Salman
Rushdie dan Lady Diana
(Dilema
Kebebasan serta Figur Kontroversial Monarki Inggris)
Oleh Abdul
Haris Booegies
Kerajaan Inggris, khususnya the
Royal Family (keluarga Ratu Elizabeth II), saat ini terkesan
goyah. Kekaguman masyarakat dunia terhadap monarki Inggris mulai
memudar. Kemegahan Kerajaan Inggris yang telah berusia seribu tahun
tersebut, sudah menampakkan sinar redup. Sumber malapetaka yang
menggerogoti kharisma kejayaan itu, berasal dari putra-putri dan
menantu Ratu Elizabeth sendiri. Ulah Duchess of York (Sarah
Ferguson) yang bertelanjang dada di pantai St. Tropez, Perancis
maupun Princess of Wales (Lady Diana) yang punya foto bugil,
telah mengotori lembaran adat istiadat Kerajaan Inggris.
Perilaku kedua menantu Ratu
Elizabeth tersebut, makin lengkap oleh perangai anak-anaknya yang
juga miring. Pangeran Charles Philip Arthur George, misalnya,
dibalik wajahnya yang sarat getaran kewibawaan, ternyata suka
mengumbar kata-kata cabul kepada wanita pujaannya. Elemen itu
menandaskan bahwa Charles di usia yang sudah matang, masih merindukan
semangat muda seperti saat ia banyak menaklukkan kaum Hawa.
Wibawa Kerajaan Inggris di mata
dunia, mungkin hancur akibat keluarga Ratu Elizabeth. Di sisi lain,
sosok yang nyaris terlupakan adalah Salman Rushdie alias Simon
Rushton. Figur ini yang pada hakikatnya mengacau opini publik.
Rushdie boleh bangga karena gedorannya tidak disadari masyarakat
Inggris. Kalau pun mereka tahu, maka, pers Inggris pasti malu
mengungkapkannya.
Rushdie adalah simbol setan di
negara-negara Islam. Sementara di dunia Barat, ia menjadi lambang
freedom of expression (kebebasan berpendapat) serta freedom
of speech (kebebasan berbicara) yang didasarkan pada ideologi
liberalisme.
Figur sesat Rushdie akhirnya
membuat Republik Islam Iran menghendaki kepalanya ditebas atas
kelancangannya menghujat Nabi Muhammad. Kaala kaum Muslim tersayat
atas penghinaan Rushdie, Inggris justru melindunginya sampai titik
darah penghabisan. Ia dijaga ketat selama 24 jam oleh Scotland
Yard, dinas rahasia Inggris. Perang diplomat pun bergetar antara
Ayatullah Rohullah Mossavi Khomeini dengan Lady Margareth Thatcher.
Inggris bersama Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE) kemudian menekan Iran. Hubungan bilateral antara Iran
dengan Inggris akhirnya putus pada Maret 1989 akibat ”Dekrit
Kematian 14 Februari 1989” yang dititahkan Imam Khomeini. Negeri
para Mullah tersebut bersumpah bahwa fatwa bersejarah Khomeini,
merupakan perintah Tuhan untuk merajam setan Rushdie sampai mati
terkapar.
Nyawa Rushdie terancam akibat
novel karyanya The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) teramat
vulgar struktur caci-makinya. Sekalipun ngeri, tetapi, Rushdie
terlihat tidak gentar. Bahkan, sabda Khomeini dianggapnya sebagai
ancaman langsung dari teroris.
Perintah bunuh bagi dirinya yang
diiringi pengerahan pasukan khusus, dilihat Rushdie sangat
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia serta hukum internasional.
Rushdie memang ciut, karena dua penerjemah The Satanic Verses
diteror habis-habisan. Hiroshi Agarashi, profesor yang menerjemahken
novel setan Rushdie, mati dengan 10 tusukan di tubuhnya pada 13 Juli
1992. Sedangkan Ettore Capriolo, seniman Italia yang juga
menerjemahkan The Satanic Verses ke bahasa Italia, ditemukan
pula telah dianiaya pada 3 Juli 1991.
Dalam novelnya, Rushdie menyebut
Rasulullah sebagai “the medieval baby frightener, the devils
synonim: Mahound” (seorang yang terdorong menjadi nabi. Ia
sinonim setan yang sering mengganggu bayi di Abad Pertengahan).
Mahound adalah semacam nama yang digantungkan oleh kaum farangis di
sekitar lehernya sebagai kartu setan.
Sosok Mahound yang diilustrasikan
bermoral bejat, juga hadir di novel Midnight’s Children yang
sudah disinonimkan oleh Rushdie dengan Nabi Muhammad. Istilah
Mahound diambil dari bahasa Inggris Schottish yang artinya setan.
Pengarang Barat, sejak Abad Pertengahan (Renaissance) suka
menggunakan nama Mahound, Bafum, Maometh, Mohounde, Baphometh,
Mohamed atau Moehammered untuk Maha Rasul Muhammad.
Di samping The Satanic Verses,
juga buku yang secara ekstra agresif menghina Islam adalah The Age
of Resson (Thomas Paine), Liber Peragrinacionis (Ricoldo
da Monte), La Divina Commedia (Dante
Alighieri) maupun Verlegung Alcorans Bruder Ricaldi
(Martin Luther). Dalam kitab-kitab itu, Islam disebut agama untuk
nabi. Sedangkan Nabi Muhammad dituduh sebagai penghuni neraka
tingkat sembilan bersama para penghujat agama dan pembuat skandal.
Rasulullah dianggap pula kepala perampok, pengecut, pemuas nafsu seks
serta manusia setan.
Kehilangan Iman
Rushdie lahir pada 19 Juni 1947 di
Bombay, India, dari kalangan Muslim Kashmir yang menggunakan bahasa
Inggris dan bahasa Urdu dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Saat
kecil, ia diberi nama Salman Sinai. Ayahnya, Anis Rushdie, yang
pernah bersekolah di Kirig’s College, Carnbridge, lalu mengirim
Rushdie untuk menuntut ilmu di Inggris.
Pada 1964, Rushdia masuk
Universitas Cambridge. Sebelumnya, ia telah menyelesaikan pendidikan
di Cathedral and John Connon Boys High School.
Inggris kemudian mernbuat Rushdie
hidup di alam kebebasan. Selain menganut paham Anglophile(westernized) itu membuat Rushdie
kehilangan iman. Ia melepaskan Islam sebagai agamanya. Hidupnya
juga berkiblat ke arah liberal. Arkian, secara leluasa Rushdie
bergaul intim dengan Clarissa Luard.
(semangat pemujaan terhadap Inggris), ia pun terbius gaya politik
kiri. Proses pembaratan
Sesudah hidup seatap selama dua
tahun, Rushdie lalu menikahinya. Dari wanita Inggris tersebut, ia
memperoleh seorang anak yang diberi nama Zafar. Di sisi lain,
jejak-jejak sukses Rushdie di bidang kesusastraan, tak mampu
mengangkat harkat perkawinannya. Mereka bercerai pada 1987.
Setelah berpisah dengan Clarissa,
Rushdie menjalin affair dengan Robin Davidson, penulis asal
Australia. Keakraban itu sirna ketika ia memilih Marianne Wiggins
sebagai pendamping hidupnya pada 1988. Wiggins, novelis Amerika
merupakan perempuan yang berhaluan sekuler. John Dollar,
bukunya, rnalahan menghujat iman Kristen.
Sebelum The Satanic Verses
(1988), Rushdie menyelesaikan Grimus (1975), Midnight’s
ChildrenShame (1983) serta The Jaguar Smile
(1987). Midnight’s Children merupakan tonggak
keberhasilannya. Sebab, novel tersebut mendapat penghargaan
bergengsi di dunia kepustakaan Inggris be (1979), rupa
The Booker Prize
pada 1981. Sedangkan The
Satanic Verses
memenangkan Whitbread
Novel Award 1988
sekaligus peringkat dua The
Booker Prize.
Saat
gelora Perang Teluk II antara pasukan Saddam Hussein al-Takriti
dengan tentara multinasional pimpinan Jenderal Norman H
Schwarzkopf kian memanas, Rushdie pun menyelesaikan Haroun and the
Sea of Stories. Dalam novel itu, ia secara lantang mengejek
Khomeini dengan nama Khattam Sud yang bergelar Prince of the
Darkness (Pangeran Kegelapan). Buku tersebut boleh dikatakan
luput dari penglihatan fundamentalisme Islam di Iran akibat
membaranya Teluk Persia oleh Irak serta koalisi Amerika.
Dalam pengasingannya, Rushdie
merasakan tekanan akibat hukuman in absentia berupa pidana
mati. Untuk menjaga keselamatannya, ia harus mengeluarkan uang
sekitar 250.000 poundsterling (Rp 716 juta) sebagai anggaran
perlindungan keamanan dirinya. Maklum, para penembak jitu (sniper)
leluasa bergerak mencarinya. Apalagi, Khomeini menyediakan 2,6 juta
dollar AS bagi pembunuh Rushdie. June Fifth Foundation
(Yayasan Lima Juni), ikut pula menyokong dana untuk mencabut nyawa
setan Rushdie. Organisasi kemasyarakatan dukungan Pemerintah Iran,
juga menawarkan hadiah dua juta dollar AS bagi pembunuh Rushdie.
Sekalipun terkurung oleh opini
dunia Islam, namun, Rushdie tetap aman. Bahkan, raja koran lnggris
Robert Maxwell menawarkan enam juta poundsterling (Rp 17 miliar) bagi
yang bisa membujuk Khomeini agar mengubah sikapnya. Sedangkan harian
Inggris The Sport Splashed pada edisi 22 Februari 1989,
menawarkan hadiah 1,8 juta dollar AS kepada siapa pun yang bisa
menangkap Khomeini.
Di tengah perang harga antara
fatwa mati Khomeini serta pers Inggris, Rushdie secara provokatif
memilih masuk Islam. Pada 24 Desember 1990, ia berikrar: “Saya
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah”. Pengakuan itu disaksikan beberapa ulama di bawah pimpinan
Mohammad Ali Mahgoub dari Lembaga Perwakafan Keagamaan.
Penandatanganan dokumen syahadat tersebut, didukung Presiden
Mesir Hosni Mubarak. Patut diduga bahwa Rushdie masuk Islam tidak
dengan keikhlasan. Sebab, ia sekedar ingin melakukan pengamatan
terhadap risalah Nabi Muhammad.
Kelicikan itu akhirnya makin
membuat curiga umat Islam. Akibatnya, Rushdie kian terdampar ke
dalam lumpur kesengsaraan. Novelis yang murtad dari Islam tersebut,
mampu pula membuat beberapa kalangan mencoba menolongnya.
Di dunia Barat, bertekad lebih
1.000 pengarang, penerbit berikut penjual buku, termasuk Graham
Greene, Norman Mailer, Alberto Moravia serta Saul Bellow. Mereka
bersatu menandatangani sebuah pernyataan yang memprotes fatwa maut
bagi Rushdie. Berkat bantuan anggota kelompok Article 19,
maka, Rushdie akhirnya mulai menampakkan diri di muka umum.
PEN American Center yang
beranggotakan 2.100 orang bersama Authors Guild, terus menebar
sokongan moral untuk Rushdie. Bahkan, Perancis berniat memberikan
gelar doktor bagi Rushdie sesudah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Jack Lang menyetujui usulan sekitar 100 profesor Perancis tentang
pemberian tanda kehormatan kepada pengarang kontemporer Inggris itu.
Irama dukungan tersebut, akhirnya
membuat Rushdie makin kalap untuk menikmati kebebasan setelah
terbelenggu selama empat tahun. Ia kemudian melakukan kampanye
global dengan mengunjungi beberapa negara untuk memperkuat aliansi
internasional terhadapnya sembari menekan Iran.
Claustrophobia
Rushdie adalah kebalikan dari
Putri Diana. Jika Rushdie tidak bebas berkeliaran, maka, Diana
kiranya memiliki kemerdekaan ke mana saja di dunia ini. Rushdie
terkurung dalam titah maut Khomeini. Ia hanya bebas mengembara dalam
dunia imajinasi. Sedangkan Diana bebas, namun, terbelenggu dalam
kesepian yang mencekam.
Sebagai orang Inggris, keduanya
selalu menghias media massa dunia. Apalagi, Rushdie tertoreh sebagai
novelis sukses yang karyanya sarat pertentangan. Sementara Diana
dipuja seantero jagat sebagai perempuan paling cantik di Inggris. Ia
menduduki peringkat atas wanita terpopuler dunia yang menimbulkan
Dianamania.
Diana Frances Spencer lahir dari
rahim Frances alias Viscountess Althrop pada 1 Juli 1961. Ia
anak ketiga dari empat bersaudara (Sarah, Jane, Diana serta Charles).
Diana dibesarkan di Park House
(bangunan kuno di Norfolk) di bawah inang pengasuh (nanny)
Miss Gertrude Allen yang dipanggil Ally. Di masa kanak-kanak Diana,
ibunya lari ke pelukan Peter Shand Kydd.
Ketika berusia sembilan tahun,
Diana bersekolah di Riddleworth Hall. Setelah lulus, ia melanjutkan
ke West Heath yang juga sekolah asrama. Sesudah itu, keluarga
Viscount Althrop (Sir John Spencer) yang kemudian bergelar
Earl of Spencer, pindah ke istana warisan Northamptonshire.
Di sana, ayah Diana berhubungan gelap dengan Countess of Dartmount
(Rainey), putri novelis mashur Barbara Cartland. Setelah dua
tahun hidup bersama, mereka pun menikah.
Diana bertemu dengan Charles pada
November 1977. Sesudah perjumpaan tersebut, Diana ke Swiss
meneruskan pendidikannya. Ia masuk Institut Alpin Videmanette dekat
Gstaad. Usai menuntut ilmu, Diana kembali ke Inggris. Ia tinggal di
Chelsea bersama dua sahabatnya. Sejak itu, Diana berstatus guru
taman kanak-kanak Young England di Pimlico.
Diana yang sering menjadi panutan
kaum wanita, punya mata mempesona dengan senyum di depan umum (public
smile) yang merekah bagai mawar. Keindahan fisik Diana ditunjang
pula oleh tinggi badannya yang 178 cm. Sebelum resmi dilamar oleh
Charles di bawah sinar lilin pada sebuah makan malam di Istana
Buckingham pada 3 Februari 1981, Diana pernah dijodohkan dengan
Pangeran Andrew Albert Christian Edward. Ia malahan sudah dipanggil
Duchess of York, gelar resmi bila menikah dengan sang
pangeran.
Ketenaran Diana sebagai perempuan
paling anggun sejagat, terekam dalam berbagai bingkai suka-duka.
Superstar Inggris tersebut, telah 56 kali menjadi sampul
majalah People. Televisi National Broadcasting Corporation
(NBC) dalam acara Today, sudah menampilkan Diana lebih dari
160 tayangan. Hingga, ia diwartakan menderita claustrophobia
akibat kilatan lampu kamera yang senantiasa menyengat keayuan
wajahnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Diana
telah mengilhami beberapa penulis dan sutradara untuk menggali
riwayatnya. Nicholas Davies, umpamanya, menulis buku Diana: a
Princess and Her Troubled Marriage.Diana in Private (The
Princess Nobody Knows). Lalu Andrew Morton menulis Diana, Her
True Story, yang gaungnya memerahkan telinga seisi istana. Lady Colin Campbell menuangkan kisah
calon permaisuri itu dalam Diana in Private (The Princess Nobody
Knows). Lalu Andrew Morton menulis Diana, Her True Story,
yang gaungnya memerahkan telinga seisi istana.
Selain tergores dalam buku,
riwayat Diana juga terpantul di layar kaca. Steven H Stern,
misalnya, menyutradarai The Women of Windsor. Sedangkan
televisi Columbia Broadcasting System (CBS) di Amerika, pada
1982 membuat film The Royal Romance of Charles and Diana.
Kemudian jaringan televisi Paman Sam, American Broadcasting System
(ABC), merampungkan Charles and Diana, a Royal Love Story yang
bercerita perihal upacara perkawinan agung keluarga elite itu.
Camille Paglia pun membuat sebuah film kartun dokumenter dengan judul
Diana Unclothed (Diana tanpa busana).
Film kartun yang menampilkan Diana
dalam posisi telanjang bulat tersebut, bakal disiarkan televisi
Channel Four di London. Rumah tangga keluarga aristokrat The
Royal Family itu, juga dikemas dalam film Charles and Diana:
Unhappy Ever After yang dibintangi Roger Rees berikut Catherine
Oxenberg.
Putri Penyeleweng
Mahligai pernikahan Charles-Diana
yang mengikat tali “perkawinan dongeng” di Katedral St. Paul pada
29 Juli 1981, ternyata tidak berjalan mulus. Sikap keduanya sering
bertolak belakang. Charles menyenangi arsitektur, pertanian dan
musik klasik. Bahkan, kecintaannya terhadap lingkungan membuatnya
menulis buku bersama Charles Clover. Buku yang membahas pertanian
organik tersebut, diberi tajuk Highrove: Portrait of an Estate.
Sedangkan Diana menyukai shopping serta rock ‘n roll.
Dalam sepekan, Diana menghabiskan 4.000 dollar AS (delapan juta)
untuk membeli busana. Ketidakpaduan selera itu, kemudian menimbulkan
gelombang keretakan. Apalagi, saat buku Andrew Morton terbit. Buku
itu memiliki daya gempur yang melumat wibawa The Royal Family.
Diana, Her True Story yang
terjual 100.000 eksemplar pada pekan pertama di Inggris, terkesan
membawa berkah bagi Diana. Sebab, buku tersebut makin melejitkan
kepopulerannya sekaligus menjadi pijakan rasa simpati masyarakat
Inggris terhadapnya. Aspek itu tak berlangsung lama. Sebab,
tiba-tiba badai menghempaskan pribadi Diana dalam cemoohan akibat
sikapnya yang ceroboh dalam hal-hal mesum.
Terungkap bahwa pacar Diana
sebelum bersanding dengan Charles adalah George Plumptre. Penthouse lalu menuduh kalau Diana sudah tidak perawan ketika kawin dengan
Charles. Majalah pengumbar syahwat tersebut, malahan memuat
pengakuan seorang pria yang pernah meniduri sang lady di rumah
ibu Diana sendiri di Chelsea. Berita yang rnenampar pihak istana
itu, hanya di tanggapi skeptis.
Dugaan kebinalan Diana kembali
mekar setelah TV-Movie, majalah televisi Jerman di Hamburg
punya foto bugil Diana yang dipotret sekitar awal tahun 80-an. Untuk
meredam stamina foto yang berisi fantasi seks tersebut, maka,
TV-Movie mengembalikannya ke Istana Kensington, London, pada
18 Februari 1993.
Di awal kehidupannya di Keraton
Inggris, Diana telah menjalin keakraban dengan Oliver Everett,
pengajar tata karma kerajaan. Kemudian Diana berhubungan intim
dengan Raja Juan Carlos. Sebagai Raja Spanyol, ia tahu seluk-beluk
istana untuk mendekati kamar Diana. Walau demikian, tugas kenegaraan
kedua pihak menjadikan hubungan itu terhenti.
Barry Mannakee, detektif yang
menjadi bodyguard Diana, pernah pula merasakan kehangatan
bersama sang putri. Entah mengapa, pada 1987, ia tewas dalam
kecelakaan sepeda motor sesudah mengancam akan membocorkan rahasia
pribadinya dengan Diana. Diduga kuat, yang mencabut nyawa Mannakee
adalah M15, dinas intelijen Inggris.
Petualangan seks Diana kian seru
setelah berjumpa dengan Philip Dunne, bankir idola gadis kalangan
atas London. Diana pernah berdansa mesra dengannya di Marquis of
Worlester pada 1987. Diana yang merapatkan tubuhnya lalu mengecup
pipi Philip. Keduanya malahan berlibur di rumah orangtua Philip.
Sejoli itu bercengkerama mesra ketika orangtua Philip meninggalkan
rnereka berdua di rumah.
Mayor James Hewitt adalah
pembimbing berkuda Pangeran Williar Arthur Philip Louis (calon
penguasa yang bakal bergelar Raja William V). Keadaan kemudian
berubah saat Diana secara agresif merindukan Hewitt. Suatu sore di
bulan November, ia malahan berani mengunjungi Hewitt di asramanya
yang terletak di kawasan Windsor. Di sana, Hewitt mencium mesra
Diana. Sedangkan Kapten David Wathouse
yang juga the
other man,
menurut majalah New
Idea, sempat
dikecup oleh Diana ketika menyaksikan film Rain
Man di
Waterhouse.
Kisah
kasih Diana yang paling menggetarkan ialah bersama James Gilbey,
konsultan industri mobil. Pada 25 Oktober 1989, Diana meluangkan
waktu bersantap malam di flat mewah Gilbey. Pukul 01.00 dini hari,
Diana meninggalkan flat seharga satu juta dollar AS tersebut.
Kenakalan sang putri terjadi gara-gara di malam itu Charles ke
Katedral Gloucester. Ia lantas menginap di rumah pertanian Highrove.
Pangeran
Porno
Love affair antara Diana
serta Gilbey, lalu terkuak ke permukaan akibat ulah pers. Bahkan, The Sun akhirnya mempublikasikan sebuah transkrip (salinan)
percakapan intim via telepon antara Diana dengan direktur Holbein
Motors yang berdagang mobil-mobil Saab, Swedia di London
itu. Squidgytape atau Dianagate direkam pada 31
Desember 1989 oleh Cyrill Reenan, pelayan radio amatir.
Stasiun televisi Australia ABC
pada 1 Maret 1993, kemudian menyiarkan sisa rekaman “squidgy”
(sebutan sayang Gilbey bagi Diana). Dalam rekaman tersebut, Diana
mengutarakan niatnya untuk tidak hamil. Saat itu, Diana memang
hamil. Menurut sebuah majalah Perancis, Ratu Elizabeth memerintahkan
supaya janin yang bakal menjadi anak ketiga tersebut, dilenyapkan.
Kandungan itu lalu digugurkan di Charing Cross Hospital, London,
dengan alasan Diana mengidap penyakit bumilia nervosa.
Sekalipun gema Dianagate
sangat besar, tetapi, Camillagate justeru mencecar bejat pamor
Charles. Camillagate atau Charlesgate yang direkam
pada 18 Desember 1989 oleh Jane Norgrov, juga pelayan radio amatir,
telah membuat atribut Putra Mahkota (Crown Prince) Inggris
yang dikenal sebagai pria berbudaya tersebut, rusak akibat dijejali
nafsu syahwat. Hingga, masyarakat pun memakinya sebagai pangeran
porno.
Sebagai calon raja, Charles
mestinya tidak tersambar the other women. Apalagi,
Undang-undang Negara The Bill of Right (1968) menyebutkan
bahwa raja Inggris juga kepala gereja Inggris. Ayat The Act of
Supplement 1701 menandaskan pula jika raja tidak boleh mengawini
orang yang beragama Katolik.
Transkrip Camillagate
disiarkan pertama kali oleh New Idea. Majalah wanita dengan
tiras 1,04 juta itu, diterbitkan oleh Pacific Magazine milik
Rupert Murdoch. Dalam rekaman cabul tersebut, Charles bersama
Camilla (keduanya menyapa dengan nama kesayangan Fred dan Gladys)
secara bernafsu mengungkapkan hasrat seksual mereka.
Tatkala Camilla ingin selalu
berada di sisi sang pujaan, maka, Charles menjawab: “Oh Tuhan, saya
akan tinggal di dalam celana dalammu atau yang lain. Itu akan lebih
mudah”.
Di akhir percakapan, Charles
merayu: “Saya akan pencet dadamu”. Camilla membalas: “Baiklah
sayang, saya harap kamu memencet milikku”.
Charles yang merupakan the
perfec man berkat terprogram sejak kecil untuk menjadi raja,
terkenal punya banyak kekasih sebelum menikahi Diana. Ia pernah
pacaran dengan Susan George, bintang Straw Dogs dan Mandingo
yang membuat aktris tersebut ditahbiskan obyek seks dekade 80-an.
Wanita pertama yang mengisi
lembaran hidup Charles adalah Lucia Santa Cruz. Kemudian hadir
gadis-gadis seperti Georgina Russel, Lady Jane Wellesley, Princess
Marie Astrid of Luxembourg, Laura Joe Watson, Davina Sheffield,
Duchess Jane of Roburghe, Lady Sarah Spencer, Sabrina Guinness, Anna
Wallace, Sheilla Ferguson, Amanda Knatchbull, Fiona Watso serta Lady
Kanga Tryon (Dale Harper). Layak diakui bila cewek yang paling
dahsyat perjalanan cintanya yakni Camilla Parker Bowles, istri
Brigadir Jenderal Andrew Parker Bowles. Suami Camilla adalah pejabat
Kepala Dokter Hewan dan Korps Kavaleri di angkatan bersenjata
Kerajaan Inggris.
The Royal Family yang
dipandang di seluruh negeri sebagai suatu landasan moral dan contoh
perilaku, sesungguhnya sejak awal sudah kusut dengan masalah seks.
Kamar tidur Ratu Elizabeth, umpamanya, pernah digemparkan akibat
menyelusupnya seorang gay. Adik sang ratu, Putri Margareth,
malahan haus laki-laki. Ia pernah semen leven (kumpul kebo)
dengan penyanyi pop Roddy Llewellyn di pulau Mustique, Karibia. Di
pulau itu pula, Pangeran Andrew menjalin kasih dengan Kathleen (Koo)
Stark sesudah ikut bertugas di Malvinas (Falkland) saat terjadi
perang antara Inggris dengan Argentina. Koo Stark adalah leading
lady yang berbugil dalam film Cruel Passion.
Seperti Charles saudaranya, Andrew
pun termasuk playboy. Pers Inggris malahan menggelarinya
“Randy Andy” (Andy si Penakluk). Dalam kariernya sebagai buaya
wanita, ia tidak pandang bulu. Beberapa perempuan yang pernah
mengisi lembaran hidupnya antara lain Sandy Jones, Clio Nathanels,
Alexandra Carnegie, Julie Guinness, Louisa Huntington-Whiteley, Julia
Blount, Jeanette Baril, Carolyn Seaward, Kim Does, Carolyn Herbert,
Vicky Hodge, Katie Rabett, Vicky McDonald serta Finona Hughes.
Andrew yang jantan sejati, rupanya
punya saudara yang layu di depan wanita. Pangeran Edward Antony
Richard Louis, putra bungsu Ratu Elizabeth, tiada lain homoseks yang
dijuluki Barbara. Nama itu merupakan parodi Barbara Windsor, aktris
beken Inggris.
Sosok mengenaskan ialah Fergie.
Sebelum mendampingi Andrew, ia pun suka gonta-ganti pasangan.
Bahkan, pernah hidup serumah dengan tokoh balapan
mobil Paddy McNally selama empat tahun. Ketika masih menjadi
istri sah Andrew, Fergie secara lancang rnenyeleweng dengan Steve
Wyaat (konglomerat Texas) maupun Johnny Bryan (penasehat keuangan
sang putri).
Putri Anne Elizabeth Alice Louise,
anak Elizabeth yang lain setali tiga uang. Ia tidak luput dari
kemelut rumah tangga. Putri Anne dilanda prahara akibat
perkawinannya dengan Kapten Mark Philips yang mata keranjang. Ia
kemudian memilih pendamping baru. Anne menikah dengan Kolonel Timoty
Laurence.
Skandal-skandal nafsu kebinatangan
yang sensasional tersebut, membuat seorang lelaki rnisterius berani
bertaruh bahwa monarki Inggris akan berakhir pada abad 20 ini. Pria
itu mempertaruhkan 8.000 poundsterling (Rp 23 juta). Ia
malahan rnenambah 146.000 poundsterling (Rp 421 juta) bila
Kerajaan Inggris masih berdiri pada 1 Januari 2000.
Ratu Elizabeth, oleh golongan
oposisi dianggap sebagai ratu terakhir dari dinasti Windsor. Charles
dilihat repot memangku jabatan sebagai raja akibat adanya warga
Inggris yang mengusulkan pembentukan negara republik.
Kerajaan Munafik
Semua kelakuan The Royal Family
yang kini menggoyahkan keberadaan monarki Inggris, memperlihatkan
bahwa moral keluarga kerajaan sangat rapuh dan bertetangga dengan
kemaksiatan. Sebagai kambing hitam akibat adanya sikap sinis
masyarakat terhadap monarki, maka, mereka menuding pers terlalu
leluasa mengobral kehidupan penghuni keraton. Padahal, saat Rushdie
dikutuk umat Islam, kerajaan serta pers Inggris bahu-membahu
membenarkan novelis tersebut seraya mengagungkan asas kebebasan
berbicara. Anehnya, ketika keluarga Ratu Elizabeth dibantai media,
pemerintah pun segera mendesak agar dibentuk Pengadilan Pengaduan
Pers (Press Complaints Tribunal).
Pengadilan yang didukung oleh
undang-undang (Statutory Tribunel) itu, sangat mencemaskan
pers Inggris setelah Komite Keluhan Pers (Press Complaints
Cornmission) tidak berfungsi.
Sir David Calcutt dipilih
Pemerintah Inggris sebagai ketua untuk merancang undang-undang
pembatasan pers. Peraturan yang bakal membungkam kesaktian pers
Inggris, ditanggapi Kelvin McKenzie, pemimpin redaksi tabloid The
Sun, sebagai tindakan untuk melindungi golongan tertentu yang
punya hak istimewa (the privilege). Padahal, selama ini
mereka memiliki wewenang untuk meliput seluas-luasnya. Pers Inggris
yang menganut sistem liberal, kebal oleh sanksi atas pelanggaran
terhadap hak-hak kehidupan pribadi (privacy) seseorang.
Semuanya kemudian berakhir sesudah
pers Inggris menyiarkan secara gegap-gempita foto telanjang Fergie
dan percakapan intim Diana. Pemberitaan yang bersemangat dari
tabloid Inggris itu, membuat Pemerintah merasa malu. Bahkan,
orang-orang dekat kerajaan memaksa pers untuk memiliki pengertian
serta kemurahan terhadap monarki. Mereka meraung-raung minta tolong
supaya pers menutup mata seraya menghilangkan kebebasannya dalam
memandang kehidupan putra-putri Elizabeth.
Kehadiran Komisi Pengaduan Pers
dengan ketua Lord McGregor, lalu diejek oleh surat-surat kabar
setempat sebagai a press watchdog agency (perwakilan penjaga
pers). Soalnya, media massa Inggris akan kehilangan kekuasaan
mutlak. Hingga, terancam terseret ke pengadilan akibat mengungkap
fakta-fakta.
Novel The Satanic Verses
dan skandal Charles-Diana, merupakan dua sisi dari Kerajaan Inggris.
Mereka mendukung Rushdie yang berdarah kotor (mahdur ad-damm)
tersebut dengan semangat berapi-api. Inggris tidak menginginkannya
menjadi mangsa para penembak yang melihat darah Rushdie halal
terpercik. Dukungan itu kemudian membuat pula pers Inggris makin
membabi-buta memberitakannya secara timpang. Ajaibnya, ketika media
massa Inggris yang liberal menggempur habis moral anggota kerajaan,
maka, pers pun diredam.
Kasus The Satanic Verses
membahana ke jagat raya, gara-gara ditopang negara-negara pengendali
ekonomi dunia serta budaya pop. Di sisi lain, mengalirnya novel
setan Rushdie tanpa hambatan dari Pemerintah Inggris, memperlihatkan
bahwa negara tersebut tidak adil. Pasalnya, saat buku Spycatcher
(The Candid Autobiography of a Senior Intelligence Officer)
diterbitkan pada 1987, Pemerintah Inggris justeru panik. Hatta,
Perdana Menteri Margareth Thatcher memohon kepada Kejaksaan Agung
agar melarang peredaran buku itu. Kitab yang ditulis Peter Wright,
pensiunan perwira Dinas Rahasia MI5 tersebut, menyingkap trik kotor
M15 dalam menjalankan tugas.
Di samping Spycatcher yang
berhasil dibendung peredarannya oleh Inggris, juga kitab memoar
seorang mantan agen rahasia Inggris dilarang beredar di negeri
sendiri. Pustaka dengan judul Inside Intelligence itu ditulis
oleh Antony Cavendish, bekas perwira M16 (dinas rahasia Inggris
urusan internasional serta militer). Di dalamnya, diungkap tentang
dugaan keras kalau Perdana Menteri Inggris Harold Wilson, terlibat
jaringan Komitet po Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), dinas
intelijen Uni Soviet sebelum hancur berkeping-keping.
Inggris yang punya undang-undang
untuk melarang seseorang atau organisasi menghina agama Kristen
Protestan (Anglo Saxon), juga berhasil mendepak film The
Last Temptation of Christ dan komik True Fait. Film
“Godaan Terakhir Yesus” yang didasarkan pada novel karya Nikos
Kazamtzakis dengan tajuk Hoteleutaios Peirasmos tersebut,
bercerita mengenai fantasi seks Yesus Kristus untuk berhubungan intim
dengan Maria Magdalena. Sedangkan True Fait yang dicetak oleh
penerbit milik Robert Maxwell, berisi penghujatan terhadap iman
Kristen.
Spycatcher, Inside
Intelligence, The Last Temptation serta True Fait yang
dilarang beredar, pada hakikatnya menampilkan sisi kemunafikan
Inggris. Mereka mendukung The Satanic Verses atas nama
kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Di lain pihak, ketika
Spycatcher cs muncul, Inggris justru gusar seraya melarangnya
dengan dalih stabilitas negara. Padahal, novel Rushdie lebih
berbahaya lagi. Pasalnya, mampu menggelorakan massa dunia secara
serentak atas penghinaannya terhadap Islam.
Agama tidak sekecil negara yang
bisa diukur maupun dijumlahkan. Agama mencakup kehidupan dunia serta
akhirat. Alhasil, The Satanic Verses tidak tepat dilindungi
dengan alasan kebebasan berbicara yang ditopang stamina imajinasi.
Kerajaan lnggris yang sekarang
dipatuk oleh pers akibat ulah putra-putri dan menantu Ratu Elizabeth,
terlihat mulai berantakan. Hingga, tanpa malu, Sri Ratu menyebut
1992 sebagai Annus Horribilis atau the Horrible Year
(tahun yang mengerikan). Goncangan terhadap kafilah ningrat itu
menjabarkan bahwa, saatnya tiba untuk mencampakkan petuah king can
do no wrong (raja tidak bisa salah), in the British Empire the
sun never sets (di Kerajaan Inggris mentari tak pernah terbenam)
serta Britain rules the waves (Inggris mengatur gelombang
laut). Soalnya, kalimat-kalimat bombastis tersebut, cuma menyingkap
kekerdilan Kerajaan Inggris yang tercecer dalam masalah moral.
Rushdie dan Diana, di pengujung
abad ke 20, bakal menjadi monumen bagi pers Inggris. Sebab, keduanya
tertera sebagai simbol kebebasan sekaligus figur kontroversial di
monarki Inggris. Rushdie menelantarkan wibawa kebebasan Inggris
akibat terhambatnya peredaran Spycatcher, Inside Intelligence, The
Last Temptation serta True Fait. Sedangkan Diana
menumbangkan kharisma The Royal Family akibat ulah bebasnya
yang menentang aturan protokoler istana. Alhasil, memorak-porandakan
eksistensi dinasti Windsor. Akhirnya, asas liberal pers Inggris pun
kena getah keborokan demi nama baik sebuah keluarga kerajaan yang
telah berusia 1.000 tahun.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi
Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin
PANJI MASYARAKAT NO.
751 TAHUN XXXV, 7-16 SYAWAL 1413 H, 1-10 APRIL 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar