Selasa, 29 Agustus 2023

Juara Komentar


Juara Komentar
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tiap Indonesia kalah di sepak bola, acap muncul ide besar di media sosial.  Bergemuruh hasrat supaya timnas memperagakan total voetball, jogo bonito, catenaccio atau tiki-taka.
     Memangnya gampang yang namanya total football?  Belanda saja tidak bisa lagi mempraktikkan total football. Mau jogo bonito?  Brasil justru digilas der Panzer 7-1.  Kekalahan paling memalukan di kandang sendiri pada 2014.  Sistem gerendel catenaccio malahan membuat Italia alpa di Qatar 2022.  Sementara tiki-taka sekarang sudah punah di Barcelona.
     Aspek yang membuat sepak bola Indonesia heboh yakni komentar.  Baik yang disampaikan oleh komentator di TV maupun tanggapan di media sosial.
     Kalau mendengar komentar orang Melayu, rasanya mereka lebih hebat dari pelatih selevel Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho atau Jurgen Klopp.  Komentarnya selangit, prestasinya secuil.  Beruntunglah penonton lokal.  Sebab, komentarnya selalu juara dunia tanpa pesaing.


Selasa, 22 Agustus 2023

Four Wives


Life is nothing without four wives
(Abdul Haris Booegies)


Minggu, 20 Agustus 2023

Kristal Superman


Kristal Superman
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Saya melirik arloji.  Sekarang pukul 02.20.
     "Dua menit lagi kita sampai di kampus", gumamku.  Kami sekarang di jembatan Tello.
     Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta bersama Andi Rian menumpang truk.  Tadi kami nonton midnight show di Cinema Paradiso.  Kami menyaksikan Compañeros yang dibintangi Franco Nero, Iris Berben serta Jack Palance.
     Sesudah nonton, kami menyusuri Karebosi sampai Masjid Raya, berjarak lebih satu kilometer.  Berharap ada mikrolet alias petepete.  Penantian kami sia-sia setelah 30 menit menunggu.  Tak dinyana, ada sopir truk tujuan Parepare berbaik hati mau mengantar kami ke Pesantren IMMIM.  Kami langsung berlompatan naik truk.
     Sesudah melewati jembatan Tello, langit mendadak bersinar terang.
     "Ada komet jatuh", seru Rian dengan wajah takjub.  Pandangan kami mengikuti komet yang muncul dari arah Timur.  Benda langit tersebut tiba-tiba mengeluarkan sinar merah.  Percik-percik cahaya pun berjatuhan laksana kembang api.
     "Mengapa komet itu pecah di langit.  Mestinya jatuh melengkung ke Barat setelah memasuki atmosfer", tanya Tirta.
     "Komet itu pasti malu-malu jatuh ke Bumi", ujar Rian
     "Sepertinya cipratan komet tersebut mengguyur pesantren", celetuk Hapip.
     "Berarti besok libur jika pecahan komet menimpa pesantren", celetukku.
     20 meter sebelum sampai di depan pesantren, truk berhenti.
     "Cocok kalau di sini kita diturunkan", puji Hapip.
     "Sopir ini pasti berpengalaman kabur saat bersekolah.  Sebab, pemali siswa yang bolos singgah tepat di depan sekolah", Tirta berkhotbah.
     "Terima kasih banyak, Pak", ucap Rian seraya menyunggingkan senyum.  Kami berempat mengangguk sebagai bentuk terima kasih,
     Tatkala kami hendak memanjak gerbang pagar kampus, sontak muncul seorang pria berbadan atletis.  Ia cuma mengenakan celana dalam.  Tubuhnya tinggi dengan tampang bule.
     "Orang gila", desis Rian.
     "Mana ada orang dengan gangguan jiwa berparas bersih", sahut Hapip.
     "Siapa kamu", tanya Tirta.
     "Superman, saya Superman".
     "Apa saya bilang.  Dia sinting.  Mengaku-aku Superman", ucap Rian.
     Saya mengajak Hapip, Tirta serta Rian untuk segera masuk ke kampus.  Saya mengantuk sekali.  Percuma menghiraukan orang gila pada dini hari ini.
     "Kamu Ogi.  Ini Hapip.  Ini Tirta.  Ini Rian".
    Kami berempat terkesiap.  Dari mana orang ini mengetahui nama kami.
     "Saya Superman alias Clark Kent.  Saya wartawan Daily Planet di Metropolis, Amerika".
     "Identitas Superman yang kau paparkan betul, tetapi, mengapa kamu telanjang", selidik Rian.
     "Tadi sewaktu terbang, saya bertabrakan dengan komet".
     "Hm, jadi empat menit lalu kau penyebab komet pecah berhamburan di langit?"  Tuduhku pada orang yang mengaku Superman.
     "Mengapa kamu tidak terbang ke Amerika untuk ganti baju", cetus Tirta.
     "Saya tidak bisa terbang".
     "Tadi mengaku Superman!  Mana ada Superman tidak bisa terbang", sindir Hapip.
     "Orang ini pasti bukan Superman, tetapi, Suparman", bisikku.
     "Kala bertabrakan, kristal hijau di sabuk celana dalamku terlempar.  Jatuh entah di mana".
     "Kristal itu pasti dari planet Krypton", celetuk Rian.
     "Betul.  Kamu banyak tahu tentang asal-usulku".
     "Kami semua penggemar Superman, namun, Superman yang dapat terbang.  Bukan Suparman", kataku sambil mengajak Hapip, Tirta dan Rian masuk ke kampus.
     Hapip mengikutiku di belakang.  Sementara Tirta serta Rian agak ragu masuk.  Keduanya merasa iba kepada Superman.
     "Ayo masuk!  Kita harus tidur.  Dua jam lagi kita shalat Shubuh", semburku dengan nada tinggi.

oooooOooooo


     Ketika kami tiba di laboratorium, tampak ada sinar hijau di sumur Selatan dekat pagar kawat berduri.
     Kami berjalan pelan ke perigi.  Khawatir itu cahaya senter garong yang jatuh atau binar hantu patah hati.
     "Jangan takut.  Apalagi, kita berempat.  Ini pesantren kita.  Kita wajib menjaganya dari pengacau", tegasku dengan lutut bergetar.  Napas Hapip terasa berat.  Di dahi Tirta, terlihat butir-butir keringat.  Sementara Rian lemas, agak berat melangkah.
     Tiada sesuatu di sekitar sumur.  Kami kemudian menengok ke dalam perigi.  Ada cahaya dari dalam air.  Benderang menyilaukan mata.
     "Apa itu yang menyala?"  Tirta bersoal.
     "Kristal hijau Krypton", seru Rian.
     "Pasti milik Superman", tegas Hapip.
     "Hapip, kamu yang turun", perintahku.
     "Enak betul menyuruhku.  Kamu saja!"
     "Tirta, kamu yang turun", kataku mendesak.
     "Air sumur ini dangkal,  Tidak sampai satu meter", ujar Rian.
     Tirta pun turun.  Air cuma sampai di perutnya.  Ia lantas menunduk untuk mengambil kristal.
     "Eureka, saya menemukannya.  Saya kini pemilik kristal Krypton", pekik Tirta.
     "Cepat naik", kataku.
     Tiba-tiba Tirta berkelebat bak puting beliung.
     "Hei, saya di sini", seru Tirta.
     "Astaga, bagaimana bisa kamu di atas atap laboratorium", kataku tidak habis pikir.  Saya mengedip-edipkan mata tanda tak percaya.
     "Tirta bisa terbang", sahut Rian dengan mulut melongo.
     Saya dengan Hapip saling berpandangan.  Ternyata orang yang mengaku Superman itu betul bila kristalnya terlepas.  Kiranya ia Superman orisinal, bukan gadungan.
     Tirta lalu turun dari atap persis burung yang mendarat di tanah.  Ia pun meletakkan kristal di bibir sumur.
     "Saya santri pertama di dunia yang bisa terbang.  Besok saya akan mengirim surat ke nenekku di Sidrap.  Mengabarkan jika saya Superman cadangan", tutur Tirta penuh kebanggaan.
     "Sebaiknya kita kembalikan krital ini ke pemiliknya", saran Hapip.
     "Jangan!  Ini sekarang kepunyaan kita", tandasku.
     "Itu namanya mencuri".
     "Di Amerika ada pepatah berbunyi "ambil apa yang kau temukan sekalipun pemiliknya mencari"  Kebetulan kristal ini barang impor dari Amerika", terangku
     "Ini bukan produksi Amerika.  Kristal ini dari planet Krypton", terang Tirta.
     "Kalau begitu, bagaimana bila kita terbang ke Minasa Te'ne.  Kita intip santriwati IMMIM yang masih terlelap", usulku penuh senyum kemenangan.
     "Itu ide paling menggairahkan, tetapi, berbahaya sekali", ujar Hapip.
     "Saya dengan Rian tidak sudi ke Minasa Te'ne untuk mengintip gadis yang sedang tidur", ujar Tirta dengan roman bergidik.
     "Tidak mengapa karena kau memang belum disunat", semburku sebal.
     Saat berdebat, tiba-tiba Supeman muncul merebut kristal hijau.
     "Inilah kristal Krypton yang terlepas dari celanaku ketika bertabrakan dengan komet.  Terima kasih santri yang baik hati telah menemukan kristal ini", ujar Superman dengan senyum khas sambil terbang.  Dalam sekejap, sosoknya hilang ditelan gelap malam.
     Saya langsung gugup.  Kristal itu belum saya sentuh, namun, sudah berpindah tangan.
     Terdengar pintu berderit.  Ustaz Syukur Baswedan yang tinggal di sisi perigi muncul dari balik pintu.
     "Mengapa kalian ada di sini!  Kalian piket malam atau latihan debat di sumur.  Ayo, ke bangsal masing-masing!"
     Kami berempat segera meninggalkan ustaz Syukur.  Saya bersungut-sungut sembari menyalahkan Tirta yang menaruh kristal di bibir sumur.  Saya juga menyalahkan Hapip serta Rian yang teledor, tidak waspada menjaga kristal.  Akibatnya, kristal Krypton enteng direbut oleh Superman.


Sabtu, 19 Agustus 2023

Waktu Media Sosial


Waktu Media Sosial
Oleh Abdul Haris Booegies


     Saya punya akun Facebook, X (Twitter), Instagram serta TikTok.  Dari empat media ini, saya memilih X sebagai sumber informasi.  Kalau ingin mengetahui peristiwa yang menjadi topik utama dunia, tentu X sulit tertandingi.
     Saya mengungkap ini karena khawatir ada yang menghabiskan waktu dengan media sosial, tetapi, tak memperoleh manfaat ilmu.  Apalagi, media sosial penuh trik, kepalsuan maupun berita sampah.  Di luar dugaan, justru inilah yang menghipnotis pecandu media sosial.
     Selama ini, saya membatasi diri di Facebook dan blog dengan menjadikannya sebagai media untuk menyebar gagasan.  Tentu saja, semua terpulang pada pribadi masing-masing.  Apakah menjadikan media sosial sebagai hiburan, wadah interaksi atau sumber pengetahuan.
     Bila ingin mengukur potensi diri di media sosial, maka, periksa postingan sebelumnya.  Baik yang kemarin atau 10 tahun lalu.  Apakah postingan itu mengandung nilai ilmu, informasi instan atau sekedar hiburan konyol untuk menyegarkan suasana.  Jika yang dipublikasikan lebih banyak hura-ria, sebaiknya segera ubah perspektif.  Sebab, sihir media sosial menjerumuskan orang pada kesia-siaan.  Demi Masa, energi terkuras, waktu pun habis di dunia yang menjadi panggung sandiwara ini!


Sabtu, 05 Agustus 2023

Hantu Gaun Merah


Hantu Gaun Merah
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Bakda Isya di malam Jumat ini, saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian berniat ke pasar tradisional di depan Pesantren IMMIM.  Kami hendak bersantai, melepas penat.  Tadi siang banyak santri pulang.  Maklum, Kamis.  Besok kami prei.  Tidak ada aktivitas belajar-mengajar.  Jumat merupakan hari Ahad di pesantren.
     Saya bersama Hapip duduk di bangku kantin yang telah tutup.  Kami menunggu Tirta serta Rian yang menggosok gigi di sumur.
     Mendadak terdengar suara melengking.  Saya dengan Hapip berpandangan.  Hapip lantas berlari ke arah suara.  Kami tiba di perigi ketika suara itu makin meraung.
     Di sumur, Tirta dan Rian tertegun.  Tidak berani beranjak.
     Suara tersebut dari 20 toilet di arah Barat.  Deretan toilet ini merupakan pembatas antara Pesantren IMMIM dengan danau Unhas.
     Saya, Hapip, Tirta bersama Rian tetap bertahan di perigi ketika santri lain mulai berdatangan.
     "Ada apa?"
     "Siapa yang berteriak?"
     Bertubi-tubi pertanyaan diarahkan entah ke siapa.  Dalam hitungan detik, sumur langsung dijejali santri.  Semua menahan napas karena suara histeris itu terus bergema.
     Ketika santri bertambah banyak, Hapip mengajakku ke sumber suara.  Kami pun ke kakus diikuti sejumlah santri.
     Remang membuat kami ragu melangkah.  Andai tiada cahaya Bulan, niscaya kami kian repot.  Sebab, cuma satu bohlam kecil di antara 20 WC.  Kami juga gentar gara-gara suara itu tak jeda bergema.
     Kami kemudian melihat seorang bocah berdiri gemetar di pintu toilet.  Wajahnya pucat.  Ketika melihat kami, ia pun berhenti meraung dengan mata melotot.
     "Ini Burhan, santri kelas I", ujar Andi Manoppo.
     "Ada apa?"
     Burhan tak mampu mengucap kata.  Bibirnya terlihat membiru akibat ketakutan.  Ia tampak lunglai.
     "Gotong ke klinik", usul Nasir.
     Dalam sepekan ini, tiga santri berteriak-teriak.  Lima malam lalu, Arman histeris karena mengaku melihat hantu.  Santri kelas II ini hendak BAB ketika di depannya berdiri wanita berbaju merah.  Dua malam berselang, giliran Sanusi yang dihadang hantu gaun merah.  Santri kelas I ini lebih fatal.  Soalnya, langsung pingsan.
     "Pasti Burhan juga melihat hantu gaun merah itu", simpul Tirta.

oooOooo


     Klinik kampus ramai didatangi santri kelas I.  Ini bentuk simpati atas musibah yang menimpa Burhan.
     Di ruang pimpinan kampus (pimkam), beberapa pengurus OSIS melaporkan insiden makhluk halus ini.  Ustaz Saepul Jamal sebagai pimkam cuma mengangkat tangan sampai dada tanda bingung menyelesaikan kasus metafisika ini.
     "Ini bahaya.  Ini bahaya", ujar Saepul, tanpa ada solusi untuk menjinakkan hantu bandel yang bergentayangan di 20 toilet.
     Sekretaris OSIS Amir Mujahidin, membisikku agar ke puang Suti.  Ia menetap di belakang pesantren, berjarak 10 menit jika berjalan kaki.
     Saya, Hapip, Amir bersama Rasmansyah lantas menemui puang Suti.  Tirta dengan Rian tidak ikut karena masih santri kelas III.
     "Kita harus secepatnya ke sana sebelum ia tidur.  Sekarang menjelang pukul 21.00", ujar Amir.
     Kediaman puang Suti berbentuk rumah panggung.  Ia tinggal bersama anak dan cucunya.
     "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh", serentak suara kami mengucap salam.
     "Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh", terdengar suata dari dalam rumah.  Pintu lantas terbuka.  Nur Aini, cucu puang Suti terlihat gugup ada empat cowok keren di hadapannya.  Nur Aini merupakan cewek yang banyak dibincangkan namanya di antara sesama santri.
     "Nenek puang, ada?"
     "Ya, ada.  Ini santri IMMIM?"
     "Betul, kami mau bertemu dengan nenek puang.  Penting sekali", jawab Amir.
     "Tunggu sebentar", ujar Nur Aini meninggalkan kami di depan pintu.
     Tidak berselang lama, puang Suti muncul dipapah Dewi, kembar Nur Aini.
     "Silakan masuk", suara Dewi begitu empuk.  Kaki kami pun berlomba melewati pintu.
     Setelah melihat kami duduk, puang Suti menatap kami.
     "Ada apa, anakku?"
     Hapip pun bercerita kalau sudah tiga santri melihat hantu bergaun merah.
     "Itu arwah Sunarti yang bunuh diri pada 1894.  Bunuh diri ini dipicu oleh perselingkuhan suaminya dengan tante Ong", papar puang Suti.
     "Tante Om?"  Saya bergumam sambil menyandarkan punggung ke kursi plastik.  Heran mendengar nama unik ini.
     "Tante Ong.  Nama lengkapnya Sidion.  Ia berasal dari Sarawak di Barat Laut Borneo.  Kala bocah, saya memanggilnya tante Ong karena cadel.  Lidah belum sempurna mengucap huruf S".
     "Bagaimana kisah perselingkuhan maut ini?"  Hapip tampak bersemangat ingin mendengar babad berujung kematian ini.
     "Saya berusia tujuh tahun tatkala peristiwa nahas ini terjadi.  Kami bertetangga.  Sunarti di sebelah kanan sedangkan Ong di seberang jalan".
     Pekerjaan suami Ong ialah tentara bayaran di angkatan perang kolonial Hindia Belanda.  Ia direkrut sebagai personel Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL).  Kerajaan Hindia Belanda kemudian mengirimnya ke Sumatera Barat.  Ini untuk menumpas sisa-sisa perjuangan pasukan Padri.
     Berbulan-bulan ditinggal suami, membuat Ong merana.  Kesepian memicunya mencari kehangatan lain.  Ia mencari pelampiasan dengan mengirim sinyal cinta ke Mustari, suami Sunarti.  Apalagi, rumah tangga Mustari-Sunarti sudah lama oleng karena tak punya anak.  Cekcok tiap hari mengakibatkan bahtera mereka di ambang karam.
     Sebelum menikah, Mustari merupakan kumbang jantan paling populer di Tamalanrea.  Gadis-gadis dari Tallo maupun Daya acap bertandang ke Tamalanrea sekedar untuk memandang paras ganteng Mustari.  Pemuda ini dianugerahi kulit bak langsat dengan rambut ikal kecil-kecil, keriting.  Rata-rata anak dara kepincut begitu melihat ketampanan Mustari.
     Ong serta Mustari yang didera asmara membara, akhirnya sering mencari kesempatan untuk melampiaskan rindu-dendam.
     Cinta terlarang ini akhirnya terendus oleh Sunarti.  Ia tahu suaminya main mata kelewat batas dengan Ong.  Mereka memadu kasih di telaga di tengah hutan lobi-lobi.
     "Telaga di hutan lobi-lobi?"  Hapip menyela hikayat puang Suti.
     "Telaga itulah yang kalian kenal sekarang dengan danau Unhas", tandas puang Suti.
     Di malam Jumat selepas Isya, Mustari menunggu Ong di telaga.  Di bawah cahaya Rembulan, kedua insan saling menggenapkan rindu dalam peluk hangat.
     Bersua pujaan hati membuat seluruh beban cair.  Keduanya memanjakan diri dalam kenikmatan.  Peluh bercucuran, napas saling memburu untuk tiba di tebing gelap yang memancarkan air kepuasan.  Meleleh menusuk inti Bumi.
     Mustari serta Ong yang mabuk kepayang tak menyadari kalau Sunarti yang memakai daster merah, berdiri satu jengkal di sisinya.  Mereka pun terperanjat lantaran aksi syahdu itu tertangkap basah oleh Sunarti.
     Mustari bersama Ong bukannya minta maaf atau lari pontang-panting tanpa sehelai kain.  Mereka justru mencerca habis-habisan Sunarti.
     "Kamu ini cuma perempuan miskin dan kolot!  Sudah miskin, mandul pula!" Sembur Ong dengan mata memicing tajam sembari menunjuk-nunjuk wajah Sunarti.  Lagak Ong persis tuan tanah yang menghardik budak pencuri satu biji mangga mengkal.
     Mustari kemudian menggenggam tangan Ong untuk pergi dari TKP seronok.  Meninggalkkan Sunarti yang terpaku akibat cemooh kasar.
     Esok hari pada siang, warga Tamalanrea geger bertubi-tubi.  Mayat Sunarti ditemukan mengapung di telaga.  Ia bunuh diri atas perlakuan suami serta penghinaan Ong.
     Setahun setelah kepergian Sunarti, seorang pemuda meraung-raung di telaga.  Ia mengaku melihat sosok pucat dengan gaun merah.
     Tahun-tahun selanjutnya, beberapa pemuda didatangi hantu berbaju merah di telaga.
     Semua remaja putra yang didatangi hantu Sunarti punya kesamaan.  Mereka pasti berambut keriting.
     "Jadi yang dicari Sunarti adalah orang yang berambut keriting?"  Desis Amir mencoba menarik kesimpulan.
     "Ya, sepertinya ia mengira orang berambut keriting itu adalah Mustari, suaminya", tandas puang Suti.
     "Burhan, Arman serta Sanusi memang santri berambut keriting", urai Rasmansyah seraya manggut-manggut.
     Saya berpandangan dengan Hapip.  Ia tersenyum.  Sementara hatiku melonjak girang.  Ini karena Tirta dan Rian berambut keriting.  Berarti dua bocah ini kelak didatangi Sunarti, hantu gaun merah.


Amazing People