Senin, 26 Desember 2022

Pernikahan Perceraian


Pernikahan memadukan dua hati
Perceraian membebaskan kedua hati

(Abdul Haris Booegies)


Jumat, 23 Desember 2022

Beban Hidup Garis Nasib


Jangan meratapi beban hidup.  Di mana-mana manusia didera derita.  Tiap insan menjalani ujian hidup sesuai garis nasib
(Abdul Haris Booegies)


Gagasan Mengedepankan Manfaat


Sebuah gagasan harus diolah dengan mengedepankan manfaat bagi orang lain
(Abdul Haris Booegies)


Kamis, 22 Desember 2022

Saling Pengertian dalam Pernikahan

 

Saling Pengertian dalam Pernikahan
Pernikahan bukan sekedar prokreasi.  Pernikahan merupakan wadah untuk saling memahami dalam meniti masa depan.  Di hari tua, saling pengertian menjadi fondasi dalam menjalani periode akhir kehidupan yang terasa berat
(Abdul Haris Boogies)


Logika Memodifikasi Individu

 

Logika Memodifikasi Individu
Logika menciptakan harapan untuk memodifikasi individu dan merekayasa aktivitas
(Abdul Haris Boogies)


Rabu, 21 Desember 2022

Mengintip Putri Fir'aun


Mengintip Putri Fir'aun
Cerpen Abdul Haris Booegies


Hikayat Awal
     Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian tiba di Pesantren Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada pukul 23.15.  Kami tadi menonton Cleopatra di New Artis Theater.  Film ini dibintangi Elizabeth Taylor dengan sutradara Joseph L Mankiewicz.
     Tatkala keluar dari bioskop, turun hujan deras.  Kami lama menunggu mikrolet (petepete).  Semestinya mendarat di kampus sebelum jam 11 malam.  Hujan mengganggu jadwal kami.  Semoga makbul tanpa aral besok pada Jumat, 8 Maret 1985.
     Ketika sampai di depan pondok, hujan masih turun.  Bahkan, makin lama kian deras.  Air dari awan-gemawan ini diameter butirannya mencapai tujuh milimeter.
     Selepas meloncati pagar, kami menyusuri tanah berumput.  Walau tidak ada penerangan di tengah gelap yang membungkus langit, tetapi, kami enteng berjalan di sepetak ladang kecil.
     Badan basah kuyup.  Air berlelehan dari rambut ke kening.  Boleh jadi seluruh sekitar 550 santri terlelap di tengah cuaca dingin.  Ini termasuk keberuntungan bagi kami yang bolos.  Soalnya, tak ada penjagaan, terutama pimpinan kampus.  Kalau tertangkap basah kabur, niscaya kami diganjar hukuman.
     Di sudut Timur Laut laboratorium, Tirta serta Rian akan ke asrama Raja Khalik.  Hapip ke bangsal Imam Bonjol.  Sedangkan saya ke rayon Panglima Polem.
     Saat kami mengarah ke barak masing-masing, tiba-tiba ada kilau kerlap-kerlip di belakang laboratorium.  Sorot berpendar-pendar itu tidak jelas sumbernya.  Nyala cemerlang tersebut membentang bagai benda pipih sebesar lapangan basket.  Kami terkesima.
     "Ada sesuatu di sana, di tengah hujan", bisik Hapip.
     "Lailatul qadar", ujar Tirta.
     "Sekarang Kamis, 16 Jumadil Akhir 1405, bukan akhir Ramadan", ketus Rian.
     "UFO", gumamku.
     "Piring terbang.  Wujudnya bening, transparan", tutur Hapip.
     "Alien mau menginvasi Pesantren IMMIM", ujar Rian.
     "Ayo kita beri tahu pimpinan kampus seraya memanggil kawan-kawan", saran Tirta.
     "Jangan dulu mencari bantuan.  Kita saksi pertama, otomatis kita yang bakal diwawancarai jurnalis.  Kita masuk koran, majalah dan TV.  Kita akan termasyhur melebihi selebritas Hollywood", kataku menyeringai.
     "Bagaimana jika mereka ganas?"  Rian berbisik ragu.  Kami pun saling berpandangan.
     Mendadak terdengar suara berdesir, laksana gaung riak laut yang saling berkejar.  Kami merasakan embus hangat di tengah hujan lebat.  Perlahan, muncul sinar putih benderang.  Jasmani terasa sejuk ketika menatapnya.
     "Mereka memanggil kita", dengus Rian tanpa ekspresi.
     "Mana Alien yang memanggil kita?"  Hapip bertanya sambil memandang Rian.
     "Mereka memanggil kita", oceh Rian.
     "Rian terhipnotis.  Alien mengendalikan pikirannya!"  Tirta terpekik.  Kami sontak panik.  Saya mundur selangkah.  Melongo.
     Tahu-tahu semua seolah teduh.  Pikiran kami terbuai kedamaian.  Kami berempat beriringan ke arah lengkungan lebar bening yang berleleran cahaya.
     Setelah mendaki tangga, kami tiba di sebuah rongga besar.  Terasa lebih besar dari konfigurasi luar benda pipih ini.  Ini pasti dimensi spasial yang menjadi zona peristiwa-peristiwa dalam proses perjalanan waktu.  Ke mana mata menumpu, yang terlihat cuma sinar cerah.
     "Mana kapten bersama awak kapal?"  Hapip berceloteh.
     Sejurus berselang, terdengar suara parau.  Entah apa yang diucapkan.  Intonasinya kacau, tanpa irama.  Mirip gelombang-gelombang bunyi dengan getaran udara.  Ini tentu bahasa antarplanet di galaksi tetangga Bima Sakti.
     Kala berdenging kata "Abhab", lantai tempat kakiku berpijak langsung bercahaya turquoise atau toska.  Ini campuran warna biru, hijau serta kuning.  Begitu pula saat terdengar "Hapber".  Membuncah sinar toska dari tumpuan Hapip.  Ketika menggema istilah "Thirtae", dari bawah kaki Tirta menyembul cahaya toska.  Hal serupa terjadi saat terdengar "Anresk".  Merona toska dari landasan kaki Rian.
     "Sepertinya ini nama kita.  Barangkali dimodifikasi sesuai nama penduduk galaksi terjauh atau daerah lain", desis Tirta.
     Tiupan bayu dari sebuah lingkaran lantas mendorong kami.  Makin lama, kian kencang.  Kami berusaha bertahan, namun, dorongan angin makin pesat.
     "Mereka menyuruh kita keluar dari pesawat", ujar Rian.  Kami pun turun.
     "Sudah pagi, tetapi, ini di mana?"  Hapip bersoal dengan nada takjub setelah pesawat Alien melesat pergi.
     "Kita di Giza!", pekikku.
     "Dari mana kau tahu?"  Tirta bertanya sembari matanya tertuju padaku.
     "Mendongaklah, kita tepat di bawah kepala Sphinx, Abu al-Huwl (أبو الهول)‎", terangku.
     Hapip, Tirta dan Rian kemudian berlari seolah hendak memutari kaki Sphinx.  Ketiganya serentak berhenti di sudut.
     "Benar, kita di Mesir.  Lihat, itu Piramida", seru Rian.
     Empat Piramida besar tampak anggun.  Dinding luar yang berlapis batu kapur terkesan licin, jernih serta mengkilap.  Menyilaukan mata karena memantulkan sinar Surya.  Pucuk Piramida terbuat dari emas.  Kawasan di Tepi Barat sungai Nil ini begitu elok, bak permata kalimaya susu di jantung Afrika.
     "Mengapa ada empat Piramida raksasa di Dataran Giza?  Bukan tiga sebagaimana dilaporkan sejarah", cetus Tirta.
     "Ini berarti kita terdampar di masa baheula.  Kita di tahun 1638 sebelum Masehi.  Buktinya, Piramida keempat yang kehitaman tersebut menunjukkan bila proyek itu baru selesai didirikan.  Situs monumental ini merupakan Menara Langit yang diongkosi oleh Qarun, bos kartel di Mesir.  Arsitek Mercu Cakrawala yakni Haman.  Menara Langit dibangun karena Fir'aun tergoda menyaksikan Tuhan yang disembah Nabi Musa", paparku.
     "Kita dalam bahaya besar.  Detasemen khusus Fir'aun pasti membunuh kita kalau ketahuan", pekik Hapip.
     "Mengapa metropolis ini sepi?"  Tirta bergumam.
     "Ini kerajaan besar.  Kehidupan warga begitu sistematis sekaligus ritmis.  Mesir merupakan superpower pada empat milenium silam, namun, kenapa tak ada vitalitas.  Tidak ada aktivitas?  Segalanya lesu ibarat pilar-pilar balairung yang pucat.  Mana 600 ribu serdadu Fir'aun.  Mana pengawal yang menjaga kastel maupun harem", Hapip bersoal secermat mungkin.
     "Saya paham jawabannya.  Hari ini Jumat pagi.  Beberapa menit lalu Fir'aun mati tenggelam di Laut Merah.  Inilah yang menyebabkan distrik megah dan mewah ini sepi.  Segenap 600 ribu prajurit dirajam maut oleh gulungan ombak yang membuncah tiada henti", terangku.
     "Jika begitu, mari ke harem.  Mengintip lebih 200 selir Fir'aun.  Mereka pasti kesepian", saran Hapip.
     "Sebaiknya kita ke istana bermenara ungu itu.  Di situ apartemen 53 putri Fir'aun", usulku.
     "Ini saran berbahaya.  Leher bisa ditebas putus gara-gara masuk ke bilik anak gadis Fir'aun", sergah Tirta.
     "Kamu membahayakan keselamatan demi mengintip", sembur Rian.
     "Kita mustahil dipenggal.  Sebab, sore nanti bangsa Hyksos bakal melancarkan kudeta.  Seluruh gundik serta putri Fir'aun dijadikan selir oleh para pemimpin baru Mesir.  Deretan antek Fir'aun disembelih seperti domba.  Takhta Fir'aun khatam di senja kelabu nanti.  Kekuasaan absolut yang sesungguhnya menghancurkan kesadaran dan pikiran Fir'aun.  Akibatnya, ia terjebak dalam perangkap obsesi.  Fir'aun memanipulasi budaya spiritual rakyat lantaran ia terperosok dalam struktur paranoid", jawabku antusias.
     "Jadi kita sekarang ke kamar putri?", Hapip bersemangat minta persetujuan.
     "Jauh-jauh ke Mesir hanya untuk mengintip", gerutu Tirta.
     "Kita ke arah Selatan agar tak dipergoki kasim pengawal pribadi putri-putri Fir'aun.  Di sana ada terowongan, tidak jauh dari anak sungai Nil.  Di dekatnya terhampar kebun-kebun.  Waktu kita panjang.  Ayo menikmati buah-buahan sebelum menerobos ke bilik anak gadis Fir'aun", kataku tersenyum seraya menunjuk menara ungu puri putri sang kaisar.
     "Apakah putri Fir'aun, cantik?  Fir'aun kan jelek, botak serta kurus", urai Hapip.
     "Di dunia ini, tak ada diktator yang tampan",  tandasku.
     "Saya berharap putri Fir'aun yang akan diintip berparas jelita.  Tidak sama Cleopatra yang dianggap simbol seks dari zaman lampau di era ultramodern.  Payudaranya saja yang ranum menawan, tetapi, wajahnya biasa saja", keluh Hapip.
     "Putri Fir'aun rata-rata cantik.  Paling ayu bernama Ulen.  Ia idaman sejati metroseksual.  Celaknya tebal untuk mengurangi silau Matahari.  Bodinya molek dengan aroma wangi semerbak.  Di leher jenjangnya, tergantung kalung manik berhias liontin berbentuk Bulan.  Ulen teramat spesial, sangat art deco.  Ia sedang mekar-mekarnya.  Berusia 16 tahun.  Ulen bagianku", ungkapku malu-malu.
     Kami lantas berjalan ke sebuah hamparan hijau sebelum menuju ke terowongan.  Ini kebun kerajaan dengan beragam buah.  Ada semangka yang merupakan favorit Fir'aun.  Buah lain di ladang kastel ini yaitu mentimun, lobak, lentil, selada, bawang merah dan bawang putih.  Di seputar lahan, terdapat anak sungai Nil.
     "Terusan yang membelah lanskap padang pasir ini panjangnya lebih enam kilometer.  Cabang ekstra ini dibuat untuk mengairi kebun serta taman.  Kanal ini juga menjadi bagian penting dalam pembangunan Piramida.  Pasir dari gurun diolah menjadi tanah liat berkat air dari sungai ini.  Para pekerja menggunakan kapal untuk mengirim material ke lokasi konstruksi.  Tak ada Piramida tanpa anak sungai ini", saya membeber maklumat sambil mencomot semangka bulat asal Sudan.
     "Mesir rupanya negeri subur nan permai", ujar Rian.
     "Menu Fir'aun terbilang selera modern.  Di sini ada molokhia, sup kental hijau.  Ini hidangan elite.  Sup bayam ini mampu memicu hasrat seksual.  Tidak heran bila Fir'aun memiliki 162 anak.  Di umur 15 tahun, ia telah punya empat anak.  Selain molokhia, ada pula roti yang terbuat dari gandum terbaik.  Adonannya dari tepung, ragi, rempah-rempah, garam, telur dan mentega.  Terkadang roti ini diisi kacang-kacangan atau sayuran.  Penganan ini menjelma roti manis kalau dioles madu serta kurma", ulasku merumuskan.
     Terdengar derap kuda di alun-alun.  Penunggangnya berteriak-teriak.  Sejumlah perempuan bersama anak-anak melongok dari pintu-pintu keraton.
     "Itu Yuta, keponakan Fir'aun", kataku.
     Ketika Yuta turun dari kuda, ia kian histeris sembari memekikkan nama Fir'aun.  Sementara wanita-wanita pecah tangisnya.
     "Apa yang terjadi?"  Tirta bertanya.
     "Kabar kematian Fir'aun sudah sampai", jawabku.
     "Bagaimana dengan rencana kita untuk mengintip putri Fir'aun?"  Hapip bersoal dengan mimik gundah.
     Seorang penunggang kuda muncul dari gerbang.  Busananya sarat warna, menyala.  Tipikal puak Hyksos.
     "Itu Sakir-Har, orang Hyksos.  Ia bergelar Akhekh alias Naga.  Pada burit yang kira-kira enam jam lagi, Sakir-Har bakal memimpin kudeta.  Ia merupakan kepala logistik di istana", tuturku.
     "Mengapa Sakir-Har kemari?"
     "Ia berpura-pura berbelasungkawa sebelum ke kaumnya di Avaris (Tell el-Dab'a) di Timur Laut Delta Nil.  Di sana, mereka menyusun makar guna menjatuhkan pemerintah yang sah".
     "Jika demikian, kita dalam bahaya besar.  Boleh jadi serangan tersebut kelak melukai kita", ujar Tirta.
     "Ada perahu agung bernama Bahtera Mentari berlabuh di anak sungai Nil di sisi Piramida Khufu, berkisar 300 meter dari sini.  Kapal itu diperuntukkan bagi mumi Fir'aun supaya bisa melayang ke angkasa menemui Ra, Dewa Matahari.  Bila Hyksos memburu kita, maka, mutlak ada perlawanan, sekecil apa pun.  Minimal melarikan diri dari ancaman kematian.  Tak boleh terpuruk dalam nasib nelangsa.  Ikhtiar wajib mengubah takdir.  Kita berkelana.  Ada negara di Afrika Barat yang bergelimang emas.  Kita rebut Bahtera Mentari untuk berlayar menyusuri sungai Nil mencari penghidupan baru di kerajaan Mali", jabarku berapi-api.
     "Kita ini santri IMMIM.  Saya rindu kembali ke Tamalanrea.  Rindu aroma akasia di depan asrama dan kelas.  Rindu tawa koki-koki Kumadang.  Rindu suara azan", rintih Rian.

Hikayat Tengah
     "Ogi, sudah azan Shubuh.  Apa kamu baik-baik saja?  Sejak tadi kamu, Hapip, Tirta serta Rian mondar-mandir tidak keruan di belakang laboratorium.  Adakah sesuatu yang kamu cari?"  Imran yang ketua qismul amni (seksi keamanan) mengulik tingkah kami.
     "Astaga, sudah subuh!  Kita di Tamalanrea!"  Dengkingku riang.  Hapip, Tirta dan Rian ikut girang, nyaris berjingkrak.
     "Bagaimana bisa kita ada lagi di sini?"  Terdengar tanya Rian dalam kebingungan.
     Saya mengingat-ingat, terkenang kejadian semalam saat UFO mendarat di belakang laboratorium.  Alien ternyata menelisik susunan sistem raga kami.  Makhluk luar angkasa tersebut merekonstruksi imajinasi serta individu berkat sumber daya yang dimiliki.  Ketika satu per satu nama didengungkan dengan Abhab, Hapber, Thirtae dan Anresk, spontan lampu turquoise menyala.  Di momen itu, Alien menyalin aspek anatomi, fisiologi, pikiran serta karakter kami untuk dikloning.
     Pascaproses pengambilan informasi genetik, maka, jasad asli kami kemudian didorong dengan semburan hawa agar meninggalkan pesawat cahaya.  Sedangkan tubuh dengan salinan identik dibawa menjelajah menembus sang kala.  Organisme yang baru menetas tersebut mengembara untuk berpetualang di periode sedetik setelah Fir'aun tewas.

Hikayat Akhir
     Siang pada Rabu, 21 Desember 2022, serombongan turis Denmark berkunjung ke kompleks pekuburan Mesir Kuno di dekat Step Pyramid of Djoser di nekropolis Saqqara.  Situs ini berjarak 24 km dari Barat Daya Kairo.  Seorang pelancong bertanya ke pemandu.
     "Siapa gerangan Abhab, Hapber, Thirtae dan Anresk yang muralnya terpampang di area pemakanan raja-raja Mesir purba ini?  Tampaknya figur ini orang asing, bukan penduduk asli Mesir bahari.  Apalagi, topinya sederhana".
     "Kuartet ini merupakan ahli nujum rezim Hyksos.  Legenda menukilkan kalau mereka dikirim oleh Dewa Ra.  Topi yang dikenakan namanya songkok".
     "Apakah keempatnya sejenis Alien yang dikirim Dewa Ra?"
     "Selama Hyksos berkuasa pada 1638 sebelum Masehi sampai 1530 sebelum Masehi, Abhab, Hapber, Thirtae serta Anresk sangat dihormati.  Apalagi, mereka menikah dengan putri-putri Fir'aun yang sudah puluhan tahun menjanda!"

1.  Sakir-Har merupakan raja Hyksos awal.  Ini seturut hieroglif di kosen pintu istana di Avaris, kota tua di Mesir.
2.  Semangka merupakan buah kesukaan Fir'aun.  Ini tertera di lukisan dinding pada situs kompleks pemakaman Mesir Kuno.  Di situ ada objek serupa semangka.
3. 
Molokhia berasal dari kata mulukia yang berarti "milik bangsawan".  Sup bayam Mesir ini merupakan hidangan di istana Fir'aun.  Pada abad ke-10, seorang khalifah di Kairo dari dinasti Fatimiyah melarang molokhia.  Alasannya, sup ini meningkatkan nafsu seks.
4.  Bahtera Mentari merupakan kapal untuk Fir'aun setelah mangkat.  Kapal yang dianggap sebagai benda "terbesar serta tertua" yang terbuat dari kayu dalam sejarah manusia ini, sejak 2021 dipamerkan di Museum Giza.
5.  Orang Mesir kuno suka mengoles
make up mata agar terhindar dari silau Matahari.  Mineral beracun timbal dalam celak menjadi penangkal bakteri ketika bercampur dengan uap mata.


Senin, 12 Desember 2022

Efek Arumahi


Efek Arumahi
Oleh Abdul Haris Booegies


     Karangan saya pertama kali terpublikasi di Pedoman Rakyat pada Ahad, 24 Januari 1988.  Berjudul Prokem, Okem dan Graffiti.  Lambat-laun, artikel saya terus tersiar sampai lebih 50 di Pedoman Rakyat.
     Di Fakultas Adab UIN Alauddin, ada buletin Shaut al-Adab.  Ini ditangani Isra Mattugengkeng, alumnus Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Ketika Andi Nurzaman Razaq yang juga tamatan Pesantren IMMIM terpilih ketua senat Fakultas Adab, saya diperkenankan meracik Voice of Adab.  Buletin ini merupakan pelapis Shaut al-Adab.
     Pada 1988, terbit pertama kali surat kabar kampus Washilah.  Namaku tercantum sebagai reporter bersama Ahmad Ibrahim.  Nama Ahmad Ibrahim bukan sembarang.  Ia termasuk penulis muda bersama Nurzaman Razaq serta Syamsulbahri Salihima dari UIN Alauddin.
     Di Washilah, saya akrab dengan Laode Arumahi.  Ia mahasiswa Fakultas Syariah sekaligus jurnalis Pedoman Rakyat.
     Saya ingat sebuah hikayat, mungkin terjadi pada 1987.  Alkisah, Arumahi bertanya tentang sebuah perkara agama kepada seorang sejawatnya yang baru diwisuda.  Fulan (nama samaran) pun menguraikan dengan corak pemikiran baru selaras spirit zaman.
     Besoknya, berita perihal analisis si Fulan terbit di Pedoman Rakyat.  Petinggi UIN Alauddin, tentu gusar.  Terlebih Dekan Fakultas Syariah.  "Baru kemarin sarjana, sudah bikin fatwa", semburnya kesal.
     Si Fulan berkelit.  Ia merasa tak pernah diwawancarai.  Ia memang sempat ditanya wartawan, tetapi, tidak sebagai narasumber untuk konsumsi publik.
     Si Fulan tetap disalahkan.  Sudah tahu yang bertanya kuli tinta, namun, ia tetap tangkas meladeni pertanyaan demi pertanyaan.  Persoalan yang diangkat pun tergolong isu sensitif.

Sandy
     Saya terakhir ke kantor redaksi Pedoman Rakyat di Jalan Arief Rate sekitar 2008.  Di momen tersebut, Pedoman Rakyat telah patah tunas.  Tak lagi menyapa pembaca saban pagi.
    Saya mampir untuk bersilaturrahim ke Hariyani, mantan sekretaris redaksi.  Di tangga depan, Ani ditemani Sandy, putri LE Manuhua yang merupakan legenda Pedoman Rakyat.
     "Ini siapa?"  Selidik Sandy kepada Ani sambil melirikku.
     "Haris Bugis", jawab Ani.
     "Oh, iya.  Saya ingat.  Kamu dulu selalu bawa naskah ke sini.  Waktu itu kamu masih kecil".
     Kami bertiga duduk di tangga.  Lesu tanpa semangat.  Saya sedih karena Pedoman Rakyat kini tiada.  Koran perjuangan ini khatam menjelang era media sosial.
     Lara kian menyesak kala saya pamit.  "Terima kasih, Haris.  Sudah ke sini berbagi simpati", ujar Sandy.

Cahaya
     Di suatu siang pada 1988, saya bersua Arumahi di kampus UIN.  Wajahnya terlihat serius.
     "Ada naskahmu mengenai seminar saya baca kemarin di meja redaktur opini", kata Arumahi.
     Ia lantas menerangkan jika naskah yang saya kirim tidak layak muat.  Sebab, tak punya ide.
     Saya memang tidak melampirkan gagasan di karangan tersebut.  Saya menyalin secara kronologis acara seminar.  Di situ tercantum pokok-pokok pemikiran para pemakalah.
     Di perpustakaan pribadiku, saya merenungkan wejangan Arumahi tadi siang.  "Tulisan harus memiliki ide".
    Goresan pikiran wajib diletakkan di tulisan.  Jangan membiarkan ide dibawa kabur berkeluyuran oleh Bang Toyip yang doyan bergoyang sampai larut malam.  Seelok apa pun deret kalimat, tetap tak bermakna kalau tanpa gagasan.  Buah pikir nan kreatif mesti diutamakan.  Hingga, pembaca merasa nyaman, terwakili atau menjadi pemicu pemikiran baru.  Ide berperan membarui individu maupun entitas.
     Sejak dinasihati Arumahi, saya pun berupaya menaruh gagasan di segenap coretan.  Memikirkan solusinya sampai keringat terperas bak butir-butir embun.  Saya berteguh, usaha tidak mengkhianati hasil.
     Saya tak peduli, apa pun bentuk risalah itu.  Reportase, esai, puisi atau cerpen, mutlak dilandasi ide.  Maklum, gagasan menjadi cahaya karangan.  Sedangkan keindahan kalimat berfungsi untuk mendramatisasi suasana hati pembaca.  Alhasil, mengundang rasa penasaran untuk terus menjelajahi kata per kata yang ditatah secara artistik.

Beredel
     Anjuran Arumahi sanggup saya aplikasikan bahwa tulisan patut mempunyai ide.  Ini saya namakan "efek Arumahi".
     Pada 1992, kongsi saya dengan Arumahi, oleng.  Ini gara-gara saya sering menyerang kebijakan rektor di surat kabar, khususnya di harian Pelita (Jakarta) dan Surya (Surabaya).  Saya makin sulit dikontrol saat menjadi pemimpin redaksi Lektura, majalah terbitan Fakultas Sastra Unhas.
     Bukan cuma Arumahi yang pusing.  Asdar Muis yang jurnalis Tempo turut gerah dengan ulahku.  Di suatu malam, saya dipanggil Asdar ke kantor redaksi Fajar di Jalan Ahmad Yani.  Ia berpetuah lantaran saya kebablasan.  Pasalnya, Lektura tampil beringas.  Lektura menyerang Orde Baru dengan membahas Golput.  Ini perbuatan tabu di era (daripada) Soeharto.
     Puncaknya, saya dipanggil Pembantu Dekan III Fakultas Sastra Unhas.  Ia bakal mempertemukanku dengan dekan.  Rupanya, ada kabar mengejutkan.  Lektura diberedel Kakanwil Deppen Sulsel.  Basri Hasanuddin selaku rektor, melarang pula penerbitan Lektura.  Dekan Fakultas Sastra pun meneken dekret pencabutan izin Lektura.
     Saya berduka seolah Rembulan ambruk di atas kepala, tetapi, tetap bangga sekaligus puas.  Musababnya, Lektura mencetak sejarah karena menjadi satu-satunya pers mahasiswa di Indonesia Timur yang dilarang terbit oleh Pemerintah.  Lektura binasa bukan akibat lunturnya idealisme redaksi, namun, dimatikan oleh tirani!


Sabtu, 10 Desember 2022

Pasar Bharata


Pasar Bharata
Oleh Abdul Haris Booegies


     Beberapa bulan sesudah menulis buku harian, saya membuat peta seputar Pesantren IMMIM di awal 1983.  Denah ala kadarnya tersebut sempat saya perhatikan sebelum meracik cerpen Tiba dari Masa Depan di awal Desember 2022.
     Sepertinya ada yang salah penyebutan.  Selama tiga tahun ini, saya selalu melisankan pasar di seberang Pesantren IMMIM dengan nama Pasar Bharata.  Pada hakikatnya, ada dua area.  Bharata dan pasar.  Lokasi Bharata tepat di sisi Jalan Perintis Kemerdekaan.  Sedangkan pasar berada di belakang Bharata.
     Saya tidak tahu persis apa itu dulu Bharata.  Di situ teronggok kendaraan-kendaraan berat warna kuning.  Bila ke pasar, tampak Bharata semacam bengkel bulldozer, excavator atau track loader.
     Atlas non-Google Maps yang saya racik tak mencantumkan nama pasar.  Ini berarti pasar tradisional tersebut tanpa nama.  Santri yang ke pasar juga tidak pernah mengatakan "ayo ke Bharata".  Mereka senantiasa mengatakan "ayo ke pasar minum soda campur susu".  Kalau pasar itu bernama Bharata, tentu santri berseru; "Ayo ke Bharata minum limun".  Ini serupa "ayo ke Sentral", "ayo ke Terong", atau "ayo ke Pabbaengbaeng".
     Entah bagaimana sekarang nasib pasar yang terletak di belakang Bharata.  Dulu pasar tersebut merupakan tempat favorit santri.  Di sana kami kongko.  Ada dua warung menghadap ke Barat yang saban malam dipadati santri.  Di situ tersedia kopi, kopi susu, fanta, sprite, soda serta limun.  Limun termasuk minuman legenda di pasar ini.  Berwarna jingga, tersedia dalam botol kaca bening kecil.  Dijamin setelah diteguk, tenggorokan langsung gatal-gatal, sedikit perih.  Santri IMMIM kebal dengan gatal di tenggorokan.  Sudah divaksin antigatal dari air sumur kibar (senior).  Di pasar tradisional kegemaran santri ini, tersedia pula kue yang mulai basi, ubi goreng dan nasi goreng.
     Ada satu lagi warung di pasar.  Menghadap ke Timur, milik Tante Om.  Saya tak berani ke warung ini sendiri, selalu minta ditemani untuk beli es batu.  Saya takut dengan Tante Om.  Mungkin bukan cuma saya yang ngeri, tetapi, kawan lain yang jantan perkasa juga bergidik.  Ini Tante, Om!


Kamis, 08 Desember 2022

Semerbak Lestari


Semerbak Lestari
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Usai makan malam, terdengar tarhim Isya di masjid ath-Thalabah, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Saya mengajak Hapip Berru, Ahmad Tirta serta Andi Rian ke sekretariat Black Panther IMMIM di tepi perpustakaan Ibnu Rusydi.  Sepekan lagi pada Jumat, 17 Januari 1985, para karateka akan long march ke Parepare.  Di sekretariat, saya memamerkan majalah yang tadi dibeli di Sentral.
     "Ini Lektura, majalah baru.  Di sini ada sebuah teka-teki yang sejak tadi membingungkanku.  Enigma tersebut dikutip Lektura dari manuskrip kuno di Perpustakaan Universitas Leiden yang berdiri sejak 31 Oktober 1587.  Di bibliotek ini, naskah autentik I La Galigo, tersimpan".
     "Teka-tekinya bagaimana", tanya Hapip.
     "Bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  Bertanda dua kuning wangi.  Di Tenggara engkau pasrah.  Di Timur Laut engkau berakal.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Di Barat Daya engkau puas.  Namamu semerbak lestari".
     "Itu bukan enigma, tetapi, jampi jika orang mau memanjat pohon", tukas Tirta.
     "Di situ ada kata bintang.  Berarti lebih tepat kalau itu mantra untuk penumpang yang hendak naik pesawat", ujar Rian.
     "Kamu membeli majalah apa saja.  Begitu sampai di pondok, pusing sendiri dengan misterinya", celoteh Hapip.
     "Suruh saja bintang yang membeberkan misterinya", seloroh Tirta.
     Rian yang berdiri dekat pintu, terserempak mundur dua langkah.
     "Ada komet!"  Sembur Rian sembari menunjuk ke Timur.
     Saya, Hapip bersama Tirta bergegas ke pintu untuk melongok.
     "Astaga, bintang berekor tersebut mengarah ke sini", tuturku terkejut.
     Kami tak sempat lari saat sinar gemerlap menghunjam ke sekretariat Black Panther.  Cahaya menyilaukan mengurung pandangan.  Bercak merah menindih kulit.  Terasa laksana kena setrum.  Kami bergidik dengan tatapan nanar.
     Selang beberapa detik, kami saling tercengang-cengang di tengah keremangan.  Kami seolah berada di hutan.  Batang-batang pohon saling melintang.  Sorot cemerlang Rembulan menembus celah daun-daun.  Tiada tanda-tanda bila kawasan ini bertuan.  Distrik ini mungkin tempat jin buang anak.
     "Di mana kita", tanya Tirta.
     "Barangkali kita di Neraka", ketus Hapip.
     "Ini rimba, bukan Neraka", sergah Rian dengan nada bergetar.
     Saya bersandar ke pohon nangka.  Ada dua pohon nangka dengan jarak tiga meter.
     Tiba-tiba terdengar derap langkah dari Utara.  Makin lama, kian riuh.
     "Ada serombongan orang berlari ke sini", bisik Tirta.
     "Itu suara derap kaki kuda.  Sepertinya mereka banyak", kataku getir.
     "Ayo ke balik pohon untuk mengintip", usul Hapip.
     Orang-orang berkuda lantas melintas di depan kami.  Mereka membawa obor.  Remang-remang berubah terang.  Semua berbusana putih dengan serban hijau.  Jumlah mereka berkisar 100.  Di pelana tiap kuda, tersisip pedang dan tombak.
     "Siapa mereka?"
     "Pasti bukan prajurit kavaleri di samping pesantren.  Ini berbaju putih, bukan hijau.  Pakai serban, bukan helm tempur.  Bawa golok, bukan bedil", sahut Rian.
     Serempak korps tersebut berhenti.  Celaka, mereka bisa mengendus kehadiran kami.
     Tanpa aba-aba, kami lari menyelamatkan diri.
     "Ada mata-mata!"  Pekik seseorang dalam bahasa Bugis aksen Sidrap.
     "Tangkap mereka!"
     Defile kavaleri tradisional itu kemudian memacu kuda secara melingkar.  Hingga, dengan mudah mengepung kami.
     "Siapa kalian!"  Terdengar bentakan dalam bahasa Bugis.
     "Kami santri, Pak", jawab Hapip dalam bahasa Bugis dengan suara gemetar.
     "Apa itu santri!"
     Saya mulai menerka.  Kelompok ini tidak mahir berbahasa Indonesia sekaligus kampungan.  Masa tak paham apa itu santri.  Konyol betul.
     Dua bala lalu turun dari kuda.  Menggeledah kami.
     "Empat bocah ini seperti tersesat.  Mereka pasti bukan bagian dari legiun Letnan Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers".
     Begitu mendengar nama Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, saya sontak lemas.  Lunglai akibat lutut tidak mampu menopang berat badan.  Saya menebak jika kesatria berjubah putih ini merupakan divisi militer dari kerajaan Bone untuk melawan Belanda.  Ini artinya kami terlontar ke masa lampau.  Sekarang pasti awal Agustus 1824.  Sebab, Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers berlayar dari Batavia ke Sulawesi Selatan pada 15 Juli 1824.
     Saya menyuruh Rian yang leluhurnya ningrat Bone untuk menjelaskan siapa kami.
     "Jangan lupa memperkenalkan bahwa kami pendekar terbaik Black Panther IMMIM".
     Rian terbungkuk-bungkuk mendekat serupa patik berdatang sembah ke hadapan Sri Paduka.  Ia lantas berkomunikasi.  Seorang yang dipanggil "Puang Datuk" tampak manggut-manggut.
     Puang Datuk yang jenggotnya sejengkal kemudian menyuruh kami berjejer untuk meresapkan pepatah-petitih.
     "Dengar anakku!  Bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  Bertanda dua kuning wangi.  Di Tenggara engkau pasrah.  Di Timur Laut engkau berakal.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Di Barat Daya engkau puas.  Namamu semerbak lestari".
     Kami kuartet santri IMMIM saling pandang satu sama lain.  Mengapa teka-teki Lektura menyembul dari bibir pejuang ini.  Sosok ini benar-benar mandraguna dengan visi futuristis.  Enigma yang dimuat Lektura kiranya telah berusia 161 tahun.  Ajaibnya, belum terpecahkan sampai hari ini.  Di Perpustakaan Leiden, dokumen antik Nusantara tersebut terdaftar dengan nomor seri FB8122022.
     Tanpa terduga, terdengar dentuman bertukas-tukas dari arah Selatan.  Meruak di telinga mirip serbuan brutal.
     "Serangan Belanda!  Ambil posisi!"  Pekik Puang Datuk.
     Dalam perspektif saya, armada yang dikomandani oleh Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers berlabuh di bandar Tallo.  Ekspedisi militer Belanda ini untuk menghukum kerajaan Bone yang menolak mengubah Perjanjian Bongaya.  Kerajaan Bone tak kalah gertak.  Mereka menyongsong perang dengan semangat menggeledek.  Spirit heroisme membumbung guna meredam hegemoni Belanda di imperium Bone.
     100 pasukan berserban hijau yang kini bertempur merupakan laskar pilihan dari detasemen khusus Sidenreng untuk melakukan serangan kilat ke pos Belanda di Tallo.  Selain mereka, ada pula pasukan berani mati yang menghajar pos Belanda di Pangkajene, Maros serta Tanete.  Tentara elite ini solid dalam militansi demi mempertahankan otoritas negeri-negeri Bugis.
     Gelegar meriam terus terdengar memekakkan telinga.  Kami empat santri Pesantren IMMIM berada di tengah pertempuran.  Ini nyata di depan mata.  Saya tegak di sisi sebuah pohon nan jangkung menyaksikan aksi maut ini.
     "Bajingan betul kau, Ogi!  Ini perang!  Bukan film The Godfather yang diputar di New Artis Theater.  Kau seharusnya sembunyi.  Satu kali lagi kau sok jagoan seperti orang kebal, saya tempeleng bolak-balik mukamu sampai bonyok".  Damprat Hapip seraya menyentak kerah bajuku.  Saya terpelanting ke belakang.
     Tahu-tahu sebuah peluru shrapnel yang ditembakkan dari kanon menghantam pohon tempat kami berlindung.  Nyala api berkobar dari bubuk mesiu yang terbakar.  Dedauman maupun ranting-ranting langsung hangus.  Kami berempat terkesiap.  Tidak terlintas ingin mengendap ke mana.  Kami cuma pasrah tatkala cabang-cabang pohon yang gosong jatuh berserakan menimpa kami.  Luapan api mengepung.  Bercak merah menerpa kulit yang terasa bak setrum.
     Tembakan meriam Belanda memicu terjadinya laju cahaya 299.792.458 meter per detik di seputar kami.  Hatta, terjadi relativitas waktu.  Kami pun terpental melompati sang kala.
     Suasana sekonyong-konyong hening.  Kami berempat mencoba bangkit dari keterpurukan jasad.  Pandanganku mulai fokus.  Saya menoleh ke kanan.  Lamat-lamat, pintu merah sekretariat Black Panther, terlihat.
     "Kami sudah kembali", gumamku.  Kini, tiada lagi belenggu zaman silam.  Kami balik ke tempo asal.  Saya mengamati arloji, pukul 19.20.  Sekarang Kamis, 10 Januari 1985, bertepatan 19 Rabi al-Akhir 1405.
     "Mengapa kalian masih di sini.  Masih berkumpul di bawah pohon nangka.  Apakah kalian tak mendengar kalau azan Isya tadi berkumandang.  Masbuq, masbuq, masbuq", hardik pimpinan kampus.
     Dalam kebisuan, kami bergegas ke sumur untuk berwudhu.  Ingatan kami mulai stabil.
     Bakda Isya, Tirta memanggil kami ke bawah pohon nangka.
     "Saya telah memecahkan teka-teki Lektura".
     "Kamu sudah tahu jawabannya?"  Sergah Rian dengan wajah penasaran.
     "Haqqul yaqin", tandas Tirta.
     "Coba singkap rahasianya.  Saya tidak sabar lagi untuk mendengarnya", ucapku dengan jantung berdegup.
     "Larik pertama, bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  "Bintang" di sini dapat didefinisikan sebagai prestasi, cita-cita atau tekad yang pantang mundur, pantang menyerah.  "Jantung kembar tanah" adalah Universitas Hasanuddin dan Pesantren IMMIM.  Ini dua kampus pendidikan yang berada di pusat Tamalanrea".
     "Tafsirmu elok juga", sahut Hapip sambil manggut-manggut.
     "Larik kedua, bertanda dua kuning wangi.  Kini kita berdiri di antara dua kuning wangi".
     "Apa maksudmu", saya menyela karena tidak mengerti.
     Tirta tersenyum sembari menoleh ke dua pohon nangka.
     "Tadi sempat terbetik di benakku bila kuning wangi mengacu ke 20 toilet pesantren", kata Rian.
     "Itu bukan kuning wangi, namun, kuning bau", seletuk Hapip.
     "Larik ketiga, di Tenggara engkau pasrah.  Kita sekarang memancang di antara dua pohon nangka yang berjarak tiga meter.  Ini ibarat pusat kompas.  Menolehlah ke Tenggara", pinta Tirta.
     "Masjid!", jawabku.
     "Ya, masjid tempat hamba-hamba Allah berserah diri.  Pasrah atas apa pun takdir yang digariskan Allah".
     "Masuk akal juga enigma yang dipublikasikan Lektura", ucap Rian.
     "Larik keempat, di Timur Laut engkau berakal.  Berakal bermakna cerdas.  Proses untuk pandai antara lain belajar di kelas", terang Tirta seraya menunjuk ke ruang kelas.
     "Larik kelima saya paham.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Ini bermakna sekretariat Black Panther yang terletak di pojok", kataku tersipu, sedikit bangga.
     "Macca tokko pale' (pintar juga kamu)", kata Hapip.
     "Santri IMMIM yang ideal wajib memiliki rohani suci, otak genius serta stamina prima.  IMMIM dengan Black Panther mutlak padu sebagai komponen senyawa", tegas Rian.
     "Larik keenam, di Barat Daya engkau puas".
     "Saya tahu artinya.  Pasti dapur", jawab Hapip sambil menuding ke ruang makan santri.
     "Sekarang bait terakhir, namamu semerbak lestari.  Ada yang mafhum esensi kalimatnya merentang ke mana?"  Tirta bersoal sembari tersenyum.
     "Apa makna larik ketujuh ini?"  Saya berbisik dalam kebingungan.
     "Bagaimana menginterpretasikan deret terakhir ini, namamu semerbak lestari?"  Rian tampak menaruh minat mau menghayati.
     "Apa takwilnya, Tirta!"  Intonasi Hapip terdengar menegang.
     "Namamu semerbak lestari artinya santriwan-santriwati IMMIM bakal kekal dalam kenangan, abadi dalam sejarah, melegenda dalam saga.  Mereka menata dan menatah prestasi demi prestasi di sebilang jengkal tanah.  Alumni Pesantren IMMIM berproses dalam lakon positif untuk kemaslahatan manusia selama Bumi berputar.  Santriwan-santriwati IMMIM!  Namamu semerbak lestari".


Senin, 05 Desember 2022

Tiba dari Masa Depan


Tiba dari Masa Depan
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Hari ini Kamis, 5 Desember 1985, bertepatan 23 Rabi al-Awwal 1406.  Menjelang jam tujuh malam, saya bersama Andi Rian mangkir dari kampus.  Kami tiba di Makassar Theater.  Berniat menyaksikan Back to the Future yang dibintangi Michael J. Fox, Christopher Lloyd serta Lea Thompson.  Film ini rilis di Amerika pada Rabu, 3 Juli 1985.
     Usai nonton, kami pun pulang.  Saya sempat mendongak.  Langit tampak kelabu oleh mendung.  Cakrawala ibarat lukisan kabut nan suram tanpa setitik gemerlap bintang.  Embus bayu terasa sejuk.  Sebentar lagi hujan.
     Setelah berjalan sekitar 150 dari bioskop ke Sentral, kami pun naik mikrolet (petepete).  Pulang ke pedepokan di Tamalanrea selepas puas terhibur sajian adegan Back to the Future.
     Tatkala naik mikrolet jurusan Daya, hujan sontak mengguyur Ujung Pandang.  Gemuruh guntur sekaligus kilau kilat sesekali membahana.  Sekarang pukul 22.40.
     Ketika kampus 20 meter lagi, saya memberi tahu sopir untuk singgah.  Mendadak seberkas halilintar merajam jalan tepat di hadapan mikrolet.  Cahayanya menyilaukan mata.  Saya menggosok mata agar penglihatan kembali pulih.  Rian juga mengucek-ucek matanya.  Pandangan kami kabur.  Tahu-tahu terdengar geluduk.  Jantung serasa copot akibat gelegar geledek.  Sekonyong-konyong semua gelap.  Udara panas berpusing mengungkung kami.  Ada bau belerang menyengat hidung.
     Saya berusaha membayar ongkos mikrolet.  Terdengar bisik Rian memanggilku.  Saya menggenggam tangannya kemudian bergegas masuk pondok dengan cara melompati pagar bertombak.
     Pandangan kami kabur.  Apalagi, hujan kian lebat.  Jarak pandang seolah cuma selangkah.  Mata kami hanya melihat kegelapan.
     "Ini gara-gara kau mengajakku terus bolos.  Kini kita tertatih-tatih dan terseok-seok di tengah hujan deras", keluhku pada Rian.
     Di sebuah sudut, saya membentur dinding.  "Mengapa ada tembok di sini", gumamku di kalbu.  Saat mundur, kakiku terantuk sekat pematang.  Suasana kampus terasa aneh.
     Sesampai di kamar, saya beri tahu Rian untuk tidur di bilikku saja di asrama Panglima Polem.  Tidak usah ke rayon Raja Khalik.  Apalagi, pandangan kami masih kabur.  Rian tinggal dengan Ahmad Tirta di asrama Raja Khalik.  Dua anak kelas IV ini merupakan santri sultan di Pesantren IMMIM.
     Saya terjaga dengan tetap menutup mata.  Saya heran mendengar tarhim subuh dari masjid.  Alunan suaranya sungguh merdu laksana buluh perindu.  Saya sudah kelas VI, namun, baru kali ini mendengar lantunan ayat suci al-Qur'an begitu syahdu.  Volume yang dipancarkan speaker pun teramat nyaring.  "Barangkali pengeras suara baru", bisikku dalam hati.
     Secara naluri, saya merasa ada yang mengawasiku.  Mengamatiku dari suatu tempat.  Perlahan, saya membuka mata.  Sekumpulan remaja yang sebaya saya, terlihat berdiri di sisi ranjang.  Siapa ini?  Berani betul masuk ke kamarku.  Apakah mereka tak kenal siapa saya!
     Saya langsung bangkit.  Memperhatikan satu demi satu.
     "Siapa kamu?", tanya seorang di antaranya yang berbadan besar.
     "Kau yang siapa!"  Ujarku dengan nada tinggi.
     Rian di sampingku lantas bangun.  Ia bingung dengan kehadiran sekelompok pemuda asing.
     "Kami tidak mengenalmu!  Mengapa ada di sini!"
     "Lancang betul mulutmu!  Apa kau tak kenal siapa saya di sini!"  Emosiku bergelegak.  Saya geram karena merasa dilecehkan.
     "Saya tidak kenal kamu.  Kenapa ada di sini.  Ini Pesantren IMMIM.  Ini Moncongloe".
     Saya tertegun.  Apa itu Moncongloe.  Dua taruna dari kawanan tersebut lalu pergi.  Saya dengan Rian saling memandang.  Apa itu Moncongloe.
     "Ini Pesantren IMMIM?"  Tanyaku sembari menatap satu per satu remaja tersebut.
     "Ya", terdengar jawaban serempak.
     "Moncongloe itu apa?"  Rian bertanya.
     "Sebuah kecamatan di kabupaten Maros".
     Saya berpaling ke Rian, ia seperti syok.  Ada yang tak beres.  Mengapa kami terdampar di sini, di Moncongloe.
     "Ini kampus II Pesantren IMMIM.  Kampus I di Tamalanrea", terang pemuda yang tubuhnya jangkung.
     Tiba-tiba dua taruna yang tadi pergi, datang kembali.  Ia mengabarkan jika direktur pesantren bersama pimpinan kampus menuju ke sini.
     "Mana orang itu?"  Terdengar suara penuh wibawa.
     Ketika sosok tersebut melihat saya dengan Rian, ia terbelalak.
     "Ogi!  Rian!"
     Saya dengan Rian terperanjat.
     "T i r t a...?"  Tuturku bersamaan dengan Rian.  Suaraku seolah tersedak.
     Tampang Tirta tampak berkerut.  Mungkin ia tidak pernah memakai bedak Kelly.  Uban mulai pula merayap di sebagian rambutnya.  Apakah Tirta tak menggunakan Brisk, Tancho, Tokyo Night Pomade Lavender Green atau Minyak Kemiri?  Lemak juga terlihat menggelambir di kulitnya.
     Tadi malam sebelum ke bioskop, saya, Rian bersama Tirta sempat menikmati penganan pemberian Mantang di aula.  Kini, 11 jam berselang, Tirta telah menjadi direktur Pesantren IMMIM.  Ada apa sebenarnya ini.  Lelucon macam apa yang kami alami.
     "Kita bicara di kantormu", usulku pada Tirta.  Kami bertiga meninggalkan bilik dengan sorot mata tajam pimpinan kampus serta kerumunan santri.
     "Kalian dari mana?  Wajahmu tampak muda sekali atau sudah operasi plastik?"  Tirta bersoal sambil menpersilakan kami duduk.
     "Kamu direktur pesantren sekarang?" tanya Rian bagai bercanda.  Saya geli mendengar pertanyaannya yang seolah mengolok-olok prestasi Tirta.
     "Tahun berapa sekarang?"  Saya bercakap pada Tirta.
     "Tahun 2022.  Sekarang Selasa, 6 Desember 2022, bertepatan 12 Jumada al-Ula 1444".
     "Kita sedang mimpi, Ogi", sergah Rian seraya mencubit lenganku.
     "Tidak, kita tak mimpi.  Ini fenomena langka".
     Dari masjid, terdengar shalawat tarhim.  Azan Shubuh segera berkumandang.
     "Ada yang tidak terurai tandas.  Tadi malam kami nonton Back to the Future yang hikayatnya mengenai Marty McFly.  Ia berpindah waktu dari zaman kini ke era silam.  Saya heran, kenapa kami ada di Moncongloe.  Mengapa kami masih santri, tetapi, kamu sudah direktur pesantren.  Padahal, kenyataannya kita masih kelas IV di Tamalanrea.  Kita sama-sama angkatan 8288", ujar Rian sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
     "Kalian pasti terkena radiasi kosmis yang membelokkan waktu.  Energi yang dipantulkan sangat besar, setara daya petir".
     "Tepat, kami memang nyaris mati terpanggang oleh kilat tadi malam", urai Rian.
     "Saya merasa tidak nyaman.  Sebaiknya kita ke Tamalanrea sekarang", pintaku pada Rian.
     Saya berdiri bersamaan Rian.
     "Kalian naik mobil pesantren saja.  Saya panggil dulu Hapip Berru.  Ia yang bakal mengantarmu ke Tamalanrea".
     "Terima kasih, tak usah repot-repot.  Kami menumpang kendaraan apa saja yang mengarah ke Ujung Pandang.  Lebih cepat, lebih afdal", ucap Rian sambil menarik tangganku meninggalkan ruang direktur pesantren.
     Begitu kami melewati gerbang kampus, sebuah truk melintas.  Kami melambai minta tumpangan.  Truk pun berhenti.  Saya dengan Rian segera memanjat ke bak terbuka truk.  Begitu kami naik, truk pun mengebut bak dikejar serombongan hantu penasaran.
     Di tengah jalan, hujan lebat turun.  Saya dengan Rian basah kuyup.  Saya mengecek arloji, sekarang pukul 05.05.  Andai tiada hujan, niscaya rona merah fajar telah merekah.
     Di Jalan Perintis Kemerdekaan sehabis melewati kompleks kavaleri, saya menyuruh sopir untuk berhenti di Bharata.  Di situ tadi malam kami singgah sebelum muncul petus serta guruh ajaib.
     Truk berhenti tepat di depan Bharata.  Hujan belum reda.  Kala kami meloncat turun dari truk, tanpa terduga guntur menggelegar memekakkan telinga.  Percik halilintar pun menyambar-nyambar.  Saya menyumbat telinga dengan jari seraya menutup mata, takut buta.  Hawa hangat menyergap di seputar kami.  Bau menyengat belerang tercium, menusuk hidung.
     Saya memanggil Rian dengan suara lirih.  Memastikan tidak terjadi sesuatu yang mencelakakan.  Seusai sinar cemeti dewa dan suara geleduk lenyap, kami melompati pagar berlembing untuk masuk kampus.  Pandangan kami terang, tak kabur.  Soalnya, kami langsung menutup mata begitu petir maupun geledek melengking dari angkasa.
     Saya menghentikan langkah di ruang kelas VI IPA yang terletak berbatasan dengan Panggung Serbaguna.  Saya masuk untuk menyalakan lampu.  Saya mengajak Rian.  Menuntunnya ke kalender yang tergantung di dinding kayu dekat papan tulis.
     Saya menunjuk ke sebuah hari di almanak.  Sekarang Jumat, 6 Desember 1985.  Saya menoleh ke Rian sembari tersenyum.  "Kita sudah kembali dari masa depan".


Kamis, 01 Desember 2022

Buku Harian: Spirit Jurnalisme Sastrawi


Buku Harian: Spirit Jurnalisme Sastrawi
Oleh Abdul Haris Booegies


     "Diari merupakan reportase pribadi yang diolah oleh diri sendiri untuk diri sendiri" (Abdul Haris Booegies).
     Menulis buku harian merupakan langkah untuk mendokumentasikan pengalaman.  Penulis mencurahkan perasaan dari sudut pandang yang unik.  Menyusun kata demi kata seirama embus nafas.  Alhasil, goresan tersebut terkadang mengandung pengalaman mengasyikkan, menggelitik, memalukan maupun aneh.  Bahkan, perasaan terluka yang dialami ikut menghias gubahan kronik personal.
     Tatkala termaktub sebagai santri di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, saya mengolah diari selama empat tahun sejak kelas III.  Menjelang tidur, saya menyempatkan diri meracik narasi di buku harian.  Tidak banyak yang mengendus bila saya punya diari.  Saya biasa menggunakan lilin sebagai penerang kalau meramu frasa di buku harian.  Saat teman-teman tidur, saya memadamkan lampu kamar sembari menyalakan lilin.  Ini agar sahabat-sahabat tak terganggu.  Saya bisa pula fokus merakit catatan pribadi di tengah temaram cahaya lilin.
     Saya memperindah diari dengan melekatkan foto hasil jepretan.  Pada serentetan kasus, saya memotret objek dengan kamera Argus.  Ketika mencatatnya di buku harian, foto bersangkutan saya tempel.  Halaman diari dengan foto merupakan pengaruh majalah.  Tata letak media cetak konvensional yang artistik, saya tiru.
     Saban yaum menggeluti buku harian, membuatku memberinya nama.  Pada Jumat, 31 Desember 1982, saya menamakan buku harianku dengan Ratna Dewi.  Nama ini terus bermetamorfosis sampai menjadi Ratna Devi Indah Sari.  Dalam imajinasi saya, Ratna Devi Indah Sari itu berambut pirang dengan mata biru.  Khas cewek bahenol Amerika.  Sosoknya paduan Brooke Shields, Bo Derek serta Jodie Foster.
     Selama di pesantren, saya paling takut dengan pemeriksaan kamar.  Sebarisan pembina dan guru yang dikomandani pimpinan kampus (pimkam), mendatangi barak santri.  Mereka mengusut tuntas isi almari serta bagian bawah kasur untuk mencari barang haram atau benda berbahaya.
     Tidak terbayang jika diariku terjaring.  Inilah yang membuatku dilanda waswas.  Saya pun memeras otak mencari teknik bagaimana cara menyembunyikan buku harian.
     Pada Ahad, 13 Maret 1983, saya mengonversikan huruf Latin dengan aksara Yunani yang saya modifikasi.  Abjad ini diilhami dari edisi khusus majalah Hai.  Sementara untuk penanggalan, saya mengaplikasikan angka Romawi.
     Gelisah perlahan sirna seiring perputaran siang dengan malam.  Musababnya, sekarang diariku agak repot ditelaah orang iseng.
     Makin hari, buku harianku kian modis.  Di sudut kiri atas halaman saya tulis nama artis Hollywood, berganti-ganti per hari.  Di baris pertama tertera basmalah dengan tinta hijau.  Tanggal ditulis dengan tinta merah.  Sapaan "hello" atau "hai" untuk Devi berwarna biru.  Materi diari tertoreh dengan tinta hitam.  Di akhir dokumen yang menghimpun lika-liku kehidupan itu, ada tanda tangan bercorak merah.  Sedangkan namaku bernuansa biru.  Di pojok bawah lembaran ada nomor pagina.  Sangat elok untuk era 80-an.

Text Sticker
     "Tiap halaman buku harian merupakan sketsa suatu momen" (Abdul Haris Booegies).
     Saat saya pertama kali mengarang diari, terlihat bila kalimatku menyimpang dari tata bahasa.  Ejaannya amburadul, tak terikat aturan baca-tulis.  Tidak ada proses mekanisme kecuali menulis cepat dengan bahasa ekspresif.  Saya mengekspresikan peristiwa dengan bahasa sehari-hari.
     Sesudah berbilang bulan, saya pun merasa nyaman dengan buku harian.  Saya merombak format halaman supaya terkesan dinamis.  Ada warna agar mencuatkan rona variatif.
     Pada sebilangan halaman kosong bagian bawah naskah, saya mencantumkan teks-teks elegan beserta sumbernya.  Misalnya dari Gadis, Pedoman Rakyat, Anne Louise Germaine Necker (Baronne de Staël Holstein), Friedrich Nietzsche atau roker Rod Stewart.  Saya tersengsem membaca susunan sabda syahdu di surat kabar dan majalah.  Kelak, inilah yang mempengaruhi artikelku yang bergaya ilmiah populer dengan bahasa jurnalisme sastrawi.
     Sampai kini, saya tekun menyalin untaian kata kirana.  Ini memacu saya membuat text sticker, kalimat singkat berbentuk stiker.  Contohnya, "jujur berbuah luhur".  Saya memproduksi lebih 2.000 text sticker.  Sekitar 1.500 terpublikasi di media sosial serta blog.

Mahmuddin Tertidur
     "Diari bercerita tentang aneka tema dan dimensi kehidupan yang serasa belaian kasih seorang ibu" (Abdul Haris Booegies).
     Cuaca masih gelap selepas shalat Shubuh pada Senin, 13 Februari 1984.  Mantang memanggilku sambil menunggu di belakang aula.
     "Ada apa?"
     "Mahmuddin tidur di ruang istirahat koki.  Kamu juga tak mengunci pintu!"
     Mantang merupakan chef di aula.  Ia kepala konsumsi untuk pegawai dari daerah yang menempuh pelatihan profesional berkelanjutan di aula Pesantren IMMIM.
     Tadi malam usai shalat Isya, saya bersama segelintir kolega ke ruang istirahat koki.  Mahmuddin Achmad Akil yang duduk di kelas II, turut pula.  Ia masih mengenakan sarung.  Di bilik tersebut, kami menyantap hidangan lezat.  Tersuguh juga kue.
     Ruang istirahat koki sesungguhnya daerah terlarang bagi santri.  Mantang tidak segan mengusir santri yang menerobos ke situ.
     Saya satu-satunya santri yang saban hari makan enak di aula.  Mantang menyiapkan sarapan, santap siang serta makan malamku.  Kalau Mantang menyediakan banyak ransum, saya ajak rekan.
     Biasanya jika saya makan sendiri, Mantang menanyakan Mahmuddin.  Saya pun acap memanggil Mahmuddin untuk makan di aula.
     Mahmuddin merupakan santri sultan asal Sidrap.  Tiap pagi ia menabung di celengan yang di taruh di lemarinya.  Mahmuddin senantiasa tampil perlente dengan busana necis.  Ia pengurus koperasi sejak kelas II.  Mahmuddin akrab dengan Andi Rezky Rohadian yang juga santri sultan dari Divisi 8288.
     Ahad malam ini setelah makan di aula, kami membaca majalah film dan musik.  Sudah beberapa hari ini saya menyimpan majalahku di almari ruang istirahat koki.  Soalnya, Mantang melaporkan akan ada pemeriksaan asrama dalam waktu dekat.  Di samping menyuplai sajian, Mantang sering membocorkan agenda pimkam.  Inilah yang membuatku lihai melakukan pelanggaran sepele atau serius.  Pasalnya, rencana pimkam bocor duluan.
     Tak semua program terselubung pimkam yang dibisikkan Mantang berjalan mulus.  Pada Kamis, 3 November 1983, radioku yang tersimpan di ruang istirahat koki direbut oleh pimkam.
     Mantang biasanya ke Kilo 9 menginap untuk menyiagakan konsumsi peserta pelatihan di aula.  Ia memercayakanku memegang kunci aula.
     Malam ini ketika mengantuk, saya bersama kroni kembali ke bangsal Imam Bonjol.  Mahmuddin masih membaca majalah seraya berbaring.  Khusyuk menyimak warta selebritas di Vista, Variasi serta Ria Film.
     Saya tidak mengunci pintu kamar dan jeruji besi bagian belakang dekat toilet aula.  Berharap Mahmuddin yang nanti mengunci seluruh pintu bila pulang.  Rupanya ia ketiduran.
     Subuh kala Mantang tiba, ia terkesiap.  Pintu aula terbuka.  Mahmuddin malahan masih mendengkur di ranjang.  Tak shalat Shubuh di masjid.  Mana ada anggota qismul amni (staf keamanan) ke aula untuk membangunkan seorang santri sultan.

Skandal Senyap
     "Buku harian merupakan lorong waktu untuk kembali ke periode saat catatan pribadi itu ditulis" (Abdul Haris Booegies).
     Ada taksiran bahwa "segala ikhwal dapat direkam di diari".  Ini rumus berbahaya kalau segenap masalah laik transfer ke buku harian.  Siapa pun berpeluang celaka secara bersaf-saf jika problem kita dengan antagonis kontradiktif dipasok ke diari.  Masa lalunya yang kacau, kelam, kusam, keruh sekaligus kecut, mendadak terpublikasi di social networking sites sekelas Facebook yang berskala world wide.  Sadisnya sungguh selevel bacokan golok.
     Selama empat tahun menggeluti buku harian yang dituangkan dalam sembilan jilid, ada seperangkat perkara rawan bin gawat yang tidak terdokumentasi.  Saya tak menuangkan sisi kontroversial ekstrem di jurnal pribadi lantaran tidak tega.  Ada pula gara-gara cemas.  Saya khawatir, bila pasal tersebut dicatat bakal membahayakan diariku.  Boleh jadi buku harianku disita sebagai alat bukti untuk menginvestigasi sebuah kasus.
     Pada 1984, seorang santri badung melakukan aksi binal yang membuatku gentar bertalu-talu.  Saya lantas menegur sembari mencelanya setelah ia puas bercumbu dengan bahaya.  "Andai ulahmu tepergok, kita pasti dihajar sampai pingsan tujuh kali!  Kita pasti dipecat!"
     Saya betul-betul geregetan dibuatnya.  Mau rasanya saya tempeleng bolak-balik muka joroknya.
     Di siang itu di sebuah petak kayu beralas papan, cuma ada tiga orang.  Saya sebagai saksi dengan pelaku serta korban yang masih di bawah umur.  Saya yang baru tiba di ruang bersekat tersebut, kaget bak disambar halilintar kala menyaksikan adegan mencengangkan.  Belum pernah ada persoalan serupa ini di Pesantren IMMIM sejak berdiri pada 1975 sampai 2022.  Rasa ngeri membuatku tak menulisnya di diari.  Sampai detik ini, belum pernah ada sejawat yang saya kabarkan perihal skandal ini.  Saya gigih bertahan memendamnya.  Setahun berikutnya pada Rabu, 9 Januari 1985, santri sekte sesat rohani itu dipecat.
     Sejumput kisah sensasional, luput dengan sengaja dari buku harianku.  Bahkan, sekalipun andal kabur dari kampus, tetapi, diariku tidak memuat tips and tricks modus jitu bolos tanpa terdeteksi otoritas pimkam dan qismul amni.  Rasanya saya tak memiliki teknik bolos selain kabur kapan saja berkehendak.
     Kerap terlintas di benak kalau buku harianku senyatanya menatah secuil sejarah Pesantren IMMIM.  Ini berkat saya mengarsipkan momen pertama kali ketika menu santap siang diganti dengan sepotong telur tiap pekan.  Saya mengguratkan hari saat menara telepon dipasang.  Saya mengabadikan ketika ustaz Syukri Basondeng dilantik sebagai pimkam di masjid ath-Thalabah.
     Saya berilusi jika diariku bisa mengilhami sebuah novel.  Semacam Lima Sekawan (The Famous Five) karya Enid Blyton, novelis Inggris.  Dulu di pondok, Shalahuddin Ahmad (Angkatan 8086) suka membaca serial Lima Sekawan.
     Vitalitas buku harianku mendentangkan sedenting nada bahwa santriwan-santriwati Pesantren IMMIM merupakan kandidat mahaputra-mahaputri di berbagai bidang.  Benar prediksi Haji Fadeli Luran, pendiri Pesantren IMMIM.  "Kelak anakda akan bertebar di mana-mana sebagai profesional".


Amazing People