Rabu, 21 Desember 2022

Mengintip Putri Fir'aun


Mengintip Putri Fir'aun
Cerpen Abdul Haris Booegies


Hikayat Awal
     Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian tiba di Pesantren Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada pukul 23.15.  Kami tadi menonton Cleopatra di New Artis Theater.  Film ini dibintangi Elizabeth Taylor dengan sutradara Joseph L Mankiewicz.
     Tatkala keluar dari bioskop, turun hujan deras.  Kami lama menunggu mikrolet (petepete).  Semestinya mendarat di kampus sebelum jam 11 malam.  Hujan mengganggu jadwal kami.  Semoga makbul tanpa aral besok pada Jumat, 8 Maret 1985.
     Ketika sampai di depan pondok, hujan masih turun.  Bahkan, makin lama kian deras.  Air dari awan-gemawan ini diameter butirannya mencapai tujuh milimeter.
     Selepas meloncati pagar, kami menyusuri tanah berumput.  Walau tidak ada penerangan di tengah gelap yang membungkus langit, tetapi, kami enteng berjalan di sepetak ladang kecil.
     Badan basah kuyup.  Air berlelehan dari rambut ke kening.  Boleh jadi seluruh sekitar 550 santri terlelap di tengah cuaca dingin.  Ini termasuk keberuntungan bagi kami yang bolos.  Soalnya, tak ada penjagaan, terutama pimpinan kampus.  Kalau tertangkap basah kabur, niscaya kami diganjar hukuman.
     Di sudut Timur Laut laboratorium, Tirta serta Rian akan ke asrama Raja Khalik.  Hapip ke bangsal Imam Bonjol.  Sedangkan saya ke rayon Panglima Polem.
     Saat kami mengarah ke barak masing-masing, tiba-tiba ada kilau kerlap-kerlip di belakang laboratorium.  Sorot berpendar-pendar itu tidak jelas sumbernya.  Nyala cemerlang tersebut membentang bagai benda pipih sebesar lapangan basket.  Kami terkesima.
     "Ada sesuatu di sana, di tengah hujan", bisik Hapip.
     "Lailatul qadar", ujar Tirta.
     "Sekarang Kamis, 16 Jumadil Akhir 1405, bukan akhir Ramadan", ketus Rian.
     "UFO", gumamku.
     "Piring terbang.  Wujudnya bening, transparan", tutur Hapip.
     "Alien mau menginvasi Pesantren IMMIM", ujar Rian.
     "Ayo kita beri tahu pimpinan kampus seraya memanggil kawan-kawan", saran Tirta.
     "Jangan dulu mencari bantuan.  Kita saksi pertama, otomatis kita yang bakal diwawancarai jurnalis.  Kita masuk koran, majalah dan TV.  Kita akan termasyhur melebihi selebritas Hollywood", kataku menyeringai.
     "Bagaimana jika mereka ganas?"  Rian berbisik ragu.  Kami pun saling berpandangan.
     Mendadak terdengar suara berdesir, laksana gaung riak laut yang saling berkejar.  Kami merasakan embus hangat di tengah hujan lebat.  Perlahan, muncul sinar putih benderang.  Jasmani terasa sejuk ketika menatapnya.
     "Mereka memanggil kita", dengus Rian tanpa ekspresi.
     "Mana Alien yang memanggil kita?"  Hapip bertanya sambil memandang Rian.
     "Mereka memanggil kita", oceh Rian.
     "Rian terhipnotis.  Alien mengendalikan pikirannya!"  Tirta terpekik.  Kami sontak panik.  Saya mundur selangkah.  Melongo.
     Tahu-tahu semua seolah teduh.  Pikiran kami terbuai kedamaian.  Kami berempat beriringan ke arah lengkungan lebar bening yang berleleran cahaya.
     Setelah mendaki tangga, kami tiba di sebuah rongga besar.  Terasa lebih besar dari konfigurasi luar benda pipih ini.  Ini pasti dimensi spasial yang menjadi zona peristiwa-peristiwa dalam proses perjalanan waktu.  Ke mana mata menumpu, yang terlihat cuma sinar cerah.
     "Mana kapten bersama awak kapal?"  Hapip berceloteh.
     Sejurus berselang, terdengar suara parau.  Entah apa yang diucapkan.  Intonasinya kacau, tanpa irama.  Mirip gelombang-gelombang bunyi dengan getaran udara.  Ini tentu bahasa antarplanet di galaksi tetangga Bima Sakti.
     Kala berdenging kata "Abhab", lantai tempat kakiku berpijak langsung bercahaya turquoise atau toska.  Ini campuran warna biru, hijau serta kuning.  Begitu pula saat terdengar "Hapber".  Membuncah sinar toska dari tumpuan Hapip.  Ketika menggema istilah "Thirtae", dari bawah kaki Tirta menyembul cahaya toska.  Hal serupa terjadi saat terdengar "Anresk".  Merona toska dari landasan kaki Rian.
     "Sepertinya ini nama kita.  Barangkali dimodifikasi sesuai nama penduduk galaksi terjauh atau daerah lain", desis Tirta.
     Tiupan bayu dari sebuah lingkaran lantas mendorong kami.  Makin lama, kian kencang.  Kami berusaha bertahan, namun, dorongan angin makin pesat.
     "Mereka menyuruh kita keluar dari pesawat", ujar Rian.  Kami pun turun.
     "Sudah pagi, tetapi, ini di mana?"  Hapip bersoal dengan nada takjub setelah pesawat Alien melesat pergi.
     "Kita di Giza!", pekikku.
     "Dari mana kau tahu?"  Tirta bertanya sembari matanya tertuju padaku.
     "Mendongaklah, kita tepat di bawah kepala Sphinx, Abu al-Huwl (أبو الهول)‎", terangku.
     Hapip, Tirta dan Rian kemudian berlari seolah hendak memutari kaki Sphinx.  Ketiganya serentak berhenti di sudut.
     "Benar, kita di Mesir.  Lihat, itu Piramida", seru Rian.
     Empat Piramida besar tampak anggun.  Dinding luar yang berlapis batu kapur terkesan licin, jernih serta mengkilap.  Menyilaukan mata karena memantulkan sinar Surya.  Pucuk Piramida terbuat dari emas.  Kawasan di Tepi Barat sungai Nil ini begitu elok, bak permata kalimaya susu di jantung Afrika.
     "Mengapa ada empat Piramida raksasa di Dataran Giza?  Bukan tiga sebagaimana dilaporkan sejarah", cetus Tirta.
     "Ini berarti kita terdampar di masa baheula.  Kita di tahun 1638 sebelum Masehi.  Buktinya, Piramida keempat yang kehitaman tersebut menunjukkan bila proyek itu baru selesai didirikan.  Situs monumental ini merupakan Menara Langit yang diongkosi oleh Qarun, bos kartel di Mesir.  Arsitek Mercu Cakrawala yakni Haman.  Menara Langit dibangun karena Fir'aun tergoda menyaksikan Tuhan yang disembah Nabi Musa", paparku.
     "Kita dalam bahaya besar.  Detasemen khusus Fir'aun pasti membunuh kita kalau ketahuan", pekik Hapip.
     "Mengapa metropolis ini sepi?"  Tirta bergumam.
     "Ini kerajaan besar.  Kehidupan warga begitu sistematis sekaligus ritmis.  Mesir merupakan superpower pada empat milenium silam, namun, kenapa tak ada vitalitas.  Tidak ada aktivitas?  Segalanya lesu ibarat pilar-pilar balairung yang pucat.  Mana 600 ribu serdadu Fir'aun.  Mana pengawal yang menjaga kastel maupun harem", Hapip bersoal secermat mungkin.
     "Saya paham jawabannya.  Hari ini Jumat pagi.  Beberapa menit lalu Fir'aun mati tenggelam di Laut Merah.  Inilah yang menyebabkan distrik megah dan mewah ini sepi.  Segenap 600 ribu prajurit dirajam maut oleh gulungan ombak yang membuncah tiada henti", terangku.
     "Jika begitu, mari ke harem.  Mengintip lebih 200 selir Fir'aun.  Mereka pasti kesepian", saran Hapip.
     "Sebaiknya kita ke istana bermenara ungu itu.  Di situ apartemen 53 putri Fir'aun", usulku.
     "Ini saran berbahaya.  Leher bisa ditebas putus gara-gara masuk ke bilik anak gadis Fir'aun", sergah Tirta.
     "Kamu membahayakan keselamatan demi mengintip", sembur Rian.
     "Kita mustahil dipenggal.  Sebab, sore nanti bangsa Hyksos bakal melancarkan kudeta.  Seluruh gundik serta putri Fir'aun dijadikan selir oleh para pemimpin baru Mesir.  Deretan antek Fir'aun disembelih seperti domba.  Takhta Fir'aun khatam di senja kelabu nanti.  Kekuasaan absolut yang sesungguhnya menghancurkan kesadaran dan pikiran Fir'aun.  Akibatnya, ia terjebak dalam perangkap obsesi.  Fir'aun memanipulasi budaya spiritual rakyat lantaran ia terperosok dalam struktur paranoid", jawabku antusias.
     "Jadi kita sekarang ke kamar putri?", Hapip bersemangat minta persetujuan.
     "Jauh-jauh ke Mesir hanya untuk mengintip", gerutu Tirta.
     "Kita ke arah Selatan agar tak dipergoki kasim pengawal pribadi putri-putri Fir'aun.  Di sana ada terowongan, tidak jauh dari anak sungai Nil.  Di dekatnya terhampar kebun-kebun.  Waktu kita panjang.  Ayo menikmati buah-buahan sebelum menerobos ke bilik anak gadis Fir'aun", kataku tersenyum seraya menunjuk menara ungu puri putri sang kaisar.
     "Apakah putri Fir'aun, cantik?  Fir'aun kan jelek, botak serta kurus", urai Hapip.
     "Di dunia ini, tak ada diktator yang tampan",  tandasku.
     "Saya berharap putri Fir'aun yang akan diintip berparas jelita.  Tidak sama Cleopatra yang dianggap simbol seks dari zaman lampau di era ultramodern.  Payudaranya saja yang ranum menawan, tetapi, wajahnya biasa saja", keluh Hapip.
     "Putri Fir'aun rata-rata cantik.  Paling ayu bernama Ulen.  Ia idaman sejati metroseksual.  Celaknya tebal untuk mengurangi silau Matahari.  Bodinya molek dengan aroma wangi semerbak.  Di leher jenjangnya, tergantung kalung manik berhias liontin berbentuk Bulan.  Ulen teramat spesial, sangat art deco.  Ia sedang mekar-mekarnya.  Berusia 16 tahun.  Ulen bagianku", ungkapku malu-malu.
     Kami lantas berjalan ke sebuah hamparan hijau sebelum menuju ke terowongan.  Ini kebun kerajaan dengan beragam buah.  Ada semangka yang merupakan favorit Fir'aun.  Buah lain di ladang kastel ini yaitu mentimun, lobak, lentil, selada, bawang merah dan bawang putih.  Di seputar lahan, terdapat anak sungai Nil.
     "Terusan yang membelah lanskap padang pasir ini panjangnya lebih enam kilometer.  Cabang ekstra ini dibuat untuk mengairi kebun serta taman.  Kanal ini juga menjadi bagian penting dalam pembangunan Piramida.  Pasir dari gurun diolah menjadi tanah liat berkat air dari sungai ini.  Para pekerja menggunakan kapal untuk mengirim material ke lokasi konstruksi.  Tak ada Piramida tanpa anak sungai ini", saya membeber maklumat sambil mencomot semangka bulat asal Sudan.
     "Mesir rupanya negeri subur nan permai", ujar Rian.
     "Menu Fir'aun terbilang selera modern.  Di sini ada molokhia, sup kental hijau.  Ini hidangan elite.  Sup bayam ini mampu memicu hasrat seksual.  Tidak heran bila Fir'aun memiliki 162 anak.  Di umur 15 tahun, ia telah punya empat anak.  Selain molokhia, ada pula roti yang terbuat dari gandum terbaik.  Adonannya dari tepung, ragi, rempah-rempah, garam, telur dan mentega.  Terkadang roti ini diisi kacang-kacangan atau sayuran.  Penganan ini menjelma roti manis kalau dioles madu serta kurma", ulasku merumuskan.
     Terdengar derap kuda di alun-alun.  Penunggangnya berteriak-teriak.  Sejumlah perempuan bersama anak-anak melongok dari pintu-pintu keraton.
     "Itu Yuta, keponakan Fir'aun", kataku.
     Ketika Yuta turun dari kuda, ia kian histeris sembari memekikkan nama Fir'aun.  Sementara wanita-wanita pecah tangisnya.
     "Apa yang terjadi?"  Tirta bertanya.
     "Kabar kematian Fir'aun sudah sampai", jawabku.
     "Bagaimana dengan rencana kita untuk mengintip putri Fir'aun?"  Hapip bersoal dengan mimik gundah.
     Seorang penunggang kuda muncul dari gerbang.  Busananya sarat warna, menyala.  Tipikal puak Hyksos.
     "Itu Sakir-Har, orang Hyksos.  Ia bergelar Akhekh alias Naga.  Pada burit yang kira-kira enam jam lagi, Sakir-Har bakal memimpin kudeta.  Ia merupakan kepala logistik di istana", tuturku.
     "Mengapa Sakir-Har kemari?"
     "Ia berpura-pura berbelasungkawa sebelum ke kaumnya di Avaris (Tell el-Dab'a) di Timur Laut Delta Nil.  Di sana, mereka menyusun makar guna menjatuhkan pemerintah yang sah".
     "Jika demikian, kita dalam bahaya besar.  Boleh jadi serangan tersebut kelak melukai kita", ujar Tirta.
     "Ada perahu agung bernama Bahtera Mentari berlabuh di anak sungai Nil di sisi Piramida Khufu, berkisar 300 meter dari sini.  Kapal itu diperuntukkan bagi mumi Fir'aun supaya bisa melayang ke angkasa menemui Ra, Dewa Matahari.  Bila Hyksos memburu kita, maka, mutlak ada perlawanan, sekecil apa pun.  Minimal melarikan diri dari ancaman kematian.  Tak boleh terpuruk dalam nasib nelangsa.  Ikhtiar wajib mengubah takdir.  Kita berkelana.  Ada negara di Afrika Barat yang bergelimang emas.  Kita rebut Bahtera Mentari untuk berlayar menyusuri sungai Nil mencari penghidupan baru di kerajaan Mali", jabarku berapi-api.
     "Kita ini santri IMMIM.  Saya rindu kembali ke Tamalanrea.  Rindu aroma akasia di depan asrama dan kelas.  Rindu tawa koki-koki Kumadang.  Rindu suara azan", rintih Rian.

Hikayat Tengah
     "Ogi, sudah azan Shubuh.  Apa kamu baik-baik saja?  Sejak tadi kamu, Hapip, Tirta serta Rian mondar-mandir tidak keruan di belakang laboratorium.  Adakah sesuatu yang kamu cari?"  Imran yang ketua qismul amni (seksi keamanan) mengulik tingkah kami.
     "Astaga, sudah subuh!  Kita di Tamalanrea!"  Dengkingku riang.  Hapip, Tirta dan Rian ikut girang, nyaris berjingkrak.
     "Bagaimana bisa kita ada lagi di sini?"  Terdengar tanya Rian dalam kebingungan.
     Saya mengingat-ingat, terkenang kejadian semalam saat UFO mendarat di belakang laboratorium.  Alien ternyata menelisik susunan sistem raga kami.  Makhluk luar angkasa tersebut merekonstruksi imajinasi serta individu berkat sumber daya yang dimiliki.  Ketika satu per satu nama didengungkan dengan Abhab, Hapber, Thirtae dan Anresk, spontan lampu turquoise menyala.  Di momen itu, Alien menyalin aspek anatomi, fisiologi, pikiran serta karakter kami untuk dikloning.
     Pascaproses pengambilan informasi genetik, maka, jasad asli kami kemudian didorong dengan semburan hawa agar meninggalkan pesawat cahaya.  Sedangkan tubuh dengan salinan identik dibawa menjelajah menembus sang kala.  Organisme yang baru menetas tersebut mengembara untuk berpetualang di periode sedetik setelah Fir'aun tewas.

Hikayat Akhir
     Siang pada Rabu, 21 Desember 2022, serombongan turis Denmark berkunjung ke kompleks pekuburan Mesir Kuno di dekat Step Pyramid of Djoser di nekropolis Saqqara.  Situs ini berjarak 24 km dari Barat Daya Kairo.  Seorang pelancong bertanya ke pemandu.
     "Siapa gerangan Abhab, Hapber, Thirtae dan Anresk yang muralnya terpampang di area pemakanan raja-raja Mesir purba ini?  Tampaknya figur ini orang asing, bukan penduduk asli Mesir bahari.  Apalagi, topinya sederhana".
     "Kuartet ini merupakan ahli nujum rezim Hyksos.  Legenda menukilkan kalau mereka dikirim oleh Dewa Ra.  Topi yang dikenakan namanya songkok".
     "Apakah keempatnya sejenis Alien yang dikirim Dewa Ra?"
     "Selama Hyksos berkuasa pada 1638 sebelum Masehi sampai 1530 sebelum Masehi, Abhab, Hapber, Thirtae serta Anresk sangat dihormati.  Apalagi, mereka menikah dengan putri-putri Fir'aun yang sudah puluhan tahun menjanda!"

1.  Sakir-Har merupakan raja Hyksos awal.  Ini seturut hieroglif di kosen pintu istana di Avaris, kota tua di Mesir.
2.  Semangka merupakan buah kesukaan Fir'aun.  Ini tertera di lukisan dinding pada situs kompleks pemakaman Mesir Kuno.  Di situ ada objek serupa semangka.
3. 
Molokhia berasal dari kata mulukia yang berarti "milik bangsawan".  Sup bayam Mesir ini merupakan hidangan di istana Fir'aun.  Pada abad ke-10, seorang khalifah di Kairo dari dinasti Fatimiyah melarang molokhia.  Alasannya, sup ini meningkatkan nafsu seks.
4.  Bahtera Mentari merupakan kapal untuk Fir'aun setelah mangkat.  Kapal yang dianggap sebagai benda "terbesar serta tertua" yang terbuat dari kayu dalam sejarah manusia ini, sejak 2021 dipamerkan di Museum Giza.
5.  Orang Mesir kuno suka mengoles
make up mata agar terhindar dari silau Matahari.  Mineral beracun timbal dalam celak menjadi penangkal bakteri ketika bercampur dengan uap mata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People