Minggu, 22 Januari 2023

Cinta Rembulan


Cinta Rembulan
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Sabtu malam pada 19 Januari 1985 ini, saya, Hapip Berru bersama lima rekan bertugas sebagai piket malam.  Kami meronda di dalam kampus agar Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM nihil dari kejahatan.
     Tugas piket yaitu berpatroli tiap jam di seputar pondok.  Kami berputar mengamati seluruh asrama seraya menyorotkan cahaya senter.  Maling tentu takut dengan sorot lampu, tetapi, kami lebih gentar dengan mereka.
     Selepas pukul 00.00, saya bersama Hapip duduk di serambi rayon Panglima Polem.
     "Ke mana Amri, Budi, Ali, Mustari dan Mustafa?"  Saya bergumam sembari menoleh ke kanan-kiri.
     "Barangkali mereka ke bilik masing-masing.  Tidak kuat bergadang", desis Hapip yang katup matanya mulai berat oleh kantuk.  Ia pun bersandar di dinding.
     "Kita dua orang saja yang terjaga sekaligus berjaga di pondok", timpalku sambil berdiri.  Saya melangkahkan kaki ke dekat Superpower.  Majalah dinding ini tertempel di dinding Barat asrama Panglima Polem.
     "Kapan edisi majalah dinding ini diganti", tanya Hapip seraya berdiri.
     Saat mau menjawab, langit sekonyong-konyong benderang.  Saya bersama Hapip langsung mendongak.  Pemandangan aneh terlihat.  Bulan bergerak turun.  Saya melangkah maju ke tengah lapangan di depan masjid.  Ingin memastikan, benarkah Bulan jatuh?
     Bulan terus turun seolah hendak menimpa pesantren.  Pohon-pohon akasia di sekeliling lapangan merona elok ditimpa cahaya Bulan yang terus merapat ke Bumi.  Saya memilih mundur ke tempat semula.  Sementara Hapip tampak bingung serta cemas.
     Tatkala Bulan menyentuh rumput lapangan, mendadak berkamuflase.  Menjelma seorang wanita.
     Saya mengawasi perempuan itu sembari sekilas menengadah ke angkasa yang buram dan suram.  Ribuan bintang tak sanggup menerangi malam yang gelap pekat.  Ini lantaran Bulan sekarang terdampar di Pesantren IMMIM.
     "Ayo kita ke kamar saja untuk tidur", pinta Hapip yang mulai tidak nyaman dengan situasi.
     "Kita bertahan di sini!  Kita ini piket!  Ini tugas kita menghalau penyusup yang masuk ke pesantren!"
     Wanita yang raganya dililit kain putih tersebut kemudian menatap kami.  Tenggorokanku terasa kering ketika ia berjalan ke arah kami.
     Terbersit kegundahan di pikiranku.  Bagaimana kalau dewi ayu ini sesungguhnya monster.  Jotosannya mampu membuat kami tergeletak menjadi bangkai.  Ini mengerikan.  Akibatnya, meregangkan segala macam bulu di badan.  Untung tak pipis di celana.
     "Mestinya tadi saya mendengar usulmu supaya ke bilik saja untuk tidur", bisikku pada Hapip.
     "Terlambat", sesal Hapip.
     Perempuan itu makin dekat.  Wajahnya memancarkan pesona.  Ia tersenyum.  Tanpa disadari, wanita tersebut telah berdiri di depan kami.  Aroma wangi menyembur dari tubuhnya.
     "Mana Ahmad Tirta serta Andi Rian?"  Terdengar suaranya begitu lembut, sedikit manja.
     Saya dengan Hapip saling berpandangan.  Mengapa perempuan jadi-jadian ini mengenal Tirta dan Rian.
     "Biasanya mereka bersamamu", sambungnya bagai mendesah.
     "Keduanya masih tidur di bangsal", Hapip memberi jawaban.
     "Kalian mau membantuku untuk memanggilkannya?"
     "Tugas kami sebagai piket ialah membantu tamu.  Kami akan memanggilnya bila kamu memberi tahu identitasmu?"  Suara Hapip terdengar menelisik serupa menginterogasi pelaku kejahatan.
     "Saya Rembulan, lampu Bumi di malam hari.  Rotasiku juga menjadi sumber penanggalan Qamariah".
     "Ada keperluan apa mencari Tirta serta Rian", tanyaku.
     "Saban malam keduanya membuat pikiranku berkecamuk, kalbuku berdenyut, jantungku berdegup dan jiwaku bergetar.  Detak nadiku senantiasa mengikuti alur hidupnya yang terentang luas", tutur wanita itu dengan paras yang gemerlap oleh aura cinta nan murni.
     Saya cekikikan mendengar omongan perempuan ini.  Saya menoleh ke Hapip yang tersipu sambil menunduk sejenak.
     "Kenapa merindukan dua anak ingusan yang belum disunat.  Mengapa bukan saya atau Ogi", Hapip berimprovisasi seraya menunjukku.
     "Kalian bukan tipeku!"
     Saya menggelegak menyimak celoteh wanita ini.  "Kalian bukan tipeku", terdengar melecehkan harga diri.  Mirip tusukan lembing ke ulu hati.  Apakah makhluk titisan ini tidak mengenal siapa saya di Pesantren IMMIM.  Merasa tersinggung, saya mundur selangkah.
     "Kau datang saja nanti siang.  Ada piket harian yang dapat membantumu bertemu Tirta serta Rian", ujar Hapip.
     "Saya tak bisa jika siang".
     "Matamu rabun kalau siang", timpalku sembari menyeringai.  Perempuan tersebut spontan memandangku.
     "Kau tidak becus melihat bila siang.  Sinar Surya mengurangi ketajaman pandanganmu.  Kau tak dapat pula turun ke Bumi jika siang.  Kesempurnaanmu hanya ada pada malam, itu pun sekali sebulan, pada purnama", sergahku.
     "Kata-katamu melukai hatiku", cerocos wanita jelmaan Bulan tersebut.  Mukanya sontak layu, bak dedaunan kering yang dipermainkan sang bayu.
     "Terima kasih atas keramahanmu.  Saya pamit undur diri.  Meninggalkan Bumi menuju ke Matahari", kata perempuan itu sambil berlalu.
     Kala berjalan ke tengah lapangan, wujud wanita tersebut perlahan beralih rupa menjadi Bulan.  Ia lantas melesat, membubung ke langit.  Cakrawala yang kelam pekat berangsur terang oleh sinar Bulan.
     "Apa yang baru saja terjadi?"  Hapip bertanya seolah tersadar dari hipnotis pesulap jalanan.
     "Bulan mendarat di Pesantren IMMIM", jawabku enteng.
     "Perempuan itu mengancam kita.  Mengintimidasi untuk memperburuk keadaan.  Ia meneror kelangsungan hidup di jagat raya", tutur Hapip.
     "Maksudmu?"
     "Wanita tersebut mengatakan; saya pamit undur diri.  Meninggalkan Bumi menuju ke Matahari".
     "Tentu saja Bulan terus bergerak ke arah Matahari.  Tiap tahun Bulan menjauh 3,7 cm dari Bumi.  Saat Bumi diciptakan, Bulan cuma berjarak 22.500 km dari Bumi.  Dewasa ini jaraknya mencapai 402.336 kilometer.  Ini berarti Bulan terus mendekat ke Matahari", ungkapku.
     "Apakah kamu pernah membaca ayat kesembilan surah al-Qiyamah?"  Hapip bersoal.
     "Tentu saja.  وَجُمِعَ الشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُۙ (Matahari dan Bulan dikumpulkan)", tandasku.
     "Makna dikumpulkan di ayat itu yakni Bulan tersedot oleh gravitasi Matahari.  Bulan laksana cadas yang dilontarkan ke Matahari.  Bulan terus menjauh dari Bumi sampai cahayanya tidak terlihat.  Kian dekat ke Matahari, makin cepat laju Bulan.  Bulan kemudian hancur ketika menabrak permukaan Matahari.  Inilah maksud al-Qiyamah ayat kesembilan; Matahari serta Bulan dikumpulkan.  Kalau ini terjadi, niscaya Kiamat sudah di ambang pintu", Hapip berkhotbah di tengah malam.  Saya tiba-tiba merinding.  Ini adegan beku di sepotong malam yang resah.

*****


     Pukul 10.00, saya dibangunkan piket rayon.  Piket malam harus masuk kelas untuk pelajaran ketiga dan keempat.
     "Ogi, tadi pagi seluruh 550 santri dikumpulkan oleh pimpinan kampus di lapangan.  Ada warta yang teramat mendebarkan", kata Syahrul yang datang menemuiku.
     "Kabar apa", tanyaku.
     "VOA, BBC, Deutsche Welle maupun Radio Australia terus menyiarkan informasi dari NASA serta astronom amatir terkait fenomena ganjil ini", lanjut Syahrul yang merupakan reporter majalah dinding Superpower.
     "Apa beritanya?"
     "Bulan kian dekat ke Matahar
i".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People