Selasa, 28 Februari 2023

Santri Tipe Z


Santri Tipe Z
Oleh Abdul Haris Booegies


     Makan merupakan kebutuhan krusial bagi manusia agar dapat beraktivitas di tengah rutinitas.  Dengan makan, maka, tubuh tidak kekurangan nutrisi.  Di samping itu, asupan makanan memberikan energi untuk bergerak.  Makan juga sangat penting demi kesehatan.
     Di Pesantren Modern Pendidkan al-Qur'an IMMIM, santri makan tiga kali sehari.  Ini untuk menunjang pergerakan selama 24 jam.  Gizi yang masuk cukup untuk menyokong kegiatan santri semisal mengaji, belajar, berolahraga dan bermain.
     Ada fenomena unik di Pesantren IMMIM pada era 80-an.  Di kelas, santri terkadang mengantuk.  Di masjid, santri terlihat lesu.  Segenap konsepsi negatif ini berubah bila waktu makan.  Santri mendadak berbinar-binar.  Dapur seolah menjadi tujuan segala hasrat hedonis.  Selain dapur, ada lagi satu yang membuat santri IMMIM teramat bahagia.  Apa lagi kalau bukan olahraga.
     Bakda Ashar, santri bergegas ke dapur mengambil teh tawar.  Teh tanpa gula ini boleh diambil satu gelas, satu termos atau satu ember.  Tak ada larangan.  Bebas tanpa aturan.  Sebagian santri lalu berkeliling dari kamar ke kamar sembari menenteng gelas guna mengemis gula.
     Setelah minum teh tawar atau manis, santri pun berolahraga.  Lapangan depan masjid langsung riuh.  Santri bermain voli, takraw serta badminton.  Di aula tersedia satu lapangan tenis meja.  Lapangan tenis meja yang cuma satu ini dikuasai santri Aliyah.  Siapa pula yang berani mengusik mereka.  Sedangkan di lapangan basket IMMIM, berlatih para karateka Black Panther.  Sebagian santri malahan ke lapangan Kavaleri untuk bermain sepak bola.
     Di Pesantren IMMIM, dapur dan olahraga tidak pernah membuat santri mengantuk atau lemas.  Sekalipun lonceng tanda pukul 18.00 sudah berbunyi, tetap saja ada santri yang nekat berolahraga.

Perut Kapitalis
     Di suatu siang pada 1980.  Santri kelas I sedang dijejer di bangku masing-masing untuk makan.  Pembina yang berasal dari kelas V, sempat heran.  Sebuah ompreng tak ada ikannya.  Nasi ada, sayur ada, sambal ada.  Anehnya, tembang gorengnya, tidak ada.  Hilang tanpa bekas.  Mustahil kucing mencoleng.  Pintu dapur tertutup rapat.
     "Siapa yang mengambil ikan di ompreng ini!"  Seorang pembina membentak dengan muka marah.  Tak ada yang mengaku.  Ancaman pun terdengar.  Tidak diperkenankan bersantap siang sebelum tembang goreng sebesar ibu jari tersebut ditemukan.  Seluruh santri baru kasak-kusuk, saling berpandangan.  Situasi terasa mencekam.  Suasana pengap di ruang sesak menambah deras keringat mengucur.
     Pembina lantas melepas satu per satu songkok santri baru.  Ketika giliran Z (inisial asli) dilepas, dari kepalanya jatuh tembang goreng.  Serempak santri baru terhenyak.  Semua bernapas lega.  Teduh seolah ada lentera menyala di hati.  Akhirnya bisa makan setelah maling tembang tepergok.  Sementara Z celingak-celinguk.  Bahkan, cengengesan dengan mulut persis bibir kuda yang meringkik karena mau kentut.  Tanpa sadar, Z sebetulnya melabur jelaga pada wajahnya sendiri.  Amit-amit.
     Z mencatat rekor berkat beken sebagai santri berperangai tikus.  Paling tikus di habitat tikus!  Jadi, kurang gokil apa lagi ini bocah.  Coba!
     Z sesungguhnya santri sial.  Ia berbuat curang di waktu yang salah.  Padahal, banyak santri model Z dengan perut kapitalis.

Cangkang Telur
     Selepas shalat Zhuhur maupun Magrib, santri Tsanawiyah berlomba ke dapur.  Ada dua perilaku yang membuat mereka ingin lekas tiba di dapur.
     Pertama, berniat cepat makan.  Biasanya santri bercorak begini membawa lauk-pauk tambahan.  Ia menenteng bajabu atau telur asin.  Kedua, model Z.  Ini yang harus diwaspadai secara saksama.  Status hukum untuk mengintai oknum varian Z adalah fardu kifayah (فرض كفاية) alias wajib!  Ini supaya tak ada keterpaparan sifat.  Hingga, tidak terjadi reproduksi mental ala Z terhadap santri lain.
     Tipe Z memiliki segudang akal bulus di dapur.  Modus operandinya bevariasi.  Sebagai umpama, menyembunyikan ikan di saku baju, di genggaman tangan atau di bawah nasi.  Aksi tipu-tipunya kreatif.  Akibatnya, ruwet terdeteksi.
     Pada 1984, menu santri IMMIM, berubah.  Musababnya, ada jatah sepotong telur untuk tiap santri.  Sebutir telur yang dibagi dua itu sempat menimbulkan kegemparan.  Ini gara-gara koki tak mengupas kulit telur.  Mereka langsung memotongnya seraya menaruh secara terbalik di ompreng.
     Tatkala santri hendak menikmati sepotong telur, ternyata tinggal cangkangnya.  Isinya raib.  Siapa lagi pelakunya jika bukan gerombolan santri tipe Z yang berperut kapitalis.  Ampun.


Minggu, 26 Februari 2023

Menulis Panggilan Hati



Menulis merupakan panggilan hati untuk menabur inspirasi
Abdul Haris Booegies


Aktivitas Malam Santri IMMIM


Aktivitas santri IMMIM era 80-an pada pukul 20.00-22.00
1.  Ke kelas belajar demi meraih cita-cita
2.  Tinggal di kamar sambil mengobrol
3.  Ke pasar untuk kongko ditemani soda campur susu
4.  Kabur ke bioskop
Abdul Haris Booegies


Sabtu, 25 Februari 2023

Master Your Time


A better mindset is to master your time
Abdul Haris Booegies


Rabu, 22 Februari 2023

Santri IMMIM vs Santri IMMIM


Santri IMMIM vs Santri IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada periode 80-an, ciri utama alumni Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM dalam berkomunikasi ialah bahasa Arab.  Saat sesama anak IMMIM bertemu di tempat perkuliahan, pasti mereka mengamalkan bahasa Arab.
     Bahasa Arab anak IMMIM sesungguhnya terdengar aneh.  Pasalnya, dipengaruhi intonasi kedaerahan maupun bahasa sehari-hari.  Inilah yang membuat saya menamakan bahasa Arab santri IMMIM dengan Ararea (Arab Tamalanrea).
     Di Sulawesi Selatan, ada kata tambahan untuk penegasan.  Misalnya, "mi" dan "ji".  "Ini mi", tidak berarti "ini madrasah ibtidaiah" atau "ini makanan berbahan tepung berbentuk tali untuk tambahan bakso".  "Ini mi" dapat bermakna "sudah betul ini" atau "tak salah lagi".
     Hal serupa terjadi pada "ini ji".  "Ini ji" bisa diinterpretasikan sebagai "hanya ini".  "Ji" juga berpotensi sebagai aksentuasi pengingkaran.  Sebagai umpama, "tidak ji saya".  Ini dapat dipahami "tak usah saya" atau "jangan saya".
     Dalam bahasa Arab Tamalanrea alias Ararea, "tidak ji" diucapkan "la ji".  "Itu mi" menjadi "zalika mi".  Orang dari komunitas lain yang mengerti bahasa Arab, niscaya butuh waktu sejenak untuk mencernanya.  Ia bingung, ini bahasa Arab dari planet apa?  Apalagi, "la ji" terdengar "lajji".  Sudah menyalahi tata bahasa, norak pula terdengar dialeknya.
     Di Pesantren IMMIM, ada santri melakukan kreasi tafsir kata.  Akibatnya, arti hakiki terdistorsi.  Ini bisa ditelusuri dari kata "sariqun".  Kata ini aslinya bermakna "pencuri".  Di kalangan santri IMMIM berubah menjadi "kurang ajar" atau "bangsat".
     Istilah "sariqun" saban waktu terdengar di seluruh asrama, khususnya di bangsal santri Aliyah.  "Sariqun" tergolong identitas tulen Ararea.

Aktivis
     Pada era 80-an, UIN Alauddin merupakan rumah kedua alumni IMMIM setelah pesantren.  Hampir 50 persen alumni IMMIM berpredikat mahasiswa UIN.
     Mudah mengenal alumni IMMIM di UIN.  Sebab, doyan bergerombol sembari menggunakan bahasa Arab.  Selain kebiasaan dari pesantren, Ararea juga untuk gagah-gagahan demi menarik perhatian mahasiswi cantik.
     Pada kurun 80-an, alumni IMMIM di UIN teramat populer.  Apalagi, ada yang berstatus aktivis mahasiswa, aktivis kemahasiswaan serta aktivis kampus.  Aktivis mahasiswa merupakan pejuang kebenaran yang ulet bersuara lantang.  Aktivis kemahasiswaan yakni rajin kuliah.  Aktivis kampus adalah mahasiswa yang gemar menginap di kampus kendati bukan pengurus senat.
     Di suatu peristiwa, saya diberi tahu oleh seorang mahasiswa UIN nonpesantren jika ada sesama anak IMMIM tadi bertengkar.
     "Persoalan apa?"
     "Saya tak tahu karena mereka memakai bahasa Arab.  Keduanya selalu bilang; sarikong, sarikong!"
     Begitu mendengar penjelasan sahabat ini, saya langsung mafhum.  Pasti adu mulut tersebut sangat sengit.  Soalnya, keluar andalan santri IMMIM; "sariqun".


Minggu, 19 Februari 2023

Tujuh Ikon Pesantren IMMIM Era 80-an


Tujuh Ikon Pesantren IMMIM Era 80-an
Oleh Abdul Haris Booegies


     Enam tahun di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, bukan waktu sedikit.  Suka-duka datang silih berganti.  Kami menghitung hari, pekan, bulan dan tahun.  Kami terkadang melamun, kapan waktu genap enam tahun?  Kami santriwan-santriwati IMMIM bertekad tamat, apa pun aral yang melintang.  Kami berkehendak menjadi bagian utuh Pesantren IMMIM sebagai alumni.
     Sejak khatam pada pertengahan 1986 sampai pertengahan Februari 2023, saya lebih 50 kali bermimpi melihat almamater.  Mimpi ini baragkali dipicu ketika mendaftar untuk jadi santri.  Kala itu, saya menilai Pesantren IMMIM sebagai landasan semua cita-cita.  Di kampus Islami ini, terhampar segala harapan.  Sebab, tiap santri memiliki talenta yang siap menggemparkan setelah tamat.
     Kami santri IMMIM dibekali pengetahuan agama serta umum.  Jiwa kami disuntik dengan petuah-petuah sejuk.  Masa depan kami terbentang bak cakrawala, namun, masih kabur.
     Kalau sampai waktunya, santri IMMIM bakal meledak.  Menebar gagasan-gagasan brilian.  Menabur ide-ide orisinal yang selaras zaman.  Bukan menyebar kebohongan atau kepalsuan.  Kami diajar jujur agar kelak saat berjaya, tak dipanggil untuk dipermalukan.  "Bapak disuruh menghadap ke istana dengan membawa ijazah asli".
     Selama enam tahun di Pesantren IMMIM yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, saya terkenang dengan sejumlah artefak dan prasasti.  Artefak serta prasasti ini membawa kenangan begitu dalam.  Hatta, sering muncul dalam interaksi sosial.  Ada tujuh ikhwal yang sarat memori manis di Pesantren IMMIM pada periode 80-an.

Sumur Kibar
     Perigi ini disebut kibar (senior) karena penggunanya santri Aliyah.  Santri Tsanawiyah yang nekat pasti kena damprat para senior.
     Pada 1980, ada empat sumur di Pesantren IMMIM.  Empat perigi ini digunakan oleh sekitar 400 santri.  Dari empat sumur, kibar yang paling besar.
     Saya pernah lompat dengan kepala di bawah di kibar.  Sedangkan di tiga perigi lain, saya loncat dengan kaki di bawah.  Soalnya, tiga sumur lain sempit.  Sangat berbahaya.

TV
     Tatkala masih santri baru, televisi terletak di belakang aula di sisi Utara.  TV hitam putih ini dikerubuti santri pada pukul 22.00.
     Seluruh santri meninggalkan ruang kelas pada pukul 22.00 sesudah belajar sejak pukul 20.00.  Santri pun bergegas pulang ke bangsal untuk tidur.  Sebagian singgah di depan televisi untuk nonton Dunia dalam Berita.  Program TVRI ini cukup menarik.  Pasalnya, mewartakan informasi mancanegara.  Di ujung acara, ada berita olahraga dari belahan dunia.
     Ketika naik kelas II pada 1981, televisi dipindahkan ke beranda masjid.  Ahad bakda Zhuhur, serambi penuh dengan santri untuk memirsa serial si Unyil dan Little House on the Prairie.
     Di akhir 1983, TV hitam putih ini rusak.  Sepekan berikutnya, kami berbinar-binar berkat gembira.  Maklum, ada televisi baru, warna lagi.

Gerbang Selatan
     Portal pojok Tenggara merupakan pintu kedua Pesantren IMMIM.  Jika berdiri di depan gerbang besi ini, tampak sebuah lorong yang ditumbuhi ilalang.  Lintasan tersebut merupakan arah ke pasar.
     Sisi kanan gang merupakan area Bharata.  Sisi kiri adalah hamparan tanah dengan setumpuk cadas besar.  Tanah kosong itu becek di musim hujan, menjelma comberan.
     Portal Selatan merupakan akses bolos santri bandel.  Mereka memanjat pintu besi setinggi sekitar dua meter untuk ke pasar atau kabur ke kota.
     Gerbang Selatan selalu ramai dilewati usai Isya.  Santri ke pasar untuk mengaso.  Mereka minum kopi, soda atau limun.  Tersedia pula aneka kue serta ubi goreng.  Bahkan, ada nasi goreng.
     Sekali peristiwa sehabis santap siang pada 1983.  Alkisah, seorang santri mencoba peruntungan.  Ia melompati portal Selatan.  Malang nian nasibnya gara-gara tidak waspada.  Pantatnya tertikam tombak pagar.  Inilah satu-satunya santri yang bokongnya bolong oleh lembing pagar sejak dibangun sembilan tahun silam.
     Tusukan maut tersebut kiranya mempunyai efek ganda.  Santri bersangkutan tak tamat.  Tidak masalah bila pendidikannya di pondok tak selesai, yang penting namanya abadi.  Ia satu-satunya santri yang tercucuk tombak gerbang Selatan.

Pos Piket
     Pos piket Pesantren IMMIM terletak di gerbang utama di Utara.  Di pos ini, berjaga tiga piket sejak pukul 07.00 sampai pukul 18.00.  Piket berasal dari kelas I maupun II.  Mereka mengenakan selempang hijau setrip putih.
     Pos piket merupakan tempat pertemuan santri dengan tamu.  Di sini segenap curahan hati santri kepada keluarganya berdentang.  Interaksi acap sendu, santai atau syahdu.

Percetakan
     Percetakan di Pesantren IMMIM terletak di deretan kelas Tsawaniyah, 15 meter dari masjid.  Percetakan ini menjadi pusat perhatian santri badung kalau ulangan semester.  Santri nakal yang rata-rata malas belajar, bergerak lincah otaknya mencari solusi jitu menghadapi ujian.  Akalnya kemudian tertumpu pada percetakan.  Di situlah dicetak soal-soal yang akan dibagikan besok pagi.
     Beberapa kali percetakan dibobol maling intelektual dari kalangan santri.  Biasanya pencuri mencoleng barang berharga.  Maling di percetakan pesantren justru cuma menilap sejumlah kertas soal ulangan.
     Puncak dari semua pembobolan terjadi pada 1981.  Eksekutornya tujuh santri dari Angkatan 8086.  Enam pelaku dari asrama Sultan Hasanuddin.  Satu pelakon dengan fisik raksasa berasal dari rayon Datuk Ribandang.
     Aksi terjadi saat tengah malam.  Dua bandit amatir yang dikawal lima kompatriotnya bertekad menerobos percetakan lewat ventilasi yang berkatup miring.
     Dua maling dengan tubuh kontet berhasil masuk.  Ketika berjingkrak-jingkrak di keremangan, mereka sontak tersentak.  Kedua bramacorah menganggap misi gagal.  Musababnya, mereka menginjak tinta yang ditebar bagai ranjau.
     Kedua garong langsung panik.  Mereka pun bergegas memanjat dinding untuk meloloskan diri lewat ventilasi.  Apes, seorang penjarah terjepit kepalanya di ventilasi.  Akibatnya, kaki cecunguk durjana itu terjuntai-juntai.  Ia berusaha mencari pijakan dengan meronta-ronta.  Lima konconya di luar percetakan, tegang di tengah kemelut.  Tidak tahu bagaimana harus menolong.
     Adegan mendebarkan tersebut akhirnya berakhir happy ending.  Mereka puas karena terbebas dari petaka buruk, kendati gagal total mencuri berkas soal.
     Di luar perkiraan, hikayat ini belum tuntas.  Selepas subuh, ustaz Laode Mangasa bergerak cepat saat mengetahui percetakan dibobol.
     Ustaz Mangasa ke perigi.  Di sumur di belakang asrama Hasanuddin, ia menyaksikan dua santri berbadan kecil sedang membersihkan kakinya yang berlumur tinta.  Ustaz Laode pun tersenyum sebelum mencokoknya.  Inilah begundal yang membobol percetakan.

Superpower
     Di Pesantren IMMIM, ada banyak majalah dinding.  Satu di antaranya ialah Superpower.  Majalah dinding ini di luar pakem.  Sebab, tak terkait dengan pelajaran atau agenda kelas.  Superpower menampilkan kabar Hollywood.
     Selama satu setengah tahun, Superpower mewartakan film dan musik rok.  Superpower ibarat menginvasi Pesantren IMMIM dengan bacaan versi Amerika.  Saban terbit, Superpower dikerubungi pembaca.  Tiap menyapa penggemar, Superpower senantiasa hadir dengan berita perihal Michael Jackson sekaligus breakdance.
     Sisa-sisa kesaktian Superpower masih tampak sampai sekarang.  Beberapa foto koleksi Superpower kerap terpublikasi di media sosial.

20 Toilet
     Ketika saya kelas III, 20 WC mulai dipakai oleh 500 santri.  Terletak di bagian belakang kampus.  Bersebelahan dengan danau Unhas.  Penerangan di 20 peturasan hanya dua yang berada di tiap ujung.  Di ruang kakus tidak ada lampu.
     Saat tinggal bersama wakil pimpinan kampus di Wisma Guru, saya memasang plang bertulis Jalan Bugis.  Jalan Bugis merupakan jalur tunggal ke 20 kloset.
     Di suatu malam, seorang santri menjerit-jerit.  Rupanya ia melihat hantu di kegelapan.  Sejak itu, 20 toilet sepi pengunjung.
     Santri memilih buang air besar (BAB) di sawah di depan rayon Raja Khalik.  Sehabis Magrib, puluhan santri mengendap-endap.  Di distrik berak nan lapang ini, tak ada lampu.  Gelap laksana dalam gua.  Jika mata kurang awas, kita bisa menabrak orang yang tengah mengejan mengeluarkan tahi dari perutnya.  Berhati-hatilah berjalan seraya menajamkan pendengaran.  Bila tidak, kotoran yang masih hangat bisa terinjak.  Terasa geli di telapak kaki.  Sementara mulut mau muntah karena mual.  Jorok sekali.


Aus oleh Usia


Sifat berubah seiring usia.  Setebal apa pun tekad, niscaya aus oleh umur
Abdul Haris Booegies


Minggu, 12 Februari 2023

Kunci Surga Hilang


Kunci Surga Hilang
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Hari ini, kami vakansi.  Santri Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, libur selama dua pekan.  Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta serta Andi Rian punya rencana eksklusif.  Kami akan ke Bone, ke kediaman Rian.
     Rumah Rian terletak di Tanjung Pallette.  Bila berdiri di pesisir pantai Bone, acap terlihat tujuh kapal nelayan milik keluarga Rian.  Dari tujuh kapal, dua terbesar.  Panjangnya 32 meter dengan lebar tujuh meter.  Kedua kapal penangkap ikan tersebut masing-masing bernama Joget Ombak dan Penjelajah Gelombang.  Ayahanda Rian terkenal di Bone sebagai pengekspor komoditas udang ke Amerika Serikat, Uni Eropa serta Jepang.
     Kini, kami kuartet santri IMMIM hendak menuju ke Tanjung Pallette.  Kami sedang menunggu mobil Rian yang dalam perjalanan ke Tamalanrea.
     Bakda Zhuhur, kami berempat menanti di kamar Hapip di asrama Datuk Ribandang.  Di atas ranjang, kami saling beraktivitas santai.  Saya dengan Rian menikmati dendang Michael Jackson.  Hapip bermain gitar.  Sementara Tirta membaca komik serial Viking.
     "Sebelum Ashar mobil sudah sampai di sini", ungkap Rian.  Hapip menoleh memandang Rian sambil tetap bermain gitar.  Sedangkan Tirta tampak asyik menyimak komik.
     Tiba-tiba dari komik yang dibaca Tirta, menyembul cahaya.  Tirta mendorong mundur kepalanya karena heran.  Saya, Hapip dan Rian takjub campur kaget.  Tubuh Tirta kemudian seolah ditarik masuk ke dalam komik.  Saya langsung loncat merangkul Tirta agar tidak terisap ke lorong cahaya yang terpantul dari komik.  Hapip serta Rian memegangku supaya dapat mempertahankan raga Tirta.
     "Pegang besi ranjang!"  Pekik Hapip ke Rian ketika kepala Tirta telah masuk ke buku.  Upaya kami sia-sia.  Sebab, terowongan cahaya dari komik terus menyerap kami.
     Semua akhirnya terasa aneh.  Sekonyong-konyong, kami berdiri di sisi danau.  Di sekeliling telaga, terhampar hutan.
     "Kita sudah tiba di Tanjung Pallette", gumam Tirta.
     "Bukan!" timpal Rian sambil menggeleng.
     "Ini danau Bone?"  bisik Hapip tak yakin.
     "Bukan", sahut Rian.
     "Astaga, pelangi itu mirip di komik Viking yang tadi kubaca.  Kuil berundak tersebut juga tergambar di komik", pekik Tirta.
     "Kita terdampar di dunia dongeng Nordik kuno", sahutku.
     "Di mana kita?" Suara Hapip melemah.
     "Di kerajaan Midgard.  Pelangi itu adalah Bifrost, jembatan yang menghubungkan Midgard dengan Asgard.  Kerajaan Asgard yang terletak di langit merupakan puri para dewa.  Di sana bertahta mahadewa Odin bersama Frigg, sang permaisuri", jawabku.
     Tahu-tahu terdengar bunyi melengking.  Anak panah melesat di dekat kami.  Saya, Hapip, Tirta dan Rian, bertukar pandang.  Ini alamat buruk.  Terserempak sebuah tombak nyaris mengenai kakiku.  Mengapa ada orang mau mencelakakan kami.
     "Ayo lari", ajak Tirta.
     Kami pun berlari menyusuri pinggir danau.
     "Kita ke rimba", pekik Hapip sembari melompati sebatang kongeegen, pohon ek masyhur di Denmark.  Di momen tersebut, serombongan prajurit terlihat mengejar.
     "Lari terus, jangan menoleh", sembur Rian.
     Setelah berlari sekitar 100 meter, Hapip mengarahkan kami menyerong ke kiri.  
Tirta serta Rian melirikku.  Saya mafhum maksud Hapip.  Ia menuju ke tempat asal serangan anak panah dan lembing.  Pengejar niscaya kehilangan jejak kami.  Menyangka kami berlari terus menerobos ke jantung jenggala belantara.
     "Sepertinya di sini tadi mereka menyerang kita.  Sayang, kita tidak leluasa menengok Bifrost serta griya berundak karena pohon-pohon di sini lebat", ucap Hapip.
     "Kenapa mereka ingin membunuh kita", tanya Rian cemas.
     "Entahlah, mereka pasti salah orang.  Menduga kita penjahat.  Padahal, kita remaja baik-baik.  Kita santri IMMIM", timpal Hapip.
     "Jadi Bifrost dan graha berundak itu serupa di komik yang tadi kamu baca?"  Rian bertanya ke Tirta.
     "Persis sekali", jawab Tirta.
     "Apa judul komik itu", tanyaku.
     "Kunci Surga Hilang".
     "Pantas kita diuber.  Mereka pasti mengira kita pencurinya", kataku lesu.
     Silih berganti Hapip, Tirta serta Rian saling menatap.
     "Kita dalam bahaya besar", aku Rian.
     "Tirta, coba ingat bagaimana cerita di komik tersebut sampai kunci Surga bisa hilang.  Siapa pencurinya.  Disembunyikan di mana kunci itu", ujar Hapip.
     "Ada kekacauan di Valgrind, gerbang suci Valhalla akibat pintu tergembok.  Kunci lenyap dicoleng maling", cetus Tirta.
     "Valhalla itu sebuah area pelesir dengan 540 pintu", timpalku.
     Valhalla dideskripsikan indah berkat beratap perisai emas.  Di atap Valhalla bermukim Eikþyrnir, rusa raksasa.  Ada pula Heiðrún, kambing betina sakti.
     Gerbang Valhalla dijaga serigala dan elang.  Di pintu utama Valhalla, tumbuh pohon Glasir dengan daun berwarna emas kemerahan.
     Viking beranggapan bahwa kematian terindah serta agung ialah mati dalam perang.  Tatkala terbunuh, maka, mereka dituntun oleh Valkyrie ke Valhalla.  Kesatria yang tewas tersebut dinamakan einherjar atau pejuang tunggal.  Sementara Valkyrie merupakan dewi bersayap dengan paras cantik.  Kendati ayu, ia terkadang ganas.  Valkyrie ibarat paduan bidadari dan malaikat maut.
     Di Valhalla, para einherjar tetap beraktivitas duniawi.  Siang, mereka belajar bertempur.  Kala malam, einherjar berfoya-foya dengan makan maupun minum sepuasnya.  Di Valhalla, berjejer sofa berlapis mantel dengan hiasan pelat logam.
     Einherjar wajib latihan perang untuk menyongsong Ragnarok.  Ragnarok yang bermakna senja kala para dewa merupakan pertempuran apokaliptik antara dewa-dewi dengan raksasa.  Di Ragnarok, perang melibatkan makhluk supranatural serta kosmologi.
     "Nyawa kita di ujung tanduk.  Hikayat di komik itu jalan keluar kita dari masalah ini", ujarku dengan dada berdebar-debar.
     "Siapa yang curi kunci Valhalla", desak Hapip pada Tirta.
     "Loki Laufeyjarson", tukas Tirta.
     "Di mana Loki menaruh kunci tersebut", tanyaku.
     "Ia membuangnya".
     "Di mana?"
     "Di Arresø di tengah hutan Nordsjælland".
     "Apa itu Arresø?"  Rian bersoal.
     "Loki melemparkan kunci Valhalla ke Arresø di rimba Nordsjælland.  Hingga, airnya menyembur laksana cendawan raksasa.  Begitu tertulis di komik".
     "Apa itu Arresø?"  Rian mengulang pertanyaannya.
     "Barangkali perigi atau sungai", celetuk Hapip.
     "Cobalah ingat saat Loki mencampakkan kunci Valhalla.  Di mana ia berpijak.  Apa yang ada di dekat Loki ketika ia melontarkan kunci ke Arresø", pintaku pada Tirta.
     "Ada bunga nikkende kobjaelde warna ungu", jelas Tirta.
     "Nikkende kobjaelde merupakan flora langka di Denmark.  Nama ilmiah kembang ini yakni pulsatilla pratensis", sahutku.
     "Sekarang kita sudah punya bukti sahih jika kunci Valhalla dibuang ke sumur atau sungai yang di dekatnya ada nikkende kobjaelde di hutan Nordsjælland", papar Hapip.
     "Ssst!  Ada bunyi langkah kaki", bisik Rian.
     Kami segera mengumpet di balik dedaunan dan rumput liar.  Tak berselang lama, lewat pasukan Viking.  Mereka tampak kekar dengan kumis serta janggut lebat.  Rata-rata warna janggutnya seperti rambut jagung.
     Seorang laskar membisik rekannya sambil tertawa.  Ia lantas berhenti seraya mengangkat kain di bagian perutnya.
     Ia rupanya buang air kecil tepat di tempat persembunyian kami.  Air seninya terasa hangat saat terpercik di kulit.  Bau pesing sontak mengusik hidung.  Kami bergeming, tidak berani bergerak walau dikencingi.
     Wajah tentara tersebut lega usai pipis.  Ia lalu berlari ke barisannya.  Sedangkan kami tepekur di balik ranting rimbun dan semak.  Sumpah serapah berdentum-dentum di hati.
     Secara perlahan, kami mengendap-endap ke telaga.  Kami berempat tak saling bercakap.  Pikiran serta batin rasanya terhina gara-gara dikencingi.
     Di bibir danau, kami membasuh muka.  Kami mencedok air ke tubuh.  Terasa segar.  Bau pesing pun sirna.
     "Tadi saya hampir muntah", kata Rian.
     "Saya juga.  Air seninya pekat betul", desis Tirta sembari bergidik.
     Ketika berjalan di samping telaga, mataku tertuju pada sebuah bunga ungu.
     "Tirta!  Ini nikkende kobjaelde.  Apakah ini yang ada di komik?"
     "Ya, ini dia", sahut Tirta dengan rupa berbinar.
     "Berarti Arresø itu nama empang.  Sementara Nordsjælland adalah rimba yang kini melingkupi kita", ujar Hapip sambil manggut-manggut.
     "Di sini Loki melemparkannya", kata Tirta seraya menunjuk ke belukar dekat nikkende kobjaelde.
     "Ogi, cuma kau yang mahir berenang.  Waktu dan tempat dipersilakan", kilah Hapip.
     Tiba-tiba dari arah hutan Nordsjælland, terdengar gemuruh membahana.  Kiranya peleton yang tadi mengejar, balik lagi.  Kali ini dengan legiun, berjumlah ribuan.  Saya, Hapip, Tirta serta Rian, mundur ke tepi danau.  Air telaga terasa dingin, menusuk pori-pori kaki.  Mustahil lari.  Soalnya, di sekeliling Nordsjælland, bermunculan prajurit Viking.
     "Hvor er Valhallas nøgle!"  Terdengar seruan dari seorang yang memegang godam.  Itu pasti Thor dengan mjolnir, palu pemusnah sekaligus jimat kedewaan.
     Hapip, Tirta dan Rian, termangu.
     "Apa yang ia bilang", tanya Hapip.
     "Ia bertanya mana kunci Valhalla", terangku.
     "Vente!"  Pekikku yang membuat angkatan bersenjata tersebut hening terpaku.
     Saya menyuruhnya menunggu.  Saya hendak menyelam mencari kunci Valhalla.
     "Bagaimana bentuk kunci itu", tanyaku pada Tirta.
     Suara Tirta bak desing bayu lantaran gentar dikepung legiun Viking.
     Saya mencebur ke danau.  Menyelam mencari kunci sesuai petunjuk Tirta.
     Mataku tertuju pada sebuah benda semacam batu bata.  Warnanya hitam.  Saya mengelusnya untuk memastikan apakah ini kunci Valhalla.
     Mengamati teksturnya, kunci ini terbuat dari meteorit, benda langit.  Modelnya persegi panjang.  Berarti kunci ini harus diletakkan di sebuah wadah untuk membuka pintu.  Bentuk serta berat mutlak selaras demi menguak gerbang.
     Saya muncul di permukaan telaga.  Menghirup udara sebanyak-banyaknya karena dada terasa sakit.  Saya kemudian berjalan ke ujung dangkal danau.
     "Hvor er Valhallas nøgle", terdengar suara penuh wibawa.  Saya mencari sumber suara.  Dari sesosok individu tua berjanggut putih.  Ia pasti Odin, kaisar Asgard yang merupakan ayahanda Thor, dewa petir.
     Saya meraih kunci Valhalla yang terikat di punggungku.
     "Valhallas nøgle", saya memekik dengan mengacungkan ke atas kunci Valhalla.
     Segenap serdadu Viking langsung terduduk bertopang lutut.
     "Thor, vi er ikke disse nøgletyve.  Loki er synderen", saya sampaikan ke Thor bahwa kami bukan pencuri kunci Valhalla.  Loki pelakunya.
     "Vi ved det allerede", seru Thor.  Ternyata Thor tahu siapa pencurinya.
     Saya lantas melontarkan kunci tersebut ke Thor yang berjalan ke arahku.  Di momen yang sama, menyembul cahaya dari kunci Valhalla.  Sinar itu mencipratkan seberkas kilau terang sebesar tali.  Makin lama, kerlap kemilau tersebut kian membesar.  Berpusing mengelilingi kunci Valhalla yang tengah melayang di udara.
     "Itu lorong cahaya seperti yang tadi keluar dari komik", seru Tirta.  Kami berempat lalu tersedot saat terdengar gemuruh dari para laskar Viking; "mange tak", terima kasih.

*****


     Kami tersungkur di atas ranjang Hapip.  Berimpitan karena tiba bersamaan dari alam fiktif berlatar babad Viking.
     "Kita sampai lagi di rayon Datuk Ribandang setelah terlontar ke dunia dongeng", tandas Hapip sembari berdiri.  Ia meraih gitarnya yang ada di sisi ranjang.
     "Saya mau ke sumur kibar (senior).  Ingin mandi.  Badanku masih berbau kencing Viking", tukas Tirta.
     Dari arah pintu, muncul Iwan, sopir yang bakal membawa kami ke Bone.
     "Saya sudah 10 menit menantimu.  Kamu dari mana saja", tanya Iwan ke Rian.
     "Berpetualang di Skandinavia mencari kunci Surga", sahut Rian dengan senyum tipis.


Kamis, 09 Februari 2023

Santri Die Hard


Santri Die Hard
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pecandu film di antero jagat tentu pernah menyaksikan Die Hard.  Film yang dirilis pada Jumat, 15 Juli 1988 ini, disadur dari novel Nothing Lasts Forever karya Roderick Thorp.
     Film yang berdurasi 123 menit ini disutradarai oleh John McTiernan.  Bintangnya antara lain Bruce Willis, Alan Rickman, Reginald VelJohnson, Alexander Godunov, Paul Gleason serta Bonnie Bedelia.
     Hikayat Die Hard berfokus pada seorang polisi New York bernama John McClane.  Saat McClane menunggu istrinya di Nakatomi Plaza, Los Angeles, kiranya ada tamu tak diundang.  Petandang liar ini dipimpin Hans Gruber yang berniat merampok uang di gedung Nakatomi.  Mereka kemudian menyandera semua karyawan, termasuk Holly, istri McClane.
     Seorang diri, McClane yang berprinsip die hard (pantang menyerah), mengobrak-abrik rencana Hans Gruber.  Seluruh skema matang yang diusung Gruber ambruk gara-gara McClane.  Polisi New York tersebut tidak rela mati begitu saja.  Kalau pun harus tewas, maka, ia memilih mati dengan susah-payah.  Tentu setelah tuntas membabat segenap musuhnya.

Pengadil Diadili
     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, ada kesepakatan tak tertulis tentang hierarki junior-senior.  Kategori ini menandaskan bahwa junior wajib menghormati senior.  Sesungguhnya, junior mustahil menantang senior.  Di pondok, makin tinggi kelas, niscaya yang bersangkutan kian berkuasa.  Bahkan, kelas V maupun VI terkadang seenaknya.  Mereka bersikap "semau gue".
     Sekalipun senior selalu merasa hebat, tetapi, ini tidak berlaku selamanya.  Siapa sangka, ada santri junior bermental die hard.
     Malam pada Selasa, 4 Desember 1984, Faturrahman yang kelas III (kelas III SMP), bertengkar.  Ia tak ciut kendati lawannya bukan santri sembarang.  Seterunya anak kelas V (kelas II SMA).  Namanya Burhan Daeng Nompo.
     Saya lantas memanggil Faturrahman ke kamarku.  Tidak berselang lama, sejumlah datuk kelas V berdatangan ke bilikku.  Faturrahman tampak pucat.  Ia seorang diri seperti John McClane.  Tanpa kawan di tengah pusaran kemelut yang entah kapan berakhir.  Batinnya digulung kesunyian.  Faturrahman berdiri lemas lantaran diadili 10 santri kelas V yang berjiwa labil.  Ini pasti mimpi kelam dalam hidupnya.
     Entah wirid apa yang dirapal Faturrahman, tiba-tiba keadaan berbalik.  Sekonyong-konyong muncul Amir Machmud.  Ini alumni pertama yang menjadi pembina di pesantren.  Kelas V yang sakti pun mendadak melempem sakit.
     Kami 10 orang yang mengadili Faturrahman, sekarang digiring ke kantor pimpinan kampus.  Kini, kami yang diadili!  Ini betul-betul repot dikalkulasi.  Bagaimana bisa pengadil diadili?  Dunia apa sebenarnya yang kami tempati berpijak?  Semua berubah dalam hitungan detik.
     Amir menuding kami sembrono.  "Kelas V jangan sombong.  Jangan sombong!"
     Saya paling disorot Amir.  "Kamu Haris, saya tahu kau benci saya.  Iya, kan".  Akibat sebal diadili, saya pun mengangguk-angguk dengan senyum sinis.  Siapa tak dongkol.  Saya sudah kelas V, namun, masih diadili ala qismul amni (algojo kampus) yang cuma cocok untuk kelas I sampai IV.
     Malam ini menjadi sebuah kenangan buruk.  Semua karena Burhan bertengkar dengan Faturrahman, santri die hard Pesantren IMMIM.


Minggu, 05 Februari 2023

Seuntai Musim Bersama Syahlan Husain


Seuntai Musim Bersama Syahlan Husain
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ada beberapa momen tak terlupa selama saya tercatat sebagai santri di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Kenangan tersebut membekas meski terjadi saat bocah.  Di kampus, masa bocil dan remaja mekar di balik dinding-dinding putih asrama.  Tembok putih itu laksana pantulan dunia yang membentang luas.  Jadwal kami cuma belajar.  Ditempa dengan beragam aturan.  Disiplin teramat ketat.  Terkadang diiringi kekerasan fisik.
     Walau hidup terkurung di pondok, tetapi, banyak santri lihai mengakali aturan.  Alhasil, santri genit leluasa bermain mata dengan gadis-gadis di sebelah kampus.  Ada juga yang ulet kabur dari kampus.  Bahkan, ada yang emoh masuk kelas.  Inilah sebetulnya yang membuat kehidupan di pesantren tidak hambar.  Rutinitas selalu berwarna seumpama pelangi.  Musababnya, kami punya aneka kiat maupun sejuta aksi tipu untuk menyiasati tata tertib.  Bagi santri badung, kiprah nakal ibarat menghidupkan harapan agar ulet bertahan selama enam tahun di pesantren.
     Saya tergolong mahir kabur dari kampus.  Tujuanku ke bioskop.  Anehnya, ulahku meninggalkan pondok tanpa izin nyaris tak terendus.  Rekan lain diciduk lalu digundul karena kabur.  Soalnya, bolos ke luar pesantren termaktub dosa besar.  Ada pula sohib diterungku dalam sel khusus santri bandel akibat kabur.  Sementara saya berleha-leha di kamar tidak tersentuh hukum.
     Saya sesungguhnya tak memiliki tip atau trik untuk bolos.  Tidak juga pernah mengkhianati kompatriot sepelarian jika ke kota.  Misal, melaporkannya kalau ia melarikan diri dari pondok.  Ajaibnya, saya senantiasa selamat.
     Saya pernah satu kali ketahuan kabur ketika kelas III.  Digiring sebagai pesakitan ke pimpinan kampus.  Selama dua jam dinasehati supaya sadar.  Esoknya, saya bolos lagi.  Rupanya saya belum insaf.
     Saya sempat menduga bahwa jimat saya kabur tanpa terdeteksi terletak di gelang.  Sejak kelas II, saya selalu mengenakan gelang akar bahar warisan nenek.  Saya tak pernah melepas gelang ini kecuali latihan karate.
     Menurut desas-desus dari sahibul gosip, individu pemakai gelang akar bahar mempunyai kharisma spiritual.  Khalayak di sekitar niscaya segan.  Jadi, akar bahar bukan sekedar menyembuhkan nyeri tulang belakang, mencegah kekurangan kalsium, asam urat, hipertensi, anemia serta tekanan darah.

Monumen Keluarga
     Pergerakan saya yang doyan ke bioskop membuatku bersahabat dengan Syahlan Husain.  Ini santri dari Angkatan 8187.  Kendati Syahlan bertubuh kecil, tetapi, semangat nontonnya besar.  Ia terbilang santri moviegoer (pencandu film) di Pesantren IMMIM.
     Ada sebuah momen indah yang tidak terlengah bila terkenang Syahlan.  Saya sempat memergokinya asyik mengobrol dengan ibu dan adik perempuannya di pos piket.  Mereka barangkali saling bertutur lebih dua jam.
     Di sebuah kesempatan, saya beri tahu Syahlan jika ia begitu menikmati percakapan dengan ibu serta adiknya.
     "Kalau ibu ingin pulang, saya larang.  Jangan dulu.  Kami pun melanjutkan bertukar cerita", aku Syahlan.
     Dalam sejumlah kasus, saya sering menyaksikan santri dengan tamunya berbicara serius.  Jauh dari aura sentimental.  Bagai ada kepedihan yang sangat memilukan.  Sedangkan Syahlan terlihat santai, sarat canda.  Inilah yang membuatku senantiasa terkenang dengan momen langka kala Syahlan mengecap secara syahdu kedatangan ibu dan adiknya.  Mereka tampak bersahaja serta penuh keakraban.  Sebuah pertunjukan keluarga yang begitu indah dalam memori.  Sebuah monumen dalam untaian musim bersama Syahlan.

Ahad, 23 Oktober 1983
     Setelah nonton Octopussy (James Bond 007) di Mitra, saya pulang ke pesantren.  Tiba di kampus pukul 19.00.   Saya tak langsung masuk kampus, namun, berpelesir menikmati ubi goreng di warung.
     Syahlan lantas menghampiriku.  "Salamnya Emma, temanmu yang kerja di bioskop.  Ia bilang kau baik sekali".

Sabtu, 5 November 1983
     Saya uring-uringan di pondok.  Ini gara-gara tersengsem nonton Superman III.  Tidak tahan lagi mau lihat aksi Christopher Reeve, Richard Pryor, Jackie Cooper dan Annette O'Toole.  Saya mencoba minta izin ke ustaz Saifullah MS.  Saya beralasan hendak membeli buku.
     "Boleh pulang dari pukul 16.00 sampai waktu Magrib", tegas ustaz Saifullah.
     Saya bergegas berdandan.  Sekarang sudah Ashar.  Ada kesempatan nonton di Artis pada pukul 17.00.  Syahlan tergiur pula ingin nonton Superman III yang dirilis pada 1983 ini.  Akhirnya ia turut tanpa izin.
     Usai nonton Superman III, saya ke toko buku membeli poster, termasuk Brooke Shields, idolaku.  Saya juga ke toko kaset membeli kaset lagu Barat.
     Sampai di pesantren sekitar jam sembilan malam.  Saya tak dapat menepati janji dengan ustaz Saifullah bahwa tiba menjelang Magrib.  Terlalu banyak urusan film, majalah serta kaset yang harus dituntaskan tadi di kota.

Sabtu, 10 Desember 1983
     Sejak tinggal di Wisma Guru, saya merasa nyaman.  Saya bawa radio tape recorder dan lebih 50 kaset.  Beberapa majalah film, musik serta remaja, saya koleksi pula.  Inilah yang membuat Syahlan bersama Andi Rezky Rohadian (8288), betah bila berkunjung ke bilikku.  Keduanya bebas berselonjor menyimak majalah atau berbaring mendengar senandung Barat.
     Sore ini, ustaz Abdul Kadir Kasyim (sesepuh pesantren) pindah ke Wisma Guru.  Hingga, populasi Wisma Guru berjumlah empat.  Keempat penduduknya yakni Ustaz Abdul Kadir Massoweang (wakil pimpinan kampus), ustaz Abdul Kadir Kasyim, Mukbil (8187) dan saya.

Rabu, 30 Mei 1984
     Sejak libur pada Ahad, 27 Mei, saya bolak-balik dari rumah ke pesantren.  Jarak rumah di Jalan Veteran Selatan dengan Pesantren IMMIM berkisar 15 km.
     Pagi ini, saya mengemas sejumlah barang yang akan diangkut ke rumah.  Detik terus berdetak.  Waktu makin melaju.  Sore yang sepuh akhirnya memanggil petang.  Senja pun terasa hening di Pesantren IMMIM tatkala Mentari tersungkur ke arah Barat.  Sinar sang Surya yang kuning keemasan terus redup, berganti kegelapan.
     Saat malam, saya menyewa mikrolet (petepete) untuk membawa bagasiku ke rumah.  Syahlan ikut di mikrolet.  Sementara saya naik motor.
     Saya minta Syahlan menumpang di mikrolet karena khawatir barangku dilarikan sopir.

Kamis, 31 Mei 1984
     Pukul 09.00, saya berboncengan dengan Syahlan ke pesantren.  Dari kampus, saya antar Syahlan ke rumahnya.
     Di pesantren, santri yang tinggal bisa dihitung dengan jari.  Kampus hampir lengang dari pagi sampai siang.  Saya serta Syahlan memilih pulang ke rumah masing-masing.  Besok kami puasa, besok Ramadan 1404.

Ahad, 8 Juli 1984
     Libur khatam, hari ini kami kembali ke pesantren.  Belum banyak santri lama yang datang.  Mereka seperti kendaraan mogok, loyo tenanganya setelah libur.  Sedangkan santri baru bergantian datang dengan semangat dan paras berseri-seri.  Mobil berderet memenuhi lapangan.  Pemandangan ini terasa sebagai kebanggaan.
     Baru kali ini saya melongok begitu banyak mobil parkir di depan masjid.  Empat tahun silam ketika saya santri baru, mungkin hanya Heriyanto (8086) yang naik sedan.  Lainnya diantar mikrolet, untung tidak ada naik bendi.
     Di periode ini, semua berubah.  Nyaris segenap santri baru diantar mobil pribadi yang wah.
     Saat malam, saya ke bioskop Artis.  Bertemu Syahlan dengan Muhammad Ahyar.  Di lobi, saya asyik berkelakar dengan karyawati bioskop.
     "Ayo masuk, film segera dimulai", ajak Syahlan dengan Ahyar.  Keduanya mengusik perbincanganku dengan karyawati yang berjaga di kios.
     Saya, Syahlan bersama Ahyar menyaksikan Asylum.  Film produksi 1972 ini dibintangi oleh Robert Powell, Britt Ekland, Charlotte Rampling serta Peter Cushing.
     Sehabis nonton, saya dengan Syahlan berboncengan ke rumah.  Besok pagi rencana ke kampus.  Sementara Ahyar pulang ke pesantren.

Jumat, 12 Oktober 1984
     Bakda shalat Jumat, Syahlan datang ke rumah.
     "Ada cewek titip salam untukmu", ujar Syahlan.
    "Siapa?"  Saya bergumam heran.
     "Namanya AF.  Saya sudah kasih fotomu", sambung Syahlan sambil tertawa-ria.  Saya suka pesan yang dibawa bujang mungil ini.
     Pukul 14.00, saya bersama Syahlan ke New Artis.  Kami nonton Enigma yang dibintangi Martin Sheen, Sam Neill dan Brigitte Fossey.  Hikayat sinema produksi 1982 ini tentang agen CIA yang menyusup ke Uni Soviet.
     Selepas nonton, saya berkeliling mencari buku pelajaran Syariah Islam.  Di Jalan Pongtiku, saya dengan Syahlan berbeda haluan.  Saya balik ke rumah.  Sedangkan Syahlan kembali ke pondok.

Ahad, 4 November 1984
     Sebelum Matahari tergelincir menjelang Zhuhur, saya asyik-masyuk bertukar pandangan dengan Syahlan.  Kami membahas isu perihal cewek.  Kami bak pujangga yang tengah menata kata mengenai misteri wanita.
     Dalam percakapan, Syahlan memiliki ciri khas.  Ia acap membubuhkan kata "aduh".  Kali ini, kata "aduh" kerap terlontar dari bibirnya.  Contoh, "aduh, kau menyesal deh", "aduh, betul-betul sip" atau "aduh, kenapa kau tak omong dengan dia".

Sabtu, 26 Januari 1985
     Malam ketika sedang menulis artikel untuk majalah dinding Superpower, Syahlan ke kamarku.  Ia memang rajin menyambangiku jika malam.
     Syahlan bagai pamer informasi tentang musik serta roker.  Ia tidak henti-henti memancingku untuk menanggapinya soal musik dan roker.  Hebat, kini Syahlan kian banyak mengerti perihal musik serta roker.  Bagaimana tak jago, ia selalu membaca majalahku semacam Vista, Variasi, Ria Film, Team dan Hai.
     Syahlan malahan pernah tidur di ranjangku.  Pasalnya, ia tidak kuat lagi berjalan ke bangsalnya lantaran rasa kantuk.  Matanya dikuasai kepekatan yang kelam.  Ini akibat penat menyelami majalah film serta musik.
     Malam ini, Syahlan seolah datang menantangku adu informasi mengenai musik dan roker.  Saya lesu menimpalinya, kurang berminat.  Di akhir perbincangan, kami mengulas cewek.  Ini baru seru!

Selasa, 5 Maret 1985
     Sejak pagi sampai petang, langit terus mengencingi distrik Tamalanrea.  Hujan membekukan spirit serta aktivitas.  Cuaca dingin di musim hujan ini menyiksaku karena saya puasa.
     Syahlan kemudian datang membawakanku kaset Barat.  Hatiku pun berbunga-bunga.  Apalagi, Magrib beringsut mendekat.

Ahad, 30 Juni 1985
     Pesantren IMMIM bergemuruh-riuh.  Hari ini acara penamatan angkatan kelima sekaligus penerimaan santri baru.  Mobil berjejer di depan aula.
     Saya juga merasa bahagia.  Sebab, sudah kelas VI.  Tahun depan, giliranku yang bakal meninggalkan almamater.
     Saya sempat bersua dengan Syahlan.  Kami berbincang dalam suasana rileks.  Ia menasehatiku agar jangan tergoda dengan cewek-cewek di bioskop.  Syahlan benar.  Saya memang berniat menyibukkan diri lagi dengan majalah dinding Superpower.
     Di ingatanku, inilah perjumpaan terakhir saya dengan Syahlan.  Kami tak pernah lagi bertemu sejak Ahad, 30 Juni 1985 sampai hari ini Ahad, 5 Februari 2023.  Sekalipun begitu, kenangan yang digoreskan Syahlan tidak pudar.  Saya senantiasa ingat saat ia begitu ceria bercengkerama dengan ibu dan adiknya di pos piket Pesantren IMMIM.  Sebuah pertunjukan keluarga yang begitu indah dalam memori.  Sebuah monumen dalam untaian musim bersama Syahlan Husain.


Jumat, 03 Februari 2023

Koneksi Otak dan Hati


Koneksi Otak dan Hati
Pengetahuan yang diolah akal akan menghasilkan produk positif atau negatif. Tergantung koneksi antara otak dengan hati dalam memproses
Abdul Haris Booegies


Kamis, 02 Februari 2023

Bioskop Paramount


Bioskop Paramount
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada awal 1983, moviegoer di Ujung Pandang pantas lega sekaligus tersenyum puas.  Ada bioskop baru bernama Paramount Theatre.
     Bioskop ini cukup unik.  Sebab, berada di lantai dua.  Lantai bawah berfungsi tempat parkir.  Paramount yang terletak di Jalan Gunung Bulusaraung (Jalan Jenderal M Jusuf), memiliki dua tangga.  Di depan melintang tangga utama selebar tiga meter.  Di sisi Barat dinding lahan parkir, menempel pula tangga selebar satu meter.  Tangga ini jarang diketahui, kecuali penonton yang sering ke Paramount.  Apalagi, juru parkir kerap mengarahkan untuk menggunakan tangga utama di depan.
     Paramount bersaudara dengan bioskop Dewi, sama-sama ditangani oleh pengusaha berdarah India.  Dewi merupakan bioskop spesialis Bollywood.  Sekitar awal 90-an, Dewi-Paramount membeli bioskop Jaya.  Sejak itu, Jaya tidak lagi memutar film silat Mandarin.  Film yang main di Jaya didominasi Barat.  Secara perlahan, wajah Jaya berubah.  Sekilas, bukan lagi bioskop kelas bawah, tetapi, menengah ke atas.  Baliho di depan Jaya senantiasa tampil dengan wanita berpenampilan hot.
     Ciri khas Paramount ialah film Barat.  Di bioskop inilah saya menonton Star Wars.  Film box office yang seru ini memble di Indonesia.  Musababnya, dianggap film anak-anak.
     Di awal keberadaan Paramount, banyak film bermutu diputar.  Pada Kamis, 2 Juni 1983, saya nonton First Blood.  Pada Jumat, 29 Juli 1983, menyaksikan The Gods Must be Crazy.
     Lambat-laun, Paramount jeli menjaring penonton.  Bioskop ini menayangkan film-film yang dibintangi Edwige Fenech.  Rata-rata film Edwige Fenech tidak memakai BH (bustehouder) serta CD (celana dalam).  Di era 80-an, Edwige Fenech bersama Gloria Guida begitu populer di Ujung Pandang.  Keduanya artis Italia yang doyan berlakon mesum di pita seluloid.
     Pada 1 Januari 1984, saya nonton Angel Face Killer di Paramount.  Film ini menampilkan banyak adegan buka dada.  Ada tokoh bernama Lady White yang seolah alergi memakai kutang.  Ia juga tak mengenakan cawat.  Untung mulus sekali, berkilau.
     Di tarikh 2022 kala meracik artikel Santri Sultan, saya sempat mencari data Angel Face Killer di Google.  Tidak tersua.  Berarti judul film ini bukan asli, namun, jadi-jadian.  Sepertinya judul film tersebut buatan importir yang memasukkan film ke Indonesia.  Saya sengaja mengutak-atik Internet karena penasaran dengan pemeran Lady White.  Menurut seorang rekan moviegoer yang masih kelas II SMP, payudaranya seronok.  38 tahun silam, bocah tersebut tidak bisa tidur membayangkan tetek sensual Lady White.
     Di malam Ahad saat midnight show, Paramount selalu banjir penonton.  Maklum, film yang diputar senantiasa merangsang naluri kebinatangan.  Banyak adegan ranjang yang membuat lelaki binal ngos-ngosan.  Gairah erotisisme memuncak.
     Pernah Paramount penuh, sementara calon penonton masih tersisa lebih 100.  Akhirnya, calon penonton itu digiring ke bioskop Dewi.  Tiap 15 menit, rol film di Paramount dibawa ke Dewi untuk diputar demi kepuasan lebih 100 penonton bermental genit.  Paramount panen rezeki.
     Bioskop di Ujung Pandang akhirnya mengalami sakratulmaut menjelang tahun 2000.  DVD bajakan leluasa diperjualbelikan.  Akibatnya, orang malas ke bioskop.  Kini, Paramount lenyap dari perabadan baru, tetapi, kenangannya tak musnah.  Paramount tetap lestari dalam nostalgia.


Bioskop Jaya


Bioskop Jaya
Oleh Abdul Haris Booegies

     Bioskop Jaya merupakan bioskop favorit santri IMMIM era 80-an.  Letak bioskop ini sangat strategis bagi santri.  Sebab, Jaya berada di Jalan Gunung Bulusaraung (kini Jalan Jenderal M Yusuf).  Begitu keluar bioskop, bisa langsung menunggu mikrolet (petepete) untuk balik ke kampus.
     Di sisi Timur bioskop, ada penjual coto maupun sop saudara sejak siang sampai malam.  Santri dengan kelebihan duit, terkadang singgah sebelum pulang ke pondok.
     Bioskop Jaya sering memutar film silat.  Film yang dibintangi Jacky Chan kerap diputar di sini.
     Keistimewaan Jaya yakni punya jadwal pemutaran empat kali.  Pukul 14.30, 17.00, 19.30 dan 22.00.
     Keunggulan lain yaitu tempat duduk dari kayu dengan anyaman rotan.  Lumayan, duduk dua jam menyaksikan film.  Begitu keluar bioskop, pantat rasanya tepos.
     Ada lagi keutamaan Jaya.  Film jeda di pertengahan.  Paling apes bila protagonis serta antagonis sedang bertarung, tiba-tiba lampu menyala dalam gedung.  Di layar tertulis "intermeso", waktu untuk istirahat.
     Sebagian penonton bergegas ke arah dua pintu samping di sebelah Timur.  Ada yang pipis, ada pula jajan.  Di kios mini yang terbuat dari papan, tersedia rokok, es lilin (es manis sebesar ibu jari yang dibungkus plastik), jalangkote serta kacang (langkose).  Sementara penonton lain tetap di tempat duduk.  Tidak jarang ada yang menggerutu.  Tengah asyik nonton, mendadak istirahat.
     Keluhan senyap penonton tentu saja pengap.  Bioskop ini tak punya kipas, apalagi AC.  Namanya juga bioskop kelas bawah.  Sirkulasi udara yang minim, makin parah karena asap rokok.  Penonton bebas merokok.  Akibatnya, ruang dalam gedung, berasap.  Sumpek sekali.  Saya pernah membuka baju sepanjang film diputar.  Untung tidak membuka celana.
     Kendati Jaya berstandar pas-pasan, namun, penonton acap berjubel.  Tentu dari kalangan menengah ke bawah.  Semua berkat karcis yang termasuk murah.  HTM (harga tanda masuk) dibanderol Rp 350.
     Jangan kaget, penonton di bioskop ini mirip di pedalaman.  Jika jagoan datang, penonton pun bergemuruh, bersorak-sorai.  "Datang mi tolo'na!  Eya...!  Eya...!  (hore, jagoan sudah muncul)"  Sebagian penonton bertepuk tangan.  Biking malu-malu sekali biasa kalau begitu ki.  I de e...


Rabu, 01 Februari 2023

Pergi Satu demi Satu


Pergi Satu demi Satu
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Hari ini Rabu, 1 Februari 2023, cakrawala tampak indah tanpa mendung di momen fajar merekah.  Angkasa nan cerah seolah menyemangatiku menyongsong pagi yang cemerlang.  Saya tiba di rumah setelah joging tepat pada pukul 06.05.  Tiap pukul 05.30, saya berlari empat kilometer.  Sesampai di rumah, saya push up antara 130-150 kali.
     Saat hendak mandi, telepon berdering.  Dari Ahmad Tirta.  Warta apa gerangan yang membuatnya menelepon sepagi ini?
     "Amrullah meninggal", terdengar suara lirih Tirta.
     Saya terkesiap.  Tak berdaya mengeluarkan sepatah kata.
     "Ia wafat tadi subuh", lanjut Tirta.  Saya tetap tidak sanggup mengucap kata-kata.  Tirta kemudian menutup telepon.
     Saya terpaku.  Dalam sepekan ini, tiga rekanku tutup usia.  Pada Jumat, Suhaib meninggal akibat serangan jantung.  Ahad, Gunadi menyusul.  Hari ini Rabu, giliran Amrullah.
     Suhaib, Gunadi dan Amrullah merupakan teman seangkatan di Pesantren IMMIM.  Ketika masih tercatat sebagai santri pada 1980-1986, saya, Hapip Berru, Suhaib, Gunadi serta Amrullah sering lari pagi saban Jumat.  Kami berlari sampai jembatan sungai Tello.
     Memori bersama Suhaib, Gunadi dan Amrullah buyar saat telepon kembali berdering.  Kali ini dari Andi Rian.
     "Amrullah tadi subuh wafat di Kalimantan".
     "Ya, saya sudah dengar dari Tirta tiga menit lalu.  Coba beri tahu Hapip.  Barangkali ia belum dengar kabar duka ini".
     "Saya sudah sampaikan", tandas Rian.
     Enam hari lalu ketika Suhaib meninggal, Rian yang pertama kali memberitahuku.  Kematian Suhaib teramat tragis.
     Kamis sore Suhaib ke Jakarta untuk menandatangi kesepakatan penyelenggaraan proyek pada Jumat pagi.  Tatkala bersiap ke Jakarta, Suhaib membisik istrinya yang tergolek di rumah sakit.  "Besok sore saya sudah di sini lagi", ucapnya sambil membelai wajah sang istri.  Di Jakarta saat sarapan di hotel, Suhaib kena serangan jantung.
     Istri Suhaib tak kuat mendengar berita memilukan mengenai kematian suaminya.  Akibatnya, ia pun menghembuskan napas terakhir.  Masalah tidak habis, justru melahirkan kesedihan baru.  Soalnya, tiga hari setelah Suhaib bersama bininya wafat, putri tunggalnya menikah.
     Ketika resepsi dilangsungkan, mempelai wanita tak kuasa menahan air mata.  Banyak undangan terharu dengan mata sembap.  Pesta menjelma teater duka-cita.
     Kematian Gunadi juga mengiris perasaan.  Ia kena kanker tenggorokan.  Lehernya bolong di bagian depan gara-gara mutasi gen pada sel-sel tenggorokan.  Di hari-hari akhir hidupnya, dengus napasnya seperti hewan yang digorok.  Suaranya mirip rekaman di kaset rusak.
     Beberapa menit sebelum Gunadi berpulang, saya, Hapip, Tirta serta Rian membesuknya di Klinik Bella.  Kami datang pada Ahad sore selepas hujan lebat.  Kondisi Gunadi sangat parah.  Ia bisa bernapas berkat alat bantu pernapasan.  Maklum, kadar oksigennya rendah dalam aliran darah.  Gunadi dikitari selang dan alat-alat medis.
     Gunadi yang mukanya dipasangi kanula hidung yang terhubung ke konsentrator oksigen, dikelilingi lima putra-putrinya yang masih lajang.  Gunadi menghadapi cobaan berat.  Sebab, sebulan lalu istrinya mati disambar truk.
     Tahun lalu, saat bertemu Gunadi, raganya terlihat ringkih.
     "Ogi, kau satu-satunya sahabatku yang tidak pernah merokok ketika di pesantren", desis Gunadi hampir tak terdengar.  Tangannya erat menggenggam lenganku.
     "Kau lihat sekarang keadaanku.  Sakit-sakitan.  Dulu saya perokok berat, kini saya didera kanker tenggorokan.  Paru-paruku pun rusak.  Hingga, membuat tubuhku memproduksi lendir secara berlebih", sambung Gunadi.  Tutur bernada keluhan yang meluncur dari mulut Gunadi, ibarat penyesalan yang tiada berampun.
     "Saya masih ingat saat kita joging di Jumat pagi.  Tanpa aba-aba, kau kencing di atas jembatan sungai Tello", Gunadi berusaha menghangatkan suasana dengan nostalgia selama di Pesantren IMMIM.  Matanya tampak sebening mata gadis kasmaran begitu terkenang masa-masa di pondok.  Saya cekikikan membayangkan peristiwa pipis di jembatan.  Kami tidak pernah mampu terlepas dari kenangan tentang kebandelan atau ketololan selama berstatus santri.
     37 tahun sesudah tamat di pesantren, kini Gunadi terbujur lunglai di rumah sakit.  Hatinya pasti hening setelah ditinggal mati oleh istrinya.  Pikiran Gunadi niscaya kalut pula, terombang-ambing tak menentu.  Lima anaknya belum ada yang berkeluarga.  Ini beban berat di ujung hayat.
     Sewaktu Gunadi yang terbaring mengetahui kedatangan saya, Hapip, Tirta serta Rian, bola matanya membesar.  Ia mau berbicara, tetapi, dadanya bak ditumbuk godam.  Setetes air mata meleleh, mengalir ke dekat telinganya.  Putri bungsunya menyeka dengan tisu.
     Kala meninggalkan Klinik Bella, saya, Hapip, Tirta dan Rian, cuma membisu di tengah terpaan angin senja.  Kami mafhum, durasi hidup Gunadi tersisa sedikit.  Pencabut nyawa tinggal menanti detik penentu sebelum beraksi.  Gunadi mustahil bersembunyi dari maut.  Kematian bakal menghampiri siapa saja.  Semua dapat giliran!
     Ketika menjejakkan kaki di koridor, mendadak kami diminta balik lagi oleh Ramli, putra sulung Gunadi.  
     "Ajal Bapak sudah dekat".
     Saya, Hapip, Tirta serta Rian bergegas ke kamar Gunadi.  Kami masih menyaksikan Gunadi bernapas tiga kali dengan jeda panjang.  Napasnya lantas hilang.  Matanya sayu tidak bercahaya sebelum terkatup selamanya.  Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

*****


     Kematian Suhaib, Gunadi maupun Amrullah, kian menyusutkan jumlah Angkatan 8086.  Saat tamat, kami berjumlah 102 alumni.  Sekarang tersisa 78.  Ini berarti, 24 yang telah almarhum.  Mereka pergi satu demi satu.
     Saya, Hapip, Tirta dan Rian, tak bisa ke Kalimantan Timur untuk melayat Amrullah.  Kami hanya mendoakannya memperoleh Firdaus, tempat termewah serta termegah di Negeri Akhirat.
     Bakda shalat Magrib, saya terus terkenang perjalanan terakhir Amrullah menuju ke Tuhannya.  Saya tepekur di antara jemaah yang shalat sunat, mengaji dan mengobrol.
     Saya memandang sajadah.  Melamunkan keberadaanku di dunia.  Apakah selama ini saya sudah berbuat bajik demi kebahagiaanku di Akhirat atau memperlakukan dunia sebagai berhala?  Mungkinkah saya hamba Allah atau penganut hedonisme yang menjadi tuan karena berduit?
     Apakah selama ini sepak-terjangku tidak merugikan orang-orang di sekitarku.  Apakah kehidupanku luhur sekaligus tegak lurus serupa abjad alif (ا).  Apakah saya merunduk laksana aksara wau (و) di depan hukum.  Apakah saya mengayomi siapa pun tanpa pandang bulu.  Menopang yang besar atau kecil sebagaimana huruf tsa (ث).
     Kalau saya punya pahala berkat kebaikan yang kukerjakan, sebesar apa pahalaku?  Apakah pahalaku masih sekantong atau berkarung-karung?  Jumlah pahala merupakan rahasia Ilahi laiknya misteri sejumlah kasus di Indonesia.  Dewasa ini, muncul teka-teki tak terpecahkan perihal asal-usul Wali Songo, kisah asmara Ken Dedes-Ken Arok serta ijazah palsu.
     Tiada seorang pun paham seberapa besar pahala di sisinya.  Pahala yang menjadi bekal di Alam Hakiki tidak pernah dikalkulasi.  Sebab, berwujud nonmateri.  Apalagi, pahala cuma bisa ditransfer untuk dikonversi ketika tiba di kuburan.
     Kini, siapkah saya dipanggil?  Apakah rukuk dan sujudku telah maksimal sebagai tameng dari jilatan api Neraka?  Apakah pahalaku sudah genap sebagai tiket menuju Surga?


Amazing People