Kamis, 21 Juni 2012

Seks Tahun 2000



Seks Tahun 2000
Oleh Abdul Haris Booegies

     Seks nyaris menyamai usia manusia pertama. Pembangkangan Qabil terhadap ayahnya, Nabi Adam, tak lain karena keindahan fisik Iqlima. Ia bunuh saudaranya, Habil demi mereguk sex appeal Iqlima yang sangat menawan hatinya.
     Nabi Saleh, diteror oleh seorang pembunuh bayaran yang diupah dengan perawan jelita. Nabi Yusuf hampir terbuai pula oleh nafsu Zulaikha, yang mendambakan cinta kasih sejati.
     Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis, nyaris tiap bulan bergelut dengan wanita-wanita ayu. Bahkan, Madame de Stael (Anne Louise Germaine Necker), sastrawati tersohor, juga terdekap ke dalam pelukan hangat Maharaja Perancis itu.
     Di masa jaya diktator Nicolae Ceausescu, putranya, Nicu Ceausescu selalu menggiring gadis-gadis cantik ke sebuah kamar khusus. Nicu pertama kali menikmati seks saat berusia 14 tahun. Ketika itu, ia ingin membuktikan kekuasaan ayahnya dengan memperkosa seorang perempuan terhormat.
     Di zaman baheula, bisnis cinta berkembang pesat. Tercatat bahwa Aphrodite, Dewi Asmara yang mashur, termasuk pelopor “kuda betina binal”. Wanita pembuai cinta ini bukan mengobral gairahnya pada sembarang lelaki. Ia hanya melayani para negarawan, kaum cendekiawan, seniman-seniman, golongan the haves serta kaum jetset.
     Perempuan-perempuan penghibur kelas wahid lainnya adalah Pliryne dari Theapiae, Lais dari Corinth, Imperia Cognata, Louisa Murphy, Countess Castiglione, Madame du Barry, Nell Gwynne, Cina Mary, Madame du Pompadour dan Calamity Jane. Sedangkan di abad modern dikenal seperti Christine Keller dan Pamela Bordes.

Budaya Seks
     Kebudayaan yang terus berkembang, telah banyak mempengaruhi generasi muda. Dalam soal hiburan yang kian marak, tertanam benih-benih kesemrawutan. Leluasa disaksikan bagaimana dampak film Akibat Pergaulan Bebas atau reaksi masyarakat terhadap film Pembalasan Ratu Pantai Selatan. Kedua sinema itu banyak menampilkan adegan-adegan glasnost (keterbukaan). Hingga, memanaskan situasi masyarakat dan alam keterbukaan. Bahkan, film seperti Savage Three (Joe Dallesandro), Country Blue (Dub Taylor), Emmnnuelle Mandingo (Antonio Gismondo), Seven (William Smith), Truck Stop Woman (Doloresh Born), Angel Face Killer (Leonard Msnn), Lady Doctor (Edwige Fenech) dan Camile 2000 (Kathleen Quinlan), sudah pula membakar suhu “keremajaan” masyarakat.
     Masalah seks merupakan problem pelik. Seks malahan termasuk persoalan besar yang selalu membingungkan. Makin ditekan kian bergemuruh. Sebab, seks tak mengenal posisi manusia.
     Seorang wanita sarjana hukum yang telah bersuami dengan dua anak, tak segan melacurkan diri. Ia menanti di kamar. Jika seorang “membeli” kunci kamar hotel itu, maka, mereka pun play, mengudara.
     Ini bukan pelacuran, sangka wanita sarjana yang melek hukum itu. Ini mata pencarian demi anak, suami atau untuk keluarga.
     Tempo doeloe, kerap seorang yang kalah berjudi, akan menjadikan istrinya sebagai pembayaran untuk dinikmati oleh si pemenang di kamar hotel yang telah ditentukan.
     Dewasa ini, masalah pelacur tak terbendung lagi efeknya dalam masyarakat. Hingga, memusingkan aparat keamanan. Di Jakarta, sekitar 11.000 WTS beroperasi di Kramat Tunggak, Kalijodo, Rawamalang, Kebun Sayur, Boker, Bongkaran dan Pejompongan Indah.
     Di Amerika, Hugh Heffner tercatat sebagai pencetus revolusi seks Uncle Sam. Ia membuat tempat bersenang-senang di kawasan Holmy Hills.
     Di Jerman, tepatnya, St Pauli, Hamburg, juga banyak terhampar rumah-rumah bordil. Alhasil, sepanjang jalan Reeperbahn dan Grosse Freiheit, terlihat kesibukan yang norak dan seronok saban malam. Aktivitas mesum tersebut terutama di Herbertrasse (pusat perdagangan seks).
     Di Hongkong, bagian kota Typhon-Sheller, terletak tempat membagi seks secara brutal. Bahkan, hostes klub Copacanaba, Gessekai, Kokusai serta World of Suzie Wong, terkenal teramat rakus dengan dinar dan dollar. Kota Port-au-Prince, Ibu Kota kepulauan Karibia, Republik Haiti, malahan menyelenggarakan pesta grup seks serta tukar pasangan.
     First Lady Amerika, Eleanor Roosevelt pernah menggemparkan karena ketahuan main serong dengan seorang pemuda. Pendeta kharismatik Jim Baker, tak lepas pula dari kungkungan seks. Ia menggayut Jessica Hahn, sekretarisnya. Sementara Gary Hart, kandidat kuat presiden Amerika, tumbang sesudah skandalnya dengan Donna Rice, terbongkar. Sasuke Uno, hanya betah selama dua bulan sebagai Perdana Menteri Jepang. Ia terjungkal setelah majalah gosip populer, Fokus, mengungkit gairah seksnya dengan Mitsuko Nakamishi. Joyce McKinney, mantan ratu kecantikan Inggris, tanpa tata krama, memperkosa pendeta Mormon, Kirk Anderson. Edan!
     Perempuan terhempas ke dalam gejolak seks, bukan gara-gara faktor ekonomi atau patah hati sesudah dinodai sang kekasih. “Ada penyebab lain, yakni faktor budaya” (Tempo, 26 Agustus 1989).
     Kuntjoro, peneliti pada tiga daerah di Jawa (desa Ngadirejo/Wonogiri, desa Pendem/Jepara dan desa Dukuhseti/Pati), menemukan bahwa aspirasi remaja lebih suka berprofesi sebagai pelacur.
     Di kompleks makam gunung Kemukus, Sragen, malahan ada “atraksi” seks massal. Seorang
yang ingin memperoleh rezeki, diwajibkan bersetubuh tujuh kali dengan pasangan yang sama, yang bukan istri atau suami sendiri.
     Malam Jumat Pon merupakan hal aneh tapi nyata. Maklum, tiap jengkal tanah di bawah naungan pohon, hampir dijejali pasangan-pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, hubungan cabul, hubungan porno!
     Perkara budaya dalam seks, bisa pula menyentuh nurani untuk direnungkan setelah membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam novel tersebut, Srintil sebagai ronggeng yang jelita, ronggeng yang laris sekaligus ronggeng yang malang.
     Kutuk dewata menjadikan ia bersimpuh duka nestapa setelah meraih sukses. Alam nan suci menggiring Srintil menjadi miring sesudah sangat liar menaklukan kelelakian.

Kesehatan, Hukuman dan Agama
     Menanggulangi problem seks di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, maka, perhatian ekstra serius sangat dibutuhkan. Agama, bukan jaminan untuk diterapkan pada generasi muda sebagai penangkal seks rendahan. Pasalnya, sentuhan agamis yang disuntikkan, cuma bergetar beberapa saat. Menurut Dr Sarlito Wirawan Sarwono, “enam puluh persen dari remaja yang teratur melakukan ibadah telah pernah melakukan senggama”. (Editor, 30 Desember 1989).
     Melihat kenyataan ini, maka, seks yang melumuri kehidupan remaja, tak cukup mapan jika hanya diserahkan pada agama. Sebelum menanamkan penghayatan tentang agama, pelaku seks, mesti diberi penjelasan perihal masalah kesehatan. Seorang yang melakukan hubungan intim dengan perempuan “murahan”, selalu dihantui penyakit yang mencemaskan. Arkian, kadang mereka menggunakan kondom untuk menghindari penyakit kelamin.
     Tatkala AIDS mengganas di seluruh dunia, pasaran pelacur, anjlok. Fenomena ini memperlihatkan kalau pria hidung belang takut bersebadan karena penyakit kotor, bukan lantaran dosa. Penyakit tanpa penawar tersebut membuat laki-laki binal akhirnya merasa kecut ke tempat hiburan. Di sini tampak bila fungsi kesehatan sangat menentukan arah perjalanan seorang yang tengah menuju ke tempat birahi itu.
     Wacana lain di samping kesehatan yaitu masalah hukuman bagi pemerkosa serta living together (kumpul kebo). Mereka mesti dihukum berat. Jika tidak, pelaku tak akan pernah jera. Soalnya, dalam pemeriksaan, pemerkosa terkesan dilindungi. Sementara “obyek nafsu primitif”, selain menanggung derita batin yang menyengsarakan, juga keadilan seolah enggan menyapanya.
     Film The Accused, merupakan contoh menarik. Menggambarkan pertentangan jiwa antara Sarah Tobias dengan pengacaranya. Sinema ini, juga menginformasikan, tiap enam menit terjadi satu perkosaan di Amerika. Sedangkan di Indonesia pada 1981, perkosaan terjadi tiap 4 jam 1 menit 48 detik. Data ini begitu mengerikan. Hatta, banyak pernyataan bernada optimis agar pemerkosa ditindak keras.
     “Kalau perlu dan memang terbukti, putuskan saja hukuman mati bagi si pemerkosa. Ini mungkin menyalahi undang-undang, di mana pasal 285 KUHP hanya mengancam setinggi-tingginya 12 tahun penjara bagi pemerkosa. Biarkan saja, agar Mahkamah Agung, juga mengetahuinya”, tegas Tjik Muhammad Abdullah SH (Amanah, 15-28 Desember 1989).
     Dengan “angker”nya hukuman tersebut, niscaya nilai seks tahun 2000 bakal menggiring kembali ke arah yang mulia. Seks tiada lagi murah untuk diobral di jalan-jalan. Nelangsa berikut nestapa akan terkikis oleh keindahan seks yang ditempatkan pada posisinya.
     Seks tahun 2000 bakal memperoleh derajat bila ditempatkan pada singgasana yang agung, yang mulia, yang terhormat. Bukan seperti yang diraup Ilona Staller (Il Cicciolina), wakil partai radikal yang bermodal tubuh ranum menawan untuk duduk di kursi Parlemen Italia. Penghargaan yang diinginkan untuk masa depan dalam rumus seks ialah menempatkan seks di antara moral dengan keagungan cinta.
     Setelah wejangan kesehatan maupun ancaman hukuman sebagai “rem tindak susila” diterapkan, maka, nafas agama lantas disuntikkan sebagai dakwah. Sebab, tidak lagi berat diterima berkat kesadaran moral serta sosial sesudah persoalan kesehatan dan hukuman tercerna baik. Tidak heran bila tahun 2000 nanti, hukum peradilan, masyarakat serta gelombang kehidupan akan tenang. Maklum, seks kembali ke arah sebenarnya yang agung dan suci.

(Kedaulatan Rakyat, Ahad, 10 Februari 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People