Laut
Cina Selatan
Oleh
Abdul Haris Booegies
Nama Laut
Cina Selatan tiba-tiba bergaung keras. Hamparan lautan yang dihias
pulau-pulau kecil itu menjadi berita-berita khusus di Asia Pasifik,
terutama di ASEAN. Laut Cina Selatan yang ramai dibicarakan, bukan
kepulauan yang menyimpan monster kelana angkuh atau makhluk tanpa
wujud yang malang. Di sana, hanya terpaku abadi Spratly yang disebut
Nansha oleh Beijing.
Spratly
terdiri atas 230 pulau karang dengan semilir angin, buih gelombang
dan kelepak burung yang tiada henti melantunkan syair alam.
Sekalipun minim penghuni, namun, perut gugusan pulau kerdil tersebut
mengandung deposit minyak, bahan mineral maupun gas alam. Spratly
juga sangat strategis bagi militer serta politik. Selain itu,
Spratly mempunyai pula lintasan perdagangan dan pelayaran yang sangat
potensial.
Sumber alam
yang berlimpah serta jalur perhubungan lalu lintas internasional yang
menguntungkan, akhirnya membuat Spratly menjadi incaran empuk. Cina,
Vietnam berikut Taiwan kemudian mengklaim seluruh Spratly sebagai
teritorialnya. Sedangkan Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam
menghendaki sebagian kepulauan tersebut. Dari enam negara yang
mendambakannya, cuma Brunei yang tidak menempatkan pasukan.
Pertikaian sekaligus perbedaan dalam masalah Spratly, malahan sempat
membuat Cina serta Vietnam terlibat dalam aksi perang skala kecil
pada Februari 1988.
Suhu yang
terus membara lantas memaksa negara yang terlibat sengketa Spratly
menandatangani Deklarasi ASEAN di Manila pada 1992. Persetujuan itu
meminta semua pihak yang terlibat supaya menyelesaikan lewat meja
perundingan demi kestabilan Laut Cina Selatan. Perjanjian tersebut
mengusulkan pula eksplorasi bersama atas Spratly.
Tak dinyana,
persetujuan itu pecah berhamburan hanya dalam hitungan bulan. Fase
tersebut berawal ketika Filipina haqqul yaqin kalau Cina
memboyong armada ke Mischief Reef. Bahkan, Manila menuduh Negeri
Tirai Bambu itu membangun fasilitas militer, bukan tempat
perlindungan buat para nelayan Cina. Akibatnya, Filipina memperkuat
detasemen dan merapatkan angkatan laut di pulau Panganiban.
Peningkatan
aktivitas di sekitar Spratly, menandaskan bahwa konflik di kawasan
tersebut sangat gampang memicu perseteruan sengit. Gelombang
gemuruh api yang mengerikan bisa tersembur pertama kali dari mulut
Naga Raksasa Cina yang merupakan major power di Asia.
Spratly
masih leluasa menghirup udara damai selama Deng Xiaoping bernafas.
Pasca Deng, semua menjadi tidak jelas. Pasalnya, persoalan dalam
negeri di negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa itu, akan datang
mencecar silih berganti. Sebagai misal, hasrat perwira senior
Tentara Pembebasan Rakyat yang berniat menguasai Partai, Kongres
Rakyat serta tampuk pemerintahan. Kemudian berderak ancaman serius
bagi wibawa partai komunis dari hembusan nasionalisme yang marak.
Perkara
makin gawat dengan kehadiran masalah eksternal seperti perang dagang
Cina dengan Amerika Serikat. Hatta, suara merdu Cina yang ingin
menegakkan prinsip koeksistensi, bakal sulit bertahan di bawah
kepungan perubahan lokal dan global.
Keadaan yang
memojokkan serta membingungkan lantaran sergapan problem internal dan
eksternal, bisa memaksa Cina nekat sebagaimana dalam tragedi
pembantaian Tiannanmen. Sebagai magma besar di Asia, Cina dapat
membuat 3,03 juta prajuritnya menodongkan moncong meriam ke Spratly.
Pengerahan militer dilakukan guna menepis segala bentuk tantangan
serta gangguan yang memusingkan tahta Cina.
Skenario
yang sanggup mendatangkan bahaya di Asia Pasifik tersebut, sesuai
dengan hasrat Beijing yang bernafsu besar menjadi kekuatan hegemoni
di Laut Cina Selatan.
Sebagai bom
waktu di Asia Tenggara, maka, Spratly yang kian eksplosif membutuhkan
prinsip win to win yang membuat semua pihak tidak merasa
terkalahkan. Alhasil, karakteristik dan dinamika wilayah Spratly
enteng dikembangkan menurut strategi, sistem serta struktur yang
berorientasi humanis menjelang pergantian milenium. Sebab, kehadiran
serdadu yang didasarkan pada pertimbangan emosional, tidak akan
menyelesaikan masalah. Aksi militer cuma memperlihatkan kekerdilan
manusia dalam berpetualang mengarungi kegelisahan hidup.
Cina yang
sering mempertontonkan sifat bebal, pada intinya adalah sebuah
kekuatan yang gatal dalam suatu proses suksesi. Keutuhan
kekuasaannya kini diuji. Arkian, basis militer dilirik sebagai
pilihan untuk melewati aneka sandungan. Di samping itu, Cina
ditakdirkan oleh sejarah memiliki keperkasaan angkatan bersenjata
yang hebat dan tiada tanding di era lampau. Pasukan bermata sipit
tersebut tertera dalam silsilah bangsa-bangsa sebagai kelompok
individu sakti. Kematian Deng, kelak menjadi kesempatan bagi Cina
untuk kembali mengukuhkan diri menjadi kekuatan militer yang agresif.
Dengan
posisi yang bervisi militeristik, niscaya Cina sanggup menebar
ancaman di tiap laju geraknya. Keadaan itu pada esensinya bakal
membawa instabilitas terhadap Asia. Dalam situasi yang
terombang-ambing oleh godaan negatif, maka, penempatan pasukan di
Laut Cina Selatan justru akan menebar jaring-jaring kekhawatiran di
atmosfir kedaulatan Rusia, Selandia Baru serta Jepang. Akibatnya,
jalan sejati yang bertabur kebenaran dan kedamaian, kian rumit
digapai. Maklum, segenap tindakan yang didasarkan pada kepentingan
nafsu serta alur mimpi, selalu berakhir tragis dalam lorong gelap,
pengap dan berliku.
“Katakan
(wahai Nabi Muhammad): “Tiap orang bertindak menurut tabiatnya”.
Tuhan tahu siapa yang paling benar jalannya” (al- Isra: 84).
(PANJI
MASYARAKAT NO.822, 20-29 SYAWAL TAHUN XXXV, 21-31 MARET
1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar