Buku Harian: Spirit Jurnalisme Sastrawi
Oleh Abdul Haris Booegies
"Diari merupakan reportase pribadi yang diolah oleh diri sendiri untuk diri sendiri" (Abdul Haris Booegies).
Menulis buku harian merupakan langkah untuk mendokumentasikan pengalaman. Penulis mencurahkan perasaan dari sudut pandang yang unik. Menyusun kata demi kata seirama embus nafas. Alhasil, goresan tersebut terkadang mengandung pengalaman mengasyikkan, menggelitik, memalukan maupun aneh. Bahkan, perasaan terluka yang dialami ikut menghias gubahan kronik personal.
Tatkala termaktub sebagai santri di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, saya mengolah diari selama empat tahun sejak kelas III. Menjelang tidur, saya menyempatkan diri meracik narasi di buku harian. Tidak banyak yang mengendus bila saya punya diari. Saya biasa menggunakan lilin sebagai penerang kalau meramu frasa di buku harian. Saat teman-teman tidur, saya memadamkan lampu kamar sembari menyalakan lilin. Ini agar sahabat-sahabat tak terganggu. Saya bisa pula fokus merakit catatan pribadi di tengah temaram cahaya lilin.
Saya memperindah diari dengan melekatkan foto hasil jepretan. Pada serentetan kasus, saya memotret objek dengan kamera Argus. Ketika mencatatnya di buku harian, foto bersangkutan saya tempel. Halaman diari dengan foto merupakan pengaruh majalah. Tata letak media cetak konvensional yang artistik, saya tiru.
Saban yaum menggeluti buku harian, membuatku memberinya nama. Pada Jumat, 31 Desember 1982, saya menamakan buku harianku dengan Ratna Dewi. Nama ini terus bermetamorfosis sampai menjadi Ratna Devi Indah Sari. Dalam imajinasi saya, Ratna Devi Indah Sari itu berambut pirang dengan mata biru. Khas cewek bahenol Amerika. Sosoknya paduan Brooke Shields, Bo Derek serta Jodie Foster.
Selama di pesantren, saya paling takut dengan pemeriksaan kamar. Sebarisan pembina dan guru yang dikomandani pimpinan kampus (pimkam), mendatangi barak santri. Mereka mengusut tuntas isi almari serta bagian bawah kasur untuk mencari barang haram atau benda berbahaya.
Tidak terbayang jika diariku terjaring. Inilah yang membuatku dilanda waswas. Saya pun memeras otak mencari teknik bagaimana cara menyembunyikan buku harian.
Pada Ahad, 13 Maret 1983, saya mengonversikan huruf Latin dengan aksara Yunani yang saya modifikasi. Abjad ini diilhami dari edisi khusus majalah Hai. Sementara untuk penanggalan, saya mengaplikasikan angka Romawi.
Gelisah perlahan sirna seiring perputaran siang dengan malam. Musababnya, sekarang diariku agak repot ditelaah orang iseng.
Makin hari, buku harianku kian modis. Di sudut kiri atas halaman saya tulis nama artis Hollywood, berganti-ganti per hari. Di baris pertama tertera basmalah dengan tinta hijau. Tanggal ditulis dengan tinta merah. Sapaan "hello" atau "hai" untuk Devi berwarna biru. Materi diari tertoreh dengan tinta hitam. Di akhir dokumen yang menghimpun lika-liku kehidupan itu, ada tanda tangan bercorak merah. Sedangkan namaku bernuansa biru. Di pojok bawah lembaran ada nomor pagina. Sangat elok untuk era 80-an.
Text Sticker
"Tiap halaman buku harian merupakan sketsa suatu momen" (Abdul Haris Booegies).
Saat saya pertama kali mengarang diari, terlihat bila kalimatku menyimpang dari tata bahasa. Ejaannya amburadul, tak terikat aturan baca-tulis. Tidak ada proses mekanisme kecuali menulis cepat dengan bahasa ekspresif. Saya mengekspresikan peristiwa dengan bahasa sehari-hari.
Sesudah berbilang bulan, saya pun merasa nyaman dengan buku harian. Saya merombak format halaman supaya terkesan dinamis. Ada warna agar mencuatkan rona variatif.
Pada sebilangan halaman kosong bagian bawah naskah, saya mencantumkan teks-teks elegan beserta sumbernya. Misalnya dari Gadis, Pedoman Rakyat, Anne Louise Germaine Necker (Baronne de Staël Holstein), Friedrich Nietzsche atau roker Rod Stewart. Saya tersengsem membaca susunan sabda syahdu di surat kabar dan majalah. Kelak, inilah yang mempengaruhi artikelku yang bergaya ilmiah populer dengan bahasa jurnalisme sastrawi.
Sampai kini, saya tekun menyalin untaian kata kirana. Ini memacu saya membuat text sticker, kalimat singkat berbentuk stiker. Contohnya, "jujur berbuah luhur". Saya memproduksi lebih 2.000 text sticker. Sekitar 1.500 terpublikasi di media sosial serta blog.
Mahmuddin Tertidur
"Diari bercerita tentang aneka tema dan dimensi kehidupan yang serasa belaian kasih seorang ibu" (Abdul Haris Booegies).
Cuaca masih gelap selepas shalat Shubuh pada Senin, 13 Februari 1984. Mantang memanggilku sambil menunggu di belakang aula.
"Ada apa?"
"Mahmuddin tidur di ruang istirahat koki. Kamu juga tak mengunci pintu!"
Mantang merupakan chef di aula. Ia kepala konsumsi untuk pegawai dari daerah yang menempuh pelatihan profesional berkelanjutan di aula Pesantren IMMIM.
Tadi malam usai shalat Isya, saya bersama segelintir kolega ke ruang istirahat koki. Mahmuddin Achmad Akil yang duduk di kelas II, turut pula. Ia masih mengenakan sarung. Di bilik tersebut, kami menyantap hidangan lezat. Tersuguh juga kue.
Ruang istirahat koki sesungguhnya daerah terlarang bagi santri. Mantang tidak segan mengusir santri yang menerobos ke situ.
Saya satu-satunya santri yang saban hari makan enak di aula. Mantang menyiapkan sarapan, santap siang serta makan malamku. Kalau Mantang menyediakan banyak ransum, saya ajak rekan.
Biasanya jika saya makan sendiri, Mantang menanyakan Mahmuddin. Saya pun acap memanggil Mahmuddin untuk makan di aula.
Mahmuddin merupakan santri sultan asal Sidrap. Tiap pagi ia menabung di celengan yang di taruh di lemarinya. Mahmuddin senantiasa tampil perlente dengan busana necis. Ia pengurus koperasi sejak kelas II. Mahmuddin akrab dengan Andi Rezky Rohadian yang juga santri sultan dari Divisi 8288.
Ahad malam ini setelah makan di aula, kami membaca majalah film dan musik. Sudah beberapa hari ini saya menyimpan majalahku di almari ruang istirahat koki. Soalnya, Mantang melaporkan akan ada pemeriksaan asrama dalam waktu dekat. Di samping menyuplai sajian, Mantang sering membocorkan agenda pimkam. Inilah yang membuatku lihai melakukan pelanggaran sepele atau serius. Pasalnya, rencana pimkam bocor duluan.
Tak semua program terselubung pimkam yang dibisikkan Mantang berjalan mulus. Pada Kamis, 3 November 1983, radioku yang tersimpan di ruang istirahat koki direbut oleh pimkam.
Mantang biasanya ke Kilo 9 menginap untuk menyiagakan konsumsi peserta pelatihan di aula. Ia memercayakanku memegang kunci aula.
Malam ini ketika mengantuk, saya bersama kroni kembali ke bangsal Imam Bonjol. Mahmuddin masih membaca majalah seraya berbaring. Khusyuk menyimak warta selebritas di Vista, Variasi serta Ria Film.
Saya tidak mengunci pintu kamar dan jeruji besi bagian belakang dekat toilet aula. Berharap Mahmuddin yang nanti mengunci seluruh pintu bila pulang. Rupanya ia ketiduran.
Subuh kala Mantang tiba, ia terkesiap. Pintu aula terbuka. Mahmuddin malahan masih mendengkur di ranjang. Tak shalat Shubuh di masjid. Mana ada anggota qismul amni (staf keamanan) ke aula untuk membangunkan seorang santri sultan.
Skandal Senyap
"Buku harian merupakan lorong waktu untuk kembali ke periode saat catatan pribadi itu ditulis" (Abdul Haris Booegies).
Ada taksiran bahwa "segala ikhwal dapat direkam di diari". Ini rumus berbahaya kalau segenap masalah laik transfer ke buku harian. Siapa pun berpeluang celaka secara bersaf-saf jika problem kita dengan antagonis kontradiktif dipasok ke diari. Masa lalunya yang kacau, kelam, kusam, keruh sekaligus kecut, mendadak terpublikasi di social networking sites sekelas Facebook yang berskala world wide. Sadisnya sungguh selevel bacokan golok.
Selama empat tahun menggeluti buku harian yang dituangkan dalam sembilan jilid, ada seperangkat perkara rawan bin gawat yang tidak terdokumentasi. Saya tak menuangkan sisi kontroversial ekstrem di jurnal pribadi lantaran tidak tega. Ada pula gara-gara cemas. Saya khawatir, bila pasal tersebut dicatat bakal membahayakan diariku. Boleh jadi buku harianku disita sebagai alat bukti untuk menginvestigasi sebuah kasus.
Pada 1984, seorang santri badung melakukan aksi binal yang membuatku gentar bertalu-talu. Saya lantas menegur sembari mencelanya setelah ia puas bercumbu dengan bahaya. "Andai ulahmu tepergok, kita pasti dihajar sampai pingsan tujuh kali! Kita pasti dipecat!"
Saya betul-betul geregetan dibuatnya. Mau rasanya saya tempeleng bolak-balik muka joroknya.
Di siang itu di sebuah petak kayu beralas papan, cuma ada tiga orang. Saya sebagai saksi dengan pelaku serta korban yang masih di bawah umur. Saya yang baru tiba di ruang bersekat tersebut, kaget bak disambar halilintar kala menyaksikan adegan mencengangkan. Belum pernah ada persoalan serupa ini di Pesantren IMMIM sejak berdiri pada 1975 sampai 2022. Rasa ngeri membuatku tak menulisnya di diari. Sampai detik ini, belum pernah ada sejawat yang saya kabarkan perihal skandal ini. Saya gigih bertahan memendamnya. Setahun berikutnya pada Rabu, 9 Januari 1985, santri sekte sesat rohani itu dipecat.
Sejumput kisah sensasional, luput dengan sengaja dari buku harianku. Bahkan, sekalipun andal kabur dari kampus, tetapi, diariku tidak memuat tips and tricks modus jitu bolos tanpa terdeteksi otoritas pimkam dan qismul amni. Rasanya saya tak memiliki teknik bolos selain kabur kapan saja berkehendak.
Kerap terlintas di benak kalau buku harianku senyatanya menatah secuil sejarah Pesantren IMMIM. Ini berkat saya mengarsipkan momen pertama kali ketika menu santap siang diganti dengan sepotong telur tiap pekan. Saya mengguratkan hari saat menara telepon dipasang. Saya mengabadikan ketika ustaz Syukri Basondeng dilantik sebagai pimkam di masjid ath-Thalabah.
Saya berilusi jika diariku bisa mengilhami sebuah novel. Semacam Lima Sekawan (The Famous Five) karya Enid Blyton, novelis Inggris. Dulu di pondok, Shalahuddin Ahmad (Angkatan 8086) suka membaca serial Lima Sekawan.
Vitalitas buku harianku mendentangkan sedenting nada bahwa santriwan-santriwati Pesantren IMMIM merupakan kandidat mahaputra-mahaputri di berbagai bidang. Benar prediksi Haji Fadeli Luran, pendiri Pesantren IMMIM. "Kelak anakda akan bertebar di mana-mana sebagai profesional".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar