Menyambut
Piala Eropa 8 Juni - 1 Juli 2012
Bersama
Membuat Sejarah
Oleh
Abdul Haris Booegies
Sejak 8
Juni, gibol (penggila bola) begadang semalam-suntuk demi menyaksikan
laga para jawara. Tatkala penduduk planet menyaksikan Euro 2012,
maka, mereka sesungguhnya menatap sebuah kerja keras. Siapa saja
yang terlibat di Euro adalah individu yang telah ditempa bertumpuk
jadwal. Demi menyukseskan Euro, panitia berpeluh tiap hari.
Aktor-aktor
di balik hajatan segendang-sepenarian untuk menaati aturan, panduan
sekaligus kebijakan. Hal serupa dialami para pemain. Mereka mandi
keringat di lapangan untuk meloloskan negaranya ke Polandia-Ukraina.
Euro
merupakan kerja keras bagi semua yang terlibat dari jajaran panitia
sampai pemain. Sedetik pun mereka tidak boleh lengah demi kesuksesan
Euro.
Puncak
segala ekspektasi tiada lain trofi Piala Eropa. Hasil akhir
permainan ialah kemenangan dan kebahagiaan. Panggung tak mengenal
kekalahan dan air mata. Puja-puji hanya ditujukan bagi sang
pemenang.
Di ranah
sepakbola ultra-mutakhir, tertoreh dua aspek pokok bagi pemain. Ia
wajib punya inteligensia dan stamina. Dua struktur ini yang
menunjang irama permainan. Sebab, sebuah kesebelasan menuntut pemain
berpikir cepat, berlari cepat serta mengumpan cepat. Pemain tidak
boleh berlama-lama mendribel bola. Soalnya, lawan bisa mencurinya.
Dari sini terlihat bahwa kesebelasan butuh keterpaduan antar-lini.
Semua harus bergerak untuk saling mendukung.
Sepakbola
mutlak menjunjung semangat kolektivitas tim. Kemenangan muskil
direngkuh jika watak individualistis mengendap pada masing-masing
pemain.
Di Euro kali
ini, skema permainan 4-2-3-1 banyak menjadi anutan. Pola dasar ini
bertumpu pada dua gelandang tengah yang melapis pertahanan. Formasi
ini andal berkat sokongan dua gelandang yang berposisi melebar (wide
men) di dua sayap. Kombinasi serangan lewat dua sayap
menciptakan neraka di area pertahanan lawan.
Program COPCO
Dalam
lanskap nasional, kita menengok sepak-terjang PSSI. Bertahun-tahun
berkiprah, skuad nasional paceklik prestasi. Kalau rusuh
antar-suporter, Indonesia pasti berprestasi besar.
Bila
menyimak jumlah penduduk yang mencapai 260 juta jiwa, mestinya
Indonesia punya selusin tim nasional. Di luar dugaan, Indonesia
justru tak kuasa membuat satu pun kesebelasan solid. Pemain-pemain
jempolan sulit ditemukan. Arkian, dipilih jalan pintas berupa
naturalisasi. Hasilnya dua kali bertemu Malaysia di final Piala AFF
dan SEA Games dalam rentang waktu 15 bulan, dua kali pula Indonesia
keok.
Secara
logika awam, Malaysia gampang ditekuk di atas lapangan. Penduduknya
cuma 29 juta jiwa. Tidak disangka, The Tigers yang seratus
persen anak Malaysia begitu tangguh. Sedangkan Indonesia dengan
pemain naturalisasi yang tak paham bahasa Indonesia, kocar-kacir
diganyang Malaysia. Ini bukti bahwa program naturalisasi layak
dikaji ulang.
Saya ingin
mengusulkan agar PSSI melakukan mission impossible. Misi ini
mengusung metode COPCO (culik, operasi plastik serta cuci otak).
Kita culik Iker Casillas, kiper Los Blancos. Begitu juga
defender berkarakter Carlos Puyol dan John Terry. Kemudian
menculik playmaker Mesut Ozil, maestro passing Xavi
Hernandez, Andres Iniesta serta Franck Ribery. Empat bomber yang
wajib diculik yakni Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Karim Benzema
berikut Arjen Robben.
Sebelas
pemain Euro 2012 tersebut lalu dioperasi plastik supaya berwajah
Melayu. Sesudah itu, dicuci otak jika mereka penduduk asli
Indonesia. Megastar Lionel Messi, Gonzalo Higuain dan sayap
kanan Angel di Maria tidak usah diculik. Faktor tersebut agar
Indonesia yang kelak berhadapan dengan Argentina di grand final
Piala Dunia Brasil 2014, dapat mempertontonkan atraksi bola paling
sensasional.
Kalau
program COPCO dianggap tak realistis, maka, ada dua opsi. Pertama,
mencari talenta yang tersebar di segenap pelosok Tanah Air. Kedua,
memperbanyak turnamen di kalangan anak-anak, khususnya di hari Ahad
serta hari-hari libur. Sebagai contoh, sekarang ada Liga U-14 yang
disponsori penerbitan media. Semoga di Makassar nanti ada Liga
Majalah Lektura U-10 sebagai wujud pembinaan usia muda. Sejak
dini mereka ditempa supaya menjadi young guns PSSI di masa
depan.
Negative
Football
Menggambarkan timnas selalu mudah. Penyerang mandul. Lapangan
tengah keropos dan lini pertahanan rapuh. Tidak memiliki kreativitas
di lapangan tengah. Tak tampil efisien. Ditambah pengurus PSSI
berantam terus di tengah dualisme kompetisi. Satu lagi, tifosi
berjiwa bonek (bondo nekat) alias bermodal nekat. Lengkap
sekali!
Kita lantas
ternganga oleh Serie A serta La Liga. Mereka mampu mempertontonkan
pergelaran sepakbola yang fantastis. Bahkan, pertunjukan Liga
Inggris menjadi ekspor paling dominan. English Premier League
ditayangkan di 212 kawasan dunia. Musim 2010-2011, Liga Inggris
meraup laba Rp 17,5 triliun.
Dana maupun
bakat merupakan dua perkara pokok bagi sepakbola Tanah Air. Hingga,
untuk mendatangkan pelatih world class, PSSI kewalahan. Andai
saja seluruh uang hasil korupsi bisa dikembalikan ke kas negara,
berarti Timnas dapat meminang Josep “Pep” Guardiola, the
Special One Jose Mourinho atau Sir Alex Ferguson.
Manchester
City merupakan contoh terbaik bila anggaran bertumpuk bisa membeli
prestasi. Sheikh Mansour bin Zayed bin Sultan an-Nahyan
menggelontorkan 194,9 juta pounds untuk gaji pemain. Roberto Mancini
dikontrak pula sebagai nakhoda the Citizens. Hasilnya,
agresivitas Man City merajai Liga Inggris sebagai kampiun nomor satu.
Melihat
bakat yang ada di Indonesia, maka, pelatih harus mengambil kebijakan
negative football. Pasalnya, mustahil laskar Indonesia
mempraktikkan totaal voetbal ala Belanda era 70-an. Stamina
orang Indonesia hanya 15 menit jika mau memakai skema total
football. Rumit juga melakoni tiqui-taca yang menjadi
ideologi El Azulgrana Barcelona. Maklum, penganut kredo
tiqui-taca yang mementingkan umpan-umpan pendek dan cepat,
mutlak punya skill tinggi. Alhasil, mereka jitu dengan umpan
pendek, umpan terobosan, pressure ketat serta ball
possession.
Negative
football bukan mazhab haram di sepak bola. Negative football
mengusung tesis pragmatis alias mementingkan kemenangan. Metode ini
sukses dijalankan Chelsea kala menekuk Barcelona dan Bayern Muenchen
di Liga Champions.
PSSI sebagai
pemersatu bangsa mesti bergerak gesit untuk membangkitkan prestasi
Timnas. Semua pengurus harus berjuang demi membela tim Merah Putih.
Kita telah capek menanti prestasi gemilang. Kita geram dengan
pengurus PSSI yang lamban merespons arus sepak bola dunia.
Euro 2012
seyogianya membuat kita berbenah diri. Mari bekerja bersama demi
prestasi. Ayo mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Kita berpeluh demi menciptakan prestasi bagi PSSI. Kerja sama yang
dilandasi saling pengertian merupakan awal prestasi. Elemen itu
menjadi energi untuk menggelorakan spirit superior. Polandia serta
Ukraina saja yang budayanya berbeda dapat bahu-membahu
menyelenggarakan Euro. Kedua bangsa bertekad untuk bersama mencetak
sejarah. Together Creating History.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar