Rabu, 01 Februari 2023

Pergi Satu demi Satu


Pergi Satu demi Satu
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Hari ini Rabu, 1 Februari 2023, cakrawala tampak indah tanpa mendung di momen fajar merekah.  Angkasa nan cerah seolah menyemangatiku menyongsong pagi yang cemerlang.  Saya tiba di rumah setelah joging tepat pada pukul 06.05.  Tiap pukul 05.30, saya berlari empat kilometer.  Sesampai di rumah, saya push up antara 130-150 kali.
     Saat hendak mandi, telepon berdering.  Dari Ahmad Tirta.  Warta apa gerangan yang membuatnya menelepon sepagi ini?
     "Amrullah meninggal", terdengar suara lirih Tirta.
     Saya terkesiap.  Tak berdaya mengeluarkan sepatah kata.
     "Ia wafat tadi subuh", lanjut Tirta.  Saya tetap tidak sanggup mengucap kata-kata.  Tirta kemudian menutup telepon.
     Saya terpaku.  Dalam sepekan ini, tiga rekanku tutup usia.  Pada Jumat, Suhaib meninggal akibat serangan jantung.  Ahad, Gunadi menyusul.  Hari ini Rabu, giliran Amrullah.
     Suhaib, Gunadi dan Amrullah merupakan teman seangkatan di Pesantren IMMIM.  Ketika masih tercatat sebagai santri pada 1980-1986, saya, Hapip Berru, Suhaib, Gunadi serta Amrullah sering lari pagi saban Jumat.  Kami berlari sampai jembatan sungai Tello.
     Memori bersama Suhaib, Gunadi dan Amrullah buyar saat telepon kembali berdering.  Kali ini dari Andi Rian.
     "Amrullah tadi subuh wafat di Kalimantan".
     "Ya, saya sudah dengar dari Tirta tiga menit lalu.  Coba beri tahu Hapip.  Barangkali ia belum dengar kabar duka ini".
     "Saya sudah sampaikan", tandas Rian.
     Enam hari lalu ketika Suhaib meninggal, Rian yang pertama kali memberitahuku.  Kematian Suhaib teramat tragis.
     Kamis sore Suhaib ke Jakarta untuk menandatangi kesepakatan penyelenggaraan proyek pada Jumat pagi.  Tatkala bersiap ke Jakarta, Suhaib membisik istrinya yang tergolek di rumah sakit.  "Besok sore saya sudah di sini lagi", ucapnya sambil membelai wajah sang istri.  Di Jakarta saat sarapan di hotel, Suhaib kena serangan jantung.
     Istri Suhaib tak kuat mendengar berita memilukan mengenai kematian suaminya.  Akibatnya, ia pun menghembuskan napas terakhir.  Masalah tidak habis, justru melahirkan kesedihan baru.  Soalnya, tiga hari setelah Suhaib bersama bininya wafat, putri tunggalnya menikah.
     Ketika resepsi dilangsungkan, mempelai wanita tak kuasa menahan air mata.  Banyak undangan terharu dengan mata sembap.  Pesta menjelma teater duka-cita.
     Kematian Gunadi juga mengiris perasaan.  Ia kena kanker tenggorokan.  Lehernya bolong di bagian depan gara-gara mutasi gen pada sel-sel tenggorokan.  Di hari-hari akhir hidupnya, dengus napasnya seperti hewan yang digorok.  Suaranya mirip rekaman di kaset rusak.
     Beberapa menit sebelum Gunadi berpulang, saya, Hapip, Tirta serta Rian membesuknya di Klinik Bella.  Kami datang pada Ahad sore selepas hujan lebat.  Kondisi Gunadi sangat parah.  Ia bisa bernapas berkat alat bantu pernapasan.  Maklum, kadar oksigennya rendah dalam aliran darah.  Gunadi dikitari selang dan alat-alat medis.
     Gunadi yang mukanya dipasangi kanula hidung yang terhubung ke konsentrator oksigen, dikelilingi lima putra-putrinya yang masih lajang.  Gunadi menghadapi cobaan berat.  Sebab, sebulan lalu istrinya mati disambar truk.
     Tahun lalu, saat bertemu Gunadi, raganya terlihat ringkih.
     "Ogi, kau satu-satunya sahabatku yang tidak pernah merokok ketika di pesantren", desis Gunadi hampir tak terdengar.  Tangannya erat menggenggam lenganku.
     "Kau lihat sekarang keadaanku.  Sakit-sakitan.  Dulu saya perokok berat, kini saya didera kanker tenggorokan.  Paru-paruku pun rusak.  Hingga, membuat tubuhku memproduksi lendir secara berlebih", sambung Gunadi.  Tutur bernada keluhan yang meluncur dari mulut Gunadi, ibarat penyesalan yang tiada berampun.
     "Saya masih ingat saat kita joging di Jumat pagi.  Tanpa aba-aba, kau kencing di atas jembatan sungai Tello", Gunadi berusaha menghangatkan suasana dengan nostalgia selama di Pesantren IMMIM.  Matanya tampak sebening mata gadis kasmaran begitu terkenang masa-masa di pondok.  Saya cekikikan membayangkan peristiwa pipis di jembatan.  Kami tidak pernah mampu terlepas dari kenangan tentang kebandelan atau ketololan selama berstatus santri.
     37 tahun sesudah tamat di pesantren, kini Gunadi terbujur lunglai di rumah sakit.  Hatinya pasti hening setelah ditinggal mati oleh istrinya.  Pikiran Gunadi niscaya kalut pula, terombang-ambing tak menentu.  Lima anaknya belum ada yang berkeluarga.  Ini beban berat di ujung hayat.
     Sewaktu Gunadi yang terbaring mengetahui kedatangan saya, Hapip, Tirta serta Rian, bola matanya membesar.  Ia mau berbicara, tetapi, dadanya bak ditumbuk godam.  Setetes air mata meleleh, mengalir ke dekat telinganya.  Putri bungsunya menyeka dengan tisu.
     Kala meninggalkan Klinik Bella, saya, Hapip, Tirta dan Rian, cuma membisu di tengah terpaan angin senja.  Kami mafhum, durasi hidup Gunadi tersisa sedikit.  Pencabut nyawa tinggal menanti detik penentu sebelum beraksi.  Gunadi mustahil bersembunyi dari maut.  Kematian bakal menghampiri siapa saja.  Semua dapat giliran!
     Ketika menjejakkan kaki di koridor, mendadak kami diminta balik lagi oleh Ramli, putra sulung Gunadi.  
     "Ajal Bapak sudah dekat".
     Saya, Hapip, Tirta serta Rian bergegas ke kamar Gunadi.  Kami masih menyaksikan Gunadi bernapas tiga kali dengan jeda panjang.  Napasnya lantas hilang.  Matanya sayu tidak bercahaya sebelum terkatup selamanya.  Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

*****


     Kematian Suhaib, Gunadi maupun Amrullah, kian menyusutkan jumlah Angkatan 8086.  Saat tamat, kami berjumlah 102 alumni.  Sekarang tersisa 78.  Ini berarti, 24 yang telah almarhum.  Mereka pergi satu demi satu.
     Saya, Hapip, Tirta dan Rian, tak bisa ke Kalimantan Timur untuk melayat Amrullah.  Kami hanya mendoakannya memperoleh Firdaus, tempat termewah serta termegah di Negeri Akhirat.
     Bakda shalat Magrib, saya terus terkenang perjalanan terakhir Amrullah menuju ke Tuhannya.  Saya tepekur di antara jemaah yang shalat sunat, mengaji dan mengobrol.
     Saya memandang sajadah.  Melamunkan keberadaanku di dunia.  Apakah selama ini saya sudah berbuat bajik demi kebahagiaanku di Akhirat atau memperlakukan dunia sebagai berhala?  Mungkinkah saya hamba Allah atau penganut hedonisme yang menjadi tuan karena berduit?
     Apakah selama ini sepak-terjangku tidak merugikan orang-orang di sekitarku.  Apakah kehidupanku luhur sekaligus tegak lurus serupa abjad alif (ا).  Apakah saya merunduk laksana aksara wau (و) di depan hukum.  Apakah saya mengayomi siapa pun tanpa pandang bulu.  Menopang yang besar atau kecil sebagaimana huruf tsa (ث).
     Kalau saya punya pahala berkat kebaikan yang kukerjakan, sebesar apa pahalaku?  Apakah pahalaku masih sekantong atau berkarung-karung?  Jumlah pahala merupakan rahasia Ilahi laiknya misteri sejumlah kasus di Indonesia.  Dewasa ini, muncul teka-teki tak terpecahkan perihal asal-usul Wali Songo, kisah asmara Ken Dedes-Ken Arok serta ijazah palsu.
     Tiada seorang pun paham seberapa besar pahala di sisinya.  Pahala yang menjadi bekal di Alam Hakiki tidak pernah dikalkulasi.  Sebab, berwujud nonmateri.  Apalagi, pahala cuma bisa ditransfer untuk dikonversi ketika tiba di kuburan.
     Kini, siapkah saya dipanggil?  Apakah rukuk dan sujudku telah maksimal sebagai tameng dari jilatan api Neraka?  Apakah pahalaku sudah genap sebagai tiket menuju Surga?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People