Hidangan ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies
Makanan di Pesantren IMMIM tersaji dengan ciri sederhana. Dalam sepekan, hidangan yang digilir antara lain tembang goreng, ikan kering, teri, tempe, sup, sayur serta sambal.
Makanan ini awalnya menyenangkan. Seiring waktu, mulai terasa berat masuk ke mulut. Tenggorok agak sesak menelannya.
Pada pertengahan 1980 setelah dua pekan di pesantren sebagai santri baru, kami libur. Saya ke kolam renang Mattoangin karena masih terdaftar sebagai anggota klub Tenrikala. Pelatih heran melihat penampilanku lantaran pucat dan kurus. Ia mengira saya sakit.
Pada 1982, ayahanda Mahmuddin Akil (Angkatan 88) bertanya kepada saya. Apa saja menu di pesantren? Sebab, ia heran melihat Mahmuddin berubah kurus. "Matanya saja yang kelihatan", bebernya. "Matanya saja yang kelihatan" merupakan eufemisme untuk kerempeng. Istilah ini jamak terdengar di Sidrap untuk menunjukkan fisik yang kurus kering.
Sesungguhnya, hidangan pesantren menjadi masalah kolektif hanya di bulan pertama. Sesudah itu, semua lancar. Dari hari ke hari, makanan tersebut akhirnya ikhlas bersahabat-karib dengan perut. Urusan dapur inilah yang membuat santri kaya dengan kenangan. Memori lain lepas-lepas, tetapi, kesan di dapur dibawa sampai uzur. Tetap tergiang sampai kini, hari ini.
Sokko Favoritku
Tatkala masih kelas I, sarapan ada tiga macam dalam sepekan. Nasi, nasi ketan (sokko) serta bubur kacang hijau. Naik kelas II, bubur tidak ada. Beberapa hari berselang, sokko juga menghilang. Padahal, sokko kegemaranku.
Tak pernah terkuak misteri sokko dan bubur yang lenyap sampai saya bercengkerama dengan Imran Setiadi pada akhir 1981. Imran bercerita bahwa ia sangat suka bubur.
Sekali peristiwa, ia menikmati bubur di kamarnya di Rayon Sultan Hasanuddin. Saat sedang mengunyah, tiba-tiba ia merasa menggigit sesuatu yang kenyal. Imran langsung memuntahkan. Ia mengamati benda itu. Ternyata Imran memamah kecoak yang terbenam di bubur. Kecoak malang tersebut hancur terkunyah. Perut serangga sial itu tampak putih akibat terburai oleh gigitan.
Sore, Imran langsung ke rumahnya. Ia mewartakan kepada ayahnya perihal perkara yang dialaminya. Tadi pagi mengunyah kecoak yang terkubur di bubur. Sang ayah bergegas menemui pimpinan kampus agar memperhatikan secara saksama kebersihan dapur.
Menu Royal
Pada 1981 kala kelas II, hidangan saya mulai enak. Koki bernama Mantang tampil luwes sebagai pejuang hak-hak perutku. Tiap hari saya diberi lauk-pauk istimewa seperti bandeng goreng serta telur. Biasanya bersama Muhammad Thantawi menghabiskan ransum pemberian Mantang. Saya akhirnya ogah ke dapur.
Apes bagi saya ketika kelas III. Pada Jumat, 4 Maret 1983, Mantang dikeluarkan gara-gara berkelahi dengan Sara', sesama koki. Saya sempat menggerutu dalam hati, mengapa cuma Mantang. Seharusnya lawannya ikut dipecat.
Pagi pada Ahad, 6 Maret 1983, saya terpaksa ke dapur. Saya mirip anak kelas I saat berada di ruang makan. Saya kikuk, seperti tidak familier di dapur. Rasa canggung merayap di tubuh. Di mana mesti menyodorkan piring untuk mengambil jatah nasi? Segelintir koki yang bertugas tertawa geli memandangku.
Derita saya hanya sebentar, tak berlarut-larut ditimpa lara. Pada Selasa, 11 Oktober 1983, saya bersua Mantang. Ia rupanya telah berada di pondok sejak Jumat lalu. Mantang dipanggil guna menangani kantin. Ia menjual sup. Sejak itu, tiap pagi dapat sup gratis. Saya gaib lagi di dapur.
Puncaknya, Mantang diamanahkan menangani konsumsi peserta pelatihan penyuluh pertanian, perkebunan dan BKKBN. Para peserta merupakan pegawai yang berasal dari daerah di Sulawesi Selatan. Acara ini diadakan di aula pesantren. Saya terciprat rezeki besar. Mendadak makananku ala restoran, level top. Saya tenggelam dalam semesta kelezatan. Ada ayam goreng, sup bening, daging masak, gulai daging, kari, kue serta pisang.
Selama tertera sebagai santri aliyah, hidangan tidak lagi memusingkan sampai usus penyok. Bila rombongan pelatihan selesai, biasanya sepekan kemudian masuk lagi kontingen lain. Di masa vakum tersebut, saya ke Pasar Barata menikmati nasi goreng. Terkadang pula ke Sanabo makan coto. Sanabo terletak di sudut belakang kampus. Di situ juga ada mie goreng.
Jika malas keluar pondok, saya ke dapur. Kehadiran di ruang makan membuat sebagian teman heran. Wajahku asing di dapur. "Kenapa ada di sini? Biasanya kamu makan di aula".
Kalau saya bolos pergi nonton, maka, Ahmad Natser bermurah hati mengambilkan jatahku di Mantang. Ia selalu menyimpan ransumku di lemari.
Selepas Isya pada Kamis, 1 Maret 1984, saya, Lukman Sanusi, Sukwan dan Zulkifli main kartu. Ini malam Jumat yang merupakan akhir pekan dalam tradisi pesantren. Banyak santri pulang.
Pukul 21.00, Natser bersama Hesdy Wahyuddin membopong beragam santapan ke kamar dari Mantang. Kami puas melahapnya sampai pusar mengkilap. Lama baru bisa bergerak karena kekenyangan.
Di suatu pagi nan ceria pada Senin, 2 Januari 1984, Mantang memperkenalkan saya dengan cewek. Sejak itu, ia sering ke pesantren. Sontak staf konsumsi aula terusik karena berisik. Sementara ustaz Saifullah sebagai pimpinan kampus, gerah dengan ulahku. Sebagian menuduh saya yang menyuruh dara manis itu ke kampus. Saya mengelak tudingan. Tak pernah menyuruh gadis tersebut ke pesantren.
Asmara kian terendus karena memanas menderu-deru. Bahkan, ibu Nurbaya di bagian administrasi tahu jalinan muda-mudi ini. Merasa terpojok, saya lantas menyalahkan Mantang. Ia wajib bertanggung jawab lantaran berperan sebagai makcomlang (wasiithu-zaawaj).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar