Filosofi
Ishak Ngeljaratan
Ishak Ngeljaratan! Siapa tak
mengenalnya? Ia sosok yang akrab dengan mahasiswa. Idenya
cemerlang dan pemikirannya jernih. Pada semester V serta VI, saya
sempat programkan kuliah Bahasa Latin dan Mitologi Yunani yang ia
sampaikan.
Materi kuliah yang dibawakan tentu
saja menarik. Sebab, ia tak hanya fokus pada mata kuliah itu. Ia
menggiring persepsi mahasiswa ke arah yang lebih tajam.
Saat ikut kuliah Mitologi Yunani,
ia dua kali mengutarakan keberatannya bila titel sarjananya disebut.
Alasannya, perlu apa dipanggil Drs. A atau dr. B. Tak berguna itu,
yang penting bagaimana perspektif kita. Ia lalu mencontohkan seorang
yang ke Holy Mecca. Kala tiba di Tanah Air, sontak ia
dipanggil Haji. Bila demikian, mengapa shalat, puasa, zakat dan amal
baik lainnya tak disebut? Mengapa hanya Haji Ismail saja? Bukan
Haji Shalat Puasa Sedekah Ismail?
Bagi saya, yang selalu duduk di
bangku belakang saat ikut kuliah, pernyataan ini sangat menggelitik
serta dangkal. Dan itu diulangi lagi saat ia menyampaikan beberapa
wejangan pada Malam Chairil Anwar pada Kamis 24 Mei 1990. Ia
ogah disebut Drs. Ishak Ngeljaratan M.A. Lalu persoalan sakral
mengenai haji, puasa, shalat dan sedekah diungkit lagi.
Perlu dijelaskan bahwa naik haji
tak semua orang bisa meraihnya. Berkunjung ke Baitullah, hanya wajib
bagi orang mampu. Dalam bahasa Fiqh disebut mustahti
(yang bisa). Sedangkan shalat dan amal baik lainnya, dapat dilakukan
oleh orang tak berduit sekalipun. Kaya miskin, tua muda, semua bisa
mengerjakan shalat. Jadi sangat wajar bila seorang yang ke Kabah dan
kembali ke rumahnya, menggunakan istilah Haji di depan namanya. Ini
sangat perlu diketahui, agar hal-hal sakral, yang bersifat
transendental, tak dikaitkan dengan tetek-bengek masalah akademis.
Mengapresiasi sesuatu, akan konyol
jika orang tak pernah tahu metafisika sesuatu itu. Dan gila namanya,
kalau rasa tak suka terhadap sesuatu, juga dihubungkan dengan hal
yang bertolak belakang. Titel agama dan titel akademis, misalnya.
Saya kira Ishak Ngeljaratan sudah mengerti dan setuju. Bukan begitu,
Pak.
Abdul Haris Booegies
Mahasiswa Fakultas Sastra
Jurusan Sastra Perancis
Universitas Hasanuddin
(Fajar,
26 Mei 1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar