Rabu, 29 September 2021

Kebijakan Keliru Pesantren

Kebijakan Keliru Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sebelum memasuki dasawarsa pertama, ada kebijakan Pesantren IMMIM yang menimbulkan riak.  Efeknya mengubah tata hidup santri.
     Ada dua yang saya kenang sebagai kebijakan keliru.  Pertama, pimpinan kampus tinggal di jalan yang dilewati santri ke 20 toilet.  Kedua, menempatkan santri nakal dengan guru.
     Pada 1981, 20 toilet resmi digunakan.  Letaknya di belakang bagian Barat.  Santri yang hendak buang air besar (BAB), pasti melewati pondok yang ditinggali ustaz Saifullah Mangun Sumito selaku pimpinan kampus.  Tidak ada jalan lain.
     Bisa dibayangkan, santri pasti segan mondar-mandir ke water closet (WC).  Apalagi, santri badung.  Mana mau ke 20 toilet.  Sulit menemukan santri Aliyah di kakus yang berjejer 20.
     Di mana santri SMA plus kelas III SMP, buang hajat?  Ada dua tempat populer.  Sawah di depan Rayon Raja Khalik dan kolong kelas di depan laboratorium.  Di dua tempat ini berserakan kotoran produksi natural santri.
     Kalau ada yang ingin BAB di pagi, siang atau sore, mesti bersabar.  Tunggu sampai tiba malam.  Selepas Magrib, sawah serta kolong kelas hiruk-pikuk dengan santri.
     Sawah sangat strategis.  Remang-remang, tetapi, embusan bayu cukup menyejukkan.  Bila ada rekan yang kentut, biasanya kita pura-pura tak mendengarnya.  Sama-sama memaklumi.  Baunya tidak terasa pula karena di udara terbuka.  Apalagi ada sarung sebagai masker tradisional untuk menutup hidung dan sekujur tubuh.
     Ada satu aturan tak tertulis di sawah.  Jangan mengeluarkan suara.  Wajah memang tidak dikenal karena gelap, namun, suara gampang diidentifikasi siapa pemiliknya.  Kan malu jika ditanya di sumur atau di kamar.  "Kau tadi yang di sampingku?"  Untung kalau pertanyaan tersebut bukan untuk menyindir kita karena kentut bak bunyi terompet di sawah.  Nyaring sekaligus panjang.  Biasalah bila menceret.
     Jika ada santri yang pakai handuk atau sarung berjalan seperti bebek, berarti ia baru saja BAB.  Mereka ke sumur untuk membasuh dubur.  Gaya ceboknya juga berdiri.
     Selama hampir dua tahun, santri lebih senang melakukan aksi BAB di sawah serta kolong kelas.  Di kolong kelas teramat parah.  Sebab, di situ berhamburan sampah maupun tinja santri.  Hingga, muncul istilah "taker" alias tahi kering.
     Di sawah, taker jarang ditemukan.  Mungkin mengendap lantaran tanah basah.  Boleh jadi pula di makan burung dan ayam.  Ini rezeki nomplok bagi unggas.  Pasalnya, turut menikmati ikan teri (mairo paku) serta lahmun mumhaat (daging karet) yang sudah dikemas secara alami dalam bentuk taker.
     20 toilet mulai digunakan seluruh santri tatkala ustaz Saifullah pindah ke bilik di sisi kantor pimpinan kampus.  Pondok yang ditempati ustaz Saifullah pun berubah menjadi mes guru.  Ustaz Abdul Kadir Massoweang dan ustaz Abdul Kadir Kasim lantas tinggal di mes guru.

Roti Hangus
     Perkara lain yang saya nilai kebijakan keliru yakni menempatkan santri bandel dengan guru.  Pada Senin, 7 November 1983, saat kelas IV, saya dipindahkan ke mes guru tinggal bersama dua ustaz bernama Kadir.  Selain saya, juga Mukbil (Angkatan 87).
     Mes guru punya tiga bilik tidur, ruang tamu, dapur serta kamar mandi.  Mes yang berbentuk rumah panggung ini begitu sejuk.  Saya kemudian memasang papan nama bertulis Jalan Bugis di depan mes.  Santri yang menuju 20 toilet niscaya melewati Jalan Bugis.  Ini satu-satunya akses.
     Tinggal di mes terbukti menyenangkan.  Saya tak pernah lagi ke sumur untuk mandi.  Ada air leding.  Pada periode ini, saya tidak pernah masuk qismul amni (seksi keamanan) dan mahkamah lugah (pengadilan bahasa).  Bukan karena saya tobat, tetapi, pengurus keamanan tak berani mendatangiku di mes untuk mencatat pelanggaranku.
     Saya leluasa bolos ke kota kapan saja berhasrat.  Qismul amni pasti mengira saya memperoleh izin dari ustaz Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus.  Lambat-laun, dua ustaz Kadir, kapok.  Pada Senin, 23 Januari 1984, saya terusir dari mes guru.  Disuruh pindah ke Asrama Imam Bonjol.  Bulan maduku berleha-leha di pesantren, mendadak karam.
     Menempatkan santri sepondok dengan guru merupakan kebijakan keliru.  Ini bukan solusi jitu meminimalkan kenakalan.  Serumah dengan guru justru menyuburkan kemalasan.  Soalnya, santri merasa kebal hukum berkat tinggal bersama guru.  Di samping itu, ada privasi guru bisa bocor.
     Di suatu pagi, Mukbil berbisik mengenai seorang guru yang menginap di mes.  Ia menyangka tidak ada yang mandi karena dua ustaz Kadir sejak tadi meninggalkan pondok.  Kiranya ada guru lain.  Mukbil pun mengisahkan tekstur pantat guru bersangkutan.
     Di lain waktu, saya lagi yang memergokinya mandi.  Ternyata apa yang diceritakan Mukbil tak salah.  Bokongnya bagai roti gosong.  Isu sedap ini lalu menyebar secara semena-mena di kampus.  Privasi bocor gara-gara ulah santri badung yang seatap dengan guru.  Coba.


Minggu, 26 September 2021

Santri Lobi-lobi



Santri Lobi-lobi
Oleh Abdul Haris Booegies


     Membayangkan pesantren, apalagi melihat kampusnya, pasti ada dua yang terbetik di kepala.  Para santri tengah mengaji atau sedang belajar bahasa Arab.
     Terisolasi di penjara suci niscaya mengurung raga serta emosi.  Aktivitas terbatas karena kebebasan dibatasi.  Di Pesantren IMMIM, saban hari aktivitas berjalan selaras norma.  Semua terkendali secara normal.  Dorongan yang agak bandel cuma perut.  Selalu minta diisi dengan makanan.  Ketika saya kelas I pada 1980-1981, kantin belum ada.
     Demi menghalau rasa lapar, ada menu khusus yang murah-meriah.  Ada pohon pepaya di depan Rayon Datuk Ribandang (kini bernama Asrama Fadeli Luran).  Buahnya tidak pernah besar.  Masih seperti salak sudah diambil atau hilang dicoleng.  Setelah dikupas, pepaya tersebut diiris kecil-kecil.  Kemudian ditaburi gula.  Sekarang silakan mencicipi.  Rasanya pahit-pahit manis.  Menu spesial ini sangat populer di Pesantren IMMIM di ujung akhir 1980.

Kue Gratis
     Daeng Halimah, wanita baya acap menjual kue di pesantren.  Tiap hari ia leluasa masuk kampus untuk mengais sisa-sisa makanan santri di dapur.  Di waktu pagi, ia membawa penganan untuk dijual.  Tak ada tempat tetapnya menjual.  Ia pernah menjual kue di kolong kelas depan laboratorium.
     Belakangan, kudapan Dg Halimah dijual di bilik depan dapur tempat air dimasak.  Di situ ada jendela mini menghadap ke timur.  Koki biasa ikut membantu menjual.
     Ada santri Angkatan 84 sering memperoleh kue secara gratis.  Ia punya tongkat terbuat dari kawat besi kecil sepanjang 150 cm.  Kawat ini kadang disisipkan di lengannya persis tongkat komando.  Kawat serbaguna inilah yang ia gunakan menusuk pawa (bakpao) atau panada (roti goreng) kala koki penjaja kue tidak berada di tempat.  Sekali tusuk bisa dapat tiga kue.

Kebun Lobi-lobi
     Kalau siang pukul 14.00, aktivitas santri ialah tidur.  Kelas I yang tak tidur, dicatat.  Sebab, tergolong pelanggaran.  Malamnya digebuk di qismul amni (seksi keamanan).
     Tatkala saya kelas II, sebagian rekan ke belakang pesantren di saat jam tidur siang.  Di situ banyak pohon lobi-lobi (Flacourtia inermis) yang dikenal sebagai lobe-lobe oleh orang Bugis Makassar.  Pepohonan lobi-lobi menjulur dari utara ke selatan di belakang pesantren.  Sebelum ada danau Unhas dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, kawasan itu merupakan ladang lobi-lobi.
     Santri acap berombongan ke kebun lobi-lobi.  Bila terlihat buah ranum yang merah tua, mendadak mereka saling berebut.  Keadaan berubah riuh serta bising.  Lobi-lobi segar pun dikunyah.  Rasanya asam dan manis.
     Menjelang Ashar, santri balik ke kampus.  Mudah mengetahui siapa dari kebun lobi-lobi.  Jika ia tersenyum dengan gigi warna kuning pekat, maka, bisa dipastikan perutnya kenyang berkat lobi-lobi.
     Sesudah berlalu beberapa pekan, santri yang ke ladang lobi-lobi mulai berkurang.  Tinggal hitungan jari.  Di suatu siang, saya untuk pertama kali ke area lobi-lobi.  Saya ditemani seorang sahabat.  Rupanya tidak ada lagi lobi-lobi.  Saya menemukan tiga biji, namun, masih hijau.  Rasanya pekat, membuat lidah kelu.  Pahit pula di kerongkongan.
     Aktivitas ke kebun berkurang bukan karena musim lobi-lobi telah lewat atau ada larangan dari pimpinan kampus.  Ini terkait kisah mengerikan.  Tukang cukur bernama Daeng Kadir yang tinggal di sebelah pesantren bertutur hikayat.  Dulu, kebun lobi-lobi tersebut merupakan tempat pembantaian.  Di situ Belanda mengeksekusi inlander alias pribumi pembangkang.
     Mendengar ini, santri takut.  Nyali ciut sekaligus mengerut.  Ini bukan eksploitasi narasi konspirasi yang diinformasikan Dg Kadir.  Ini fakta objektif tentang ladang yang kini ditumbuhi lobi-lobi.
     Kebun lobi-lobi itu memang stategis untuk melakukan pembantaian.  Suasana sekitar begitu sepi lantaran jauh dari keramaian.  Di sana, yang terdengar hanya gemeresik dedaunam kering.  Santri pasti ngeri.  Siapa tahu di balik pohon ada arwah penasaran yang memanggil-manggil di tengah lolongan sekawanan anjing.


Sabtu, 25 September 2021

Antiklimaks Pembobolan 86


Antiklimaks Pembobolan 86
Oleh Abdul Haris Booegies


     Selama bertahun-tahun, Angkatan 86 Pesantren IMMIM teramat mempesona sebagai komunitas dengan alumni terbanyak.  Jumlah Angkatan 86 mencapai 78 alumni.  Rekor ini bertahan selama dua dekade.
     Berlapis-lapis pernak-pernik 86 yang begitu syahdu elok diceritakan ke santri-santri era milenial.  Sebuah angkatan yang bergelimang prestasi.  Tentu, tiada gading tak retak.  Ada kisah suram Angkatan 86 yang acap membahana penuh tawa berkepanjangan.
     Syahdan di suatu pagi, kampus geger bertalu-talu.  Ada maling masuk ke ruang percetakan.  Ustaz Laode Mangasa bersama tim segera diterjunkan mengusut siapa gerangan penyamun tersebut.
     Gampang sekali bagi ustaz Mangasa menemukan pencuri lembar soal ujian Penilaian Akhir Semester Tahun Ajaran 80/81.  Ia ke dapur bertanya.  Siapa santri yang meminta minyak tanah.  Pencurinya ternyata berada di sumur membilas kaki yang berlepotan dengan tinta mesin stensil.
     Ustaz Mangasa yang mencetak lembar soal-soal semester, sudah mengantisipasi pembobol.  Sebelum meninggalkan percetakan yang terletak di deretan kelas tsanawiyah, ia menaruh beberapa kertas yang diolesi tinta stensil.
     Pencuri yang beraksi malam itu yakni B, B, J, M, S dan S.  Semua Angkatan 86.  M yang berbadan besar membopong B serta S agar masuk lewat celah ventilasi.  B, J bersama S berjaga-jaga di sekitar lokasi.
     Model ventilasi percetakan mirip jendela dengan katup terbuka miring.  Dari situ B dan S yang bertubuh kecil bisa menyelinap masuk.  Ketika beraksi di dalam, B maupun S merasakan kakinya menginjak sesuatu seperti lem.  Mereka pun panik.  Ini jebakan.  B serta S segera mengirim kode jika misi gagal total.  Keduanya kini masuk perangkap.
     Saat S tergopoh-gopoh memanjat dinding, ia tersungkur.  Kepalanya terjepit di ventilasi.  B yang masih dalam ruangan bertambah kalut bin galau.  Kakinya berjinjit dengan tubuh bergetar.  Keringat dingin mulai bercucuran. Suasana makin mendebarkan.  Mencekam di tengah kegelapan percetakan.
     Di luar bilik percetakan, empat mafioso pesantren tergesa-gesa berikhtiar melakukan penyelamatan.  S harus selekasnya ditolong supaya kepalanya terlepas dari katup ventilasi.  Entah jimat apa yang dipakai sampai komplotan cilik ini dapat selamat ke kamar masing-masing di Rayon Sultan Hasanuddin dan Datuk Ribandang.
     Kawanan garong ini hanya sebentar bernafas lega.  Kaki B serta S menjadi alat bukti tidak terbantahkan.  Mereka menginjak tinta stensil di percetakan kala melakukan aksi nekat.  Celakanya, dua pecundang ini ke sumur mencuci kaki.  Betul-betul sembrono.  Hatta, terciduk tanpa perlawanan oleh ustaz Mangasa.
     Benarkah ini murni gerakan oknum 86?  Sahibul gosip bertutur bahwa mereka sebenarnya cuma figuran.  Ada sutradara dari angkatan lain.  Saya menyesalkan karena hanya eksekutor di lapangan yang terjaring.  Sedangkan otak pencurian tak ketahuan sampai sekarang, 40 tahun setelah kejadian.
     Tatkala pembobolan ini membahana di kampus sebagai bahan obrolan utama, saya heran di tengah kebingungan.  Bagaimana mungkin ada santri kelas I begitu berani menerobos percetakan.  Ini betul-betul tindakan terukur spektakuler sekelompok Angkatan 86 saat kelas I.
     Lebih mengherankan sekaligus membingungkan lagi lantaran enam garong amatir ini, tidak satu pun yang tamat.  Semua terbanting di tengah jalan sebagai santri murtad Pesantren IMMIM.


Kamis, 23 September 2021

Bendera Black Panther unit IMMIM


Bendera Black Panther unit IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Saya kurang yakin, namun, sepertinya mayoritas karateka tidak tahu model bendera Black Panther unit Pesantren IMMIM.  Bendera ini sempat terpajang saat pameran Pesantren IMMIM di aula kampus pada 1985.
     Kala itu, saya bersama Ikbal Said bertugas di stand Black Panther.  Saya lupa, apakah bendera ini hilang atau terpasang di sekretariat Black Panther.
     Black Panther unit IMMIM punya bendera, lambang, sekretariat serta dojo.  Ini menunjukkan bahwa unit IMMIM sangat profesional.  Bahkan, terbesar dalam jumlah.  Tiap latihan, anggota lebih 100.
     Kami para karateka unit IMMIM ditempa dengan disiplin tinggi di tengah fasilitas lengkap.  Tak ada duanya unit IMMIM sekota Ujung Pandang di ujung 80-an.  Tidak ada!
"DARIPADA SAYA LEBIH BAIK KAU"


Selasa, 21 September 2021

Hikayat Black Panther IMMIM


Hikayat Black Panther IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Saat masuk di Pesantren IMMIM pada pertengahan 1980, Black Panther sudah ada.  Black Panther unit Pesantren IMMIM ini muncul berkat upaya ustaz Baharuddin HS.
     Saya ikut latihan dua kali setelah punya karategi (kostum karate).  Latihan diadakan di panggung serbaguna (kini kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan) di samping area pesantren.  Latihan berikutnya di lapangan basket pesantren.  Kami dilatih senpai Ateng.
     Sesudah dua kali latihan, tak terdengar lagi Black Panther.  Saya pensiun dini sebagai karateka.  Busana latihan terpaksa dipetieskan.
     Tatkala kelas III, kami sebagian santri ke kavaleri nonton prajurit latihan Black Panther.  Pelatihnya senpai Indra Jaya Mansyur (Angkatan 81).  Ini yang kedua kali saya lihat Indra.  Pertama melihatnya ketika saya kelas I di sayap kanan masjid ath-Thalabah.  Kala itu, ia dinasehati oleh Ismail Halim Tanro selaku pimpinan kampus.  Desas-desus terdengar, Indra berkelahi dengan Andi Nurzaman Razaq (Angkatan 82).
     Di akhir 1984 saat saya kelas V, teman menyampaikan bahwa bakal ada lagi Black Panther di pesantren.  Ini Black Panther versi baru.  Kalau dulu ustaz Baharuddin yang memasukkan karate, sekarang senpai Indra.
     Ini memaparkan bahwa Black Panther dimasukkan di Pesantren IMMIM oleh dua orang di waktu berbeda.  Ihwal ini saya tekankan karena kasus ini mirip Black Panther di UIN Alauddin.
     Black Panther malang melintang di UIN Alauddin sejak awal 80-an.  Karate ini kemudian terhenti, macet.  Pada 1987, saya memasukkan Black Panther ke UIN Alauddin.  Awalnya, Black Panther ini milik Fakultas Adab.  Di sini sempat terjadi saling klaim.  Ketua BPKM Hairun Patty menilai bahwa Black Panther tiada lain program kerja mereka.  Saya waktu itu dekat dengan Hairun.  Di sisi berbeda, Lanai Thalib sebagai ketua senat Fakultas Adab berkeras bahwa Black Panther adalah kepunyaan Adab.  Ini karena saya mahasiswa Adab serta pengurus senat.
     Tekanan lantas muncul dari karateka lain.  Mereka menghendaki Black Panther berubah status dari fakultas ke institut.  Merasa terdesak, saya akhirnya memilih menyibukkan diri mengurus majalah LEKTURA di Unhas.  Sesungguhnya, saya setuju jika Black Panther berada dalam naungan institut.  Persoalannya, saya tidak sudi mengkhianati Fakultas Adab.

Jumat, 11 Januari 1985
     Saya turut latihan karate.  Saya tak mengikuti latihan sebelumnya akibat sibuk membenahi Majalah Dinding SUPERPOWER.  Senpai Indra melatih dibantu Amir Mahmud (Angkatan 81) yang sabuk hijau.

Jumat, 5 April 1985
     Setelah latihan, kami kumite.  Ini kumite pertama saya.  Lawanku Muhammad Thantawi (Angkatan 86).  Thantawi teramat kuat.  Fisiknya bertenaga bagai Hercules.  Andai kakiku tidak kokoh, saya bisa dikepruk seperti kerupuk.

Jumat, 26 Juli 1985
     Ambo Siknun (Angkatan 86) merupakan nama yang menggetarkan di antara sesama karateka.  Ia biasa latihan di pusat.  Hari ini, saya memperoleh kehormatan untuk kumite dengan Ambo.
     Pukulan-pukulan dengan perhitungan tepat dilontarkan Ambo.  Saya menyerang dengan tendangan.  Di satu momen terukur, saya melepaskan tendangan putar.  Ini pertama kali saya mempraktikkan tendangan melingkar.

Jumat, 20 September 1985
     Pukul 07.00, sekitar 100 karateka unit IMMIM berjalan kaki ke rumah Haji Ambo Djetta.  Jaraknya sekitar 15 km.
     Sesampai di Pusat Latihan, rupanya Ambo Djetta tak ada.  Saya mengusulkan ke senpai Indra untuk ke rumahku.
     "Kita ke rumah Haris Bugis", ujar senpai.
     Di pesantren, kami para karateka tetap ceria walau sudah menempuh jarak lebih kurang 30 km.  Otot-otot kaki terasa kian kokoh.

Kamis 10 Oktober 1985
     Pukul 14.00, kami para karateka sabuk putih mengikuti ujian penaikan sabuk.  Selama tiga hari kami diuji di aula.  Haji Ambo Djetta hadir didampingi senpai Indra, Ateng, Abdullah, Herman, Ahmad, Asraruddin, Eda maupun Lina.

Ahad, 3 November 1985
     Berkisar 120 karateka ke Malino mengikuti upacara pemasangan sabuk dari putih ke ungu.
     Seluruh karateka bergembira seraya bergaya.  Kami ke kolam renang.  Saya leluasa berenang kendati jijik karena air seolah berlumut.  Warnanya hijau pekat.  Ketika berada di kolam, senpai Indra tanpa sengaja meminum air kolam.  Wajahnya langsung berubah masam.  Saya bergidik.

Rabu, 13 November 1985
     Saya, Ikbal Said (Angkatan 86), Muhtasar (Angkatan 87) bersama Sirajuddin (Angkatan 87) ditunjuk oleh senpai Indra untuk berunding menentukan ketua Black Panther unit Pesantren IMMIM.  Saya tidak berminat jadi ketua.  Saya memilih posisi bendahara.  Kami sepakat Ikbal sebagai ketua.
     Saat ini, film Hollywood menyerbu Ujung Pandang.  Saya ingin bebas ke bioskop.  Tak berhasrat diberi tanggung jawab sebagai ketua yang dapat mengekang saya bolos ke kota.

Jumat, 3 Januari 1986
     Hari ini termasuk istimewa.  Ada wanita karateka bernama Rina.  Saya melatihnya bersama sabuk putih lainnya.  Sementara senpai Indra melatih sabuk warna.

Jumat, 17 Januari 1985
     Hari ini segenap unit Black Panther di Ujung Pandang berkumpul.  Kira-kira 200 karateka mengikuti long march ke Parepare.
     Secara resmi, unit IMMIM melibatkan sekitar 20 karateka.  Dari Pusat Latihan di Jalan Tupai, kami bergerak menempuh jarak 155 km selama tiga hari dua malam.

Rabu, 5 Februari 1986
     Bakda Ashar diadakan grand opening sekretariat Black Panther.  Bilik sekretariat ini berada di samping perpustakaan Ibnu Rusyd.  Bangunan di sisi ujung belakang kelas ini dulu merupakan gudang beras.
     Saya memodifikasi ruangan tersebut menjadi sekretariat Black Panther.  Saya memilih merah untuk warna pintu agar terkesan seronok.  Di bagian dalam dilengkapi aneka peralatan buat latihan sekaligus kantor.


Minggu, 19 September 2021

Santri Eksentrik Segudang Ide


Santri Eksentrik Segudang Ide
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ada beberapa sahabat di Pesantren IMMIM yang dianugerahi keandalan mengolah emosi.  Mentalnya sulit ditaklukkan karena tidak terpancing.  Insan khusus ini tidak mengenal marah.  Bahkan, tidak pendendam.  Mereka bak kertas putih, tidak pernah kotor.  Saban hari membuka lembaran baru kehidupan dengan hati nan bersih.
     Dari 78 personel Angkatan 86 yang tamat, ada dua yang saya tidak pernah lihat marah selama enam tahun di pesantren.  Keduanya yakni Irwan Thahir Manggala serta Rusman.  Irwan merupakan santri supel.  Penampilannya acap nyentrik, seperti terlihat di foto.
     Irwan mudah bergaul dengan semua kelas di kampus.  Selain itu, ia punya berton-ton gagasan.  Irwan termasuk perintis majalah dinding.  Ia santri pertama yang menerbitkan majalah dinding bernama Top Star.  Ketika Top Star wassalam dari bumi Tamalanrea, muncul Majalah Dinding SUPERPOWER yang berkiblat ke Hollywood.
     Saat kelas VI di pesantren, penghuni kamar I Panglima Polem pernah ditinju satu per satu oleh senpai Indra Jaya.  Ini gara-gara senpai nyaris jatuh saat akan membangunkan santri untuk shalat Shubuh.  Ketika hendak menyalakan lampu, senpai membentur kursi rusak di depan pintu.  Terdengar suara gaduh di kegelapan kamar.  Kursi itu memang sengaja dipasang Angkatan 88 agar mudabbir (pengurus) qismul amni (seksi keamanan) kena celaka kalau masuk kamar.  Sebagai pembina di kamar, saya merestui perbuatan jahat ini.
     Lampu neon tidak bisa menyala karena saya sembunyikan sekring.  Inilah masalah hakikinya.  Saya tidak bisa tidur kalau ada cahaya lampu.  Saya senantiasa menghindari paparan sinar ultraviolet (UV) agar tidak gelisah di tempat tidur.  Sementara Angkatan 88 di kamar biasa mengobrol sampai larut malam.
     Menjelang Magrib, saya menyalakan lampu.  Kalau kamar sepi karena penghuni ke sumur untuk mandi, saya pun beraksi mengambil sekring.  Lewat pukul 22.00, saya mengendap-endap memadamkan lampu.  "Siapa yang padamkan lampu", terdengar pekik jengkel.  Begitu lampu hendak dinyalakan, ternyata tidak bisa lagi karena sekringnya saya ambil.  Ini terus-menerus berlangsung sampai sekring ada sekitar 20 di laci lemariku.
     Ketika senpai Indra nyaris jatuh kala hendak membangunkan, ia pun marah.  Senpai lalu mengambil sekring di kamar sebelah agar lampu menyala.   Seluruh penghuni kamar I, dijejer.  "Siapa yang pasang kursi rusak!", bentak senpai.  Tidak ada yang mau mengaku.  Irwan sempat berdalih, tetapi, tidak digubris.  Kami lantas ditinju satu demi satu saat azan berkumandang.
     Saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada penghuni kamar I, khususnya Irwan.  Ini semua gara-gara ulah saya yang menyembunyikan starter lampu.  Misteri mengapa lampu selalu kehilangan sekring kini terjawab setelah 35 tahun berlalu.
     Ada secarik hikayat perihal Irwan yang sampai hari ini saya tidak tahu kebenarannya.  Gemanya bertalu-talu di IAPIM pada awal 90-an.  Saat itu, Irwan yang kuliah di UIN Alauddin akan menghadapi ujian.  Anehnya, ia menyuruh istrinya belajar.  Bagaimana mungkin istri disuruh belajar sementara yang akan ujian adalah Irwan.
     Mendengar cerita ini.  Saya cuma menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.  Betul-betul eksentrik.  Tidak ada duanya.


Amazing People