Kamis, 08 Desember 2022

Semerbak Lestari


Semerbak Lestari
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Usai makan malam, terdengar tarhim Isya di masjid ath-Thalabah, Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Saya mengajak Hapip Berru, Ahmad Tirta serta Andi Rian ke sekretariat Black Panther IMMIM di tepi perpustakaan Ibnu Rusydi.  Sepekan lagi pada Jumat, 17 Januari 1985, para karateka akan long march ke Parepare.  Di sekretariat, saya memamerkan majalah yang tadi dibeli di Sentral.
     "Ini Lektura, majalah baru.  Di sini ada sebuah teka-teki yang sejak tadi membingungkanku.  Enigma tersebut dikutip Lektura dari manuskrip kuno di Perpustakaan Universitas Leiden yang berdiri sejak 31 Oktober 1587.  Di bibliotek ini, naskah autentik I La Galigo, tersimpan".
     "Teka-tekinya bagaimana", tanya Hapip.
     "Bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  Bertanda dua kuning wangi.  Di Tenggara engkau pasrah.  Di Timur Laut engkau berakal.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Di Barat Daya engkau puas.  Namamu semerbak lestari".
     "Itu bukan enigma, tetapi, jampi jika orang mau memanjat pohon", tukas Tirta.
     "Di situ ada kata bintang.  Berarti lebih tepat kalau itu mantra untuk penumpang yang hendak naik pesawat", ujar Rian.
     "Kamu membeli majalah apa saja.  Begitu sampai di pondok, pusing sendiri dengan misterinya", celoteh Hapip.
     "Suruh saja bintang yang membeberkan misterinya", seloroh Tirta.
     Rian yang berdiri dekat pintu, terserempak mundur dua langkah.
     "Ada komet!"  Sembur Rian sembari menunjuk ke Timur.
     Saya, Hapip bersama Tirta bergegas ke pintu untuk melongok.
     "Astaga, bintang berekor tersebut mengarah ke sini", tuturku terkejut.
     Kami tak sempat lari saat sinar gemerlap menghunjam ke sekretariat Black Panther.  Cahaya menyilaukan mengurung pandangan.  Bercak merah menindih kulit.  Terasa laksana kena setrum.  Kami bergidik dengan tatapan nanar.
     Selang beberapa detik, kami saling tercengang-cengang di tengah keremangan.  Kami seolah berada di hutan.  Batang-batang pohon saling melintang.  Sorot cemerlang Rembulan menembus celah daun-daun.  Tiada tanda-tanda bila kawasan ini bertuan.  Distrik ini mungkin tempat jin buang anak.
     "Di mana kita", tanya Tirta.
     "Barangkali kita di Neraka", ketus Hapip.
     "Ini rimba, bukan Neraka", sergah Rian dengan nada bergetar.
     Saya bersandar ke pohon nangka.  Ada dua pohon nangka dengan jarak tiga meter.
     Tiba-tiba terdengar derap langkah dari Utara.  Makin lama, kian riuh.
     "Ada serombongan orang berlari ke sini", bisik Tirta.
     "Itu suara derap kaki kuda.  Sepertinya mereka banyak", kataku getir.
     "Ayo ke balik pohon untuk mengintip", usul Hapip.
     Orang-orang berkuda lantas melintas di depan kami.  Mereka membawa obor.  Remang-remang berubah terang.  Semua berbusana putih dengan serban hijau.  Jumlah mereka berkisar 100.  Di pelana tiap kuda, tersisip pedang dan tombak.
     "Siapa mereka?"
     "Pasti bukan prajurit kavaleri di samping pesantren.  Ini berbaju putih, bukan hijau.  Pakai serban, bukan helm tempur.  Bawa golok, bukan bedil", sahut Rian.
     Serempak korps tersebut berhenti.  Celaka, mereka bisa mengendus kehadiran kami.
     Tanpa aba-aba, kami lari menyelamatkan diri.
     "Ada mata-mata!"  Pekik seseorang dalam bahasa Bugis aksen Sidrap.
     "Tangkap mereka!"
     Defile kavaleri tradisional itu kemudian memacu kuda secara melingkar.  Hingga, dengan mudah mengepung kami.
     "Siapa kalian!"  Terdengar bentakan dalam bahasa Bugis.
     "Kami santri, Pak", jawab Hapip dalam bahasa Bugis dengan suara gemetar.
     "Apa itu santri!"
     Saya mulai menerka.  Kelompok ini tidak mahir berbahasa Indonesia sekaligus kampungan.  Masa tak paham apa itu santri.  Konyol betul.
     Dua bala lalu turun dari kuda.  Menggeledah kami.
     "Empat bocah ini seperti tersesat.  Mereka pasti bukan bagian dari legiun Letnan Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers".
     Begitu mendengar nama Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, saya sontak lemas.  Lunglai akibat lutut tidak mampu menopang berat badan.  Saya menebak jika kesatria berjubah putih ini merupakan divisi militer dari kerajaan Bone untuk melawan Belanda.  Ini artinya kami terlontar ke masa lampau.  Sekarang pasti awal Agustus 1824.  Sebab, Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers berlayar dari Batavia ke Sulawesi Selatan pada 15 Juli 1824.
     Saya menyuruh Rian yang leluhurnya ningrat Bone untuk menjelaskan siapa kami.
     "Jangan lupa memperkenalkan bahwa kami pendekar terbaik Black Panther IMMIM".
     Rian terbungkuk-bungkuk mendekat serupa patik berdatang sembah ke hadapan Sri Paduka.  Ia lantas berkomunikasi.  Seorang yang dipanggil "Puang Datuk" tampak manggut-manggut.
     Puang Datuk yang jenggotnya sejengkal kemudian menyuruh kami berjejer untuk meresapkan pepatah-petitih.
     "Dengar anakku!  Bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  Bertanda dua kuning wangi.  Di Tenggara engkau pasrah.  Di Timur Laut engkau berakal.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Di Barat Daya engkau puas.  Namamu semerbak lestari".
     Kami kuartet santri IMMIM saling pandang satu sama lain.  Mengapa teka-teki Lektura menyembul dari bibir pejuang ini.  Sosok ini benar-benar mandraguna dengan visi futuristis.  Enigma yang dimuat Lektura kiranya telah berusia 161 tahun.  Ajaibnya, belum terpecahkan sampai hari ini.  Di Perpustakaan Leiden, dokumen antik Nusantara tersebut terdaftar dengan nomor seri FB8122022.
     Tanpa terduga, terdengar dentuman bertukas-tukas dari arah Selatan.  Meruak di telinga mirip serbuan brutal.
     "Serangan Belanda!  Ambil posisi!"  Pekik Puang Datuk.
     Dalam perspektif saya, armada yang dikomandani oleh Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers berlabuh di bandar Tallo.  Ekspedisi militer Belanda ini untuk menghukum kerajaan Bone yang menolak mengubah Perjanjian Bongaya.  Kerajaan Bone tak kalah gertak.  Mereka menyongsong perang dengan semangat menggeledek.  Spirit heroisme membumbung guna meredam hegemoni Belanda di imperium Bone.
     100 pasukan berserban hijau yang kini bertempur merupakan laskar pilihan dari detasemen khusus Sidenreng untuk melakukan serangan kilat ke pos Belanda di Tallo.  Selain mereka, ada pula pasukan berani mati yang menghajar pos Belanda di Pangkajene, Maros serta Tanete.  Tentara elite ini solid dalam militansi demi mempertahankan otoritas negeri-negeri Bugis.
     Gelegar meriam terus terdengar memekakkan telinga.  Kami empat santri Pesantren IMMIM berada di tengah pertempuran.  Ini nyata di depan mata.  Saya tegak di sisi sebuah pohon nan jangkung menyaksikan aksi maut ini.
     "Bajingan betul kau, Ogi!  Ini perang!  Bukan film The Godfather yang diputar di New Artis Theater.  Kau seharusnya sembunyi.  Satu kali lagi kau sok jagoan seperti orang kebal, saya tempeleng bolak-balik mukamu sampai bonyok".  Damprat Hapip seraya menyentak kerah bajuku.  Saya terpelanting ke belakang.
     Tahu-tahu sebuah peluru shrapnel yang ditembakkan dari kanon menghantam pohon tempat kami berlindung.  Nyala api berkobar dari bubuk mesiu yang terbakar.  Dedauman maupun ranting-ranting langsung hangus.  Kami berempat terkesiap.  Tidak terlintas ingin mengendap ke mana.  Kami cuma pasrah tatkala cabang-cabang pohon yang gosong jatuh berserakan menimpa kami.  Luapan api mengepung.  Bercak merah menerpa kulit yang terasa bak setrum.
     Tembakan meriam Belanda memicu terjadinya laju cahaya 299.792.458 meter per detik di seputar kami.  Hatta, terjadi relativitas waktu.  Kami pun terpental melompati sang kala.
     Suasana sekonyong-konyong hening.  Kami berempat mencoba bangkit dari keterpurukan jasad.  Pandanganku mulai fokus.  Saya menoleh ke kanan.  Lamat-lamat, pintu merah sekretariat Black Panther, terlihat.
     "Kami sudah kembali", gumamku.  Kini, tiada lagi belenggu zaman silam.  Kami balik ke tempo asal.  Saya mengamati arloji, pukul 19.20.  Sekarang Kamis, 10 Januari 1985, bertepatan 19 Rabi al-Akhir 1405.
     "Mengapa kalian masih di sini.  Masih berkumpul di bawah pohon nangka.  Apakah kalian tak mendengar kalau azan Isya tadi berkumandang.  Masbuq, masbuq, masbuq", hardik pimpinan kampus.
     Dalam kebisuan, kami bergegas ke sumur untuk berwudhu.  Ingatan kami mulai stabil.
     Bakda Isya, Tirta memanggil kami ke bawah pohon nangka.
     "Saya telah memecahkan teka-teki Lektura".
     "Kamu sudah tahu jawabannya?"  Sergah Rian dengan wajah penasaran.
     "Haqqul yaqin", tandas Tirta.
     "Coba singkap rahasianya.  Saya tidak sabar lagi untuk mendengarnya", ucapku dengan jantung berdegup.
     "Larik pertama, bintang membawamu ke jantung kembar tanah.  "Bintang" di sini dapat didefinisikan sebagai prestasi, cita-cita atau tekad yang pantang mundur, pantang menyerah.  "Jantung kembar tanah" adalah Universitas Hasanuddin dan Pesantren IMMIM.  Ini dua kampus pendidikan yang berada di pusat Tamalanrea".
     "Tafsirmu elok juga", sahut Hapip sambil manggut-manggut.
     "Larik kedua, bertanda dua kuning wangi.  Kini kita berdiri di antara dua kuning wangi".
     "Apa maksudmu", saya menyela karena tidak mengerti.
     Tirta tersenyum sembari menoleh ke dua pohon nangka.
     "Tadi sempat terbetik di benakku bila kuning wangi mengacu ke 20 toilet pesantren", kata Rian.
     "Itu bukan kuning wangi, namun, kuning bau", seletuk Hapip.
     "Larik ketiga, di Tenggara engkau pasrah.  Kita sekarang memancang di antara dua pohon nangka yang berjarak tiga meter.  Ini ibarat pusat kompas.  Menolehlah ke Tenggara", pinta Tirta.
     "Masjid!", jawabku.
     "Ya, masjid tempat hamba-hamba Allah berserah diri.  Pasrah atas apa pun takdir yang digariskan Allah".
     "Masuk akal juga enigma yang dipublikasikan Lektura", ucap Rian.
     "Larik keempat, di Timur Laut engkau berakal.  Berakal bermakna cerdas.  Proses untuk pandai antara lain belajar di kelas", terang Tirta seraya menunjuk ke ruang kelas.
     "Larik kelima saya paham.  Di Barat Laut engkau mengaum.  Ini bermakna sekretariat Black Panther yang terletak di pojok", kataku tersipu, sedikit bangga.
     "Macca tokko pale' (pintar juga kamu)", kata Hapip.
     "Santri IMMIM yang ideal wajib memiliki rohani suci, otak genius serta stamina prima.  IMMIM dengan Black Panther mutlak padu sebagai komponen senyawa", tegas Rian.
     "Larik keenam, di Barat Daya engkau puas".
     "Saya tahu artinya.  Pasti dapur", jawab Hapip sambil menuding ke ruang makan santri.
     "Sekarang bait terakhir, namamu semerbak lestari.  Ada yang mafhum esensi kalimatnya merentang ke mana?"  Tirta bersoal sembari tersenyum.
     "Apa makna larik ketujuh ini?"  Saya berbisik dalam kebingungan.
     "Bagaimana menginterpretasikan deret terakhir ini, namamu semerbak lestari?"  Rian tampak menaruh minat mau menghayati.
     "Apa takwilnya, Tirta!"  Intonasi Hapip terdengar menegang.
     "Namamu semerbak lestari artinya santriwan-santriwati IMMIM bakal kekal dalam kenangan, abadi dalam sejarah, melegenda dalam saga.  Mereka menata dan menatah prestasi demi prestasi di sebilang jengkal tanah.  Alumni Pesantren IMMIM berproses dalam lakon positif untuk kemaslahatan manusia selama Bumi berputar.  Santriwan-santriwati IMMIM!  Namamu semerbak lestari".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People