Sabtu, 24 Februari 2024

Pengaruh Media Olahraga


Pengaruh Media Olahraga
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1988, artikelku dimuat pertama kali di harian Pedoman Rakyat.  Ketika Fajar muncul, saya pun acap menulis di harian tersebut.
     Saya membatin, namaku hanya populer pada tingkat lokal jika menulis di harian daerah.  Saya pun eksodus dengan mengirim komentar di Tempo dan Panji Masyarakat.  Dua majalah nasional inilah yang akhirnya membuatku makin beringas menulis.
     Saya punya modal menyulam kata berkat berlangganan banyak majalah, tabloid serta harian.  Saat mahasiswa, saya berlangganan 14 harian, 20 tabloid serta 20 majalah.
     Informasi yang berderet, membuatku enteng menulis apa saja.  Saya pernah menulis tentang masalah bidan yang dimuat di harian lokal.  Bahkan, berkali-kali menulis masalah ekonomi.  Padahal, saya bukan bidan, bukan ekonom.  Saya cuma pernah kuliah di Fakultas Sastra Unhas.
     Selama 10 tahun setelah tamat SMA, saya juga berlangganan aneka media olahraga.  Mulai dari majalah Sportif, tabloid Bola, Tribun, Kompetisi, GO serta Soccer.  Tiap hari menyimak berita-berita olahraga, ternyata mempengaruhiku menulis sepak bola.  Saya pun berulang kali menulis sepak bola di harian lokal.  Padahal, saya tidak tahu main bola.  Saya cuma menggeluti karate dan berenang.
     Pemaparan mengenai linimasa kepenulisan saya di media cetak, menunjukkan bahwa bacaan mempengaruhi pikiran.  Apa yang dibaca, niscaya menetas dalam bentuk gagasan.  Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa bacaan mempengaruhi pola pikir.
     Ketika membaca, saya tidak melahap semua segmen berita di media cetak.  Saya pilih tulisan terpercaya.
     Bagaimana mengetahui artikel itu bagus atau tidak kalau nama penulis atau wartawan cuma inisial?  Saya baca kalimat awal sampai satu alinea.  Bila kekuatan bahasanya baik dan benar, saya lanjut menyimaknya.  Jika kalimatnya lemah, saya pindah ke rubrik lain.
     Saya menghindari artikel yang tidak berbobot.  Tidak bernafsu membacanya karena hanya membuang waktu.  Saya mengandalkan naluri pers yang dimiliki untuk mengendus artikel-artikel cantik.  Musababnya, tulisan yang enak dibaca dan perlu, bakal memacu menghasilkan artikel indah.


Kamis, 15 Februari 2024

Quick Count vs Real Count


Quick Count vs Real Count
Oleh Abdul Haris Booegies


     Quick count alias hitung cepat tidak menggambarkan angka sesungguhnya.  Di situ ada kepentingan, termasuk merusak konsentrasi.  Walau quick count bukan hasil final, tetapi, patut diwaspadai.
     Sebenarnya bukan quick count yang harus dipelototi dari menit ke menit, namun, orang yang berkepentingan memenangkan jagoannya secara kotor.  Sebab, pemain curang yang berada di balik quick count, pasti mampu menjegal angka hakiki di real count.  Jangan terbuai bahwa real count itu valid dengan asas clear and clean.  Data hasil C1 di TPS dari Sabang sampai Merauke terverifikasi.
     Perlu diingat bahwa, dengan mata telanjang saja, ada sogok-menyogok demi merampas suara.  Apalagi, kalau tersembunyi.  Sebagai umpama, penyelenggara Pemilu.  Siapa bisa menjamin bahwa instrumen yang melaksanakan maupun mengawas berlaku "adil dan beradab".  Soalnya, di belakang penyelenggara serta pengawas ada kekuatan dari kekuasaan.  Hingga, mampu mendesak secara paksa untuk menggelembungkan suara satu kandidat.
     Jangan lupa bahwa ada paslon yang maju di Pemilu 2024 ini dengan cara menabrak konstitusi.  Kalau undang-undang yang disaksikan banyak orang saja leluasa diterabas, bagaimana mungkin pelaksana atau pengawas Pemilu bisa dipercaya.
     Kita sekarang cuma bisa melongo bahwa hasil quick count menampilkan presiden dan wakil presiden yang kurang layak memimpin Indonesia sampai 2029.  Ini sama kurang layaknya dengan rakyat yang bodoh sekaligus rela diinjak-injak penguasa, tanpa sanggup melawan!


Mengapa Anies Baswedan?


Mengapa Anies Baswedan?
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1987, saya pertama kali mencoblos.  Saya pilih PPP ketimbang Golkar atau PDI.  Ketika mengasuh majalah LEKTURA Unhas, semua redaktur sepakat dengan nyali menyala-nyala untuk menyerang Orde Baru dengan menurunkan laporan utama tentang golput.  Ini berkaitan Pemilu 1992.  Golput merupakan isu sensitif di era Soeharto.  Siapa nekat, bisa semaput.
     Kami beruntung tidak ditangkap sekalipun LEKTURA membuat banyak pihak marah.  Kami cuma apes gara-gara LEKTURA diberedel oleh Deppen.  Pemberedelan ini membuat LEKTURA masuk sejarah sebagai satu-satunya pers mahasiswa di Indonesia Timur yang diberangus oleh Orde Baru.  Selepas menangani LEKTURA, saya bersumpah untuk golput sampai mati.
    Mengapa sekarang saya mendukung Anies Baswedan?  Ini bermula saat ia dihajar habis-habisan oleh buzzer jahanam.  Apa pun kebijakan Anies sebagai Gubernur DKI, pasti diserang oleh buzzer laknat.  Saya pikir, Anies orang baik.  Harus didukung walau saya tetap golput.  Jangan biarkan Anies seorang diri.  Jangan biarkan ia diperlakukan semena-mena kala kita mampu mengulurkan tangan.  Anies wajib disuarakan untuk memperlihatkan keberpihakan pada kebaikan.
     Suara keluarga, tetangga, sahabat maupun relasi, memang cuma satu di TPS, tetapi, itu bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.  Kalau pun nanti Anies kalah, kita sudah menunjukkan pilihan bahwa suara kami berpihak pada perubahan.  Tak perlu kecewa jika Anies kalah.  Ingat ucapan Anies; "kalau saya kalah, berarti Allah menyelamatkanku".
     Hasbunallah wa ni'mal wakil.  Ni'mal mawlaa wa ni'man-nashir.  Cukuplah bagi kami, Allah.  Sebaik-baik pelindung.  Sebaik-baik penolong (Ali Imran: 173 dan al-Anfal: 80).


Amazing People