Senin, 05 Desember 2022

Tiba dari Masa Depan


Tiba dari Masa Depan
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Hari ini Kamis, 5 Desember 1985, bertepatan 23 Rabi al-Awwal 1406.  Menjelang jam tujuh malam, saya bersama Andi Rian mangkir dari kampus.  Kami tiba di Makassar Theater.  Berniat menyaksikan Back to the Future yang dibintangi Michael J. Fox, Christopher Lloyd serta Lea Thompson.  Film ini rilis di Amerika pada Rabu, 3 Juli 1985.
     Usai nonton, kami pun pulang.  Saya sempat mendongak.  Langit tampak kelabu oleh mendung.  Cakrawala ibarat lukisan kabut nan suram tanpa setitik gemerlap bintang.  Embus bayu terasa sejuk.  Sebentar lagi hujan.
     Setelah berjalan sekitar 150 dari bioskop ke Sentral, kami pun naik mikrolet (petepete).  Pulang ke pedepokan di Tamalanrea selepas puas terhibur sajian adegan Back to the Future.
     Tatkala naik mikrolet jurusan Daya, hujan sontak mengguyur Ujung Pandang.  Gemuruh guntur sekaligus kilau kilat sesekali membahana.  Sekarang pukul 22.40.
     Ketika kampus 20 meter lagi, saya memberi tahu sopir untuk singgah.  Mendadak seberkas halilintar merajam jalan tepat di hadapan mikrolet.  Cahayanya menyilaukan mata.  Saya menggosok mata agar penglihatan kembali pulih.  Rian juga mengucek-ucek matanya.  Pandangan kami kabur.  Tahu-tahu terdengar geluduk.  Jantung serasa copot akibat gelegar geledek.  Sekonyong-konyong semua gelap.  Udara panas berpusing mengungkung kami.  Ada bau belerang menyengat hidung.
     Saya berusaha membayar ongkos mikrolet.  Terdengar bisik Rian memanggilku.  Saya menggenggam tangannya kemudian bergegas masuk pondok dengan cara melompati pagar bertombak.
     Pandangan kami kabur.  Apalagi, hujan kian lebat.  Jarak pandang seolah cuma selangkah.  Mata kami hanya melihat kegelapan.
     "Ini gara-gara kau mengajakku terus bolos.  Kini kita tertatih-tatih dan terseok-seok di tengah hujan deras", keluhku pada Rian.
     Di sebuah sudut, saya membentur dinding.  "Mengapa ada tembok di sini", gumamku di kalbu.  Saat mundur, kakiku terantuk sekat pematang.  Suasana kampus terasa aneh.
     Sesampai di kamar, saya beri tahu Rian untuk tidur di bilikku saja di asrama Panglima Polem.  Tidak usah ke rayon Raja Khalik.  Apalagi, pandangan kami masih kabur.  Rian tinggal dengan Ahmad Tirta di asrama Raja Khalik.  Dua anak kelas IV ini merupakan santri sultan di Pesantren IMMIM.
     Saya terjaga dengan tetap menutup mata.  Saya heran mendengar tarhim subuh dari masjid.  Alunan suaranya sungguh merdu laksana buluh perindu.  Saya sudah kelas VI, namun, baru kali ini mendengar lantunan ayat suci al-Qur'an begitu syahdu.  Volume yang dipancarkan speaker pun teramat nyaring.  "Barangkali pengeras suara baru", bisikku dalam hati.
     Secara naluri, saya merasa ada yang mengawasiku.  Mengamatiku dari suatu tempat.  Perlahan, saya membuka mata.  Sekumpulan remaja yang sebaya saya, terlihat berdiri di sisi ranjang.  Siapa ini?  Berani betul masuk ke kamarku.  Apakah mereka tak kenal siapa saya!
     Saya langsung bangkit.  Memperhatikan satu demi satu.
     "Siapa kamu?", tanya seorang di antaranya yang berbadan besar.
     "Kau yang siapa!"  Ujarku dengan nada tinggi.
     Rian di sampingku lantas bangun.  Ia bingung dengan kehadiran sekelompok pemuda asing.
     "Kami tidak mengenalmu!  Mengapa ada di sini!"
     "Lancang betul mulutmu!  Apa kau tak kenal siapa saya di sini!"  Emosiku bergelegak.  Saya geram karena merasa dilecehkan.
     "Saya tidak kenal kamu.  Kenapa ada di sini.  Ini Pesantren IMMIM.  Ini Moncongloe".
     Saya tertegun.  Apa itu Moncongloe.  Dua taruna dari kawanan tersebut lalu pergi.  Saya dengan Rian saling memandang.  Apa itu Moncongloe.
     "Ini Pesantren IMMIM?"  Tanyaku sembari menatap satu per satu remaja tersebut.
     "Ya", terdengar jawaban serempak.
     "Moncongloe itu apa?"  Rian bertanya.
     "Sebuah kecamatan di kabupaten Maros".
     Saya berpaling ke Rian, ia seperti syok.  Ada yang tak beres.  Mengapa kami terdampar di sini, di Moncongloe.
     "Ini kampus II Pesantren IMMIM.  Kampus I di Tamalanrea", terang pemuda yang tubuhnya jangkung.
     Tiba-tiba dua taruna yang tadi pergi, datang kembali.  Ia mengabarkan jika direktur pesantren bersama pimpinan kampus menuju ke sini.
     "Mana orang itu?"  Terdengar suara penuh wibawa.
     Ketika sosok tersebut melihat saya dengan Rian, ia terbelalak.
     "Ogi!  Rian!"
     Saya dengan Rian terperanjat.
     "T i r t a...?"  Tuturku bersamaan dengan Rian.  Suaraku seolah tersedak.
     Tampang Tirta tampak berkerut.  Mungkin ia tidak pernah memakai bedak Kelly.  Uban mulai pula merayap di sebagian rambutnya.  Apakah Tirta tak menggunakan Brisk, Tancho, Tokyo Night Pomade Lavender Green atau Minyak Kemiri?  Lemak juga terlihat menggelambir di kulitnya.
     Tadi malam sebelum ke bioskop, saya, Rian bersama Tirta sempat menikmati penganan pemberian Mantang di aula.  Kini, 11 jam berselang, Tirta telah menjadi direktur Pesantren IMMIM.  Ada apa sebenarnya ini.  Lelucon macam apa yang kami alami.
     "Kita bicara di kantormu", usulku pada Tirta.  Kami bertiga meninggalkan bilik dengan sorot mata tajam pimpinan kampus serta kerumunan santri.
     "Kalian dari mana?  Wajahmu tampak muda sekali atau sudah operasi plastik?"  Tirta bersoal sambil menpersilakan kami duduk.
     "Kamu direktur pesantren sekarang?" tanya Rian bagai bercanda.  Saya geli mendengar pertanyaannya yang seolah mengolok-olok prestasi Tirta.
     "Tahun berapa sekarang?"  Saya bercakap pada Tirta.
     "Tahun 2022.  Sekarang Selasa, 6 Desember 2022, bertepatan 12 Jumada al-Ula 1444".
     "Kita sedang mimpi, Ogi", sergah Rian seraya mencubit lenganku.
     "Tidak, kita tak mimpi.  Ini fenomena langka".
     Dari masjid, terdengar shalawat tarhim.  Azan Shubuh segera berkumandang.
     "Ada yang tidak terurai tandas.  Tadi malam kami nonton Back to the Future yang hikayatnya mengenai Marty McFly.  Ia berpindah waktu dari zaman kini ke era silam.  Saya heran, kenapa kami ada di Moncongloe.  Mengapa kami masih santri, tetapi, kamu sudah direktur pesantren.  Padahal, kenyataannya kita masih kelas IV di Tamalanrea.  Kita sama-sama angkatan 8288", ujar Rian sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
     "Kalian pasti terkena radiasi kosmis yang membelokkan waktu.  Energi yang dipantulkan sangat besar, setara daya petir".
     "Tepat, kami memang nyaris mati terpanggang oleh kilat tadi malam", urai Rian.
     "Saya merasa tidak nyaman.  Sebaiknya kita ke Tamalanrea sekarang", pintaku pada Rian.
     Saya berdiri bersamaan Rian.
     "Kalian naik mobil pesantren saja.  Saya panggil dulu Hapip Berru.  Ia yang bakal mengantarmu ke Tamalanrea".
     "Terima kasih, tak usah repot-repot.  Kami menumpang kendaraan apa saja yang mengarah ke Ujung Pandang.  Lebih cepat, lebih afdal", ucap Rian sambil menarik tangganku meninggalkan ruang direktur pesantren.
     Begitu kami melewati gerbang kampus, sebuah truk melintas.  Kami melambai minta tumpangan.  Truk pun berhenti.  Saya dengan Rian segera memanjat ke bak terbuka truk.  Begitu kami naik, truk pun mengebut bak dikejar serombongan hantu penasaran.
     Di tengah jalan, hujan lebat turun.  Saya dengan Rian basah kuyup.  Saya mengecek arloji, sekarang pukul 05.05.  Andai tiada hujan, niscaya rona merah fajar telah merekah.
     Di Jalan Perintis Kemerdekaan sehabis melewati kompleks kavaleri, saya menyuruh sopir untuk berhenti di Bharata.  Di situ tadi malam kami singgah sebelum muncul petus serta guruh ajaib.
     Truk berhenti tepat di depan Bharata.  Hujan belum reda.  Kala kami meloncat turun dari truk, tanpa terduga guntur menggelegar memekakkan telinga.  Percik halilintar pun menyambar-nyambar.  Saya menyumbat telinga dengan jari seraya menutup mata, takut buta.  Hawa hangat menyergap di seputar kami.  Bau menyengat belerang tercium, menusuk hidung.
     Saya memanggil Rian dengan suara lirih.  Memastikan tidak terjadi sesuatu yang mencelakakan.  Seusai sinar cemeti dewa dan suara geleduk lenyap, kami melompati pagar berlembing untuk masuk kampus.  Pandangan kami terang, tak kabur.  Soalnya, kami langsung menutup mata begitu petir maupun geledek melengking dari angkasa.
     Saya menghentikan langkah di ruang kelas VI IPA yang terletak berbatasan dengan Panggung Serbaguna.  Saya masuk untuk menyalakan lampu.  Saya mengajak Rian.  Menuntunnya ke kalender yang tergantung di dinding kayu dekat papan tulis.
     Saya menunjuk ke sebuah hari di almanak.  Sekarang Jumat, 6 Desember 1985.  Saya menoleh ke Rian sembari tersenyum.  "Kita sudah kembali dari masa depan".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People