Jumat, 07 Mei 2021

Celoteh ala Santri


Celoteh ala Santri
Oleh Abdu Haris Booegies


     Bila mengenang hari-hari di Pesantren IMMIM, saya seolah memandang panorama di hari cerah.  Kesan suka-cita menonjol, laksana api unggun di tepi pantai.  Tidak ada duka-lara, walau dulu sengsara akibat aturan.
     Selama menghuni pondok, beragam pengalaman datang silih berganti.  Saya tergolong beruntung dalam putaran peristiwa.  Pasalnya, sebagian besar jejak terekam dalam teks.  Sejak kelas II sampai tamat, saya menulis buku harian.  Diari ini ibarat tangki berkas bagi segala rahasia santri.  Di samping itu, saya punya potret diri sekitar 200 lembar.
     Dalam menyusuri kehidupan di Kampus Tamalanrea, saya mencatat beberapa pernyataan serius maupun obrolan kasual.  Termasuk sejumlah persoalan bahasa yang melingkupi Angkatan 86 di periode akhir 1980.
     Syahdan di suatu hari, guru sedang menerangkan belalang.  Tiba-tiba seorang santri menyeletuk dengan suara nyaring melafalkan "oddo".  Kelas riuh mendengar kata "oddo" yang bermakna belalang.  Sejak itu, santri bersangkutan dipanggil Oddo.
     Kala belajar bahasa Arab di Masjid ath-Thalabah, ustaz Ibrahim Halim Tanro sempat menyitir jangkrik.  Ustaz lantas bertanya ke santri asal Sulawesi Tenggara.
     "Apa nama jangkrik di daerahmu?"
     "Kariri", jawabnya malu-malu.
     Santri ini lalu dinamakan kariri, si Jangkrik.  Sebutan tersebut rupanya kurang nyaman baginya.  Ia malas meladeni rekan yang memanggilnya kariri.
     Di Rayon Datuk Ribandang, saya sekamar Abdul Hafid.  Di asrama inilah muasal Hafid dinamakan Ambe Minang.  Ceritanya, ibunda Hafid membawa lemari usai Dhuhur.  Di laci lemari itu ada ketam, perkakas pelicin kayu.  Ketam tersebut lupa diambil perakit lemari.  Beberapa menit kemudian, seorang santri asal Enrekang memanggil Hafid dengan Ambe Minang.
     Siapa sesungguhnya Ambe Minang?  Dugaan saya, itu nama tukang kayu.  Ketika santri tersebut melihat ketam di laci, ia mungkin ingat tukang kayu di kampungnya.  Hafid akhirnya kena bully secara verbal.  Ia korban cercaan.  Namanya pun berubah Ambe Minang gara-gara ulah ugal-ugalan.  Ini saga sial yang membawa malang nama baik Havid de Berru, gitaris picisan Angkatan 86.

Bahasa Ararea
     Hikayat masih seputar penghuni asrama Datuk Ribandang yang legendaris.  Seorang santri bertugas membersihkan kamar.  Ia berjalan di sekeliling bilik mencari sapu.
     Capek mondar-mandir.  Kini, putus asa menjalar di batinnya lantaran tak menemukan sapu.   Ia menghela nafas.  Di serambi, ia berdiri dengan pandangan nanar sembari berujar: "Uridu miknasah!  Ghairu maujud uknus!"
     Keluhannya dalam bahasa Arab didengar pembina kamar yang berasal dari Gowa.  Ia tersenyum menyimaknya.  Kalimat sungsang itu langsung membahana ke segenap kamar.  Santri tergelak-gelak mendengarnya.  Maklum, celoteh via bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) tersebut terbalik dalam penempatan kata benda serta kata kerja.  Miknasatun artinya alat penyapu lantai.  Sedangkan uknus merupakan kata kerja perintah (fi'il amr) untuk menyapu.
     Tragedi "uridu miknasah" yang menjelma komedi berkepanjangan, memaklumatkan ikhtiar besar.  Seorang bocah kelas I SMP yang sejak lahir berbahasa Makassar dan Indonesia, lugas berkomunikasi dengan bahasa Arab, sekalipun salah.  Ini prestasi, bukan pencapaian medioker.
     Kalau bahasa asing yang diucapkan terdengar kocak, tentu bukan perkara konyol yang harus diolok-olok.  Selama maksud tercapai, berarti komunikasi telah mantap sebagai alat pergaulan.
     Pada 15 Juni 1992, Wakil Presiden Amerika Serikat Dan Quayle dicemooh secara mondial karena silap mengeja potato (kentang).  Ia mengoreksi William Figeuroa, murid kelas VI SD Mott, New York.
     Quayle menyuruh Figeuroa menambahkan e di akhir potato, jadi potatoe.  Ini klarifikasi hiperkorek.
     Presiden Donald Trump malahan tidak luput dari kesilapan.  Collution (kongkalikong) ditulis colusion.  Trump juga salah lafal dengan kata honor (kehormatan).  Ia mencicit cuit di Twitter dengan kata honered.  Semestinya honored.
     Trump pernah pula keliru menulis gelar Pangeran Charles.  Ia menyebutnya Prince of Whales.  Padahal, Prince of Wales.  Lebih parah, Trump salah mengeja nama bininya.  Ia tulis Melanie, bukan Melania.
    Trump saja yang memiliki akses ke kode nuklir, berkali-kali khilaf.  Apa lagi santri kelas I Tsanawiyah.  Elemen ini menandaskan bahwa bahasa Trumpian selevel Ararea alias bahasa Arab Tamalanrea.

Jorok Seronok
     Alkisah, tiga tahun berselang.  Istilah oddo, Ambe Minang serta "uridu miknasah" tetap populer, kecuali kariri yang punah dalam pergaulan.  Tatkala tamat Tsanawiyah, santri yang dipanggil Oddo tak lagi di pesantren.  Ia keluar.  Kendati begitu, nama Oddo tetap disematkan pada dirinya.
     Saat tertoreh sebagai santri Aliyah, Angkatan 86 tidak punya lagi kasus bahasa.  Penamaan khusus kepada sahabat sudah mustahil.  Menamakan seseorang dengan sesuatu dapat menimbulkan ketersinggungan.  Thriller yang full action bisa saja terjadi.  Musababnya, amarah gampang terlecut karena masa puber telah tiba.  Santri Aliyah enteng beringas.  Soalnya, masing-masing memiliki kelompok.  Mereka punya dunia tersendiri yang sarat rupa-rupa warna.
     Ada segelintir mitra dianugerahi keunikan dalam bercakap-cakap.  Bahasanya keluar dari pakem.  Tidak baku.
     Jika mengobrol dengan Ahmad Natser, saya senantiasa terkesan dengan gaya bahasanya.  Ia memiliki dua kata yang merupakan ciri khas.
     Bila ada ajakan untuk ke suatu tempat, Natser merespons dengan kata "yuk".  Bukan "ayo".  Kalau ia setuju dengan suatu pernyataan, maka, Natser menanggapi dengan kata "yap".
     Tiada data resmi di kantongku dari mana sumber "yap" ala Natser.  Barangkali itu tiruan yup dari bahasa Inggris yang bermakna okey atau yes.
     Saya pernah bingung ketika memilih baju bermotif menyala.  Hafid menegur bahwa itu menjorok sekali.  Apa maksud menjorok untuk baju seronok?  Maksudnya mungkin mencolok, mencocok pandangan akibat berlebih-lebihan alias seronok.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People