?  Saya menduga mereka menyimpulkan ad-Dukhan ayat 28 lantaran sugesti ayat 32 dan 33.
     "Kami pilih bani Israil berdasarkan pengetahuan Kami.  Di atas segala penduduk dunia pada masa tersebut".
     "Kami anugerahkan kepada mereka lewat Nabi Musa beragam mujizat.  Di dalamnya terdapat nikmat nyata".
     Mufasir tentu mengira bila dua ayat ini sejalan dengan ayat 28.  "Kami mewariskan segenap aset Fir'aun kepada rumpun yang lain".
     Deskripsi yang ditimbulkan oleh ordo mufasir klasik serta komtemporer ialah, bani Israil mengambil alih pucuk pimpinan di Mesir.  Alhasil, muncul perspektif bahwa bakda Fir'aun mangkat, maka, penguasa Mesir berasal dari Yahudi.
     Ratusan tahun tafsir قَوْمًا آخَرِينَ (kabilah yang lain) alias bani Israil diaminkan oleh umat Islam.  Padahal, ini tidak akurat.  Tak dilandasi artefak dan enkripsi.  Mesir tidak pernah dipimpin oleh bani Israil.  Tak ada satu teks pun yang melampirkan kalau Mesir pernah dikomandani Yahudi.
     Ketika berada di pinggir Laut Merah yang airnya kembali menyatu, 600 ribu bani Israil bergegas ke Kana'an.  Mereka tidak sudi kembali ke Mesir.  Musababnya, sebagian Yahudi menganggap jika Fir'aun belum mati.  Maklum, Fir'aun manusia setengah dewa.  Kembali ke Mesir sama artinya menyodorkan leher untuk digorok oleh detasemen khusus Fir'aun.
     Dalam hipotesis saya, pascatragedi Laut Merah, maka, terjadi kudeta di istana Luxor.  Hyksos mengambil alih supremasi Fir'aun.  Hyksos tertoreh dalam tapak cemerlang historis sebagai pendatang yang pernah memerintah di imperium Mesir.
     Hyksos berkuasa pada 1638 sebelum Masehi sampai 1530 sebelum Masehi.  Setelah 100 tahun lebih, Ahmose I bersama Kamose kemudian menggelorakan perang guna membebaskan Mesir dari cengkeraman Hyksos.


Amazing People