Kamis, 21 Juni 2012

Kembali ke Tukul Arwana


Kembali ke Tukul
Oleh Abdul Haris Booegies

     Hari-hari belakangan ini, pemirsa Trans-7, gaduh dihibur oleh Tukul Arwana. Empat Mata, program comedy talkshow yang dipandunya menuai sukses. Alkisah, ia dibayar Rp 30 juta per episode.
     Gaya dan ceplas-ceplos lelaki bernama asli Tukul Riyanto tersebut, selalu membahanakan suasana riuh. Aksi Tukul sebenarnya norak sekaligus seronok. Kesannya malahan kampungan sekali. Di samping itu, paras Tukul tidak camera face. Syahdan, kumisnya yang terjuntai tidak lebih banyak dari jumlah jari tangan serta kaki. Potongan rambut Tukul yang crew cut segi empat makin menambah ciri khasnya sebagai insan old-fashioned (ketinggalan zaman). Bahkan, intelektualitasnya tergolong tiarap. Menyebut gadget bernama PDA alias personal digital assistant saja, mulutnya kewalahan.
     Segala kekurangan dalam diri Tukul, sekonyong-konyong menjadi the charming point (daya tarik) dalam Empat Mata. Penampilannya yang konyol menjadi telegenic (mempesona di layar kaca). Kekolotannya menyemburkan energi yang tak tertandingi fantastisnya. Alhasil, talk show yang dibawakannya bergemuruh oleh gelak tawa yang seolah tanpa jeda. Apalagi, bukan Tukul yang meledek narasumber. Ia justru yang dikerjai. Tora Sudiro, Indra Birowo, personel Project Pop, Basuki, Ikang Fawzi maupun Pepeng, drummer band Naif, leluasa mengolok-oloknya.  “Puas! Puas! Puas!” Seru Tukul yang kontan disambar tepuk meriah penonton di Studio Hanggar.
     Sosok Tukul yang lahir di Semarang pada 16 Oktober 1963, menegaskan bahwa tiap manusia dari kasta apa saja, punya masa jaya. Berbilang tarikh, orang tak pernah mengenal Mas Ngabehi Suraksohargo alias Mbah Marijan. Pada 2006, di usia 82 tahun, ia tampil bersama Rieke Diah Pitaloka (Oneng) dan Chris “The Dragon” John. Dengan raut muka cengengesan, ia mengepalkan tinjunya yang ringkih seraya berseru: “Roso! Roso!” (kuat).
     Walikota Munich sempat mengundang Mbah Marijan untuk menghadiri partai pembukaan Piala Dunia (Weltmeister 2006). Nama juru kunci gunung merapi tersebut bergema di Jerman lantaran kegigihannya menenangkan masyarakat di sekitar gunung berapi.
     Mbah Marijan kian kesohor berkat pernyataannya yang bertentangan dengan high-tech. Seluruh ilmuwan haqqul yaqin kalau gunung merapi di sisi Yogyakarta bakal meletus. Mbah Marijan ternyata menolaknya. Dunia akhirnya mafhum. Sebab, pengetahuan utak-atik Mbah Marijan lebih jitu ketimbang postulat jawara saintis yang didukung teori avant garde para resi teknologi.
     Kembali ke Tukul. Figur itu mencerminkan kerja keras. Ia pernah terpuruk. Terlunta-lunta di belantara pengap Jakarta. Hidupnya sontak benderang kala disodori menjadi host acara bincang Empat Mata. Tukul pun mengkilap, wangi lagi.
     “Telah Kami ciptakan manusia ke dalam hidup yang penuh kesusahan” (al-Balad: 4). Begitu Allah berfirman kepada segenap manusia berakal.
     Tukul, Donald Trump, Bill Gates, Ronaldinho atau Leonardi DiCaprio, tidak spontan melejit ke puncak popularitas. Mereka pernah berjibaku mengukir nama. Semuanya mengalami periode yang pekat, suram serta rumit.
     Kerja keras tanpa putus asa merupakan art of survival (kiat perjuangan) guna merebut masa depan. Berikhtiar tanpa menggantungkan nasib pada “area al-Balad nomor 4”, merupakan calling of life (panggilan hidup) demi mencapai kejayaan. Apalagi, manusia memiliki the power of hope untuk terus melakukan perlawanan terhadap belenggu keseharian.
     Tak boleh ada kompromi terhadap kekurangan diri. Pemali jika cuma angan-angan sibuk berkisar tak kunjung tuntas. Sosok Tukul yang berwajah pedesaan dengan keplok monyet, sesungguhnya hadir sebagai teladan. Arkian, ia pada esensinya menambah referensi perjalanan hidup kita. Selama 17 tahun, Tukul jatuh-bangun di dunia hiburan. Ia tak menyerah. Kini, kerja kerasnya membuahkan kesuksesan.
     “Kami anugerahkan mereka sebagian rahmat Kami. Kemudian Kami karuniai nama yang baik lagi harum” (Maryam: 50).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People