Aditjondro
Oleh Abdul Haris Booegies
DR George Junus Aditjondro, bukan nama asing
di jajaran tukang kritik. Doktor ahli
ekonomi dan pendidikan alumnus Cornell University itu adalah tokoh LSM, aktivis
HAM serta pakar Timor Timur. Ia malahan
termasuk penentang integrasi Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia. Meski berderet di barisan vokal, namun,
Aditjondro yang akrab mengurus lingkungan dan proyek-proyek transmigrasi pernah
menerima hadiah Kalpataru dari Presiden Soeharto sebagai tokoh penggerak
masyarakat.
Hari-hari belakangan ini, sosoknya hangat
diberitakan media massa nasional. Aditjondro yang keluar dari majalah Tempo lantaran melihat pers sudah
menjadi alat kekuasaan, kini menghadapi tuduhan politik serius. Ia dituding menghina kepala negara serta melecehkan
kehormatan Pemerintah. Tindakan mencela
kekuasaan negara tersebut, berawal dari ceramahnya dalam seminar bertema
“Urgensi Pembangunan Politik dalam Proses Demokrasi di Indonesia” yang
diselenggarakan oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII, Yogyakarta.
Pada 10 Agustus 1994, Aditjondro tampil
dalam sesi keempat sebagai pembahas makalah Rudini yang terlambat hadir. Pada kesempatan itulah Aditjondro menyampaikan
ragam kritik mengenai sistem ketatanegaraan di Indonesia. Akumulasi serangan
kritiknya malahan menyebut nama sejumlah pejabat. Aditjondro kemudian diperiksa sebagai
tersangka dalam perkara pidana menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia
lewat perkataan lisan dan tulisan. Ia
diinterogasi selama 20 jam sejak Oktober 1994 sampai Januari 1995.
Aditjondro yang diperiksa lantas merasa
kalau hak-hak hukumnya dilanggar. Ia
lalu menuduh Polresta Yogyakarta telah mengabaikan sistem tata cara peradilan
yang berlaku. Gejala yang dipandangnya
tidak simpatik tersebut, memaksa Aditjondro menghindari proses hukum di Indonesia.
Ia merasa diteror serta tak kuasa menanggung
resiko. Dosen fakultas pasca sarjana
Universitas Kristen Satya Wacana itu menilai jika hukum di Indonesia tidak menjaminnya.
Ia keberatan atas manipulasi keadilan
dari sistem legal Indonesia.
Kehendak Aditjondro hanya kepastian hukum
dan kemandirian lembaga peradilan. Sebab, ia mensinyalir bila sistem peradilan
Indonesia tidak jujur. Bahkan, kasusnya
sudah diputuskan sebelumnya. Hingga, ia
pontang-panting melarikan diri sekaligus bermukim di Australia sejak 1 Februari
1995. Di negeri Kanguru tersebut,
Aditjondro menjadi dosen tamu dalam bidang studi negara-negara Asia di
University of Murdoch yang terletak di Perth. Ia juga dikontrak sebagai peneliti di Asian
Research Centre di universitas yang sama.
Aditjondro mengungkapkan alasannya tinggal
di Australia sebagai suatu pembangkangan sipil. Ia bersama keluarganya yang telah mengantongi
kartu penduduk sebagai pemukim tetap Australia, hengkang akibat undang-undang
yang dipakai guna memprosesnya secara hukum bersifat kolonial. Ia bertekad tak akan kembali ke Indonesia
selama tidak ada kepastian hukum. Aditjondro menegaskan pula bahwa dirinya tak
mau meminta suaka. Ia tetap warga negara
Indonesia yang mencintai negaranya dengan cara tersendiri. Aditjondro pun sudah
memasang kuda-kuda untuk berjuang dari luar Indonesia. Apalagi, ia percaya kalau pelariannya ke
Australia banyak menguntungkan perjuangan demokrasi di Indonesia.
Aditjondro yang telah berada di negara
tetangga, seolah menilai dirinya memiliki harga diri sebagai pendekar demokrasi.
Ia yakin jika perjuangan demokrasi punya
pijakan sesudah ia membongkar aib kebijakan Pemerintah. Padahal, Aditjondro bukan siapa-siapa dalam garis
edar pengibar panji otoritas kebenaran. Wujudnya
cuma seonggok tulang serta daging yang tiada memiliki nyali perlawanan. Ia berasal dari golongan yang takut menghadapi
ancaman dan resiko. Aditjondro bukan
ksatria yang rela diadili di pengadilan sebagai konsekuensi perjuangan. Setelah bermain api di wilayah maut, ia justru
tergopoh-gopoh lari tunggang-langgang ke negeri seberang.
Aditjondro hanya mau enaknya saja. Pasalnya, perbuatannya sendiri jijik ia pertanggung-jawabkan. Aditjondro menuding hukum tak adil, tetapi,
ia sendiri tidak jujur dengan kelakuannya yang tak malu angkat kaki secara
terbirit-birit ke Australia. Padahal,
seorang pejuang kebenaran tidak pernah merengek, gentar, ciut serta ambrol
kegalakannya dalam menghadapi segala situasi genting. Pendobrak kebatilan wajib berani, walau yang
dihadapi adalah hukum rimba atau penguasa semi-god.
Sifat pengecut Aditjondro menunjukkan bila
dirinya serupa dengan teroris yang lempar bom sembunyi tangan. Paket ungkapan sensasional dan kombinasi kritik
bombastisnya ternyata membuatnya ketakutan setengah mati. Ia cuma berani memantik persoalan, namun,
takut menceburkan diri ke tengah kemelut.
Aditjondro gemetar dalam tantangan
lantaran tak punya nyali untuk bertarung sampai tetes darah penghabisan melawan
intrik serta intimidasi dari rahim tirani. Ia malahan memilih pondok persembunyian
ketimbang tampil jantan sebagai ksatria bermental baja yang berhati emas.
“Kalau mereka menemukan tempat perlindungan,
gua-gua maupun lubang-lubang di bawah tanah, niscaya mereka tergesa-gesa pergi
ke sana” (at-Taubah: 57).
PANJI MASYARAKAT NO. 835,
4-14 RABIUL AWAL 1416 H 1-10 AGUSTUS 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar