Minggu, 05 Februari 2023

Seuntai Musim Bersama Syahlan Husain


Seuntai Musim Bersama Syahlan Husain
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ada beberapa momen tak terlupa selama saya tercatat sebagai santri di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Kenangan tersebut membekas meski terjadi saat bocah.  Di kampus, masa bocil dan remaja mekar di balik dinding-dinding putih asrama.  Tembok putih itu laksana pantulan dunia yang membentang luas.  Jadwal kami cuma belajar.  Ditempa dengan beragam aturan.  Disiplin teramat ketat.  Terkadang diiringi kekerasan fisik.
     Walau hidup terkurung di pondok, tetapi, banyak santri lihai mengakali aturan.  Alhasil, santri genit leluasa bermain mata dengan gadis-gadis di sebelah kampus.  Ada juga yang ulet kabur dari kampus.  Bahkan, ada yang emoh masuk kelas.  Inilah sebetulnya yang membuat kehidupan di pesantren tidak hambar.  Rutinitas selalu berwarna seumpama pelangi.  Musababnya, kami punya aneka kiat maupun sejuta aksi tipu untuk menyiasati tata tertib.  Bagi santri badung, kiprah nakal ibarat menghidupkan harapan agar ulet bertahan selama enam tahun di pesantren.
     Saya tergolong mahir kabur dari kampus.  Tujuanku ke bioskop.  Anehnya, ulahku meninggalkan pondok tanpa izin nyaris tak terendus.  Rekan lain diciduk lalu digundul karena kabur.  Soalnya, bolos ke luar pesantren termaktub dosa besar.  Ada pula sohib diterungku dalam sel khusus santri bandel akibat kabur.  Sementara saya berleha-leha di kamar tidak tersentuh hukum.
     Saya sesungguhnya tak memiliki tip atau trik untuk bolos.  Tidak juga pernah mengkhianati kompatriot sepelarian jika ke kota.  Misal, melaporkannya kalau ia melarikan diri dari pondok.  Ajaibnya, saya senantiasa selamat.
     Saya pernah satu kali ketahuan kabur ketika kelas III.  Digiring sebagai pesakitan ke pimpinan kampus.  Selama dua jam dinasehati supaya sadar.  Esoknya, saya bolos lagi.  Rupanya saya belum insaf.
     Saya sempat menduga bahwa jimat saya kabur tanpa terdeteksi terletak di gelang.  Sejak kelas II, saya selalu mengenakan gelang akar bahar warisan nenek.  Saya tak pernah melepas gelang ini kecuali latihan karate.
     Menurut desas-desus dari sahibul gosip, individu pemakai gelang akar bahar mempunyai kharisma spiritual.  Khalayak di sekitar niscaya segan.  Jadi, akar bahar bukan sekedar menyembuhkan nyeri tulang belakang, mencegah kekurangan kalsium, asam urat, hipertensi, anemia serta tekanan darah.

Monumen Keluarga
     Pergerakan saya yang doyan ke bioskop membuatku bersahabat dengan Syahlan Husain.  Ini santri dari Angkatan 8187.  Kendati Syahlan bertubuh kecil, tetapi, semangat nontonnya besar.  Ia terbilang santri moviegoer (pencandu film) di Pesantren IMMIM.
     Ada sebuah momen indah yang tidak terlengah bila terkenang Syahlan.  Saya sempat memergokinya asyik mengobrol dengan ibu dan adik perempuannya di pos piket.  Mereka barangkali saling bertutur lebih dua jam.
     Di sebuah kesempatan, saya beri tahu Syahlan jika ia begitu menikmati percakapan dengan ibu serta adiknya.
     "Kalau ibu ingin pulang, saya larang.  Jangan dulu.  Kami pun melanjutkan bertukar cerita", aku Syahlan.
     Dalam sejumlah kasus, saya sering menyaksikan santri dengan tamunya berbicara serius.  Jauh dari aura sentimental.  Bagai ada kepedihan yang sangat memilukan.  Sedangkan Syahlan terlihat santai, sarat canda.  Inilah yang membuatku senantiasa terkenang dengan momen langka kala Syahlan mengecap secara syahdu kedatangan ibu dan adiknya.  Mereka tampak bersahaja serta penuh keakraban.  Sebuah pertunjukan keluarga yang begitu indah dalam memori.  Sebuah monumen dalam untaian musim bersama Syahlan.

Ahad, 23 Oktober 1983
     Setelah nonton Octopussy (James Bond 007) di Mitra, saya pulang ke pesantren.  Tiba di kampus pukul 19.00.   Saya tak langsung masuk kampus, namun, berpelesir menikmati ubi goreng di warung.
     Syahlan lantas menghampiriku.  "Salamnya Emma, temanmu yang kerja di bioskop.  Ia bilang kau baik sekali".

Sabtu, 5 November 1983
     Saya uring-uringan di pondok.  Ini gara-gara tersengsem nonton Superman III.  Tidak tahan lagi mau lihat aksi Christopher Reeve, Richard Pryor, Jackie Cooper dan Annette O'Toole.  Saya mencoba minta izin ke ustaz Saifullah MS.  Saya beralasan hendak membeli buku.
     "Boleh pulang dari pukul 16.00 sampai waktu Magrib", tegas ustaz Saifullah.
     Saya bergegas berdandan.  Sekarang sudah Ashar.  Ada kesempatan nonton di Artis pada pukul 17.00.  Syahlan tergiur pula ingin nonton Superman III yang dirilis pada 1983 ini.  Akhirnya ia turut tanpa izin.
     Usai nonton Superman III, saya ke toko buku membeli poster, termasuk Brooke Shields, idolaku.  Saya juga ke toko kaset membeli kaset lagu Barat.
     Sampai di pesantren sekitar jam sembilan malam.  Saya tak dapat menepati janji dengan ustaz Saifullah bahwa tiba menjelang Magrib.  Terlalu banyak urusan film, majalah serta kaset yang harus dituntaskan tadi di kota.

Sabtu, 10 Desember 1983
     Sejak tinggal di Wisma Guru, saya merasa nyaman.  Saya bawa radio tape recorder dan lebih 50 kaset.  Beberapa majalah film, musik serta remaja, saya koleksi pula.  Inilah yang membuat Syahlan bersama Andi Rezky Rohadian (8288), betah bila berkunjung ke bilikku.  Keduanya bebas berselonjor menyimak majalah atau berbaring mendengar senandung Barat.
     Sore ini, ustaz Abdul Kadir Kasyim (sesepuh pesantren) pindah ke Wisma Guru.  Hingga, populasi Wisma Guru berjumlah empat.  Keempat penduduknya yakni Ustaz Abdul Kadir Massoweang (wakil pimpinan kampus), ustaz Abdul Kadir Kasyim, Mukbil (8187) dan saya.

Rabu, 30 Mei 1984
     Sejak libur pada Ahad, 27 Mei, saya bolak-balik dari rumah ke pesantren.  Jarak rumah di Jalan Veteran Selatan dengan Pesantren IMMIM berkisar 15 km.
     Pagi ini, saya mengemas sejumlah barang yang akan diangkut ke rumah.  Detik terus berdetak.  Waktu makin melaju.  Sore yang sepuh akhirnya memanggil petang.  Senja pun terasa hening di Pesantren IMMIM tatkala Mentari tersungkur ke arah Barat.  Sinar sang Surya yang kuning keemasan terus redup, berganti kegelapan.
     Saat malam, saya menyewa mikrolet (petepete) untuk membawa bagasiku ke rumah.  Syahlan ikut di mikrolet.  Sementara saya naik motor.
     Saya minta Syahlan menumpang di mikrolet karena khawatir barangku dilarikan sopir.

Kamis, 31 Mei 1984
     Pukul 09.00, saya berboncengan dengan Syahlan ke pesantren.  Dari kampus, saya antar Syahlan ke rumahnya.
     Di pesantren, santri yang tinggal bisa dihitung dengan jari.  Kampus hampir lengang dari pagi sampai siang.  Saya serta Syahlan memilih pulang ke rumah masing-masing.  Besok kami puasa, besok Ramadan 1404.

Ahad, 8 Juli 1984
     Libur khatam, hari ini kami kembali ke pesantren.  Belum banyak santri lama yang datang.  Mereka seperti kendaraan mogok, loyo tenanganya setelah libur.  Sedangkan santri baru bergantian datang dengan semangat dan paras berseri-seri.  Mobil berderet memenuhi lapangan.  Pemandangan ini terasa sebagai kebanggaan.
     Baru kali ini saya melongok begitu banyak mobil parkir di depan masjid.  Empat tahun silam ketika saya santri baru, mungkin hanya Heriyanto (8086) yang naik sedan.  Lainnya diantar mikrolet, untung tidak ada naik bendi.
     Di periode ini, semua berubah.  Nyaris segenap santri baru diantar mobil pribadi yang wah.
     Saat malam, saya ke bioskop Artis.  Bertemu Syahlan dengan Muhammad Ahyar.  Di lobi, saya asyik berkelakar dengan karyawati bioskop.
     "Ayo masuk, film segera dimulai", ajak Syahlan dengan Ahyar.  Keduanya mengusik perbincanganku dengan karyawati yang berjaga di kios.
     Saya, Syahlan bersama Ahyar menyaksikan Asylum.  Film produksi 1972 ini dibintangi oleh Robert Powell, Britt Ekland, Charlotte Rampling serta Peter Cushing.
     Sehabis nonton, saya dengan Syahlan berboncengan ke rumah.  Besok pagi rencana ke kampus.  Sementara Ahyar pulang ke pesantren.

Jumat, 12 Oktober 1984
     Bakda shalat Jumat, Syahlan datang ke rumah.
     "Ada cewek titip salam untukmu", ujar Syahlan.
    "Siapa?"  Saya bergumam heran.
     "Namanya AF.  Saya sudah kasih fotomu", sambung Syahlan sambil tertawa-ria.  Saya suka pesan yang dibawa bujang mungil ini.
     Pukul 14.00, saya bersama Syahlan ke New Artis.  Kami nonton Enigma yang dibintangi Martin Sheen, Sam Neill dan Brigitte Fossey.  Hikayat sinema produksi 1982 ini tentang agen CIA yang menyusup ke Uni Soviet.
     Selepas nonton, saya berkeliling mencari buku pelajaran Syariah Islam.  Di Jalan Pongtiku, saya dengan Syahlan berbeda haluan.  Saya balik ke rumah.  Sedangkan Syahlan kembali ke pondok.

Ahad, 4 November 1984
     Sebelum Matahari tergelincir menjelang Zhuhur, saya asyik-masyuk bertukar pandangan dengan Syahlan.  Kami membahas isu perihal cewek.  Kami bak pujangga yang tengah menata kata mengenai misteri wanita.
     Dalam percakapan, Syahlan memiliki ciri khas.  Ia acap membubuhkan kata "aduh".  Kali ini, kata "aduh" kerap terlontar dari bibirnya.  Contoh, "aduh, kau menyesal deh", "aduh, betul-betul sip" atau "aduh, kenapa kau tak omong dengan dia".

Sabtu, 26 Januari 1985
     Malam ketika sedang menulis artikel untuk majalah dinding Superpower, Syahlan ke kamarku.  Ia memang rajin menyambangiku jika malam.
     Syahlan bagai pamer informasi tentang musik serta roker.  Ia tidak henti-henti memancingku untuk menanggapinya soal musik dan roker.  Hebat, kini Syahlan kian banyak mengerti perihal musik serta roker.  Bagaimana tak jago, ia selalu membaca majalahku semacam Vista, Variasi, Ria Film, Team dan Hai.
     Syahlan malahan pernah tidur di ranjangku.  Pasalnya, ia tidak kuat lagi berjalan ke bangsalnya lantaran rasa kantuk.  Matanya dikuasai kepekatan yang kelam.  Ini akibat penat menyelami majalah film serta musik.
     Malam ini, Syahlan seolah datang menantangku adu informasi mengenai musik dan roker.  Saya lesu menimpalinya, kurang berminat.  Di akhir perbincangan, kami mengulas cewek.  Ini baru seru!

Selasa, 5 Maret 1985
     Sejak pagi sampai petang, langit terus mengencingi distrik Tamalanrea.  Hujan membekukan spirit serta aktivitas.  Cuaca dingin di musim hujan ini menyiksaku karena saya puasa.
     Syahlan kemudian datang membawakanku kaset Barat.  Hatiku pun berbunga-bunga.  Apalagi, Magrib beringsut mendekat.

Ahad, 30 Juni 1985
     Pesantren IMMIM bergemuruh-riuh.  Hari ini acara penamatan angkatan kelima sekaligus penerimaan santri baru.  Mobil berjejer di depan aula.
     Saya juga merasa bahagia.  Sebab, sudah kelas VI.  Tahun depan, giliranku yang bakal meninggalkan almamater.
     Saya sempat bersua dengan Syahlan.  Kami berbincang dalam suasana rileks.  Ia menasehatiku agar jangan tergoda dengan cewek-cewek di bioskop.  Syahlan benar.  Saya memang berniat menyibukkan diri lagi dengan majalah dinding Superpower.
     Di ingatanku, inilah perjumpaan terakhir saya dengan Syahlan.  Kami tak pernah lagi bertemu sejak Ahad, 30 Juni 1985 sampai hari ini Ahad, 5 Februari 2023.  Sekalipun begitu, kenangan yang digoreskan Syahlan tidak pudar.  Saya senantiasa ingat saat ia begitu ceria bercengkerama dengan ibu dan adiknya di pos piket Pesantren IMMIM.  Sebuah pertunjukan keluarga yang begitu indah dalam memori.  Sebuah monumen dalam untaian musim bersama Syahlan Husain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People