Bioskop Paramount
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada awal 1983, moviegoer di Ujung Pandang pantas lega sekaligus tersenyum puas. Ada bioskop baru bernama Paramount Theatre.
Bioskop ini cukup unik. Sebab, berada di lantai dua. Lantai bawah berfungsi tempat parkir. Paramount yang terletak di Jalan Gunung Bulusaraung (Jalan Jenderal M Jusuf), memiliki dua tangga. Di depan melintang tangga utama selebar tiga meter. Di sisi Barat dinding lahan parkir, menempel pula tangga selebar satu meter. Tangga ini jarang diketahui, kecuali penonton yang sering ke Paramount. Apalagi, juru parkir kerap mengarahkan untuk menggunakan tangga utama di depan.
Paramount bersaudara dengan bioskop Dewi, sama-sama ditangani oleh pengusaha berdarah India. Dewi merupakan bioskop spesialis Bollywood. Sekitar awal 90-an, Dewi-Paramount membeli bioskop Jaya. Sejak itu, Jaya tidak lagi memutar film silat Mandarin. Film yang main di Jaya didominasi Barat. Secara perlahan, wajah Jaya berubah. Sekilas, bukan lagi bioskop kelas bawah, tetapi, menengah ke atas. Baliho di depan Jaya senantiasa tampil dengan wanita berpenampilan hot.
Ciri khas Paramount ialah film Barat. Di bioskop inilah saya menonton Star Wars. Film box office yang seru ini memble di Indonesia. Musababnya, dianggap film anak-anak.
Di awal keberadaan Paramount, banyak film bermutu diputar. Pada Kamis, 2 Juni 1983, saya nonton First Blood. Pada Jumat, 29 Juli 1983, menyaksikan The Gods Must be Crazy.
Lambat-laun, Paramount jeli menjaring penonton. Bioskop ini menayangkan film-film yang dibintangi Edwige Fenech. Rata-rata film Edwige Fenech tidak memakai BH (bustehouder) serta CD (celana dalam). Di era 80-an, Edwige Fenech bersama Gloria Guida begitu populer di Ujung Pandang. Keduanya artis Italia yang doyan berlakon mesum di pita seluloid.
Pada 1 Januari 1984, saya nonton Angel Face Killer di Paramount. Film ini menampilkan banyak adegan buka dada. Ada tokoh bernama Lady White yang seolah alergi memakai kutang. Ia juga tak mengenakan cawat. Untung mulus sekali, berkilau.
Di tarikh 2022 kala meracik artikel Santri Sultan, saya sempat mencari data Angel Face Killer di Google. Tidak tersua. Berarti judul film ini bukan asli, namun, jadi-jadian. Sepertinya judul film tersebut buatan importir yang memasukkan film ke Indonesia. Saya sengaja mengutak-atik Internet karena penasaran dengan pemeran Lady White. Menurut seorang rekan moviegoer yang masih kelas II SMP, payudaranya seronok. 38 tahun silam, bocah tersebut tidak bisa tidur membayangkan tetek sensual Lady White.
Di malam Ahad saat midnight show, Paramount selalu banjir penonton. Maklum, film yang diputar senantiasa merangsang naluri kebinatangan. Banyak adegan ranjang yang membuat lelaki binal ngos-ngosan. Gairah erotisisme memuncak.
Pernah Paramount penuh, sementara calon penonton masih tersisa lebih 100. Akhirnya, calon penonton itu digiring ke bioskop Dewi. Tiap 15 menit, rol film di Paramount dibawa ke Dewi untuk diputar demi kepuasan lebih 100 penonton bermental genit. Paramount panen rezeki.
Bioskop di Ujung Pandang akhirnya mengalami sakratulmaut menjelang tahun 2000. DVD bajakan leluasa diperjualbelikan. Akibatnya, orang malas ke bioskop. Kini, Paramount lenyap dari perabadan baru, tetapi, kenangannya tak musnah. Paramount tetap lestari dalam nostalgia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar