Santri Eksentrik Segudang Ide
Oleh Abdul Haris Booegies
Ada beberapa sahabat di Pesantren IMMIM yang dianugerahi keandalan mengolah emosi. Mentalnya sulit ditaklukkan karena tidak terpancing. Insan khusus ini tidak mengenal marah. Bahkan, tidak pendendam. Mereka bak kertas putih, tidak pernah kotor. Saban hari membuka lembaran baru kehidupan dengan hati nan bersih.
Dari 78 personel Angkatan 86 yang tamat, ada dua yang saya tidak pernah lihat marah selama enam tahun di pesantren. Keduanya yakni Irwan Thahir Manggala serta Rusman. Irwan merupakan santri supel. Penampilannya acap nyentrik, seperti terlihat di foto.
Irwan mudah bergaul dengan semua kelas di kampus. Selain itu, ia punya berton-ton gagasan. Irwan termasuk perintis majalah dinding. Ia santri pertama yang menerbitkan majalah dinding bernama Top Star. Ketika Top Star wassalam dari bumi Tamalanrea, muncul Majalah Dinding SUPERPOWER yang berkiblat ke Hollywood.
Saat kelas VI di pesantren, penghuni kamar I Panglima Polem pernah ditinju satu per satu oleh senpai Indra Jaya. Ini gara-gara senpai nyaris jatuh saat akan membangunkan santri untuk shalat Shubuh. Ketika hendak menyalakan lampu, senpai membentur kursi rusak di depan pintu. Terdengar suara gaduh di kegelapan kamar. Kursi itu memang sengaja dipasang Angkatan 88 agar mudabbir (pengurus) qismul amni (seksi keamanan) kena celaka kalau masuk kamar. Sebagai pembina di kamar, saya merestui perbuatan jahat ini.
Lampu neon tidak bisa menyala karena saya sembunyikan sekring. Inilah masalah hakikinya. Saya tidak bisa tidur kalau ada cahaya lampu. Saya senantiasa menghindari paparan sinar ultraviolet (UV) agar tidak gelisah di tempat tidur. Sementara Angkatan 88 di kamar biasa mengobrol sampai larut malam.
Menjelang Magrib, saya menyalakan lampu. Kalau kamar sepi karena penghuni ke sumur untuk mandi, saya pun beraksi mengambil sekring. Lewat pukul 22.00, saya mengendap-endap memadamkan lampu. "Siapa yang padamkan lampu", terdengar pekik jengkel. Begitu lampu hendak dinyalakan, ternyata tidak bisa lagi karena sekringnya saya ambil. Ini terus-menerus berlangsung sampai sekring ada sekitar 20 di laci lemariku.
Ketika senpai Indra nyaris jatuh kala hendak membangunkan, ia pun marah. Senpai lalu mengambil sekring di kamar sebelah agar lampu menyala. Seluruh penghuni kamar I, dijejer. "Siapa yang pasang kursi rusak!", bentak senpai. Tidak ada yang mau mengaku. Irwan sempat berdalih, tetapi, tidak digubris. Kami lantas ditinju satu demi satu saat azan berkumandang.
Saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada penghuni kamar I, khususnya Irwan. Ini semua gara-gara ulah saya yang menyembunyikan starter lampu. Misteri mengapa lampu selalu kehilangan sekring kini terjawab setelah 35 tahun berlalu.
Ada secarik hikayat perihal Irwan yang sampai hari ini saya tidak tahu kebenarannya. Gemanya bertalu-talu di IAPIM pada awal 90-an. Saat itu, Irwan yang kuliah di UIN Alauddin akan menghadapi ujian. Anehnya, ia menyuruh istrinya belajar. Bagaimana mungkin istri disuruh belajar sementara yang akan ujian adalah Irwan.
Mendengar cerita ini. Saya cuma menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Betul-betul eksentrik. Tidak ada duanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar