Seks
Tahun 2000
Oleh Abdul
Haris Booegies
Seks nyaris menyamai usia manusia
pertama. Pembangkangan Qabil terhadap ayahnya, Nabi Adam, tak lain
karena keindahan fisik Iqlima. Ia bunuh saudaranya, Habil demi
mereguk sex appeal Iqlima yang sangat menawan hatinya.
Nabi Saleh, diteror oleh seorang
pembunuh bayaran yang diupah dengan perawan jelita. Nabi Yusuf hampir
terbuai pula oleh nafsu Zulaikha, yang mendambakan cinta kasih
sejati.
Napoleon Bonaparte, kaisar
Perancis, nyaris tiap bulan bergelut dengan wanita-wanita ayu.
Bahkan, Madame de Stael (Anne Louise Germaine Necker), sastrawati
tersohor, juga terdekap ke dalam pelukan hangat Maharaja Perancis
itu.
Di masa jaya diktator Nicolae
Ceausescu, putranya, Nicu Ceausescu selalu menggiring gadis-gadis
cantik ke sebuah kamar khusus. Nicu pertama kali menikmati seks saat
berusia 14 tahun. Ketika itu, ia ingin membuktikan kekuasaan ayahnya
dengan memperkosa seorang perempuan terhormat.
Di zaman baheula, bisnis cinta
berkembang pesat. Tercatat bahwa Aphrodite, Dewi Asmara yang mashur,
termasuk pelopor “kuda betina binal”. Wanita pembuai cinta ini
bukan mengobral gairahnya pada sembarang lelaki. Ia hanya melayani
para negarawan, kaum cendekiawan, seniman-seniman, golongan the
haves serta kaum jetset.
Perempuan-perempuan penghibur
kelas wahid lainnya adalah Pliryne dari Theapiae, Lais dari Corinth,
Imperia Cognata, Louisa Murphy, Countess Castiglione, Madame du
Barry, Nell Gwynne, Cina Mary, Madame du Pompadour dan Calamity Jane.
Sedangkan di abad modern dikenal seperti Christine Keller dan Pamela
Bordes.
Budaya Seks
Kebudayaan yang terus berkembang,
telah banyak mempengaruhi generasi muda. Dalam soal hiburan yang
kian marak, tertanam benih-benih kesemrawutan. Leluasa disaksikan
bagaimana dampak film Akibat Pergaulan Bebas atau reaksi
masyarakat terhadap film Pembalasan Ratu Pantai Selatan.
Kedua sinema itu banyak menampilkan adegan-adegan glasnost
(keterbukaan). Hingga, memanaskan situasi masyarakat dan alam
keterbukaan. Bahkan, film seperti Savage Three (Joe
Dallesandro), Country Blue (Dub Taylor), Emmnnuelle
Mandingo (Antonio Gismondo), Seven (William Smith), Truck
Stop Woman (Doloresh Born), Angel Face Killer (Leonard
Msnn), Lady Doctor (Edwige Fenech) dan Camile 2000
(Kathleen Quinlan), sudah pula membakar suhu “keremajaan”
masyarakat.
Masalah seks merupakan problem
pelik. Seks malahan termasuk persoalan besar yang selalu
membingungkan. Makin ditekan kian bergemuruh. Sebab, seks tak
mengenal posisi manusia.
Seorang wanita sarjana hukum yang
telah bersuami dengan dua anak, tak segan melacurkan diri. Ia
menanti di kamar. Jika seorang “membeli” kunci kamar hotel itu,
maka, mereka pun play, mengudara.
Ini bukan pelacuran, sangka wanita
sarjana yang melek hukum itu. Ini mata pencarian demi anak, suami
atau untuk keluarga.
Tempo doeloe, kerap seorang
yang kalah berjudi, akan menjadikan istrinya sebagai pembayaran untuk
dinikmati oleh si pemenang di kamar hotel yang telah ditentukan.
Dewasa ini, masalah pelacur tak
terbendung lagi efeknya dalam masyarakat. Hingga, memusingkan aparat
keamanan. Di Jakarta, sekitar 11.000 WTS beroperasi di Kramat
Tunggak, Kalijodo, Rawamalang, Kebun Sayur, Boker, Bongkaran dan
Pejompongan Indah.
Di Amerika, Hugh Heffner tercatat
sebagai pencetus revolusi seks Uncle Sam. Ia membuat tempat
bersenang-senang di kawasan Holmy Hills.
Di Jerman, tepatnya, St Pauli,
Hamburg, juga banyak terhampar rumah-rumah bordil. Alhasil,
sepanjang jalan Reeperbahn dan Grosse Freiheit, terlihat kesibukan
yang norak dan seronok saban malam. Aktivitas mesum tersebut
terutama di Herbertrasse (pusat perdagangan seks).
Di Hongkong, bagian kota
Typhon-Sheller, terletak tempat membagi seks secara brutal. Bahkan,
hostes klub Copacanaba, Gessekai, Kokusai serta World of Suzie Wong,
terkenal teramat rakus dengan dinar dan dollar. Kota Port-au-Prince,
Ibu Kota kepulauan Karibia, Republik Haiti, malahan menyelenggarakan
pesta grup seks serta tukar pasangan.
First Lady Amerika, Eleanor
Roosevelt pernah menggemparkan karena ketahuan main serong dengan
seorang pemuda. Pendeta kharismatik Jim Baker, tak lepas pula dari
kungkungan seks. Ia menggayut Jessica Hahn, sekretarisnya. Sementara
Gary Hart, kandidat kuat presiden Amerika, tumbang sesudah skandalnya
dengan Donna Rice, terbongkar. Sasuke Uno, hanya betah selama dua
bulan sebagai Perdana Menteri Jepang. Ia terjungkal setelah majalah
gosip populer, Fokus, mengungkit gairah seksnya dengan Mitsuko
Nakamishi. Joyce McKinney, mantan ratu kecantikan Inggris, tanpa
tata krama, memperkosa pendeta Mormon, Kirk Anderson. Edan!
Perempuan terhempas ke dalam
gejolak seks, bukan gara-gara faktor ekonomi atau patah hati sesudah
dinodai sang kekasih. “Ada penyebab lain, yakni faktor budaya”
(Tempo, 26 Agustus 1989).
Kuntjoro, peneliti pada tiga
daerah di Jawa (desa Ngadirejo/Wonogiri, desa Pendem/Jepara dan desa
Dukuhseti/Pati), menemukan bahwa aspirasi remaja lebih suka
berprofesi sebagai pelacur.
Di kompleks makam gunung Kemukus,
Sragen, malahan ada “atraksi” seks massal. Seorang
yang ingin memperoleh rezeki,
diwajibkan bersetubuh tujuh kali dengan pasangan yang sama, yang
bukan istri atau suami sendiri.
Malam Jumat Pon merupakan hal aneh
tapi nyata. Maklum, tiap jengkal tanah di bawah naungan pohon,
hampir dijejali pasangan-pasangan yang sedang melakukan hubungan
intim, hubungan cabul, hubungan porno!
Perkara budaya dalam seks, bisa
pula menyentuh nurani untuk direnungkan setelah membaca trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam novel
tersebut, Srintil sebagai ronggeng yang jelita, ronggeng yang laris
sekaligus ronggeng yang malang.
Kutuk dewata menjadikan ia
bersimpuh duka nestapa setelah meraih sukses. Alam nan suci
menggiring Srintil menjadi miring sesudah sangat liar
menaklukan kelelakian.
Kesehatan, Hukuman dan Agama
Menanggulangi problem seks di
kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, maka, perhatian ekstra
serius sangat dibutuhkan. Agama, bukan jaminan untuk diterapkan pada
generasi muda sebagai penangkal seks rendahan. Pasalnya, sentuhan
agamis yang disuntikkan, cuma bergetar beberapa saat. Menurut Dr
Sarlito Wirawan Sarwono, “enam puluh persen dari remaja yang
teratur melakukan ibadah telah pernah melakukan senggama”. (Editor,
30 Desember 1989).
Melihat kenyataan ini, maka, seks
yang melumuri kehidupan remaja, tak cukup mapan jika hanya diserahkan
pada agama. Sebelum menanamkan penghayatan tentang agama, pelaku
seks, mesti diberi penjelasan perihal masalah kesehatan. Seorang
yang melakukan hubungan intim dengan perempuan “murahan”, selalu
dihantui penyakit yang mencemaskan. Arkian, kadang mereka
menggunakan kondom untuk menghindari penyakit kelamin.
Tatkala AIDS mengganas di seluruh
dunia, pasaran pelacur, anjlok. Fenomena ini memperlihatkan kalau
pria hidung belang takut bersebadan karena penyakit kotor, bukan
lantaran dosa. Penyakit tanpa penawar tersebut membuat laki-laki
binal akhirnya merasa kecut ke tempat hiburan. Di sini tampak bila
fungsi kesehatan sangat menentukan arah perjalanan seorang yang
tengah menuju ke tempat birahi itu.
Wacana lain di samping kesehatan
yaitu masalah hukuman bagi pemerkosa serta living together
(kumpul kebo). Mereka mesti dihukum berat. Jika tidak, pelaku tak
akan pernah jera. Soalnya, dalam pemeriksaan, pemerkosa terkesan
dilindungi. Sementara “obyek nafsu primitif”, selain menanggung
derita batin yang menyengsarakan, juga keadilan seolah enggan
menyapanya.
Film The Accused, merupakan
contoh menarik. Menggambarkan pertentangan jiwa antara Sarah Tobias
dengan pengacaranya. Sinema ini, juga menginformasikan, tiap enam
menit terjadi satu perkosaan di Amerika. Sedangkan di Indonesia pada
1981, perkosaan terjadi tiap 4 jam 1 menit 48 detik. Data ini begitu
mengerikan. Hatta, banyak pernyataan bernada optimis agar pemerkosa
ditindak keras.
“Kalau perlu dan memang
terbukti, putuskan saja hukuman mati bagi si pemerkosa. Ini mungkin
menyalahi undang-undang, di mana pasal 285 KUHP hanya mengancam
setinggi-tingginya 12 tahun penjara bagi pemerkosa. Biarkan saja,
agar Mahkamah Agung, juga mengetahuinya”, tegas Tjik Muhammad
Abdullah SH (Amanah, 15-28 Desember 1989).
Dengan “angker”nya hukuman
tersebut, niscaya nilai seks tahun 2000 bakal menggiring kembali ke
arah yang mulia. Seks tiada lagi murah untuk diobral di jalan-jalan.
Nelangsa berikut nestapa akan terkikis oleh keindahan seks yang
ditempatkan pada posisinya.
Seks tahun 2000 bakal memperoleh
derajat bila ditempatkan pada singgasana yang agung, yang mulia, yang
terhormat. Bukan seperti yang diraup Ilona Staller (Il
Cicciolina), wakil partai radikal yang bermodal tubuh ranum
menawan untuk duduk di kursi Parlemen Italia. Penghargaan yang
diinginkan untuk masa depan dalam rumus seks ialah menempatkan seks
di antara moral dengan keagungan cinta.
Setelah wejangan kesehatan maupun
ancaman hukuman sebagai “rem tindak susila” diterapkan, maka,
nafas agama lantas disuntikkan sebagai dakwah. Sebab, tidak lagi
berat diterima berkat kesadaran moral serta sosial sesudah persoalan
kesehatan dan hukuman tercerna baik. Tidak heran bila tahun 2000
nanti, hukum peradilan, masyarakat serta gelombang kehidupan akan
tenang. Maklum, seks kembali ke arah sebenarnya yang agung dan suci.
(Kedaulatan Rakyat,
Ahad, 10 Februari 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar