Hikayat Black Panther IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Saat masuk di Pesantren IMMIM pada pertengahan 1980, Black Panther sudah ada. Black Panther unit Pesantren IMMIM ini muncul berkat upaya ustaz Baharuddin HS.
Saya ikut latihan dua kali setelah punya karategi (kostum karate). Latihan diadakan di panggung serbaguna (kini kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan) di samping area pesantren. Latihan berikutnya di lapangan basket pesantren. Kami dilatih senpai Ateng.
Sesudah dua kali latihan, tak terdengar lagi Black Panther. Saya pensiun dini sebagai karateka. Busana latihan terpaksa dipetieskan.
Tatkala kelas III, kami sebagian santri ke kavaleri nonton prajurit latihan Black Panther. Pelatihnya senpai Indra Jaya Mansyur (Angkatan 81). Ini yang kedua kali saya lihat Indra. Pertama melihatnya ketika saya kelas I di sayap kanan masjid ath-Thalabah. Kala itu, ia dinasehati oleh Ismail Halim Tanro selaku pimpinan kampus. Desas-desus terdengar, Indra berkelahi dengan Andi Nurzaman Razaq (Angkatan 82).
Di akhir 1984 saat saya kelas V, teman menyampaikan bahwa bakal ada lagi Black Panther di pesantren. Ini Black Panther versi baru. Kalau dulu ustaz Baharuddin yang memasukkan karate, sekarang senpai Indra.
Ini memaparkan bahwa Black Panther dimasukkan di Pesantren IMMIM oleh dua orang di waktu berbeda. Ihwal ini saya tekankan karena kasus ini mirip Black Panther di UIN Alauddin.
Black Panther malang melintang di UIN Alauddin sejak awal 80-an. Karate ini kemudian terhenti, macet. Pada 1987, saya memasukkan Black Panther ke UIN Alauddin. Awalnya, Black Panther ini milik Fakultas Adab. Di sini sempat terjadi saling klaim. Ketua BPKM Hairun Patty menilai bahwa Black Panther tiada lain program kerja mereka. Saya waktu itu dekat dengan Hairun. Di sisi berbeda, Lanai Thalib sebagai ketua senat Fakultas Adab berkeras bahwa Black Panther adalah kepunyaan Adab. Ini karena saya mahasiswa Adab serta pengurus senat.
Tekanan lantas muncul dari karateka lain. Mereka menghendaki Black Panther berubah status dari fakultas ke institut. Merasa terdesak, saya akhirnya memilih menyibukkan diri mengurus majalah LEKTURA di Unhas. Sesungguhnya, saya setuju jika Black Panther berada dalam naungan institut. Persoalannya, saya tidak sudi mengkhianati Fakultas Adab.
Jumat, 11 Januari 1985
Saya turut latihan karate. Saya tak mengikuti latihan sebelumnya akibat sibuk membenahi Majalah Dinding SUPERPOWER. Senpai Indra melatih dibantu Amir Mahmud (Angkatan 81) yang sabuk hijau.
Jumat, 5 April 1985
Setelah latihan, kami kumite. Ini kumite pertama saya. Lawanku Muhammad Thantawi (Angkatan 86). Thantawi teramat kuat. Fisiknya bertenaga bagai Hercules. Andai kakiku tidak kokoh, saya bisa dikepruk seperti kerupuk.
Jumat, 26 Juli 1985
Ambo Siknun (Angkatan 86) merupakan nama yang menggetarkan di antara sesama karateka. Ia biasa latihan di pusat. Hari ini, saya memperoleh kehormatan untuk kumite dengan Ambo.
Pukulan-pukulan dengan perhitungan tepat dilontarkan Ambo. Saya menyerang dengan tendangan. Di satu momen terukur, saya melepaskan tendangan putar. Ini pertama kali saya mempraktikkan tendangan melingkar.
Jumat, 20 September 1985
Pukul 07.00, sekitar 100 karateka unit IMMIM berjalan kaki ke rumah Haji Ambo Djetta. Jaraknya sekitar 15 km.
Sesampai di Pusat Latihan, rupanya Ambo Djetta tak ada. Saya mengusulkan ke senpai Indra untuk ke rumahku.
"Kita ke rumah Haris Bugis", ujar senpai.
Di pesantren, kami para karateka tetap ceria walau sudah menempuh jarak lebih kurang 30 km. Otot-otot kaki terasa kian kokoh.
Kamis 10 Oktober 1985
Pukul 14.00, kami para karateka sabuk putih mengikuti ujian penaikan sabuk. Selama tiga hari kami diuji di aula. Haji Ambo Djetta hadir didampingi senpai Indra, Ateng, Abdullah, Herman, Ahmad, Asraruddin, Eda maupun Lina.
Ahad, 3 November 1985
Berkisar 120 karateka ke Malino mengikuti upacara pemasangan sabuk dari putih ke ungu.
Seluruh karateka bergembira seraya bergaya. Kami ke kolam renang. Saya leluasa berenang kendati jijik karena air seolah berlumut. Warnanya hijau pekat. Ketika berada di kolam, senpai Indra tanpa sengaja meminum air kolam. Wajahnya langsung berubah masam. Saya bergidik.
Rabu, 13 November 1985
Saya, Ikbal Said (Angkatan 86), Muhtasar (Angkatan 87) bersama Sirajuddin (Angkatan 87) ditunjuk oleh senpai Indra untuk berunding menentukan ketua Black Panther unit Pesantren IMMIM. Saya tidak berminat jadi ketua. Saya memilih posisi bendahara. Kami sepakat Ikbal sebagai ketua.
Saat ini, film Hollywood menyerbu Ujung Pandang. Saya ingin bebas ke bioskop. Tak berhasrat diberi tanggung jawab sebagai ketua yang dapat mengekang saya bolos ke kota.
Jumat, 3 Januari 1986
Hari ini termasuk istimewa. Ada wanita karateka bernama Rina. Saya melatihnya bersama sabuk putih lainnya. Sementara senpai Indra melatih sabuk warna.
Jumat, 17 Januari 1985
Hari ini segenap unit Black Panther di Ujung Pandang berkumpul. Kira-kira 200 karateka mengikuti long march ke Parepare.
Secara resmi, unit IMMIM melibatkan sekitar 20 karateka. Dari Pusat Latihan di Jalan Tupai, kami bergerak menempuh jarak 155 km selama tiga hari dua malam.
Rabu, 5 Februari 1986
Bakda Ashar diadakan grand opening sekretariat Black Panther. Bilik sekretariat ini berada di samping perpustakaan Ibnu Rusyd. Bangunan di sisi ujung belakang kelas ini dulu merupakan gudang beras.
Saya memodifikasi ruangan tersebut menjadi sekretariat Black Panther. Saya memilih merah untuk warna pintu agar terkesan seronok. Di bagian dalam dilengkapi aneka peralatan buat latihan sekaligus kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar