Mencari
Rumus Fir’aun
Oleh Abdul
Haris Booegies
Telah banyak
buku yang menceritakan kehidupan para tokoh dunia, baik tokoh dari
Barat maupun Timur. Di antara sekian banyak buku itu ada tiga yang
diminati di Indonesia. Pertama “Seratus Tokoh” (The
100, Ranking of the Most Influential Persons in History),
hasil penelitian Michael H Hart, seorang pakar astronomi. Lalu yang
kedua “Seratus Muslim Terkemuka” (Hundres
Great Muslims), ditulis oleh Kh
Jamil Ahmad untuk dipersembahkan kepada Yang Mulia Raja Faisal. Dan
ketiga, “Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia” (Leaders),
cacatan perjalanan Presiden Amerika, Richard Nixon.
Benarkah
pandangan buku tersebut tentang siapa yang patut sebagai the
number one. Di planet ini, hanya
ada tiga nama yang terus-menerus disebut. Ketiga nama itu yakni
Maryam, Isa al-Masih dan Nabi Muhammad. Ketiga manusia suci tersebut
hingga kini sering menimbulkan perselisihan, sebab, pengikutnya
selalu mengelu-elukan siapa jago siapa.
Perdebatan serta perselisihan ini akan pupus jika mereka menilik masa lampau yang tidak dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu. Dan terkutuklah, John Lennon yang dengan lancang memproklamirkan dirinya lebih terkenal ketimbang Nabi Isa al-Masih. Perkataan sinting itu akhirnya dibayar mahal, peluru menembus kulitnya.
Perdebatan serta perselisihan ini akan pupus jika mereka menilik masa lampau yang tidak dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu. Dan terkutuklah, John Lennon yang dengan lancang memproklamirkan dirinya lebih terkenal ketimbang Nabi Isa al-Masih. Perkataan sinting itu akhirnya dibayar mahal, peluru menembus kulitnya.
Sangat
mengherankan, sebab tak ada buku yang serius membicarkan mengenai
seorang manusia yang lebih hebat dari Nietzsche, Karl Marx maupun
Gorbachev. Dia bukan saja atheis sejati serta tidak pula menganggap
“god is dead”.
Ia justru menyebut dirinya tuhan, “ana
rabbun”.
Dialah
Rhamses II dari dinasti Fir’aun/Pharao, manusia brutal yang pernah
lahir. Tragedi kematiannya tak sanggup dilukiskan betapa pedihnya.
Momen ini cuma mampu disamai ketika Adam dan Hawa diusir dari Taman
Firdaus. Tragis memang.
Fir’aun,
penguasa Mesir kuno yang diselimuti kekuasaan serta kekayaan yang
melimpah. Ia merupakan jelmaan dewa. Titahnya pertanda hukum yang
mutlak dilaksanakan. Kata tidak berarti nyawa taruhannya. Sebagai
seorang tuhan, ia kuasa mencabut nyawa, tetapi, tidak mampu
menghidupkan.
Ia perkasa
dalam segala hal selama tukang tenungnya tak meleset meramal. Secara
fisik, rakyatnya hidup dalam kemewahan dan kemegahan. Ilmu
pengetahuan berkembang, hingga celah-celah keadaan dunia bisa
diintip. Sistem almanak, geometri serta kegiatan survei ditemukan
pula oleh ahli para pakar Mesir.
Dalam
menjalankan pemerintahannya, ia dibantu oleh seorang wasir. Wasir,
selain menyuarakan titahnya juga seorang kepala pengadilan dan mesin
hitung bagi jumlah pajak serta upeti yang masuk. Wasir biasanya
dipilih dari golongan bangsawan dan kadang dari rakyat jelata.
Dalam
sejarah ada dua Fir’aun yang amat terkenal, Tutanchamon serta
Rhamses II. Tutanchamon, Fir’aun cilik yang hidup sekitar tahun
360 sebelum Masehi. Ia dinobatkan sebagai penguasa Mesir tatkala
berumur sembilan tahun. Bandingkan dengan Pu Yi, kaisar Tiongkok
dari dinasti Qing yang dinobatkan pada usia tiga tahun.
Rhamses II
hidup sezaman dengan Nabi Musa. Ia merupakan Fir’aun terbesar dan
teragung dalam sejarah dinasti Pharao.
Pada 1953
sebelum Masehi, Nabi Musa dilahirkan, saat itu di istana Fir’aun
yang terletak di tepi sungai Nil, berkumpul para tukang tenung
berikut tukang sihirnya.
“Yang
Mulia, tahun ini telah lahir seorang bayi yang kelak menghancurkan
kekuasaan serta mengeluarkan kaum Anda dari negeri ini”.
Fir’aun
tertegun dan gusar. Perintah pun dikeluarkan untuk membunuh tiap
bayi laki-laki yang baru lahir. Berpuluh-puluh bayi tak berdosa
dibunuh.
Keadaan ini
mengharuskan ummu Nabi Musa menghanyutkan bayinya ke sungai Nil.
Bayi tersebut lantas terdampar di istana Fir’aun. Asiyah, istri
Fir’aun memohon pada suaminya agar bayi mungil itu dipelihara.
Jadilah Nabi Musa anak angkat Fir’aun.
Pasca
kenabiannya, Musa Alaihissalam
lalu menentang ayah angkatnya. Elemen ini teramat menyakitkan hati
Fir’aun. Para tukang sihir kemudian dikerahkan untuk membuktikan
bahwa Fir’aun lebih berkuasa dari Tuhan Musa. Tukang sihir
tersebut lalu melemparkan tali serta tongkatnya hingga menjelma ular.
Nabi Musa
pun melemparkan tongkatnya dan berubah pula menjadi seekor ular besar
yang memangsa ular-ular tukang sihir. Seketika tukang sihir itu
sujud di hadapan Musa.
“Kami
beriman pada Tuhanmu”. Kejadian ini membangkitkan amarah Fir’aun.
Ia pun memerintahkan membunuh para tukang sihir tersebut.
Karena
mendapat perlakuan buruk di Mesir, Nabi Musa serta Nabi Harun bersama
keturunan Ibrani (bani Israil) meninggalkan Mesir menuju Thur Sina
(gunung Sinai). Mereka hijrah kembali ke tanah leluhur yang selama
ini ditinggalkan, Palestina.
Fir’aun
yang mendengar bani Israil diboyong Nabi Musa dan Nabi Harun
meninggalkan Mesir segera mengejarnya dengan bala tentaranya. Di
hadapan pengikutnya, Nabi Musa memperlihatkan kekuasaan Tuhan,
membelah laut Merah dengan tongkatnya. Fir’aun terus mengejar,
namun, malang tak dapat ditolak. Ia tewas bersama laskarnya saat
laut kembali menyatu. Sungguh menggemaskan, seorang tuhan harus mati
dengan tidak terhormat, ditelan ombak yang ganas. Ironis sekali.
40 abad
setelah peristiwa tersebut, sebuah keajaiban indah mengggemparkan
dunia. Hari itu, 6 Juli 1879 para arkeolog menemukan mumi Rhamses II
yang sudah lama terpendam. Ekspedisi ilmiah Jerman-Mesir ini
dipimpin Messrs, Emil Brugsch bersama Ahmed Effendi Kamal. Mumi itu
ditemukan di suatu lubang kecil yang terletak di dinding karang
Valley of Kings.
Hikmah dan
dampak positif penemuan besar ini ialah pengetahuan manusia pun
menembus 30 abad sebelum Masehi. Kebenaran al-Qur’an pun makin
kokoh sebagai konsep Ilahiya yang tak gampang dikoyak konsep apapun.
Mengapa
Fir’aun sebejat itu semasa hidupnya, menganggap diri sebagai tuhan.
Apa kandungan tubuhnya mengandung unsur kimiawi yang jauh berbeda
dengan kita atau ia replicant,
manusia yang dikendalikan oleh program hawa nafsu. Membunuh Asiyah
istrinya demi menguatkan posisinya sebagai tuhan yang tiada
tertandingi. Mengejar bangsa Israil guna memuaskan naluri
membunuhnya.
Fir’aun
tidaklah jauh beda dengan kita, ia manusia dengan dua mata dua
telinga. Yang digunakan untuk melihat sembari mendengar sesuatu yang
merangsang keinginannya. Secara psikologis, ia bingung dengan
kekuasaan serta kekayaannya. Dan reduplah mata hatinya mencari
kebenaran sejati.
Alam bawah
sadarnya baru terlonjak kala ia dalam keadaan kritis, mengakui
Tuhannya Nabi Musa. Sayang, gerbang tobat telah digembok. Ini
membuktikan bahwa selama hidupnya ia jauh dari hal-hal yang menekan
perasaannya.
Pangeran
William, putra pangeran Charles dikenal sebagai pangeran cilik yang
sering marah. Keberandalannya yang kasar itu melahirkan julukan
baginya, “Billy si Tukang Banting”.
Bagaimana
psikis William hingga kerap membantah dan membentak. Pasalnya, Lady
Diana amat memanjakan Putra Mahkota ini. Ia pernah bertanya pada
bintang rock Bob Geldof, “kenapa rambut Anda sangat kotor”.
Jean Bedel
Bokassa, akhirnya menitikkan airmata ketika pengadilan kriminal
Republik Afrika Tengah menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Semasa
pemerintahannya, kaisar ini dikenal begitu kejam terhadap lawan
politiknya. Ia malah dituduh kanibalis, koruptor serta mendalangi
penembakan terhadap seratus anak sekolah yang menurutnya pembangkang.
Bokassa
menghabiskan biaya Rp 12,5 milyar tatkala menobatkan dirinya sebagai
kaisar tahun 1977. Mengapa pengagum Napoleon Bonaparte ini begitu
brutal dalam pemerintahannya. Itu tak lain gara-gara ia merasa lebih
dari semuanya. Menteri atau jenderal tak mungkin menegur seorang
kaisar yang berkuasa penuh. Selain Bokassa, juga Idi Amin Dada
berperilaku demikian.
Fir’aun,
bukanlah manusia dengan kadar kimiawi yang berlebihan, ia sama dengan
kita. Ketika dicubit ia pasti merasa sakit. Cuma rumus
kecongkakannya sebab ia golongan (the
have), punya kekuasaan serta
kekayaan. Itu saja.
(Pedoman
Rakyat, 22 Mei 1988)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar