Kembali
ke Tukul
Oleh Abdul
Haris Booegies
Hari-hari belakangan ini, pemirsa
Trans-7, gaduh dihibur oleh Tukul Arwana. Empat Mata,
program comedy talkshow yang dipandunya menuai sukses.
Alkisah, ia dibayar Rp 30 juta per episode.
Gaya dan ceplas-ceplos lelaki
bernama asli Tukul Riyanto tersebut, selalu membahanakan suasana
riuh. Aksi Tukul sebenarnya norak sekaligus seronok. Kesannya
malahan kampungan sekali. Di samping itu, paras Tukul tidak camera
face. Syahdan, kumisnya yang terjuntai tidak lebih banyak dari
jumlah jari tangan serta kaki. Potongan rambut Tukul yang crew
cut segi empat makin menambah ciri khasnya sebagai insan
old-fashioned (ketinggalan zaman). Bahkan, intelektualitasnya
tergolong tiarap. Menyebut gadget bernama PDA alias personal
digital assistant saja, mulutnya kewalahan.
Segala kekurangan dalam diri
Tukul, sekonyong-konyong menjadi the charming point (daya
tarik) dalam Empat Mata. Penampilannya yang konyol menjadi
telegenic (mempesona di layar kaca). Kekolotannya
menyemburkan energi yang tak tertandingi fantastisnya. Alhasil,
talk show yang dibawakannya bergemuruh oleh gelak tawa yang
seolah tanpa jeda. Apalagi, bukan Tukul yang meledek narasumber. Ia
justru yang dikerjai. Tora Sudiro, Indra Birowo, personel Project
Pop, Basuki, Ikang Fawzi maupun Pepeng, drummer band Naif,
leluasa mengolok-oloknya. “Puas! Puas! Puas!” Seru
Tukul yang kontan disambar tepuk meriah penonton di Studio Hanggar.
Sosok Tukul yang lahir di Semarang
pada 16 Oktober 1963, menegaskan bahwa tiap manusia dari kasta apa
saja, punya masa jaya. Berbilang tarikh, orang tak pernah mengenal
Mas Ngabehi Suraksohargo alias Mbah Marijan. Pada 2006, di usia 82
tahun, ia tampil bersama Rieke Diah Pitaloka (Oneng) dan Chris “The
Dragon” John. Dengan raut muka cengengesan, ia mengepalkan
tinjunya yang ringkih seraya berseru: “Roso! Roso!”
(kuat).
Walikota Munich sempat mengundang
Mbah Marijan untuk menghadiri partai pembukaan Piala Dunia
(Weltmeister 2006). Nama juru kunci gunung merapi tersebut
bergema di Jerman lantaran kegigihannya menenangkan masyarakat di
sekitar gunung berapi.
Mbah Marijan kian kesohor berkat
pernyataannya yang bertentangan dengan high-tech. Seluruh
ilmuwan haqqul yaqin kalau gunung merapi di sisi Yogyakarta
bakal meletus. Mbah Marijan ternyata menolaknya. Dunia akhirnya
mafhum. Sebab, pengetahuan utak-atik Mbah Marijan lebih jitu
ketimbang postulat jawara saintis yang didukung teori avant garde
para resi teknologi.
Kembali ke Tukul. Figur itu
mencerminkan kerja keras. Ia pernah terpuruk. Terlunta-lunta di
belantara pengap Jakarta. Hidupnya sontak benderang kala disodori
menjadi host acara bincang Empat Mata. Tukul pun
mengkilap, wangi lagi.
“Telah Kami ciptakan manusia ke
dalam hidup yang penuh kesusahan” (al-Balad: 4). Begitu
Allah berfirman kepada segenap manusia berakal.
Tukul, Donald Trump, Bill Gates,
Ronaldinho atau Leonardi DiCaprio, tidak spontan melejit ke puncak
popularitas. Mereka pernah berjibaku mengukir nama. Semuanya
mengalami periode yang pekat, suram serta rumit.
Kerja keras tanpa putus asa
merupakan art of survival (kiat perjuangan) guna merebut masa
depan. Berikhtiar tanpa menggantungkan nasib pada “area al-Balad
nomor 4”, merupakan calling of life (panggilan hidup) demi
mencapai kejayaan. Apalagi, manusia memiliki the power of hope
untuk terus melakukan perlawanan terhadap belenggu keseharian.
Tak boleh ada kompromi terhadap
kekurangan diri. Pemali jika cuma angan-angan sibuk berkisar tak
kunjung tuntas. Sosok Tukul yang berwajah pedesaan dengan keplok
monyet, sesungguhnya hadir sebagai teladan. Arkian, ia pada
esensinya menambah referensi perjalanan hidup kita. Selama 17 tahun,
Tukul jatuh-bangun di dunia hiburan. Ia tak menyerah. Kini, kerja
kerasnya membuahkan kesuksesan.
“Kami anugerahkan mereka
sebagian rahmat Kami. Kemudian Kami karuniai nama yang baik lagi
harum” (Maryam: 50).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar