Sabtu, 22 Mei 2021

Kemelut 86 (1)


Kemelut 86
(Bagian pertama dari empat tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ketika terdaftar sebagai santri Pesantren IMMIM pada 1980, saya gembira serta bangga.  Ini pondok suci yang menjunjung akhlak karimah.  Jadwal shalat ketat, jadwal belajar padat.  Penghuni Kampus Tamalanrea merupakan insan terpilih.
     Sesudah sang kala berlalu tiga kali Mentari terbit, saya merasa sesuatu mengganjal kalbu.  Ada segelintir santri bandel.  Saya mengutuk dalam hati kenakalan yang dipraktikkan di pesantren.  Mereka virus yang menodai pondok.
     Bagaimana mengurangi pelanggaran santri sampai ke zona nol?  Metode kontemporer yang efektif strategis yakni dengan enkripsi algoritma.  Sebuah chip berisi kode multidata diinjeksikan ke tubuh santri.  Ini andal 100 persen memantau segala aktivitas selama 24 jam sehari.  Semua terkontrol secara komprehensif.
     Santri menjadi insan transparan.  Orientasi untuk melakukan reaksi minor enteng terdeteksi di ruang pimpinan kampus.  Qismul aman (bodyguard pesantren) bisa menunggu santri wildlines (bani liar) di balik pagar sebelum lompat ke luar pondok.  Modus futuristis saintifik ini memangkas pelanggaran ke titik nihil.  Maklum, ada mobilitas antisipasi dini via fenomena psikologis yang dipandu enkripsi algoritma.  Kelak, perkakas supermutakhir ini akan dioperasikan di Kampus Moncongloe setelah Kampus Tamalanrea terjual.  Dunia bakal menyaksikan superioritas Pesantren IMMIM pasca Tamalanrea.

D5 vs 86
     Tidak terbayang di kepala, kelak saya memusingkan pimpinan kampus maupun qismul aman.  Pelanggaranku bertumpuk.  Catatan hitam pelanggaranku lebih tebal dari bantal.  Saya berkali-kali diancam dipecat.  Lemariku disita, orangtua dipanggil.  Sesungguhnya, jika saya tak bandel, otomatis qismul aman defisit eksistensi.
     Sekalipun dituding nakal, namun, saya tidak merokok.  Seingatku, hanya saya dengan Rusman yang tak merokok dari Angkatan 86.  Inilah prestasi cemerlang di pesantren.
     Selama enam tahun di Kampus Tamalanrea, ada beberapa persinggungan negatif yang menimpa Angkatan 86.  Sebagai umpama, pada Selasa, 9 Agustus 1983.  Suasana nyaris tidak terkendali di dapur.  Ini dimotori Irwanuddin Abbas dan Mustari Takkalalla dari Angkatan 85.  Keduanya bukan sembarang santri.  Mereka jago adu mulut.  Lugas menggertak.  Suaranya menggelegar, terutama Mustari.
     Malam itu, kelas V mengambil separuh jatah makanan kelas IV dari Angkatan 86.  Melihat nasi kurang, kelas IV sebal.  Sebagian bersungut-sungut.  Irwanuddin bersama Mustari kemudian mengomel:  "Ini kelas IV terlambat ke dapur!"
     Kata-kata ini langsung memantik emosi.  Sebab, tak lagi menuding individu, tetapi, kolektif.  Solidaritas Angkatan 86 bergelora bak semburan gunung berapi.  Segenap kelas IV merapatkan shaf serta rasa setia kawan gara-gara tersinggung.
     Kedua angkatan akhirnya cekcok dalam skala besar.  Tingkah berubah liar.  Dapur gaduh seperti kena mortir.  Adegan demi adegan serupa perang verbal mafioso dalam film gangster.  Kedua angkatan digoda setan gundul dari alam remang-remang.  Kelas IV memang telat ke dapur karena belajar di kelas.
     Ahad petang pada 13 Januari 1985, saya hampir berkelahi dengan Mustari yang sudah kelas VI.  Kami nyaris duel tatkala mandi di sumur kibar.  Ketegangan memuncak.  Tiada lagi yang menghalangi kami baku hantam kecuali Ikbal Bakry muncul melerai.
     Saya waktu itu beringas karena selesai latihan karate.  Saya juga tergiur mempraktikkan karatedo (jurus) yang tadi diajarkan di dojo.  Saya geregetan akibat dipisah dari pertikaian.  Andai terealisasi, ini pasti pertarungan indah.

Popeye Lokal
     Ahad malam pada 14 April 1985, saya sedang berbagi kisah dengan Fuad Mahfud Azuz.  Saat asyik bertukar cerita di bawah pohon akasia di sisi teras rayon Panglima Polem, mendadak terdengar bunyi gaduh.  Sumber suara berasal dari bilik qismul aman yang berjarak tujuh langkah dari beranda asrama Panglima Polem.  Ruang ini dulu merupakan koperasi.  Mahmuddin Akil (Angkatan 88) termasuk pengurus koperasi.
     Saya bersama Fuad langsung berlari.  Kami masuk ke ruang qismul aman.  Di situ meringkuk Zulfikar Ghaffar (Angkatan 88) bersama tiga rekannya.  Empat pelanggar ini hampir bonyok mirip tomat kena batu.  Raga mereka terkulai dengan jiwa merintih hati menjerit.
     Fuad lantas menolong satu pesakitan.  Ia mengusap wajah korban yang terluka.  "Keamanan jangan terlalu keras", sembur Fuad yang tidak menoleransi pemukulan.  Keadaan pun berubah tegang.  Kata-kata Fuad menyundut emosi lantaran dinilai komentar pedis yang melecehkan.
     Personel seksi keamanan yang terdiri dari Zubair, Wahyu Muhammad, Lukman Sanusi, Hamid Seltit dan Yunus merasa diintervensi.  Ruang qismul aman yang pengap serta bau badan yang menyengat membuat saya menyeletuk.  "Huh, siapa yang berbau ketiaknya".
     Anggota qismul aman sontak tersinggung.  Terjadi adu mulut.  Qismul aman merasa harga dirinya diseruduk.  Wahyu lalu melontarkan pukulan ke Fuad.  Ia berkelit.  Pukulan tersebut lewat di depan mukaku.
     Saya merasakan ada aroma pertarungan.  Saya dua kali melirik ke seorang awak qismul aman yang tergolong kuat di Black Panther.  Mereka lima orang.  Saya cuma dua, partnerku bertubuh kecil lagi.  Celaka kalau begini.
     Fuad rupanya tak gentar.  Ia tetap tegar di tengah badai konflik.  Bahkan, mulutnya tidak diam melontarkan perlawanan.  Hasrat perjuangannya menggelembung.  Fuad kemudian menggenggam tanganku.  Saya berupaya melepasnya, namun, ia kian menggenggam erat.
     Suasana panas itu berangsur adem.  Saya bersama Fuad keluar ruangan.  Kami sempat berbasa-basi dengan empat korban bodyguard pesantren.
     Dari anggota bela diri tenaga dalam Prana Sakti, saya memperoleh informasi.  Di pencak silat ini dikenal penyaluran tenaga dalam.  Berarti Fuad menggenggam tanganku karena menyalurkan tenaga dalam.  Ia ingin saya menjelma semacam Popeye.  Pelaut perkasa yang memiliki kekuatan super usai menyantap sekaleng bayam.
     Saya garuk-garuk kepala.  Bila begitu, bilik qismul aman nyaris hancur-lebur akibat ulahku.  Popeye lokal hampir mengamuk di Pesantren IMMIM.

Kurang Ajar
     Pada Selasa, 18 September 1984, kelas V IPA kewalahan.  Pelajaran penuh dari pagi sampai siang.  Benak seolah ditumbuk, tak dapat mendinamiskan pikiran.  Seisi kelas lemas guna menyeimbangkan sintesis harmonis seluruh pelajaran hari ini.  Kapasitas otak tidak sebanding dengan spektrum ilmu yang disodorkan.  Kami penat dan jenuh, perut lapar pula.
     Ketika ustaz Danial Jalaluddin mengajar, saya berulah.  Saya bersiul, menepuk-nepuk bangku, mengentak-entakkan kaki di lantai serta sesekali memekik.  Tentu saja ustaz marah.
     "Siapa itu!", bentaknya.
     Semua diam.  Tak ada yang mengaku.  Lebih-lebih saya, tidak mau mengaku.
     "Kurang ajar semua", umpat ustaz.
     Rekan sekelas tak menyalahkanku karena saya mewakili kebosanan dan kedongkolannya.  Saat ustaz keluar usai mengajar, kami satu kelas teriak-teriak.  Kami gembira sekaligus menumpahkan kekesalan gara-gara diejek "kurang ajar semua".
     Sehari berikutnya pada Rabu sore, 19 September 1984.  Kami kelas V IPA diadili oleh ustaz Saifullah di Majelis Guru.  Musababnya, guru sejarah tersinggung lantaran santri tidak menghiraukan pelajaran.
     Saya tak tahu kelakuan apa yang diperbuat teman.  Menurut ketua kelas Andi Arman, santri gempar karena ada burung tersasar di kelas.  Ketika pelajaran berlangsung, saya tidak berada di TKP, tempat kejadian perkara.  Sewaktu saya masuk kelas, ternyata pelajaran telah kelar.  Begitu duduk di bangku, guru beranjak pergi.
     Saya ikut diadili walau tak mengerti permasalahan.  Saya waktu itu sudah tobat nakal.  Hatiku bernegosiasi dengan dua realitas, rajin ke masjid dapat pahala atau tekun ke bioskop lihat paha.  Saya berikhtiar kembali ke jalan lurus yang sarat rida.  Berkehendak jadi santri tahfiz Angkatan 86.
(Bersambung)


Jumat, 21 Mei 2021

Asmara ala Santri


Asmara ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di akhir 2020, saya membolak-balik diari bertarikh 1982.  Ini pertama kali saya membacanya sejak ditulis 38 tahun silam.  Di buku antik tersebut tertera nama Nuraini.  Siapa ini sampai muncul di catatanku.
     Saya menghubungi Fuad Mahfud Azuz.  Siapa Nuraini?  Fuad hanya berpikir lima detik untuk mengidentifikasinya.  Saya pun langsung mengingatnya.  Nuraini merupakan gadis yang acap dibicarakan di Pesantren IMMIM.  Saya tidak pernah lihat parasnya kecuali biasa mendengar namanya.  Ia diatribusikan pada MT (Angkatan 85).
     Di lembaran-lembaran berikut buku harianku, identitas Nuraini mulai terang.  Gadis itu makin populer setelah seorang santri dipecat akibat mencuri.  Ia mencoleng demi bersolek agar Nuraini terkesan.
     Eksistensi realitas santri sebagai pelajar kolektif pasti menimbulkan beragam persoalan.  Satu di antaranya yakni percik cinta yang meronta di dada.  Bagi saya, pacaran serta melanggar aturan merupakan pilar filosofis remaja guna mengekspresikan diri.
     Elemen ekspresi diri terkadang mendorong saya berempati dengan santri kasmaran.  Ini terjadi pada Rabu, 5 September 1984.  Saya membonceng seorang mitra sesama Bugis ke SMP Nahdiyat.  You-can ingin menatap sang kekasih.  Sekolah yang dituju ternyata tutup.  Libur sebagaimana pesantren.  You-can kecewa, saya turut prihatin sedalam-dalamnya.  Rindu terpendam tiada tergenapi.

Adegan I
    Malam pada Rabu, 26 Februari 1986, saya uring-uringan.  Musababnya, hati terpaut dengan gadis di depan rumah.  Saya berniat pulang menjumpainya, namun, besok Kamis.  Tak elok meninggalkan pondok karena jadwal latihan Black Panther tiap Kamis-Jumat.
     Terpaksa mengorbankan asmara yang menurut pujangga picisan merupakan akses menuju sukses.  Saya termangu.  Bisa kena demam dan pusing jika begini.  Di kamar cuma mencumbu kesunyian di tengah riuh-gaduh rutinitas santri.
     Ahmad Afifi yang paham kemelut batin ini hanya terpana nanar.  Ini tanjakan terjal dalam dunia remaja.  Ia tahu gadis molek berparas lembut tersebut.  Afifi kemudian menghibur.
     "Tidak usah risau.  Cewek itu pun menyenangimu".

Adegan II
     Ketika mengajar Balaghah pada Sabtu, 6 Oktober 1984, ustaz Harisah HS sempat menasehati kami tentang cinta.  Ini di luar kelaziman.  Sebelumnya, ia tak pernah membahas problem cinta.
     "Adik-adik ke sini bukan untuk berpikir cinta, tetapi, untuk belajar.  Bila ada gadis yang menolak, biarkan saja.  Bukan cuma dia wanita di dunia.  Jodoh di tangan Tuhan.  Jodoh adik-adik sudah tercatat sebelum lahir".

Adegan III
     Pada Sabtu, 11 Mei 1985, setelah nonton Ninja III the Domination, saya ke New Artis.  Pukul 22.00, Abdul Hafid tiba dari pesantren mengendarai Vespa merahnya.  Kami berencana nonton midnite show film The Marginal.  Di bioskop ini ada cewek pegawai yang akrab dengan saya.  Kami suka bercanda.  Saya tidak sempat menemuinya karena Hafid ogah nonton, ia mengantuk.
    Di ruang kelas saat semester, saya terkenang sepotong sisa momen tadi malam di New Artis.  Apalagi, saya mimpi mengenai cewek pegawai bioskop tersebut.
     "Haris hanya menghayal", mendadak terdengar suara ibu Syamsinah.  Saya kaget serta tersipu.  Seorang pengawas lain menambah parah beban malu di hati.  "Anak gadisnya orang barangkali dia pikirkan".

Adegan IV
     Saya ke kantor direktur pesantren pada Selasa pagi, 31 Januari 1984.  Di sana, duduk mengkhayal tentang gadis yang sering menemuiku.  Saya kenal dara ayu ini berkat Mantang, kepala konsumsi aula.  Di ruang direktur, ibu Nurbaya sedang mengetik.  Kami cuma berdua.  Ia pernah melihatku jalan bersama gadis yang kini mengacak-acak pikiranku.
     Tiba-tiba ibu Nurbaya memecah keheningan.  Fantasi liarku buyar.  Ia mafhum apa yang tengah membelit emosiku.  Ibu Nurbaya mafhum hatiku digoda cinta.  Ia pun berpetuah perihal asmara.
     "Haris, kalau kau pacaran jangan pakai PHB, penghubung.  Jangan juga mengganggu pelajaran".

Adegan V
     Saya bersiap ke dojo untuk latihan karate pada Jumat, 10 Januari 1986.  Banyak anggota Black Panther bersemangat.  Sebab, ada karatekawati mulai ikut latihan pada Jumat, 3 Januari 1986.  Saya didaulat melatihnya bersama sabuk putih.
     Sebelum ke dojo, saya ke dapur.  Sekedar berhasrat berkelakar dengan koki yang berparas manis.  Jika memandangnya sebelum saya cuci muka di waktu pagi, terlihat wajahnya steril dosa dan noda.  Mungkin ia lahir kala cahaya purnama menerangi Bumi.  Mustahil lahir di bawah sinar sang Surya yang memanggang kulit.
     Menggoda cewek seolah mengendurkan syaraf supaya tak tegang bila kumite alias sparring.  Tidak pula gampang takluk lantaran takut oleh struktur ketegangan tinggi.  Di samping itu, menjadi manifestasi kekuatan sensualitas.
     Saya memanggil gadis koki yang bertubuh sintal dengan kulit jernih.  Membisiknya bahwa nanti saya ingin punya 100 anak.  Ia terkesiap.  Matanya melotot dengan mulut melongo.  "Melahirkan 10 anak saja seperti mau mati, apa lagi 100".

Adegan VI
     Pada Senin, 24 Maret 1986, terlaksana Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).  Pesantren IMMIM menjadi tuan rumah bagi Madrasah Muallimat Aisyiyah serta Pesantren Gombara.
     Tatkala istirahat ujian, saya menggandeng jemari Firdaus, putra ustaz Syukri Basondeng.  Saya menuntunnya berkeliling seputar anjung peranginan Majelis Guru.  Seorang siswi Muallimat memperhatikanku dengan tatapan dongkol.  Gayaku menyakitkan hatinya.
     Lagak cuekku yang dibencinya berakhir tragis.  Hatinya luluh bak salju ditimpa panas terik Mentari.  Di hari terakhir Ebtanas, kami saling berfoto dan bertukar alamat.  Sesekali tangan kami bersilaturrahim halal alias bersenggolan ala kadarnya.  Walau hanya sentuhan ringan, namun, rasanya bagai berada di pucuk langit ketujuh.
     Pada Kamis, 15 Mei 1986, siswi Muhammadiyah tersebut termangu, heran campur takjub.  Ia seolah dalam mimpi dengan momen indah yang sekarang kami arungi berdua.
     "Saya tak percaya ini terjadi.  Dulu saya gemas melihat gayamu sampai mau mencekikmu".

Adegan VII
     Dalam suasana libur pada Jumat, 16 Desember 1983, saya bersama sejumlah juru masak ke aula.  Kami main kartu.  Koki bernama Rusymi lantas menuding saya.
     "Ini Haris pacaran cuma matanya, bukan hatinya.  Jadi kalau lihat cewek cantik, pasti kecantol lagi".

Adegan VIII
     Saya bersama Mukbil (Angkatan 87) seatap ustaz Abdul Kadir Massoweang serta ustaz Abdul Kadir Kasim di Wisma Guru yang terletak di Jalan Bugis.  Meski serumah dengan wakil pimpinan kampus dan kiai, saya tetap kasak-kusuk.  Saban hari bereksperimen mengakali aturan agar tetap pada khittah aktivitasku yang bebas tanpa batas.
     Pelajaran ekstrakurikuler yang saya tekuni selain bolos ialah mengganggu koki montok nan mulus.  Mujur sekali nasibku berkat jendela belakang mes koki tepat di depan Wisma Guru.  Mudah bermain mata.  Mantang yang chef aula akhirnya menegur saya supaya tidak mengusik staf dapur.  Masalah pun muncul.
     Pagi pada Ahad, 4 Desember 1983, ustaz Kadir Massoweang tertegun di kamar mandi.  Drum kosong.  Ember juga kosong, tak ada air.  Selama ini, air berlimpah laksana berada di area baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri dambaan dengan selaksa berkah).  Saya atau Mukbil cukup berseru ke juru masak lewat jendela agar mengalirkan air.  Kini, teriakan saya tidak digubris, dianggap desir angin yang mengandung bakteri jahat.  Mukbil pun begitu.  Suaranya malahan parau akibat memekik-mekik minta air.
     "Kenapa tidak ada air?", tanya ustaz Kadir.
     "Koki marah, ustaz", jawab Mukbil.
     "Kenapa?"
     "Gara-gara Haris.  Dia tolak cintanya koki".


Jumat, 07 Mei 2021

Celoteh ala Santri


Celoteh ala Santri
Oleh Abdu Haris Booegies


     Bila mengenang hari-hari di Pesantren IMMIM, saya seolah memandang panorama di hari cerah.  Kesan suka-cita menonjol, laksana api unggun di tepi pantai.  Tidak ada duka-lara, walau dulu sengsara akibat aturan.
     Selama menghuni pondok, beragam pengalaman datang silih berganti.  Saya tergolong beruntung dalam putaran peristiwa.  Pasalnya, sebagian besar jejak terekam dalam teks.  Sejak kelas II sampai tamat, saya menulis buku harian.  Diari ini ibarat tangki berkas bagi segala rahasia santri.  Di samping itu, saya punya potret diri sekitar 200 lembar.
     Dalam menyusuri kehidupan di Kampus Tamalanrea, saya mencatat beberapa pernyataan serius maupun obrolan kasual.  Termasuk sejumlah persoalan bahasa yang melingkupi Angkatan 86 di periode akhir 1980.
     Syahdan di suatu hari, guru sedang menerangkan belalang.  Tiba-tiba seorang santri menyeletuk dengan suara nyaring melafalkan "oddo".  Kelas riuh mendengar kata "oddo" yang bermakna belalang.  Sejak itu, santri bersangkutan dipanggil Oddo.
     Kala belajar bahasa Arab di Masjid ath-Thalabah, ustaz Ibrahim Halim Tanro sempat menyitir jangkrik.  Ustaz lantas bertanya ke santri asal Sulawesi Tenggara.
     "Apa nama jangkrik di daerahmu?"
     "Kariri", jawabnya malu-malu.
     Santri ini lalu dinamakan kariri, si Jangkrik.  Sebutan tersebut rupanya kurang nyaman baginya.  Ia malas meladeni rekan yang memanggilnya kariri.
     Di Rayon Datuk Ribandang, saya sekamar Abdul Hafid.  Di asrama inilah muasal Hafid dinamakan Ambe Minang.  Ceritanya, ibunda Hafid membawa lemari usai Dhuhur.  Di laci lemari itu ada ketam, perkakas pelicin kayu.  Ketam tersebut lupa diambil perakit lemari.  Beberapa menit kemudian, seorang santri asal Enrekang memanggil Hafid dengan Ambe Minang.
     Siapa sesungguhnya Ambe Minang?  Dugaan saya, itu nama tukang kayu.  Ketika santri tersebut melihat ketam di laci, ia mungkin ingat tukang kayu di kampungnya.  Hafid akhirnya kena bully secara verbal.  Ia korban cercaan.  Namanya pun berubah Ambe Minang gara-gara ulah ugal-ugalan.  Ini saga sial yang membawa malang nama baik Havid de Berru, gitaris picisan Angkatan 86.

Bahasa Ararea
     Hikayat masih seputar penghuni asrama Datuk Ribandang yang legendaris.  Seorang santri bertugas membersihkan kamar.  Ia berjalan di sekeliling bilik mencari sapu.
     Capek mondar-mandir.  Kini, putus asa menjalar di batinnya lantaran tak menemukan sapu.   Ia menghela nafas.  Di serambi, ia berdiri dengan pandangan nanar sembari berujar: "Uridu miknasah!  Ghairu maujud uknus!"
     Keluhannya dalam bahasa Arab didengar pembina kamar yang berasal dari Gowa.  Ia tersenyum menyimaknya.  Kalimat sungsang itu langsung membahana ke segenap kamar.  Santri tergelak-gelak mendengarnya.  Maklum, celoteh via bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) tersebut terbalik dalam penempatan kata benda serta kata kerja.  Miknasatun artinya alat penyapu lantai.  Sedangkan uknus merupakan kata kerja perintah (fi'il amr) untuk menyapu.
     Tragedi "uridu miknasah" yang menjelma komedi berkepanjangan, memaklumatkan ikhtiar besar.  Seorang bocah kelas I SMP yang sejak lahir berbahasa Makassar dan Indonesia, lugas berkomunikasi dengan bahasa Arab, sekalipun salah.  Ini prestasi, bukan pencapaian medioker.
     Kalau bahasa asing yang diucapkan terdengar kocak, tentu bukan perkara konyol yang harus diolok-olok.  Selama maksud tercapai, berarti komunikasi telah mantap sebagai alat pergaulan.
     Pada 15 Juni 1992, Wakil Presiden Amerika Serikat Dan Quayle dicemooh secara mondial karena silap mengeja potato (kentang).  Ia mengoreksi William Figeuroa, murid kelas VI SD Mott, New York.
     Quayle menyuruh Figeuroa menambahkan e di akhir potato, jadi potatoe.  Ini klarifikasi hiperkorek.
     Presiden Donald Trump malahan tidak luput dari kesilapan.  Collution (kongkalikong) ditulis colusion.  Trump juga salah lafal dengan kata honor (kehormatan).  Ia mencicit cuit di Twitter dengan kata honered.  Semestinya honored.
     Trump pernah pula keliru menulis gelar Pangeran Charles.  Ia menyebutnya Prince of Whales.  Padahal, Prince of Wales.  Lebih parah, Trump salah mengeja nama bininya.  Ia tulis Melanie, bukan Melania.
    Trump saja yang memiliki akses ke kode nuklir, berkali-kali khilaf.  Apa lagi santri kelas I Tsanawiyah.  Elemen ini menandaskan bahwa bahasa Trumpian selevel Ararea alias bahasa Arab Tamalanrea.

Jorok Seronok
     Alkisah, tiga tahun berselang.  Istilah oddo, Ambe Minang serta "uridu miknasah" tetap populer, kecuali kariri yang punah dalam pergaulan.  Tatkala tamat Tsanawiyah, santri yang dipanggil Oddo tak lagi di pesantren.  Ia keluar.  Kendati begitu, nama Oddo tetap disematkan pada dirinya.
     Saat tertoreh sebagai santri Aliyah, Angkatan 86 tidak punya lagi kasus bahasa.  Penamaan khusus kepada sahabat sudah mustahil.  Menamakan seseorang dengan sesuatu dapat menimbulkan ketersinggungan.  Thriller yang full action bisa saja terjadi.  Musababnya, amarah gampang terlecut karena masa puber telah tiba.  Santri Aliyah enteng beringas.  Soalnya, masing-masing memiliki kelompok.  Mereka punya dunia tersendiri yang sarat rupa-rupa warna.
     Ada segelintir mitra dianugerahi keunikan dalam bercakap-cakap.  Bahasanya keluar dari pakem.  Tidak baku.
     Jika mengobrol dengan Ahmad Natser, saya senantiasa terkesan dengan gaya bahasanya.  Ia memiliki dua kata yang merupakan ciri khas.
     Bila ada ajakan untuk ke suatu tempat, Natser merespons dengan kata "yuk".  Bukan "ayo".  Kalau ia setuju dengan suatu pernyataan, maka, Natser menanggapi dengan kata "yap".
     Tiada data resmi di kantongku dari mana sumber "yap" ala Natser.  Barangkali itu tiruan yup dari bahasa Inggris yang bermakna okey atau yes.
     Saya pernah bingung ketika memilih baju bermotif menyala.  Hafid menegur bahwa itu menjorok sekali.  Apa maksud menjorok untuk baju seronok?  Maksudnya mungkin mencolok, mencocok pandangan akibat berlebih-lebihan alias seronok.


Selasa, 04 Mei 2021

Hidangan ala Santri


Hidangan ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


    Makanan di Pesantren IMMIM tersaji dengan ciri sederhana.  Dalam sepekan, hidangan yang digilir antara lain tembang goreng, ikan kering, teri, tempe, sup, sayur serta sambal.
     Makanan ini awalnya menyenangkan.  Seiring waktu, mulai terasa berat masuk ke mulut.  Tenggorok agak sesak menelannya.
     Pada pertengahan 1980 setelah dua pekan di pesantren sebagai santri baru, kami libur.  Saya ke kolam renang Mattoangin karena masih terdaftar sebagai anggota klub Tenrikala.  Pelatih heran melihat penampilanku lantaran pucat dan kurus.  Ia mengira saya sakit.
     Pada 1982, ayahanda Mahmuddin Akil (Angkatan 88) bertanya kepada saya.  Apa saja menu di pesantren?  Sebab, ia heran melihat Mahmuddin berubah kurus.  "Matanya saja yang kelihatan", bebernya.  "Matanya saja yang kelihatan" merupakan eufemisme untuk kerempeng.  Istilah ini jamak terdengar di Sidrap untuk menunjukkan fisik yang kurus kering.
     Sesungguhnya, hidangan pesantren menjadi masalah kolektif hanya di bulan pertama.  Sesudah itu, semua lancar.  Dari hari ke hari, makanan tersebut akhirnya ikhlas bersahabat-karib dengan perut.  Urusan dapur inilah yang membuat santri kaya dengan kenangan.  Memori lain lepas-lepas, tetapi, kesan di dapur dibawa sampai uzur.  Tetap tergiang sampai kini, hari ini.

Sokko Favoritku
     Tatkala masih kelas I, sarapan ada tiga macam dalam sepekan.  Nasi, nasi ketan (sokko) serta bubur kacang hijau.  Naik kelas II, bubur tidak ada.  Beberapa hari berselang, sokko juga menghilang.  Padahal, sokko kegemaranku.
     Tak pernah terkuak misteri sokko dan bubur yang lenyap sampai saya bercengkerama dengan Imran Setiadi pada akhir 1981.  Imran bercerita bahwa ia sangat suka bubur.
     Sekali peristiwa, ia menikmati bubur di kamarnya di Rayon Sultan Hasanuddin.  Saat sedang mengunyah, tiba-tiba ia merasa menggigit sesuatu yang kenyal.  Imran langsung memuntahkan.  Ia mengamati benda itu.  Ternyata Imran memamah kecoak yang terbenam di bubur.  Kecoak malang tersebut hancur terkunyah.  Perut serangga sial itu tampak putih akibat terburai oleh gigitan.
     Sore, Imran langsung ke rumahnya.  Ia mewartakan kepada ayahnya perihal perkara yang dialaminya.  Tadi pagi mengunyah kecoak yang terkubur di bubur.  Sang ayah bergegas menemui pimpinan kampus agar memperhatikan secara saksama kebersihan dapur.

Menu Royal
     Pada 1981 kala kelas II, hidangan saya mulai enak.  Koki bernama Mantang tampil luwes sebagai pejuang hak-hak perutku.  Tiap hari saya diberi lauk-pauk istimewa seperti bandeng goreng serta telur.  Biasanya bersama Muhammad Thantawi menghabiskan ransum pemberian Mantang.  Saya akhirnya ogah ke dapur.
     Apes bagi saya ketika kelas III.  Pada Jumat, 4 Maret 1983, Mantang dikeluarkan gara-gara berkelahi dengan Sara', sesama koki.  Saya sempat menggerutu dalam hati, mengapa cuma Mantang.  Seharusnya lawannya ikut dipecat.
     Pagi pada Ahad, 6 Maret 1983, saya terpaksa ke dapur.  Saya mirip anak kelas I saat berada di ruang makan.  Saya kikuk, seperti tidak familier di dapur.  Rasa canggung merayap di tubuh.  Di mana mesti menyodorkan piring untuk mengambil jatah nasi?  Segelintir koki yang bertugas tertawa geli memandangku.
     Derita saya hanya sebentar, tak berlarut-larut ditimpa lara.  Pada Selasa, 11 Oktober 1983, saya bersua Mantang.  Ia rupanya telah berada di pondok sejak Jumat lalu.  Mantang dipanggil guna menangani kantin.  Ia menjual sup.  Sejak itu, tiap pagi dapat sup gratis.  Saya gaib lagi di dapur.
     Puncaknya, Mantang diamanahkan menangani konsumsi peserta pelatihan penyuluh pertanian, perkebunan dan BKKBN.  Para peserta merupakan pegawai yang berasal dari daerah di Sulawesi Selatan.  Acara ini diadakan di aula pesantren.  Saya terciprat rezeki besar.  Mendadak makananku ala restoran, level top.  Saya tenggelam dalam semesta kelezatan.  Ada ayam goreng, sup bening, daging masak, gulai daging, kari, kue serta pisang.
     Selama tertera sebagai santri aliyah, hidangan tidak lagi memusingkan sampai usus penyok.  Bila rombongan pelatihan selesai, biasanya sepekan kemudian masuk lagi kontingen lain.  Di masa vakum tersebut, saya ke Pasar Barata menikmati nasi goreng.  Terkadang pula ke Sanabo makan coto.  Sanabo terletak di sudut belakang kampus.  Di situ juga ada mie goreng.
     Jika malas keluar pondok, saya ke dapur.  Kehadiran di ruang makan membuat sebagian teman heran.  Wajahku asing di dapur.  "Kenapa ada di sini?  Biasanya kamu makan di aula".
     Kalau saya bolos pergi nonton, maka, Ahmad Natser bermurah hati mengambilkan jatahku di Mantang.  Ia selalu menyimpan ransumku di lemari.
     Selepas Isya pada Kamis, 1 Maret 1984, saya, Lukman Sanusi, Sukwan dan Zulkifli main kartu.  Ini malam Jumat yang merupakan akhir pekan dalam tradisi pesantren.  Banyak santri pulang.
     Pukul 21.00, Natser bersama Hesdy Wahyuddin membopong beragam santapan ke kamar dari Mantang.  Kami puas melahapnya sampai pusar mengkilap.  Lama baru bisa bergerak karena kekenyangan.
     Di suatu pagi nan ceria pada Senin, 2 Januari 1984, Mantang memperkenalkan saya dengan cewek.  Sejak itu, ia sering ke pesantren.  Sontak staf konsumsi aula terusik karena berisik.  Sementara ustaz Saifullah sebagai pimpinan kampus, gerah dengan ulahku.  Sebagian menuduh saya yang menyuruh dara manis itu ke kampus.  Saya mengelak tudingan.  Tak pernah menyuruh gadis tersebut ke pesantren.
     Asmara kian terendus karena memanas menderu-deru.  Bahkan, ibu Nurbaya di bagian administrasi tahu jalinan muda-mudi ini.  Merasa terpojok, saya lantas menyalahkan Mantang.  Ia wajib bertanggung jawab lantaran berperan sebagai makcom
lang (wasiithu-zaawaj).


Senyum Tiada Terlupa


Senyum Tiada Terlupa
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1981, Pesantren IMMIM kedatangan guru istimewa.  Namanya ibu Syamsinah.  Ia wanita guru pertama di Kampus Tamalanrea.  Ibu Syamsinah orang Sidrap, sekampung dengan saya.
     Saat kelas III, saya bersama empat Angkatan 85 bersilaturrahmi di kediamannya.  Ia berdomisili di sebuah bentala sebelum Kota Daya.
     Ibu Syamsinah selalu membantu saya di kelas.  Ia figur sejati guru.  Ia pendidik, orangtua sekaligus kakak bagi saya.
     Dari lubuk hati terdalam, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Syamsinah.  Perhatian, kasih sayang dan senyumnya selama saya belajar di pondok selalu terkenang.
Terima kasih, Bu...


Senin, 03 Mei 2021

Inovasi Tradisi


Inovasi Tradisi
Oleh Abdul Haris Booegies


     Termaktub beberapa guru berlabel legenda di Pesantren IMMIM.  Satu di antaranya yakni Prof Dr H Azhar Arsyad MA.  Visinya sangat kuat dengan basis spiritual kokoh.  Gagasan-gagasannya membumi.  Ia jenius dalam perkara pendidikan.
     Saat mengasuh majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin pada 1990, saya mewawancarai ustaz Azhar perihal pendidikan di Indonesia, khususnya Makassar.  Ketika itu, ia menjabat direktur Pesantren IMMIM.
     Dalam bincang-bincang tersebut, terkuak kalau ustaz Azhar bertekad merombak budaya Kampus Tamalanrea.  Ia berniat merenovasi tradisi agar pesantren terus melaju.  Wajib menggaungkan inovasi di tengah pertumbuhan pondok-pondok keislaman.  Contoh perubahan yang dilakukan yaitu jadwal makan malam dimajukan sebelum Maghrib.  Busana ke masjid diimbau baju koko putih.
     Suasana kantor direktur diremajakan.  Ustaz Azhar mengangkut sofa dari rumahnya ke ruang direktur.  Penampilan pesantren tampak berwarna oleh sentuhan ustaz Azhar.  Sebab, ia andal merancang perubahan berkat kerangka berpikirnya tajam.
     Ustaz Azhar merupakan sosok lembut dengan karakter prima.  Ia senantiasa menuntaskan masalah tanpa riak.  Ustaz Azhar mahir membangun hubungan antarpersonal.  Ia jauh dari kontroversi serta santapan lezat ahlul bual bani nyinyir.  Bekerja di bawah arahannya selalu menyenangkan.  Pasalnya, ia pribadi yang teramat teliti dan jeli.
     Terkenang tatkala ustaz Azhar memanggil saya ke rumahnya pada 1990.  Ada persoalan yang sedang dihadapi.  Oknum qismul aman (seksi keamanan) memukul dada seorang santri yang membuatnya sesak nafas.  Di luar dugaan, santri ini bukan sembarang bocah.  Ayahnya polisi, ibunya jaksa serta pamannya wartawan.  Kombinasi ideal yang betul-betul menggetarkan nyali.
     Di kediaman ustaz Azhar di Jalan Hertasning, saya merangkai catatan.  Ini bantahan untuk berita yang mendiskreditkan pesantren.  Beberapa pilihan kata yang saya lampirkan rupanya kurang diminati ustaz Azhar.  Soalnya, tak taat kaidah bahasa.  Bahkan, terkesan agresif.
     Saya menerangkan bahwa bahasa pers kadang keluar dari aturan bahasa.  Ciri utama bahasa pers ialah langsung mengerti dalam sekali baca.  Pilihan kata pun tidak mesti baku, yang penting lazim di masyarakat.
     Dulu ustaz Azhar mengajar saya bahasa Inggris.  Kini, saya yang berkhotbah tentang bahasa pers.


Amazing People