Universitas
Hasanuddin Ternoda
Oleh Abdul
Haris Booegies
(Mahasiswa
Universitas Hasanuddin)
Dua berita Harian Surya
(28-29 Agustus 1991), mengenai terjebaknya Universitas Hasanuddin
(Unhas) dalam genggaman Golkar, sangat memprihatinkan. Selain
menyalahi aturan main perihal kampanye di kampus, juga mengejek
idealisme mahasiswa. Apalagi, kalau penampilan mahasiswa Unhas yang
diwakili 42 orang untuk menyanyikan mars Golkar saat Rakerda II
Golkar Sulsel, cuma dibayar Rp 250 ribu. Alangkah murah nilai
semangat Sultan Hasanuddin yang telah terpatri dalam idealisme
Universitas Hasanuddin. Betapa uang telah mengebiri harga diri
mahasiwa-mahasiswa yang tak tahu diri itu.
Kampanye dalam kampus, pada
hakikatnya sangat menarik. Sebab, akan membuat mahasiswa mengerti
percaturan politik. Di samping itu, mereka tahu kemampuan organisasi
peserta pemilu (OPP). Ini jelas membuat mahasiswa tak bakal jatuh
dalam perangkap OPP, yang mungkin cuma jago mengumbar janji. Bahkan,
kampanye di kampus juga memberi nilai tambah kepada OPP. Pasalnya,
untuk tampil dalam dialog ilmiah di sebuah perguruan tinggi, mereka
jelas harus banyak belajar. Mengingat mahasiswa sering melontarkan
pertanyaan yang membuat kepala menjadi pening.
Persoalan ada tidaknya kampanye
dalam kampus, pada akhirnya ditentukan rektor. Maklum, di pundak
rektor terletak wewenang untuk menjadikan kampus sebagai ajang
pertarungan suara demokrasi. Masalahnya, sebelum melangkah,
tiba-tiba banyak rektor yang tidak mengizinkan kampus dilibatkan
sebagai medan kampanye. Untuk membendung niat mahasiswa agar tak
ikut dalam kampanye di kampus, beberapa rektor pun segera
mengeluarkan jurus sakti.
Di antara kata tidak setuju
mengenai kampanye di kampus, juga mencul suara lantang rektor yang
mengizinkan wilayah kampusnya boleh dipakai untuk budaya kompetisi
yang sehat.
Ketika rektor Universitas
Muhammadiyah Malang, USU Medan berikut Lambung Mangkurat Banjarmasin,
setuju kegiatan kampanye dalam kampus, nada salut dan irama bangga
pun marak terdengar.
Universitas Hasanuddin sangat
berbeda persepsi dengan Universitas Muhammadiyah Malang, USU Medan
maupun Lambung Mangkurat Banjarmasin. Soalnya, secara tegas rektor
Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA melarang OPP masuk kampus. Sebab,
menurutnya cuma akan mengkotak-kotakkan mahasiswa ke dalam berbagai
golongan. Hanya dalam mimpi, PPP, Golkar serta PDI bisa menggugah
partisipasi politik mahasiswa lewat kampus.
Unhas pada akhirnya memang tak
dimeriahkan kegiatan kampanye dalam kampus. PPP, Golkar dan PDI,
jelas tak mampu menembus tirai Universitas Hasanuddin. Anehnya,
Unhas yang justru masuk Golkar. Ini terbukti adanya sikap setuju
rektor atas undangan resmi DPD I Golkar Sulsel. Arkian, dengan
semangat tentara kesurupan, terlebih sesudah diiming-imingi duit,
maka, vokal grup Universitas Hasanuddin pun keluar sarang untuk
menggemakan mars Golkar. Akibatnya, cemoohan datang dari sejumlah
tokoh mahasiswa, aktivis kampus serta alumni Unhas.
Jaket almamater Unhas yang merah
menyala, yang sakral bagi pemakainya, akhirnya ternoda. Penyesalan
pun seolah tergambar dari kalimat Gubernur Sulsel Prof Dr Achmad
Amiruddin, “Bukan soal jaket merahnya saja, tetapi lambang Ayam
Jantan itu” (Surya, 29 Agustus 1991).
Kecelakaan yang mengobral citra
Universitas Hasanuddin, memperlihatkan dua saripati yang patut
direnungkan. Pertama, bengkoknya pemahaman tentang “satunya
kata dengan perbuatan”. Terbukti, penampilan vokal grup Unhas
disetujui pimpinan kampus. Walau sebelumnya ada larangan untuk tidak
melibatkan mahasiswa dalam kampanye di kampus. Kedua,
mungkinkah ada reaksi keras bila vokal grup itu bersenandung di bawah
panji PPP atau PDI. Tantangan berat, kini menghadang Golkar yang
agresif menargetkan suara minimal 73,17 persen dalam Pemilu 1992.
(Surya, Rabu,
25 September 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar