Efek Arumahi
Oleh Abdul Haris Booegies
Karangan saya pertama kali terpublikasi di Pedoman Rakyat pada Ahad, 24 Januari 1988. Berjudul Prokem, Okem dan Graffiti. Lambat-laun, artikel saya terus tersiar sampai lebih 50 di Pedoman Rakyat.
Di Fakultas Adab UIN Alauddin, ada buletin Shaut al-Adab. Ini ditangani Isra Mattugengkeng, alumnus Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM. Ketika Andi Nurzaman Razaq yang juga tamatan Pesantren IMMIM terpilih ketua senat Fakultas Adab, saya diperkenankan meracik Voice of Adab. Buletin ini merupakan pelapis Shaut al-Adab.
Pada 1988, terbit pertama kali surat kabar kampus Washilah. Namaku tercantum sebagai reporter bersama Ahmad Ibrahim. Nama Ahmad Ibrahim bukan sembarang. Ia termasuk penulis muda bersama Nurzaman Razaq serta Syamsulbahri Salihima dari UIN Alauddin.
Di Washilah, saya akrab dengan Laode Arumahi. Ia mahasiswa Fakultas Syariah sekaligus jurnalis Pedoman Rakyat.
Saya ingat sebuah hikayat, mungkin terjadi pada 1987. Alkisah, Arumahi bertanya tentang sebuah perkara agama kepada seorang sejawatnya yang baru diwisuda. Fulan (nama samaran) pun menguraikan dengan corak pemikiran baru selaras spirit zaman.
Besoknya, berita perihal analisis si Fulan terbit di Pedoman Rakyat. Petinggi UIN Alauddin, tentu gusar. Terlebih Dekan Fakultas Syariah. "Baru kemarin sarjana, sudah bikin fatwa", semburnya kesal.
Si Fulan berkelit. Ia merasa tak pernah diwawancarai. Ia memang sempat ditanya wartawan, tetapi, tidak sebagai narasumber untuk konsumsi publik.
Si Fulan tetap disalahkan. Sudah tahu yang bertanya kuli tinta, namun, ia tetap tangkas meladeni pertanyaan demi pertanyaan. Persoalan yang diangkat pun tergolong isu sensitif.
Sandy
Saya terakhir ke kantor redaksi Pedoman Rakyat di Jalan Arief Rate sekitar 2008. Di momen tersebut, Pedoman Rakyat telah patah tunas. Tak lagi menyapa pembaca saban pagi.
Saya mampir untuk bersilaturrahim ke Hariyani, mantan sekretaris redaksi. Di tangga depan, Ani ditemani Sandy, putri LE Manuhua yang merupakan legenda Pedoman Rakyat.
"Ini siapa?" Selidik Sandy kepada Ani sambil melirikku.
"Haris Bugis", jawab Ani.
"Oh, iya. Saya ingat. Kamu dulu selalu bawa naskah ke sini. Waktu itu kamu masih kecil".
Kami bertiga duduk di tangga. Lesu tanpa semangat. Saya sedih karena Pedoman Rakyat kini tiada. Koran perjuangan ini khatam menjelang era media sosial.
Lara kian menyesak kala saya pamit. "Terima kasih, Haris. Sudah ke sini berbagi simpati", ujar Sandy.
Cahaya
Di suatu siang pada 1988, saya bersua Arumahi di kampus UIN. Wajahnya terlihat serius.
"Ada naskahmu mengenai seminar saya baca kemarin di meja redaktur opini", kata Arumahi.
Ia lantas menerangkan jika naskah yang saya kirim tidak layak muat. Sebab, tak punya ide.
Saya memang tidak melampirkan gagasan di karangan tersebut. Saya menyalin secara kronologis acara seminar. Di situ tercantum pokok-pokok pemikiran para pemakalah.
Di perpustakaan pribadiku, saya merenungkan wejangan Arumahi tadi siang. "Tulisan harus memiliki ide".
Goresan pikiran wajib diletakkan di tulisan. Jangan membiarkan ide dibawa kabur berkeluyuran oleh Bang Toyip yang doyan bergoyang sampai larut malam. Seelok apa pun deret kalimat, tetap tak bermakna kalau tanpa gagasan. Buah pikir nan kreatif mesti diutamakan. Hingga, pembaca merasa nyaman, terwakili atau menjadi pemicu pemikiran baru. Ide berperan membarui individu maupun entitas.
Sejak dinasihati Arumahi, saya pun berupaya menaruh gagasan di segenap coretan. Memikirkan solusinya sampai keringat terperas bak butir-butir embun. Saya berteguh, usaha tidak mengkhianati hasil.
Saya tak peduli, apa pun bentuk risalah itu. Reportase, esai, puisi atau cerpen, mutlak dilandasi ide. Maklum, gagasan menjadi cahaya karangan. Sedangkan keindahan kalimat berfungsi untuk mendramatisasi suasana hati pembaca. Alhasil, mengundang rasa penasaran untuk terus menjelajahi kata per kata yang ditatah secara artistik.
Beredel
Anjuran Arumahi sanggup saya aplikasikan bahwa tulisan patut mempunyai ide. Ini saya namakan "efek Arumahi".
Pada 1992, kongsi saya dengan Arumahi, oleng. Ini gara-gara saya sering menyerang kebijakan rektor di surat kabar, khususnya di harian Pelita (Jakarta) dan Surya (Surabaya). Saya makin sulit dikontrol saat menjadi pemimpin redaksi Lektura, majalah terbitan Fakultas Sastra Unhas.
Bukan cuma Arumahi yang pusing. Asdar Muis yang jurnalis Tempo turut gerah dengan ulahku. Di suatu malam, saya dipanggil Asdar ke kantor redaksi Fajar di Jalan Ahmad Yani. Ia berpetuah lantaran saya kebablasan. Pasalnya, Lektura tampil beringas. Lektura menyerang Orde Baru dengan membahas Golput. Ini perbuatan tabu di era (daripada) Soeharto.
Puncaknya, saya dipanggil Pembantu Dekan III Fakultas Sastra Unhas. Ia bakal mempertemukanku dengan dekan. Rupanya, ada kabar mengejutkan. Lektura diberedel Kakanwil Deppen Sulsel. Basri Hasanuddin selaku rektor, melarang pula penerbitan Lektura. Dekan Fakultas Sastra pun meneken dekret pencabutan izin Lektura.
Saya berduka seolah Rembulan ambruk di atas kepala, tetapi, tetap bangga sekaligus puas. Musababnya, Lektura mencetak sejarah karena menjadi satu-satunya pers mahasiswa di Indonesia Timur yang dilarang terbit oleh Pemerintah. Lektura binasa bukan akibat lunturnya idealisme redaksi, namun, dimatikan oleh tirani!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar