Selasa, 29 Mei 2012

Laut Cina Selatan



Laut Cina Selatan
Oleh Abdul Haris Booegies

     Nama Laut Cina Selatan tiba-tiba bergaung keras. Hamparan lautan yang dihias pulau-pulau kecil itu menjadi berita-berita khusus di Asia Pasifik, terutama di ASEAN. Laut Cina Selatan yang ramai dibicarakan, bukan kepulauan yang menyimpan monster kelana angkuh atau makhluk tanpa wujud yang malang. Di sana, hanya terpaku abadi Spratly yang disebut Nansha oleh Beijing.
      Spratly terdiri atas 230 pulau karang dengan semilir angin, buih gelombang dan kelepak burung yang tiada henti melantunkan syair alam. Sekalipun minim penghuni, namun, perut gugusan pulau kerdil tersebut mengandung deposit minyak, bahan mineral maupun gas alam. Spratly juga sangat strategis bagi militer serta politik. Selain itu, Spratly mempunyai pula lintasan perdagangan dan pelayaran yang sangat potensial.
      Sumber alam yang berlimpah serta jalur perhubungan lalu lintas internasional yang menguntungkan, akhirnya membuat Spratly menjadi incaran empuk. Cina, Vietnam berikut Taiwan kemudian mengklaim seluruh Spratly sebagai teritorialnya. Sedangkan Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam menghendaki sebagian kepulauan tersebut. Dari enam negara yang mendambakannya, cuma Brunei yang tidak menempatkan pasukan. Pertikaian sekaligus perbedaan dalam masalah Spratly, malahan sempat membuat Cina serta Vietnam terlibat dalam aksi perang skala kecil pada Februari 1988.
      Suhu yang terus membara lantas memaksa negara yang terlibat sengketa Spratly menandatangani Deklarasi ASEAN di Manila pada 1992. Persetujuan itu meminta semua pihak yang terlibat supaya menyelesaikan lewat meja perundingan demi kestabilan Laut Cina Selatan. Perjanjian tersebut mengusulkan pula eksplorasi bersama atas Spratly.
      Tak dinyana, persetujuan itu pecah berhamburan hanya dalam hitungan bulan. Fase tersebut berawal ketika Filipina haqqul yaqin kalau Cina memboyong armada ke Mischief Reef. Bahkan, Manila menuduh Negeri Tirai Bambu itu membangun fasilitas militer, bukan tempat perlindungan buat para nelayan Cina. Akibatnya, Filipina memperkuat detasemen dan merapatkan angkatan laut di pulau Panganiban.
      Peningkatan aktivitas di sekitar Spratly, menandaskan bahwa konflik di kawasan tersebut sangat gampang memicu perseteruan sengit. Gelombang gemuruh api yang mengerikan bisa tersembur pertama kali dari mulut Naga Raksasa Cina yang merupakan major power di Asia.
      Spratly masih leluasa menghirup udara damai selama Deng Xiaoping bernafas. Pasca Deng, semua menjadi tidak jelas. Pasalnya, persoalan dalam negeri di negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa itu, akan datang mencecar silih berganti. Sebagai misal, hasrat perwira senior Tentara Pembebasan Rakyat yang berniat menguasai Partai, Kongres Rakyat serta tampuk pemerintahan. Kemudian berderak ancaman serius bagi wibawa partai komunis dari hembusan nasionalisme yang marak.
      Perkara makin gawat dengan kehadiran masalah eksternal seperti perang dagang Cina dengan Amerika Serikat. Hatta, suara merdu Cina yang ingin menegakkan prinsip koeksistensi, bakal sulit bertahan di bawah kepungan perubahan lokal dan global.
      Keadaan yang memojokkan serta membingungkan lantaran sergapan problem internal dan eksternal, bisa memaksa Cina nekat sebagaimana dalam tragedi pembantaian Tiannanmen. Sebagai magma besar di Asia, Cina dapat membuat 3,03 juta prajuritnya menodongkan moncong meriam ke Spratly. Pengerahan militer dilakukan guna menepis segala bentuk tantangan serta gangguan yang memusingkan tahta Cina.
      Skenario yang sanggup mendatangkan bahaya di Asia Pasifik tersebut, sesuai dengan hasrat Beijing yang bernafsu besar menjadi kekuatan hegemoni di Laut Cina Selatan.
      Sebagai bom waktu di Asia Tenggara, maka, Spratly yang kian eksplosif membutuhkan prinsip win to win yang membuat semua pihak tidak merasa terkalahkan. Alhasil, karakteristik dan dinamika wilayah Spratly enteng dikembangkan menurut strategi, sistem serta struktur yang berorientasi humanis menjelang pergantian milenium. Sebab, kehadiran serdadu yang didasarkan pada pertimbangan emosional, tidak akan menyelesaikan masalah. Aksi militer cuma memperlihatkan kekerdilan manusia dalam berpetualang mengarungi kegelisahan hidup.
      Cina yang sering mempertontonkan sifat bebal, pada intinya adalah sebuah kekuatan yang gatal dalam suatu proses suksesi. Keutuhan kekuasaannya kini diuji. Arkian, basis militer dilirik sebagai pilihan untuk melewati aneka sandungan. Di samping itu, Cina ditakdirkan oleh sejarah memiliki keperkasaan angkatan bersenjata yang hebat dan tiada tanding di era lampau. Pasukan bermata sipit tersebut tertera dalam silsilah bangsa-bangsa sebagai kelompok individu sakti. Kematian Deng, kelak menjadi kesempatan bagi Cina untuk kembali mengukuhkan diri menjadi kekuatan militer yang agresif.
      Dengan posisi yang bervisi militeristik, niscaya Cina sanggup menebar ancaman di tiap laju geraknya. Keadaan itu pada esensinya bakal membawa instabilitas terhadap Asia. Dalam situasi yang terombang-ambing oleh godaan negatif, maka, penempatan pasukan di Laut Cina Selatan justru akan menebar jaring-jaring kekhawatiran di atmosfir kedaulatan Rusia, Selandia Baru serta Jepang. Akibatnya, jalan sejati yang bertabur kebenaran dan kedamaian, kian rumit digapai. Maklum, segenap tindakan yang didasarkan pada kepentingan nafsu serta alur mimpi, selalu berakhir tragis dalam lorong gelap, pengap dan berliku.
      “Katakan (wahai Nabi Muhammad): “Tiap orang bertindak menurut tabiatnya”. Tuhan tahu siapa yang paling benar jalannya” (al- Isra: 84).

(PANJI MASYARAKAT NO.822, 20-29 SYAWAL TAHUN XXXV, 21-31 MARET 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People