Nelangsa di Awal Subuh
Cerpen Abdul Haris Booegies
Saat azan Zhuhur berkumandang, seorang piket datang ke rayon Panglima Polem. Anak kelas I Tsanawiyah yang menjadi piket itu terlihat canggung berada di bilik santri Aliyah. Di kamar II Panglima Polem, saya dengan Hapip Berru menjadi pembina. Kami sama-sama kelas VI di Pesantren IMMIM.
"Cari siapa", tanya ketua kamar.
"Kak Hapip. Ada tamunya".
Saya dengan Hapip yang berkemas ke masjid, sempat mendengar obrolan piket dengan ketua kamar.
"Ini Hapip", jelasku pada piket yang tampak segan.
"Siapa yang datang membesuk. Orang tua atau cewek?" Tanyaku seolah menginterogasi piket.
"Cewek", jawab piket malu-malu.
"Juwariya yang datang. Pacarmu", tandasku pada Hapip.
Di beranda, langkahku mengarah ke masjid ath-Thalabah. Sedangkan Hapip beriringan dengan santri kelas I tersebut ke pos piket.
*****
Bakda Zhuhur, saya tidak langsung ke dapur umum untuk santap siang. Saya menunggu Hapip di selasar asrama Sultan Hasanuddin.
Ahmad Tirta dan Andi Rian yang melihatku, datang mendekat. Keduanya merupakan santri sultan yang duduk di kelas IV. Tak heran jika mereka necis. Membawa sajadah ke masjid. Menenteng sendok maupun mug ke dapur layaknya santri baru. Terkadang menggenggam abon serta telur yang dibungkus kertas koran atau sobekan buku tulis ke ruang makan.
"Mana Hapip", tanya Rian.
"Saya sedang menantinya. Ia di kamar. Tadi tamunya datang", jawabku.
Saya menyuruh Tirta dan Rian untuk lebih dulu ke dapur. Biar saya saja yang menunggu Hapip.
Selepas berlalu 10 menit, Hapip belum nongol. Apa gerangan yang dilakukan di bilik.
Saya ke kamar sambil bersungut-sungut. Saya menjambak gorden di sisi ranjang karena dongkol.
"Mengapa kau cuma duduk di sini! Dapur sudah hampir tutup!" Sergahku dengan gusar.
Hapip melihatku dengan muka kusut. Ada lara bergelayut di wajahnya. Saya tertegun.
"Ada masalah?" Suaraku terdengar lembut.
Hapip terdiam. Sejenak, ia memperhatikanku. Hapip lantas duduk di sudut ranjangku.
"Kabar apa yang dibawa Juwariya. Apakah kau langsung menikahinya setelah kita tamat di pesantren atau kuliah dulu".
"Juwariya tinggal kenangan. Ia masa lalu", terdengar suara datar Hapip.
Saya terkejut. Ini berita buruk.
"Juwariya besok menikah dengan Lukman", sambung Hapip.
Saya terkenang setahun silam. Saya, Hapip, Tirta serta Rian ke Lawawoi, kampung Hapip di Sidrap. Rumahnya terletak di sisi gunung Tarenre. Di seberang jalan, terhampar sawah sejauh mata memandang.
"Ayo ke sungai. Di sana, di antara sawah-sawah yang melintang", ajak Hapip. Kami kuartet santri IMMIM ke sungai, tentu Juwariya ikut. Lukman, sepupu Hapip pun turut.
Di pinggir sungai Makkanenneng, Hapip berdiri sembari menunjuk ke pematang.
"Dulu sewaktu murid SD, saya bersama Lukman dan kawan-kawan bersembunyi di balik tanggul itu. Kami menanti perawan-perawan dusun mandi di sungai. Kami sempat memergoki Lina. Sarungnya hanyut terbawa arus. Akibatnya, buah dadanya tersingkap. Mungil laksana delima ranum yang tergantung di ranting. Putingnya mirip kismis yang kenyal. Kami tidak dapat tidur malamnya. Terbayang terus payudara seronok Lina", ungkap Hapip seraya tertawa. Sementara Juwariya tersipu, menunduk seolah memperhatikan sandalnya yang pas dengan kakinya. Ia kemudian mencubit lengan Hapip.
"Lina sekarang janda. Anaknya tujuh. Saban tahun melahirkan. Rahimnya subur", tutur Lukman.
*****
Setelah santap siang di dapur, Tirta serta Rian ke bilikku. Keduanya heran dengan keheningan. Tirta dan Rian bergantian menatap ke arahku serta Hapip.
Sebelum keduanya mengucap soal, saya mengajaknya ke sisi masjid di bawah pohon akasia.
"Kenapa mendung merundung paras Hapip?" Rian bertanya.
Tirta memandangku. Menunggu jawaban.
"Kekasihnya kawin", ketusku.
Tirta dan Rian langsung tergelak-gelak bagai mendengar banyolan konyol komedian.
"Cerita biasa yang sudah basi kalau begitu. Kisah asmara memang demikian. Bersatu atau berpisah merupakan perkara lumrah dalam percintaan", khotbah Tirta.
"Siapa yang merebut Juwariya dari Hapip?" Rian bertanya dengan nada antusias.
"Lukman", jawabku.
"Lukman sepupu Hapip?" Sahut Tirta dengan mata terbelalak.
"Ya", sambutku singkat sambil mengangguk.
"Tega sekali", tukas Tirta dengan rupa muka yang berubah sendu. Ia pun menghela napas. Melirik ke samping, ke serambi barak yang sepi.
"Kemarin saya intip buku harian Hapip. Ia menulis sebuah pepatah hasil kreasinya berbunyi do bad to others. Kini ia kualat kena tulah dari peribahasanya sendiri", timpal Rian dengan suara parau.
"Mengapa Hapip tak pulang saja", cerocos Tirta.
"Itu ide gila", jawabku.
"Pulang malu, tidak pulang rindu", ujar Rian dengan mesam-mesem.
"Bisa ajah kamuh", seloroh Tirta sembari menyentak lengan Rian dengan sikut.
*****
Lonceng terdengar berbunyi empat kali dari depan kantor pimpinan kampus. Santri yang meronda pun berkeliling dari bangsal ke bangsal untuk membangunkan rekan-rekan.
Perlahan saya membuka mata. Dari balik kelambu, saya mengintip ke ranjang Hapip. Ia masih duduk di pojok ranjang.
Saya langsung bangkit serupa raja rimba yang menerkam mangsa. Berjalan dua langkah untuk mendekati Hapip.
"Kamu belum tidur? Sekarang pukul 04.00", tegasku seraya mengelus pundaknya.
Hapip bergeming. Ia tepekur.
"Kak Ogi. Kak Hapip. Sudah subuh", kata Imran, ketua qismul amni (seksi keamanan).
Imran melongok dari tabir yang terpasang dekat ranjang. Ia sempat melihat sekilas ke Hapip. Saya mengernyitkan alis sambil tersenyum. Imran pun mengangguk lalu pergi.
Saya mengambil posisi duduk berhadapan dengan Hapip. Saya tetap membisu di dekatnya dengan dada berkecamuk. Kami berada di jalan yang terasing. Pilu hatiku menyaksikan kondisi Hapip. Karakternya yang periang, sontak hilang. Ia dilanda nestapa. Pikirannya tercabik-cabik. Hapip mutlak move on, melupakan sekaligus menerima kenyataan. Memang sulit merelakan mereka, apa lagi demi kebahagiaan orang yang mengkhianati cinta.
Hapip perlu mafhum. Ikrar cinta kerap menjelma janji semu. Cinta tak selamanya syahdu sebagaimana kembang tidak melulu indah di tiap hari. Cinta niscaya meleleh, mencair serta mengalir untuk mencari insan kasmaran lain.
Terdengar tarhim dari masjid ath-Thalabah. Saya berdiri. Hendak ke sumur untuk berwudhu. Dini hari berakhir, subuh menjelang. Ini pangkal subuh.
Tiba-tiba Hapip mematut-matut ke arahku. Saya mencoba tersenyum. Mengira akalnya telah waras. Menduga duka di kalbunya sudah sembuh. Menyangka beban hidupnya telah pupus.
Hapip terus menatapku. Lambat-laun, saya merasa takut. Sorot matanya sayu bak purnama terhalang mega berarak. Ia seolah ingin memekik, namun, lidahnya menekuk. Tangannya gemetar, kakinya bergetar, perutnya kembang-kempis dan lehernya terkulai seolah kena gada. Sekonyong-konyong, sosok Hapip menggeliang-geliut. Perlahan-lahan ia kabur, memudar sebagaimana asap rokok. Sejurus berikutnya, ia menghilang di hadapanku. Sirna dari pandangan. Hapip lenyap ditelan oleh nelangsa yang menggerogoti tubuhnya di awal subuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar