Hantu Gaun Merah
Cerpen Abdul Haris Booegies
Bakda Isya di malam Jumat ini, saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian berniat ke pasar tradisional di depan Pesantren IMMIM. Kami hendak bersantai, melepas penat. Tadi siang banyak santri pulang. Maklum, Kamis. Besok kami prei. Tidak ada aktivitas belajar-mengajar. Jumat merupakan hari Ahad di pesantren.
Saya bersama Hapip duduk di bangku kantin yang telah tutup. Kami menunggu Tirta serta Rian yang menggosok gigi di sumur.
Mendadak terdengar suara melengking. Saya dengan Hapip berpandangan. Hapip lantas berlari ke arah suara. Kami tiba di perigi ketika suara itu makin meraung.
Di sumur, Tirta dan Rian tertegun. Tidak berani beranjak.
Suara tersebut dari 20 toilet di arah Barat. Deretan toilet ini merupakan pembatas antara Pesantren IMMIM dengan danau Unhas.
Saya, Hapip, Tirta bersama Rian tetap bertahan di perigi ketika santri lain mulai berdatangan.
"Ada apa?"
"Siapa yang berteriak?"
Bertubi-tubi pertanyaan diarahkan entah ke siapa. Dalam hitungan detik, sumur langsung dijejali santri. Semua menahan napas karena suara histeris itu terus bergema.
Ketika santri bertambah banyak, Hapip mengajakku ke sumber suara. Kami pun ke kakus diikuti sejumlah santri.
Remang membuat kami ragu melangkah. Andai tiada cahaya Bulan, niscaya kami kian repot. Sebab, cuma satu bohlam kecil di antara 20 WC. Kami juga gentar gara-gara suara itu tak jeda bergema.
Kami kemudian melihat seorang bocah berdiri gemetar di pintu toilet. Wajahnya pucat. Ketika melihat kami, ia pun berhenti meraung dengan mata melotot.
"Ini Burhan, santri kelas I", ujar Andi Manoppo.
"Ada apa?"
Burhan tak mampu mengucap kata. Bibirnya terlihat membiru akibat ketakutan. Ia tampak lunglai.
"Gotong ke klinik", usul Nasir.
Dalam sepekan ini, tiga santri berteriak-teriak. Lima malam lalu, Arman histeris karena mengaku melihat hantu. Santri kelas II ini hendak BAB ketika di depannya berdiri wanita berbaju merah. Dua malam berselang, giliran Sanusi yang dihadang hantu gaun merah. Santri kelas I ini lebih fatal. Soalnya, langsung pingsan.
"Pasti Burhan juga melihat hantu gaun merah itu", simpul Tirta.
oooOooo
Klinik kampus ramai didatangi santri kelas I. Ini bentuk simpati atas musibah yang menimpa Burhan.
Di ruang pimpinan kampus (pimkam), beberapa pengurus OSIS melaporkan insiden makhluk halus ini. Ustaz Saepul Jamal sebagai pimkam cuma mengangkat tangan sampai dada tanda bingung menyelesaikan kasus metafisika ini.
"Ini bahaya. Ini bahaya", ujar Saepul, tanpa ada solusi untuk menjinakkan hantu bandel yang bergentayangan di 20 toilet.
Sekretaris OSIS Amir Mujahidin, membisikku agar ke puang Suti. Ia menetap di belakang pesantren, berjarak 10 menit jika berjalan kaki.
Saya, Hapip, Amir bersama Rasmansyah lantas menemui puang Suti. Tirta dengan Rian tidak ikut karena masih santri kelas III.
"Kita harus secepatnya ke sana sebelum ia tidur. Sekarang menjelang pukul 21.00", ujar Amir.
Kediaman puang Suti berbentuk rumah panggung. Ia tinggal bersama anak dan cucunya.
"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh", serentak suara kami mengucap salam.
"Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh", terdengar suata dari dalam rumah. Pintu lantas terbuka. Nur Aini, cucu puang Suti terlihat gugup ada empat cowok keren di hadapannya. Nur Aini merupakan cewek yang banyak dibincangkan namanya di antara sesama santri.
"Nenek puang, ada?"
"Ya, ada. Ini santri IMMIM?"
"Betul, kami mau bertemu dengan nenek puang. Penting sekali", jawab Amir.
"Tunggu sebentar", ujar Nur Aini meninggalkan kami di depan pintu.
Tidak berselang lama, puang Suti muncul dipapah Dewi, kembar Nur Aini.
"Silakan masuk", suara Dewi begitu empuk. Kaki kami pun berlomba melewati pintu.
Setelah melihat kami duduk, puang Suti menatap kami.
"Ada apa, anakku?"
Hapip pun bercerita kalau sudah tiga santri melihat hantu bergaun merah.
"Itu arwah Sunarti yang bunuh diri pada 1894. Bunuh diri ini dipicu oleh perselingkuhan suaminya dengan tante Ong", papar puang Suti.
"Tante Om?" Saya bergumam sambil menyandarkan punggung ke kursi plastik. Heran mendengar nama unik ini.
"Tante Ong. Nama lengkapnya Sidion. Ia berasal dari Sarawak di Barat Laut Borneo. Kala bocah, saya memanggilnya tante Ong karena cadel. Lidah belum sempurna mengucap huruf S".
"Bagaimana kisah perselingkuhan maut ini?" Hapip tampak bersemangat ingin mendengar babad berujung kematian ini.
"Saya berusia tujuh tahun tatkala peristiwa nahas ini terjadi. Kami bertetangga. Sunarti di sebelah kanan sedangkan Ong di seberang jalan".
Pekerjaan suami Ong ialah tentara bayaran di angkatan perang kolonial Hindia Belanda. Ia direkrut sebagai personel Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL). Kerajaan Hindia Belanda kemudian mengirimnya ke Sumatera Barat. Ini untuk menumpas sisa-sisa perjuangan pasukan Padri.
Berbulan-bulan ditinggal suami, membuat Ong merana. Kesepian memicunya mencari kehangatan lain. Ia mencari pelampiasan dengan mengirim sinyal cinta ke Mustari, suami Sunarti. Apalagi, rumah tangga Mustari-Sunarti sudah lama oleng karena tak punya anak. Cekcok tiap hari mengakibatkan bahtera mereka di ambang karam.
Sebelum menikah, Mustari merupakan kumbang jantan paling populer di Tamalanrea. Gadis-gadis dari Tallo maupun Daya acap bertandang ke Tamalanrea sekedar untuk memandang paras ganteng Mustari. Pemuda ini dianugerahi kulit bak langsat dengan rambut ikal kecil-kecil, keriting. Rata-rata anak dara kepincut begitu melihat ketampanan Mustari.
Ong serta Mustari yang didera asmara membara, akhirnya sering mencari kesempatan untuk melampiaskan rindu-dendam.
Cinta terlarang ini akhirnya terendus oleh Sunarti. Ia tahu suaminya main mata kelewat batas dengan Ong. Mereka memadu kasih di telaga di tengah hutan lobi-lobi.
"Telaga di hutan lobi-lobi?" Hapip menyela hikayat puang Suti.
"Telaga itulah yang kalian kenal sekarang dengan danau Unhas", tandas puang Suti.
Di malam Jumat selepas Isya, Mustari menunggu Ong di telaga. Di bawah cahaya Rembulan, kedua insan saling menggenapkan rindu dalam peluk hangat.
Bersua pujaan hati membuat seluruh beban cair. Keduanya memanjakan diri dalam kenikmatan. Peluh bercucuran, napas saling memburu untuk tiba di tebing gelap yang memancarkan air kepuasan. Meleleh menusuk inti Bumi.
Mustari serta Ong yang mabuk kepayang tak menyadari kalau Sunarti yang memakai daster merah, berdiri satu jengkal di sisinya. Mereka pun terperanjat lantaran aksi syahdu itu tertangkap basah oleh Sunarti.
Mustari bersama Ong bukannya minta maaf atau lari pontang-panting tanpa sehelai kain. Mereka justru mencerca habis-habisan Sunarti.
"Kamu ini cuma perempuan miskin dan kolot! Sudah miskin, mandul pula!" Sembur Ong dengan mata memicing tajam sembari menunjuk-nunjuk wajah Sunarti. Lagak Ong persis tuan tanah yang menghardik budak pencuri satu biji mangga mengkal.
Mustari kemudian menggenggam tangan Ong untuk pergi dari TKP seronok. Meninggalkkan Sunarti yang terpaku akibat cemooh kasar.
Esok hari pada siang, warga Tamalanrea geger bertubi-tubi. Mayat Sunarti ditemukan mengapung di telaga. Ia bunuh diri atas perlakuan suami serta penghinaan Ong.
Setahun setelah kepergian Sunarti, seorang pemuda meraung-raung di telaga. Ia mengaku melihat sosok pucat dengan gaun merah.
Tahun-tahun selanjutnya, beberapa pemuda didatangi hantu berbaju merah di telaga.
Semua remaja putra yang didatangi hantu Sunarti punya kesamaan. Mereka pasti berambut keriting.
"Jadi yang dicari Sunarti adalah orang yang berambut keriting?" Desis Amir mencoba menarik kesimpulan.
"Ya, sepertinya ia mengira orang berambut keriting itu adalah Mustari, suaminya", tandas puang Suti.
"Burhan, Arman serta Sanusi memang santri berambut keriting", urai Rasmansyah seraya manggut-manggut.
Saya berpandangan dengan Hapip. Ia tersenyum. Sementara hatiku melonjak girang. Ini karena Tirta dan Rian berambut keriting. Berarti dua bocah ini kelak didatangi Sunarti, hantu gaun merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar