Kamis, 20 September 2012

Islamfobia Putu Setia dan Ayu Utami



Islamfobia Putu Ayu
Oleh Abdul Haris Booegies

      Sebelum Innocence of Muslims mencecar brutal, ada dua tulisan menyerang Islam. Pertama, tulisan Ayu Utami berjudul Simbol di Seputar Indonesia pada Ahad, 16 September 2012. Kedua, opini Putu Setia bertajuk Identitas di Koran Tempo pada Ahad, 16 September 2012.
      Dalam tulisannya, Ayu Utama (AU) merasa heran pada taraf yang sulit ia pahami. Ihwal tersebut terkait usaha untuk mengganti lambang Palang Merah Indonesia. Selama ini, ia anggap idiom itu netral di dunia.
      AU lantas mencontohkan India yang mayoritas Hindu maupun Thailand dengan Budha sebagai mayoritas. Kedua negara tidak berpikir mengganti simbol Palang Merah, kendati lambang tersebut identik salib yang berasal dari tradisi Kristen.
      Di sini, AU ingin berkhotbah bahwa tak usah usik simbol Palang Merah. Saya tidak tahu, agama apa yang dianut AU. Saya menduga ia Kristen. Orang Kristen pasti tak rela jika lambang Palang Merah diganti. Sebab, berkorelasi dengan ajaran Alkitab. Salib dipandang simbol kehidupan.
      Tatkala kaum Muslim gerah dengan identitas itu, tentu ada upaya buat mengubahnya. AU mendadak menghalanginya dengan mengambil contoh India serta Thailand.
      Ada kealpaan di benak dan dada AU karena berkehendak menyamakan Hindu serta Budha dengan Islam. Benar bahwa orang Hindu bersama Budha tidak memperkarakan lambang Palang Merah. Pertanyaannya, adakah jaminan bahwa esok kedua negara tak mengubahnya?
      Saya ingin tanya AU. “Mengapa ia gerah kalau simbol tersebut mau diganti?” Saya curiga bila AU tidak rela lantaran lambang Palang Merah itu bagian dari agamanya.
      Seluruh komunitas sekular-liberal menyanjung setinggi langit demokrasi dan pluralisme. Secara sederahana dimafhumi bahwa demokrasi ialah suara terbanyak sebagai pemenang. Ini mengindikasikan kekuasaan berada di tangan mayoritas.
      Ketika golongan mayoritas bergerak untuk mengganti suatu identitas sesat, sontak segelintir gerombolan sekuler-liberal mencak-mencak. Dalam kasus simbol Palang Merah, AU melakukan perlawanan lewat pena sembari memberi tamsil perihal Hindu serta Budha.
      AU lupa bahwa Islam berbeda dengan Hindu dan Budha. Sebagai misal, umat Islam makan sapi. Sementara di India sapi didewakan.
      Di India, penganut agama mayoritas minum kencing sapi. Mengusap-usapkan ekor sapi di wajah. Membiarkan sapi berkeliaran di jalan raya atau lorong sempit. Pasalnya, pemali mengusir atau mengusiknya.
      Cecunguk pluralis jelas mendambakan segenap agama setara, termasuk toleransi minum kencing sapi. Kalau AU mau, saya siap mengirimkannya segalon per hari. Gratis seumur hidup.
      “Di antara manusia ada yang sesumbar: “Kami Kristen”. Kami juga sudah mengambil perjanjian dengannya. Mereka secara sengaja melupakan pula sebagian dari apa yang telah diperingatkan. Akibatnya, Kami tanamkan di antara mereka permusuhan serta kebencian sampai Hari Kiamat” (al-Maidah: 14).

Vulgarisme si Pendeta Hindu
      Putu Setia (PS) segendang-sepenarian dengan AU. Ia secara sinis mempersoalkan ide penggantian lambang Palang Merah. Menurutnya, gagasan identitas keagamaan tersebut tak ada kaitannya dengan urusan keyakinan.
      Sinisme PS merupakan bagian otentik pluralisme. Semua agama sama. Dewasa ini, PS seolah merana karena di Bali bermunculan rumah makan dengan aksara mencolok “warung Muslim”. Diakuinya kalau tidak terlihat “warung Hindu”.
      Di planet ini, hampir mustahil ada “warung Yahudi” atau “warung Majusi”. Sesungguhnya, identitas sebagai “warung Muslim” dipancangkan karena ketakutan soal keharaman suatu makanan. Kaum Muslim gentar terhadap makanan berkat panduan tata tertip. Berbeda dengan agama lain. Mereka melahap apa saja. Otak kera, sup kelelawar, babi, anjing, ular, tikus, kalajengking, darah beku atau binatang yang dibantai, semua disikatnya.
“Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi. Diharamkan juga hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah” (al-Baqarah: 173).
      Koran Tempo menjadi medium bagi PS untuk menggasak Islam. Tulisan-tulisannya yang menvisualkan Front Pembela Islam (FPI) selalu insinuatif sekaligus tendensius. Ia, umpamanya menulis Ini Harus Dilawan di Koran Tempo pada Ahad, 20 Mei 2012.
      “Ini harus dilawan” adalah kalimat PS yang ditujukan kepada FPI. PS memang tak jantan menunjuk tegas FPI. Sebagai pendeta Hindu agar tidak dituduh mencampuri urusan Islam atau bertendensi SARA (suku, agama, ras serta antargolongan), PS secara licik memakai istilah sinis seperti “ormas itu” atau “penjaga moral bangsa” untuk FPI.
      Pada artikel sebelumnya, PS menulis Polisi Lain di Koran Tempo pada Ahad, 13 Mei 2012. Dalam tulisan itu, terlihat betapa pendeta Hindu ini begitu geram bercampur dengki terhadap FPI.
      FPI acap mengganggu tidur PS sebagaimana diakuinya dalam artikel Saatnya Dipikirkan Undang-Undang Ormas Keagamaan di Koran Tempo pada Jumat, 17 Februari 2012.
      “FPI sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat”, tulisnya. Pertanyaannya, masyarakat apa yang risau. FPI menghancurkan tempat maksiat. PS resah. Bila ada yang risau, berarti ia bagian dari kemaksiatan yang memang wajib dihancur-leburkan.
      Jika punya bukti, paparkan. Tunjuk masyarakat mana yang resah. Kalau Islam Liberal yang dituding, pasti tiada yang membantahnya. Bila gerombolan sekuler-liberal yang risau, maka, seratus persen benar. Harap dimengerti bahwa dua musuh Islam tersebut tak mewakili masyarakat.
      PS mengeluh tentang repotnya membubarkan FPI.  “Betapa panjangnya jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu”.
      Dalam opini SARA di Koran Tempo pada Ahad, 26 Agustus 2012, batin PS menjerit lantaran kampanye “pilih pemimpin seiman” di Pilkada Jakarta 2012. Ia pun yakin jika Indonesia sejak dulu belum final. “Negeri ini ternyata makin runyam. Astaga!”, tulis PS.
      Saya ingin tanya kepada pendeta ini. Negara apa di muka bumi ini yang sudah final? Pada esensinya, tidak ada negara yang final. Maklum, mengikuti dinamika masyarakat. Gaya baru, teknologi baru berikut ekonomi baru terus-menerus memutar roda kehidupan. Negara bertambah kacau-balau kalau ada pendukung kemaksiatan. Contohnya, serdadu Thaghut yang menghendaki “Indonesia tanpa FPI”.
      Nakoula Basseley Nakoula (Sam Bacile), antek Yahudi yang menyutradarai Innocence of Muslims menegaskan bahwa ini zaman perang ideologi terhadap Islam. Tak heran bila orang semacam AU atau PS menyerang Islam lewat tulisan. Non-Islam ngeri berjihad secara berhadapan satu lawan satu gara-gara tidak memiliki rekomendasi langit dari Tuhan yang tak beranak. Mereka cuma menduga-duga hakikat agamanya. Saat kepalsuan menyelimutinya, ia pun bertekad menggelincirkan umat Islam supaya turut tersesat. Mereka berhasrat agar Islam terhina meniti kehidupan.
      “Pada hari ini begundal kafir putus asa untuk mengalahkan agamamu. Jangan takut kepada mereka! Takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu. Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku. Aku meridai Islam sebagai agamamu” (al-Maidah: 3).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People