Jumat, 21 Mei 2021

Asmara ala Santri


Asmara ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di akhir 2020, saya membolak-balik diari bertarikh 1982.  Ini pertama kali saya membacanya sejak ditulis 38 tahun silam.  Di buku antik tersebut tertera nama Nuraini.  Siapa ini sampai muncul di catatanku.
     Saya menghubungi Fuad Mahfud Azuz.  Siapa Nuraini?  Fuad hanya berpikir lima detik untuk mengidentifikasinya.  Saya pun langsung mengingatnya.  Nuraini merupakan gadis yang acap dibicarakan di Pesantren IMMIM.  Saya tidak pernah lihat parasnya kecuali biasa mendengar namanya.  Ia diatribusikan pada MT (Angkatan 85).
     Di lembaran-lembaran berikut buku harianku, identitas Nuraini mulai terang.  Gadis itu makin populer setelah seorang santri dipecat akibat mencuri.  Ia mencoleng demi bersolek agar Nuraini terkesan.
     Eksistensi realitas santri sebagai pelajar kolektif pasti menimbulkan beragam persoalan.  Satu di antaranya yakni percik cinta yang meronta di dada.  Bagi saya, pacaran serta melanggar aturan merupakan pilar filosofis remaja guna mengekspresikan diri.
     Elemen ekspresi diri terkadang mendorong saya berempati dengan santri kasmaran.  Ini terjadi pada Rabu, 5 September 1984.  Saya membonceng seorang mitra sesama Bugis ke SMP Nahdiyat.  You-can ingin menatap sang kekasih.  Sekolah yang dituju ternyata tutup.  Libur sebagaimana pesantren.  You-can kecewa, saya turut prihatin sedalam-dalamnya.  Rindu terpendam tiada tergenapi.

Adegan I
    Malam pada Rabu, 26 Februari 1986, saya uring-uringan.  Musababnya, hati terpaut dengan gadis di depan rumah.  Saya berniat pulang menjumpainya, namun, besok Kamis.  Tak elok meninggalkan pondok karena jadwal latihan Black Panther tiap Kamis-Jumat.
     Terpaksa mengorbankan asmara yang menurut pujangga picisan merupakan akses menuju sukses.  Saya termangu.  Bisa kena demam dan pusing jika begini.  Di kamar cuma mencumbu kesunyian di tengah riuh-gaduh rutinitas santri.
     Ahmad Afifi yang paham kemelut batin ini hanya terpana nanar.  Ini tanjakan terjal dalam dunia remaja.  Ia tahu gadis molek berparas lembut tersebut.  Afifi kemudian menghibur.
     "Tidak usah risau.  Cewek itu pun menyenangimu".

Adegan II
     Ketika mengajar Balaghah pada Sabtu, 6 Oktober 1984, ustaz Harisah HS sempat menasehati kami tentang cinta.  Ini di luar kelaziman.  Sebelumnya, ia tak pernah membahas problem cinta.
     "Adik-adik ke sini bukan untuk berpikir cinta, tetapi, untuk belajar.  Bila ada gadis yang menolak, biarkan saja.  Bukan cuma dia wanita di dunia.  Jodoh di tangan Tuhan.  Jodoh adik-adik sudah tercatat sebelum lahir".

Adegan III
     Pada Sabtu, 11 Mei 1985, setelah nonton Ninja III the Domination, saya ke New Artis.  Pukul 22.00, Abdul Hafid tiba dari pesantren mengendarai Vespa merahnya.  Kami berencana nonton midnite show film The Marginal.  Di bioskop ini ada cewek pegawai yang akrab dengan saya.  Kami suka bercanda.  Saya tidak sempat menemuinya karena Hafid ogah nonton, ia mengantuk.
    Di ruang kelas saat semester, saya terkenang sepotong sisa momen tadi malam di New Artis.  Apalagi, saya mimpi mengenai cewek pegawai bioskop tersebut.
     "Haris hanya menghayal", mendadak terdengar suara ibu Syamsinah.  Saya kaget serta tersipu.  Seorang pengawas lain menambah parah beban malu di hati.  "Anak gadisnya orang barangkali dia pikirkan".

Adegan IV
     Saya ke kantor direktur pesantren pada Selasa pagi, 31 Januari 1984.  Di sana, duduk mengkhayal tentang gadis yang sering menemuiku.  Saya kenal dara ayu ini berkat Mantang, kepala konsumsi aula.  Di ruang direktur, ibu Nurbaya sedang mengetik.  Kami cuma berdua.  Ia pernah melihatku jalan bersama gadis yang kini mengacak-acak pikiranku.
     Tiba-tiba ibu Nurbaya memecah keheningan.  Fantasi liarku buyar.  Ia mafhum apa yang tengah membelit emosiku.  Ibu Nurbaya mafhum hatiku digoda cinta.  Ia pun berpetuah perihal asmara.
     "Haris, kalau kau pacaran jangan pakai PHB, penghubung.  Jangan juga mengganggu pelajaran".

Adegan V
     Saya bersiap ke dojo untuk latihan karate pada Jumat, 10 Januari 1986.  Banyak anggota Black Panther bersemangat.  Sebab, ada karatekawati mulai ikut latihan pada Jumat, 3 Januari 1986.  Saya didaulat melatihnya bersama sabuk putih.
     Sebelum ke dojo, saya ke dapur.  Sekedar berhasrat berkelakar dengan koki yang berparas manis.  Jika memandangnya sebelum saya cuci muka di waktu pagi, terlihat wajahnya steril dosa dan noda.  Mungkin ia lahir kala cahaya purnama menerangi Bumi.  Mustahil lahir di bawah sinar sang Surya yang memanggang kulit.
     Menggoda cewek seolah mengendurkan syaraf supaya tak tegang bila kumite alias sparring.  Tidak pula gampang takluk lantaran takut oleh struktur ketegangan tinggi.  Di samping itu, menjadi manifestasi kekuatan sensualitas.
     Saya memanggil gadis koki yang bertubuh sintal dengan kulit jernih.  Membisiknya bahwa nanti saya ingin punya 100 anak.  Ia terkesiap.  Matanya melotot dengan mulut melongo.  "Melahirkan 10 anak saja seperti mau mati, apa lagi 100".

Adegan VI
     Pada Senin, 24 Maret 1986, terlaksana Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).  Pesantren IMMIM menjadi tuan rumah bagi Madrasah Muallimat Aisyiyah serta Pesantren Gombara.
     Tatkala istirahat ujian, saya menggandeng jemari Firdaus, putra ustaz Syukri Basondeng.  Saya menuntunnya berkeliling seputar anjung peranginan Majelis Guru.  Seorang siswi Muallimat memperhatikanku dengan tatapan dongkol.  Gayaku menyakitkan hatinya.
     Lagak cuekku yang dibencinya berakhir tragis.  Hatinya luluh bak salju ditimpa panas terik Mentari.  Di hari terakhir Ebtanas, kami saling berfoto dan bertukar alamat.  Sesekali tangan kami bersilaturrahim halal alias bersenggolan ala kadarnya.  Walau hanya sentuhan ringan, namun, rasanya bagai berada di pucuk langit ketujuh.
     Pada Kamis, 15 Mei 1986, siswi Muhammadiyah tersebut termangu, heran campur takjub.  Ia seolah dalam mimpi dengan momen indah yang sekarang kami arungi berdua.
     "Saya tak percaya ini terjadi.  Dulu saya gemas melihat gayamu sampai mau mencekikmu".

Adegan VII
     Dalam suasana libur pada Jumat, 16 Desember 1983, saya bersama sejumlah juru masak ke aula.  Kami main kartu.  Koki bernama Rusymi lantas menuding saya.
     "Ini Haris pacaran cuma matanya, bukan hatinya.  Jadi kalau lihat cewek cantik, pasti kecantol lagi".

Adegan VIII
     Saya bersama Mukbil (Angkatan 87) seatap ustaz Abdul Kadir Massoweang serta ustaz Abdul Kadir Kasim di Wisma Guru yang terletak di Jalan Bugis.  Meski serumah dengan wakil pimpinan kampus dan kiai, saya tetap kasak-kusuk.  Saban hari bereksperimen mengakali aturan agar tetap pada khittah aktivitasku yang bebas tanpa batas.
     Pelajaran ekstrakurikuler yang saya tekuni selain bolos ialah mengganggu koki montok nan mulus.  Mujur sekali nasibku berkat jendela belakang mes koki tepat di depan Wisma Guru.  Mudah bermain mata.  Mantang yang chef aula akhirnya menegur saya supaya tidak mengusik staf dapur.  Masalah pun muncul.
     Pagi pada Ahad, 4 Desember 1983, ustaz Kadir Massoweang tertegun di kamar mandi.  Drum kosong.  Ember juga kosong, tak ada air.  Selama ini, air berlimpah laksana berada di area baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri dambaan dengan selaksa berkah).  Saya atau Mukbil cukup berseru ke juru masak lewat jendela agar mengalirkan air.  Kini, teriakan saya tidak digubris, dianggap desir angin yang mengandung bakteri jahat.  Mukbil pun begitu.  Suaranya malahan parau akibat memekik-mekik minta air.
     "Kenapa tidak ada air?", tanya ustaz Kadir.
     "Koki marah, ustaz", jawab Mukbil.
     "Kenapa?"
     "Gara-gara Haris.  Dia tolak cintanya koki".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People